Benar apa yang menjadi ketakutan Olivia kemarin. Beberapa pasang mata menatapnya dari segala penjuru. Terutama area pantry, di mana semua gosip apapun akan bisa kalian dengar di sana. Mata semua staf perempuan pagi ini berubah seperti mesin scanner yang bersiap melihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sungguh menakutkan sekali penggemar dari seorang Yusa.
Dan sekarang di sinilah Olivia berada. Di sebuah cafe yang telah menjadi langganan hampir semua staf di kantornya sambil memerhatikan segala gerak gerik perempuan di depannya. Listya yang tengah sibuk dengan buku planner miliknya, Adel yang masih asyik berpose ria, sementara Lana yang sedang memandanginya lekat-lekat.
“Jadi ada cerita baru dan seru apa dengan Si Yusa kemarin?” tanya Lana lalu berujung pada sederetan pertanyaan lainnya.
“Iya nih. Mana pakai acara gandengan tangan segala lagi. Kalian jadi tontonan satu kantor,” sambung Adel sesekali membetulkan letak rambutnya yang sama sekali tidak berantakan. “Kok enak sih jadi kamu, Via?”
“Kalian juga nggak kembali ke kantor lagi kan sorenya?” tambah Listya tidak mau kalah.
Olivia menghela napasnya pelan sebelum menjawab. “Jawabanku tetap sama, Mbak-Mbak. Kemarin ada meeting mendadak di salah satu hotel tempat acara opening ceremony minggu depan. Kalian pikir aku dan Yusa akan pergi ke mana?”
“Oh bukan itu. Kalau itu aku sudah tahu. Kalian pergi menemui Ibu Retno JW Marriot, kan? Kamu memang nggak copy info itu, Via. Cuma aku dan Mbak Lana yang tahu. Maksudku itu yang kemarin pas istirahat si ... eh, tunggu.” Listya menjeda kata-katanya. Ia menatap Olivia dalam-dalam. “Sejak kapan kamu panggil Mas Yusa tanpa embel-embel, Via?”
“Eh iya. Aku juga baru sadar,” celetuk Adel tidak mau kalah.
“Ada gosip baru nih!” sambar Lana.
“Iya nih. Bukannya kamu selalu mengatasnamakan profesionalisme dalam bekerja?” tambah Listya yang disetujui dengan anggukan kepala Adel. “Lari ke mana prinsipmu itu.”
“Dia yang maksa. Ya sudah aku kabulkan. Sebenarnya ada hal yang aku sembunyikan dari kalian bertiga. Dulu Yusa itu juniorku di kampus. Kami juga berada di UKM yang sama ketika itu. Eh, tapi bukan berarti aku diterima di sini karena hasil koneksi loh ya. Aku bahkan baru tahu setelah satu bulan kerja di sini. Jadi Mbak-Mbak jangan salah paham!”
“Kamu tenang saja, Via. Yang berani berpikiran begitu akan kuhajar mati-matian. Aku sendiri yang ikut menilaimu saat itu. Dan lagi yang memilih itu Papanya Yusa. Yusa sih malah nggak tahu apa-apa,” kata Lana membelanya.
Olivia tersenyum dengan memamerkan sederetan giginya. “Terima kasih, Mbak Lana.”
Obrolan seputar Yusa dan dirinya pun berakhir begitu saja saat santapan yang mereka pesan satu per satu berdatangan. Tiga dara menor ternyata tidak seburuk yang Olivia kira selama ini. Iya sih, mereka bertiga memang ratunya gosip dan jauh lebih terupdate ketimbang akun-akun gosip yang beredar di i*******m. Tapi tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini, kan? Adanya mereka bertiga cukup mengisi keseharian Olivia dengan canda tawa sejak dirinya ditinggal Lussi menikah. Prioritas Lussi sekarang bukanlah bersama dengannya lagi, melainkan bersama dengan keluarga kecilnya. Bukan maksud Olivia untuk mengeluh, tapi itulah yang dirasakan olehnya. Bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.
