Seperti biasa jika di rumahnya di Manhattan, bukan suara alarm lagi yang membangunkan Juna, melainkan suara kicauan segerombolan burung gereja yang bertengger di pagar balkon jendela kamarnya. Letak tempat tidur yang berdekatan dengan jendela membuat suara kicauan itu terdengar jelas di telinganya, bahkan tetap terdengar walaupun ia menutup telinganya dengan bantal. Dengan malas Juna membuka mata, melirik ke arah jam digital di atas nakas. Pukul enam lewat empat puluh satu menit, tiga puluh menit terlewat sejak matahari terbit. Sejenak Juna mengerjap, tangannya terangkat menutup mulut yang menguap, lantas menyingkirkan selimut, dan bangun. Jangan sampai Mommy yang membangunkannya lagi. Ia tak ingin mendengar ocehannya pagi ini, cukup pagi kemarin saja. Juna hanya mencuci muka dan menggosok gigi, tak ingin mandi di pagi yang tidak terlalu dingin ini. Ia akan melakukannya jika ingin beraktivitas nanti, pada pukul delapan atau sembilan nanti. Bukan aktivitas yang berat karena ia hanya
Angin sore ini berembus sedikit lebih kencang. Sepertinya akan turun hujan, gumpalan awan berwarna abu-abu pekat berkumpul di bagian tengah langit. Gorden tipis yang biasanya menutupi pintu menuju balkon, bergerak-gerak tertiup angin. Tak berapa lama, gerimis mulai turun teratur. Suhu udara mulai terasa semakin dingin karena angin masih bertiup kencang. Namun, tiga orang wanita itu masih tak beranjak dari duduknya. mereka masih betah duduk di satu sofa panjang yang sama. Lagipula, balkon kamar Diva sangat luas seperti teras rumah, mereka tidak akan kebasahan walaupun hujan lebat sekalipun. Nora dan Echa datang terlambat. Mereka berdua yang mengendarai mobil Echa, terjebak macet gara-gara insiden kecelakaan kecil. Sebuah mobil menabrak pembatas jalan, pengemudinya tengah mabuk karena mengonsumsi obat terlarang. Dari mana mereka tahu? Tentu saja dari kondisi korban yang tampak loyo. Meskipun tidak terlalu dekat, dan tempat kejadian sudah dikerumuni beberapa pengendara yang lewat, tet
"Mungkin Juna mau ngasih lo waktu buat sendiri, Va. Positive thingking aja, ya, Bestie." Nora memeluk Diva beberapa detik. "Lo tau, 'kan, berapa jam perbedaan waktu kita sama Manhattan. Lebih sebelas jam!" serunya heboh. "Kali aja Juna lagi nyari waktu yang tepat buat ngubungin lo."Diva mengangguk, tak berniat untuk membantah. Dia mencoba untuk berpikiran positif seperti yang diminta Nora. Namun, tetap saja hatinya membantah sebagian perkataan sahabatnya itu. Seharusnya Juna tidak meninggalkannya sendirian, seharusnya Juna berada sisinya sekarang, bukan meninggalkannya dalam jarak puluhan ribu kilometer. Juna bahkan tidak menghubunginya, benar-benar meninggalkannya sendirian. Dua bulir bening jatuh tanpa sadar. Diva terlambat mengusapnya, kedua sahabatnya sudah melihatnya sebelum dia melakukan itu. Nora langsung memeluknya, sementara Echa mengusap air matanya mendahuluinya, kemudian ikut memeluknya. Diva tak lagi dapat bertahan, air mata yang sudah sejak dua hari yang lalu memaksa
Menunggu adalah hal yang paling membosankan bagi siapa saja. Entah kenapa, setiap kita menunggu sesuatu rasanya waktu akan berjalan sangat lambat. Itulah yang dirasakan Juna saat ini. Jarum jam seolah membeku sehingga sampai sekarang makan siang mereka belum juga selesai. Beberapa kali ia melirik jam tangan di pergelangan kirinya. Ia melepaskan jaket dan menggantungnya di kursi yang kosong di sebelah kirinya, hanya tersisa kemeja lengan pendek yang menutupi kaus berwarna hitam yang dikenakannya. Juna mengerang dalam hati. Ini sudah kali ketiga ia mencurigai lihat ke arah jam tangannya, tapi tetap saja menunjukkan pukul yang sama. Waktu seolah tak bergerak, atau ini hanya perasaannya saja karena sudah tak sabar ingin mengetahui topik apa yang akan dibicarakan ayahnya. Ia berharap Daddy berubah pikiran untuk menghancurkan Ronny Wijaya. Ia tidak tega melihat keluarga wanita yang dicintainya terpuruk. Yang paling buruk, Diva akan meninggalkannya. Hei, tidak ada seorang pun yang mau bersa