Sehabis makan siang mereka berempat memisah menjadi dua kubu. Lana, secara tiba-tiba mengajak Olivia untuk bertemu dengan Ibu Retno atas permintaan Yusa. Sementara Listya dan Adel memutuskan kembali ke kantor dengan taksi.
“Maaf ya, Tya, Adel,” kata Lana merasa tidak enak.
“No problem, Mbak. Namanya juga mendadak,” balas Listya maklum. Kemudian mereka pun berpisah.
Lana melarikan mobilnya dengan segera menuju ke lokasi yang dituju. Untung saja jalanan siang ini tidak terlalu padat seperti hari-hari sebelumnya. Padahal hari ini sudah tergolong weekend dan pasti kemacetan di mana-mana. Tapi ya sudahlah. Setidaknya waktu mereka berdua tidak terbuang percuma. Di ruangan yang sama, Retno menyambut kedatangan Lana dan Olivia dengan sopan. Setelah terlibat perbincangan sekilas, Retno menyerahkan sebuah map berisikan dokumen kepada Lana sebelum akhirnya undur diri dan menyerahkan segala sesuatunya kepada sekretarisnya. Dahi Lana tiba-tiba berkerut dalam. Sesuatu yang krusial telah terjadi di sana—membuatnya harus berpikir keras memahami isi kontrak yang tengah dipegangnya.
“Ada masalah dengan isi kontraknya, Mbak?” tanya Olivia penasaran.
Lana memandang Olivia sejenak lalu menyodorkan map berisi kontrak padanya. “Kamu lihat sendiri deh apa yang telah dilakukan Si Yusa.”
Olivia membuka map berisikan kontrak yang telah dibubuhi tanda tangan oleh Yusa. Sebuah nominal yang sangat fantastis sekali hanya untuk sebuah opening ceremony.
“Aku paham sih kalau akan ada investor spesial yang akan hadir nanti, tapi dengan nominal sebesar itu hanya demi kemewahan acara nanti apa nggak terlalu berlebihan? Pantasan saja aku yang dikirimnya ke sini,” gerutu Lana pasrah lalu membubuhi tanda tangannya sendiri dan menyerahkan salinan kontraknya pada sekretaris Retno.
“Semoga saja kontrak kerjanya sebanding dengan pengeluaran kita.”
Aamiin, batin Olivia.
Selama kurang lebih tiga tahun Olivia bekerja dengan Yusa, baru kali ini ia tahu bagaimana Yusa membelanjakan keuangan perusahaan. Olivia sejenak mengerti kenapa setiap kali Lana keluar dari ruangan Yusa, wajah perempuan itu terlihat kusut. Apalagi saat meeting bulanan tiba yang membahas komisi, Lana akan selalu pulang paling akhir. Dasar. Bukankah itu sama saja dengan menggelapkan dana perusahaan?
“Tapi bukan berarti Si Yusa menggelapkan dana perusahaan loh, Via.”
“Eh ... Ah ...” Olivia gelagapan oleh pernyataan Lana barusan. “Aku nggak bilang begitu kok, Mbak.”
“Aku mencoba menebak dalam pikiranmu, Via. Dulu pun aku sempat berpikir begitu apalagi semenjak Pak Agung, papanya Yusa menyerahkan urusan perusahaan pada putranya. Malah aku berpikiran mau resign saja saat itu.”
“Bahkan Mbak Lana juga pernah berada di fase itu?” Olivia balas bertanya.
Lana mengangguk kemudian melanjutkan. “Itu cerita lama. Yah, setidaknya semua staf juga ikutan senang dengan kecerobohannya itu. Anggap saja ini pesta untuk mereka juga.”
Olivia tertawa menimpali kemudian mengangguk. Dibalik ketegasan Lana ternyata ada cerita seperti itu. Jika bukan karena kepiawaian Lana dalam mengolah keuangan perusahaan bisa Olivia pastikan bagaimana kerepotannya Pak Agung saat itu. Setelah menyelesaikan urusan dokumen persewaan, Olivia dan Lana menikmati beberapa tes makanan yang nantinya akan menjadi hidangan acara. Sebenarnya ini hanya akal-akalan dari Lana saja. Tidak ada tertulis di dalam kontrak adanya tes menu sampai request menu dengan alasan menguji cita rasa masakan dari seorang chef hotel berbintang lima.
“Kita membayar mahal, Via setidaknya harus ada tester satu atau dua makanan dong.”
Begitulah yang Lana katakan padanya tadi. Sampai Olivia merasa tidak enak hati sendiri.
Olivia menurunkan sandaran kursi mobil kemudian menyandarkan punggungnya yang sejak tadi terasa kaku. Hari ini sangat melelahkan sekali untuk mereka berdua. Padahal ini belum seberapa, karena perang sesungguhnya baru akan dimulai besok. Yusa mengalihkan semua acara opening ceremony nanti dibawah pengawasan Lana. Wajar saja jika Lana tidak henti-hentinya berdecak sejak meninggalkan lokasi karena dalam waktu dekat ada pekerjaan yang bahkan jauh lebih penting daripada ini. Lana harus menyelesaikan dan mengupdate laporan keuangan di jurnal perusahaan. Tapi apa mau dikata jika segala sesuatunya telah dititahkan secara langsung oleh Yusa. Lana hanya mampu mematuhinya tanpa berniat protes.
“Aku bisa mengantarmu pulang, Via. Kenapa repot-repot ambil mobil segala sih,” kata Lana disaat mereka memasuki area perkantoran. “Kamu bisa titipkan sama security, kan? Tinggal kasih fee saja ke mereka.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Lagipula malah ribet ke mana-mana kalau nggak ada kendaraan.”
Lana mengangguk. “Ok-lah kalau gitu. Aku duluan ya!” katanya kemudian setelah bercipika-cipiki ria sebelum melarikan mobilnya meninggalkan Olivia di depan kantor.
Dengan tas dipundak, Olivia berjalan membelah malam sembari bersenandung kecil. Jam di arlojinya telah menunjuk pada angka delapan. Dan sialnya lagi tidak ada yang memutuskan untuk lembur hari ini. Suasana kantor benar-benar sepi dan sunyi. Olivia celingukan di pos satpam. Nihil. Tidak ada seorang pun di sana. Seharusnya jam pergantian shift malam sudah dilakukan sejak pukul tujuh tadi. Dan seharusnya lagi pos satpam tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kosong begini. Olivia berjalan menyusuri tangga belakang menuju parkiran basement di mana mobilnya berada. Terburu-buru Olivia mengambil kunci di dalam tas dan menyalakan mesin mobil secepat yang dirinya bisa. Karena jujur saja, keheningan malam ini membuat bulu kuduk Olivia seketika berdiri. Padahal tidak ada tanda-tanda menyeramkan dalam bentuk apapun di sini. Tapi yang namanya takut ya tetap saja takut, kan? Tidak ada alasan yang logis.
Olivia melarikan mobil miliknya meninggalkan area perkantoran dan mulai tenggelam dalam suasana jalan raya di malam hari yang cukup ramai ketimbang siang tadi. Alunan musik khas Kenny G seolah menjadi pelengkap untuk mengakhiri hari Olivia. Lamunan Olivia seketika melayang tiba-tiba. Sosok Yusa hadir menghiasi otak Olivia seketika. Kedekatannya dengan laki-laki itu, hingga proposal pernikahan yang ditawarkan oleh laki-laki itu secara sempurna mempertegas keseriusan seorang Yusa untuknya. Olivia diserang dilema—antara menerima atau malah menolak. Olivia tidak membenci Yusa, tapi suka pun juga tidak. Biasa-biasa saja. Tidak ada greget, tidak ada gairah meledak-ledak pada laki-laki itu. Kenapa? Olivia tidak tahu pasti. Kata-kata Lussi ketika itu tidak sepenuhnya salah. Ya, pelarian. Sebuah kata yang amat sangat kejam untuk memulai suatu hubungan. Tentu saja Olivia mengerti, tapi tidak dengan hatinya.
Sebuah coffee shop dipersimpangan Jalan Sulawesi menjadi alasan utama Olivia menepikan mobilnya. Sambil memainkan ponsel ditangannya, Olivia menunggu pesanan yang ia pesan sepuluh menit yang lalu. Lagi-lagi beranda i*******m milik Olivia telah ramai oleh foto-foto terbaru dan lucu dari Si Kembar. Bakat fotografi Lussi memang patut diacungkan jempol. Ia paham betul mana sudut yang sempurna dalam sebuah foto. Hasilnya sungguh luar biasa. Bahkan ada beberapa foto yang memang sengaja ditujukan Lussi secara private untuk Olivia dengan tambahan caption yang membuat Olivia tersenyum sendiri. Jemari Olivia bergerak dengan lincah menekan tombol hati karena menyukai unggahan foto Lussi tersebut. Hingga akhirnya jemari Olivia terhenti pada sebuah foto yang baru saja diunggah oleh pemiliknya beberapa jam yang lalu. Foto sederhana yang menampilkan gedung pencakar langit sebagai background pemilik akun i*******m membuat Olivia tanpa sadar menekan tanda hati pada foto itu. Sejurus kemudian seseorang mengirimi Olivia pesan. Pesan singkat yang membuat Olivia menutup mulutnya.
Dante termenung dengan selembar foto ditangannya. Olivia—perempuan yang memporak-porandakan perasaan seseorang dalam hitungan detik entah kenapa sulit sekali untuk Dante lupakan. Senyum hangat nan manja perempuan itu seolah mencuri segalanya. Tidak hanya hati Dante, bahkan jiwanya pun juga ikut tercuri sampai saat ini. Hampir lima tahun berlalu, namun betapa sulit bagi Dante menghilangkan jejak Olivia dihatinya. Olivia secara tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ke mana pun Dante berusaha mencari sosoknya, kabar Olivia seolah tidak pernah ada di dunia ini. Hidup Dante seakan kosong ketika tahu Olivia memilih untuk pergi meninggalkannya. Tiba-tiba rahang Dante mengeras—masih setia memandangi foto ditangannya. Ada perasaan kesal tercampur rindu saat ia melihat foto ditangannya. Tidak hanya senyum
Lussi melebarkan matanya ketika Olivia muncul kembali di rumah mertuanya dengan wajah kalut yang bahkan Lussi yakin Olivia sendiri pasti tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Olivia menangkap sinyal keterkejutan dari diri Lussi. Apalagi Olivia datang dengan kucuran airmata yang sudah jatuh tanpa permisi dipipi tirusnya.“Kamu kenapa?” Lussi bertanya heran sembari mengusap punggung lembut Olivia. “Kenapa, Via? Bilang sama aku,” kata Lussi lagi mencoba menenangkan.“Dia datang, Lu.”
Dante mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Hampir semalaman Dante terjaga dari tidurnya. Siapa yang menyangka dibalik tubuh letihnya semalam, perempuan yang selama lima tahun terakhir ini memenuhi hati, otak, dan pikirannya, tiba-tiba saja muncul di depan kedua matanya. Ingin rasanya Dante berlari dan memeluk tubuh perempuan itu secepat yang ia bisa seandainya langkahnya tidak terhalang lalu lalang pelanggan malam itu. Dante bahkan ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang juga. Dirinya ingin berteriak bahwa pencariannya selama lima tahun ini terbayarkan. “You so look happy today,
“Terpaksa??!!” Nada bicara Dante tiba-tiba berubah meninggi ketika mendengar alasan yang menurutnya tidak masuk akal dari mulut Lussi. Untung saja kedua bocah kembar mereka tidak terganggu dengan nada bicaranya barusan. “Om Dante jangan mala-mala.”
Keputusan Olivia meninggalkan kantor ditengah-tengah jalannya rapat dan berdiam diri di kediaman Elok tampaknya bukan suatu keputusan yang tepat. Tiga jam lalu adalah saat-saat di mana dirinya merasakan yang namanya kebebasan. Bahkan sambutan dari Si Kembar ketika mobil miliknya memasuki pekarangan rumah juga penuh kegembiraan. Lussi dan Elok selaku pemilik rumah pun juga ikut merasakan kegembiraan itu selama tiga jam. Ditambah lagi karena kehadiran tamu yang sama sekali tidak Olivia sangka-sangka akan menampakkan sosoknya lagi dihadapannya.Dante berjalan menghampiri Elok guna mencium pungg
Menjelang hari H acara opening ceremony peresmian kantor di cabang Surabaya, Olivia disibukkan dengan berbagai hal. Bersama dengan Lana, Olivia memastikan bahwa tidak akan ada hal-hal yang terlewatkan nantinya. “Ngomong-ngomong kamu lagi perang dingin ya sama Bos Ganteng?” Lana memulai obrolan siang itu dengan antusias. “Maksud, Mbak?” Olivia balas bertanya.
Dante sedang mengamati dua insan tengah terlibat suatu obrolan. Mereka adalah Olivia dan Yusa. Secara kebetulan ia berdiri tidak jauh dari mereka berada. Meskipun begitu sepertinya tidak cukup dekat untuk bisa mendengar perdebatan yang terjadi di sana. Dante tidak tahu masalah seperti apa yang mereka perdebatkan namun terlihat sekali jika pujaan hatinya itu sedang diselimuti dengan amarah. Dante berdecak kesal. Bahkan disaat sedang marah pun dia terlihat begitu cantik, batin Dante.
Sebuah coffee shop di daerah jalan Sulawesi menjadi tempat persinggahan Olivia dan Dante malam ini. Perasaan keduanya seperti bebas tanpa beban setelah pengakuan yang mereka lakukan tadi. Rasa lapar pun tanpa terasa juga hinggap di perut keduanya. Olivia mengikat rambutnya menjadi cepolan sederhana saat makanan yang mereka pesan satu per satu tiba di meja. Suapan pertama langsung memanjakan lidah Olivia. “Dari dulu kamu nggak berubah, Via. Selalu nasi goreng yang menjadi list teratas di daftar menu makananmu,” kata Dante ketika melihat Olivia menikmati suapan keduanya.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Rasanya berlalu begitu cepat. Olivia menengadah menatap langit biru dengan pemandangan laut disekelilingnya. Sepuluh tahun belakangan ini berlalu penuh dengan emosi dan airmata. Begitu banyak yang Olivia curahkan, begitu banyak pula yang Olivia tinggalkan, termasuk hubungannya dengan Dante. Olivia seketika teringat bagaimana dulu pertemuannya dengan Dante dan bagaimana mereka akhirnya menjalin kasih yang berlanjut pada sebuah perpisahan. Berat sekali rasanya sampai-sampai Olivia tidak ingin merasakannya lagi. Olivia mendadak tersenyum ketika merasakan ada sepasang tangan yang terulur memegangi sebelah pahanya yang telanjang tanpa penutup apa-apa. Olivia menurunkan pandangan lalu beradu pandang pada sosok mungil yang menengadah menatapnya. “Kok sendirian? Papa mana?” tanya Olivia. Pemilik sepasang tangan itu adalah seorang gadis kecil dengan wajah bak pinang dibelah dua oleh laki-laki yang Olivia panggil denga
Dante marah besar saat tahu Yusa kembali menghubungi Olivia. Emosinya yang meluap-luap membuat Olivia harus memberikan pengertian pada suaminya itu. “Nggak. Aku nggak mau dengar apapun, Via. Dan jangan pernah memaksaku untuk bersikap tenang disaat aku tahu Yusa kembali mendekatimu. Apa perlu aku menghajarnya sampai mati dulu baru dia mau melepaskanmu? Fine! Akan aku kabulkan.” See? Kecemburuan Dante membutakan mata sekaligus hatinya. Belum ada sepatah kata yang Olivia lontarkan untuk pembelaan, Dante sudah membombardirnya dengan setuja serangan. “Yusa nggak mencoba mendekatiku lagi, Dante. Dia hanya ingin bicara. Lagipula dia bersedia kemari kalau aku memang mengizinkannya.” Dante melebarkan matanya. “Kamu memberitahunya kalau kita di Bali?! Buat apa?” Kecemburuan Dante sudah membuatnya menjadi tidak waras. Semua seolah menjadi hitam dihadapannya. “Via—” “Yusa ingin bicara sesuatu yang penting. Aku nggak tahu itu apa, tapi dia
“Sekarang?!” Olivia mengerjapkan matanya berulang kali. Pasalnya baru tiga hari ke depan Olivia diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dante mengulas senyuman ketika melihat ekspresi terkejut Olivia. Wajar saja! Belum ada satu hari Dante mengungkapkan keinginannya pada Reihan untuk berlibur, tapi hari ini laki-laki itu telah benar-benar melaksanakannya. Reihan yang kebetulan ikut berkunjung mengantarkan kue kiriman Lussi untuk Olivia pun juga terngaga tak percaya. “Bro, baru juga kemarin siang lo bilang rencana ini ke gue, kenapa jadi gini?” protes Reihan. “Lo yang bilang akan handle semuanya. Kenapa sekarang malah protes?” Dante membalas. “Iya sih, tapi nggak hari ini juga. Gue sama sekali nggak ada persiapan. Ini nih yang nggak gue suka dari lo. Suka meledak-ledak kayak ABG.” “Sialan, lo!” umpat Dante tidak terima. “Pokoknya semua file yang perlu lo handle sudah gue kirim by email. Lo tinggal cek dan hubungi klien kita kalau semisal ada komp
Silaunya lampu membuat Olivia memicingkan matanya. Olivia tahu dirinya di mana saat ini. Selimut yang menyelimuti tubuhnya, perban dikepala yang Olivia rasakan, dan juga siapa laki-laki yang tengah tertidur dengan menangkupkan kepalanya dikedua lengan, semuanya dapat menjadi petunjuk bahwa saat ini ia telah berada di salah satu kamar di rumah sakit. Punggung tangan Olivia terulur, mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang terlelap dengan perlahan. Dante mengeliat sesaat karena sentuhannya, berharap supaya laki-laki itu terbangun namun malah membuat laki-laki itu semakin tenggelam ke alam mimpi. Olivia kembali memejamkan matanya. Sangat sulit melupakan kejadian mengerikan itu. Apalagi … astaga! Olivia ingat akan satu hal yang hampir saja ia lupakan. Bagaimana keadaan bayinya? “Hei!” Olivia menoleh saat tahu siapa yang tengah menyapanya. Bahkan dengan wajah bangun tidur pun Dante terlihat sangat menawan. Dante beranjak dari kursi yang ia duduki lalu beralih ke bibir
“Pak Dante, kita harus segera menolong Ibu Via sebelum terlambat.” Dante mengeraskan rahangnya ketika mendengar Olivia juga disekap oleh orang yang sama. Orang yang sama juga pernah meneror mereka beberapa hari yang lalu dengan bangkai tikus. Sejenak Dante terdiam. Teror bangkai tikus itu adalah peringatan yang diperuntukkan untuk kedua keponakannya. Betapa bodohnya Dante tidak bisa membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. “Sekarang katakan padaku, Sumi. Gimana keadaan Via di sana?” Mendadak Sumi menangis karena teringat apa yang telah Olivia lakukan untuknya supaya bisa kabur. “Mereka menjambak rambut Ibu Via, Pak. Bahkan terkadang mereka juga menamparnya.” Darah Dante langsung mendidih mendengarnya. Olivianya disiksa. Dan itu sudah cukup Dante jadikan alasan untuk segera menghabisi komplotan itu dengan tangannya sendiri. “Apalagi yang kamu tahu, Sumi? Apalagi yang telah mereka lakukan pada Via? Ceritakan tanpa ada yang terlewat.
Percikan air membangunkan Olivia dari pingsannya. Olivia menyipitkan mata karena silaunya lampu yang menerangi ruangan yang terbilang asing untuknya itu. Rasa sesak mulai dirasakan Olivia akibat debu dan minimnya sirkulasi udara. Olivia memeriksa sekeliling dengan matanya. Ia mencoba menerka serta mencari tahu di mana lokasinya saat ini. Nihil. Tidak ada informasi yang bisa Olivia dapatkan. Kalau begini caranya akan sulit bagi Olivia menyelinap dan meminta bantuan orang sekitar. Pintu besi yang sedari tadi tertutup terbuka lebar. Seringai menjijikkan milik laki-laki brengsek itu mendadak membuat Olivia ingin muntah dihadapannya. Yogan berjongkok, menarik dagu Olivia mendekat. Kemudian tanpa Olivia sadari Yogan sudah melumat bibir Olivia begitu rakus seolah bibir Olivia adalah oase di padang pasir. Olivia memberontak, tapi tangan yang beralih fungsi mencengkram tengkuk Olivia saat ini amat begitu kuat. Yogan menjelajah begitu dalam sehingga mengambil kesempatan Olivia untuk m
Tangan yang menggenggam tangan Olivia berkeringat ketika Dante menceritakan semuanya pada Lussi dan Reihan. Olivia tidak peduli aibnya terbongkar dihadapan kedua sahabatnya itu. Di dalam pikiran Olivia saat ini hanyalah keselamatan Devandro dan Deliandra semata. Kedua bocah gembul itu sama sekali tidak pantas menerima perlakuan karena ulahnya terdahulu. Lussi memutar posisi duduknya menghadap Olivia. Genangan airmata terlihat di sana. “Kenapa kamu nggak bilang, Via? Kenapa kamu bungkam padaku selama ini.” Olivia menepuk punggung tangan Lussi. “Sudah berlalu, Lu. Nggak perlu diungkit-ungkit lagi. Sekarang yang terpenting anak-anakmu. Yogan sudah mengenali Si Kembar dua kali.” “Kalau gitu untuk sementara Si Kembar nggak usah ke sekolah dulu.” Reihan mengambil alih topik obrolan. “Aku pikir itu adalah solusi paling aman.” “Nggak, Rei. Kalau Si Kembar nggak ke sekolah seperti biasanya, maka Mama Elok akan curiga. Mama sudah tua dan aku nggak mau k
Terjadi. Ancaman Yogan pada Olivia benar-benar terjadi. Sebuah paket diperuntukkan untuk Olivia datang bertubi-tubi. Lima paket yang sama di lima hari yang berbeda datang untuknya. Dengan gemetaran Olivia menerima paket dari seorang tangan kurir suruhan Yogan. Anehnya lagi Olivia tidak pernah merasa pernah memberikan alamat tinggalnya pada laki-laki gila itu. Dan hari ini adalah puncak dari kiriman paket yang tidak pernah Olivia buka sama sekali. Kali ini sebuah nomor tidak dikenal mengirim Olivia sebuah pesan singkat dan memintanya untuk melihat isi dari kotak yang dikemas rapi itu. Olivia menjerit lalu terduduk lemas di lantai ketika membuka isi kotak yang ternyata adalah dua ekor bangkai tikus. Sejenak Olivia teringat akan sesuatu. Mungkinkah tikus ini melambangkan Si Kembar? Batin Olivia. Olivia memberingsut menjauh. Olivia ketakutan ditengah sepinya rumah. Hingga tiba-tiba saja Dante muncul dari pintu depan dan tampak kaget dengan apa yang ditem
Wajah Olivia yang memucat jelas mengundang segudang pertanyaan untuk Lussi. Tidak ada yang bisa Olivia katakan untuk mengungkapkan perasaannya sekarang. Olivia cuma ingin tiba di rumah secepatnya dan bertemu Dante. “Via, kamu nggak apa-apa?” Lussi tiba-tiba bertanya. Sayangnya niat Olivia untuk menjawab benar-benar sirna. Olivia tidak ingin membuka mulutnya sampai tiba di rumah. “Via, please bilang sama aku. Aku bisa dimarahi Dante kalau memulangkanmu dalam keadaan seperti ini.” Kembali Olivia tidak menggubris. Tatapannya menerawang jauh tak terselami. Olivia sejenak larut kembali dalam lamunan tidak menyenangkan. Olivia masih tidak bisa melupakan wajah dan senyum seringai milik Yogan. Tidak ada yang berubah, hanya guratan luka di pipinya saja yang berbeda. Ah … masa bodoh! Bukan itu yang Olivia risaukan. Olivia takut kehadiran Yogan malah justru akan mengusik kebahagiaannya atau bahkan menghancurkannya lagi. Mobil Olivia masuk ke pekarangan rumah. De