"Orang kayak Ronny Wijaya itu sekali dikasih hati malah minta jantung."Juna menggeleng. "Biarin Juna nyari tau dulu alasan Om Ronny kenapa ngelakuin ini. Daddy, 'kan, selalu bersikap profesional. Lalu, kenapa sekarang jadi nyampurin masalah pribadi sama kerjaan?" Senyum miring tercetak di bibir pria berusia lebih dari setengah abad itu. Ia dihakimi oleh putranya sendiri, diingatkan tentang keprofesionalannya dalam segala hal. Ia yang tak pernah mencampuradukkan semuanya, sekarang seolah menghubungkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Namun, bukan seperti itu. Semua tidak seperti yang terlihat. Ia tidak akan melakukannya jika Ronny Wijaya tidak melakukannya lebih dulu. Ia mau bekerjasama dengan Wijaya Grup waktu itu karena merasa kasihan dengan pria itu yang baru saja kehilangan putri satu-satunya untuk selamanya. Sebagai seorang pria yang putranya memiliki hubungan dekat dengan almarhumah, ia merasa bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi pada keluarganya. Namun, sepertinya
Bisa lebih kuat dari sekarang. Juna tersenyum kecut mengingat kata-kata ayahnya tadi siang. Jadi, Daddy berpikir seperti itu tentangnya, ia seorang yang lemah dan selalu bisa dimanfaatkan orang lain. Mungkin benar, mungkin Om Ronny hanya memanfaatkannya untuk kemajuan perusahaannya. Namun, bukankah perusahaannya juga mendapatkan keuntungan dengan kerjasama mereka itu? Lalu, apakah itu masih bisa disebut dimanfaatkan? Entahlah, ia tak ingin memikirkan hal yang menurutnya tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan pribadinya. Dua hal itu tidak boleh disatukan. Ia harus profesional. Dari apa yang dikatakan ayahnya tadi siang dapat disimpulkan jika Tuan Besar masih tidak menerima kembali hubungannya dengan Diva. Bolehkah ia berpikir jika ayahnya sedikit kekanakkan? Baiklah, mungkin apa yang dilakukan Daddy benar, tetapi juga salah. Daddy yang tidak terima dengan sikap keluarga Wijaya karena mereka yang menyembunyikan keberadaan Diva kemudian memutuskan hubungan kerjasama perusahaan me
Tak ada semangat lagi ketika bangun pagi seperti yang dirasakannya dulu. Masih tidak ada kabar dari Juna membuat semuanya terasa hambar. Diva masih betah memejamkan mata meskipun kantuk sudah hilang darinya sejak beberapa menit yang lalu. Dia tak ingin membuka mata, setidaknya untuk beberapa saat. Suara denting dari ponselnya membuat Diva mengubah posisi tidurannya. Tubuhnya yang tadi miring ke samping kiri, sekarang telentang. Dengan sangat malas dia membuka mata, melirik nakas dengan ekor matanya. Tampak cahaya sedikit lebih terang berpendar dari sana, dia yakin itu adalah cahaya yang berasal dari ponselnya yang menyala. Suasana kamar tidurnya masih temaram. Pagi ini ibu kota tengah diselimuti mendung. Kumpulan awan abu-abu tebal menutupi sinar matahari sehingga tak sampai ke bumi, membuat kamarnya masih sedikit gelap. Cahaya sekecil apa pun pasti akan tertangkap indra penglihatan. Diva mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih ponselnya yang cahaya sudah padam. Sepertinya hanya b
New York di penghujung musim semi, suhu udara semakin terasa hangat. Di jalan-jalan, tak lagi di dapati orang-orang mengenakan baju tebal, meskipun tidak mengenakan pakaian kekurangan bahan dan terbuka. Banyak keluarga yang sudah merencanakan akan pergi berlibur ke mana selama musim panas nanti. Beberapa pelajar sibuk mencari pekerjaan untuk menghabiskan libur musim panas mereka. Juna masih ingat hal itu. Ia yang sejak kecil selalu bersekolah di sekolah internasional yang menggunakan sistem empat musim, selalu menghabiskan liburannya di sini bersama Omi dan Opi. Ia juga akan melamar pekerjaan untuk mengisi kekosongan waktu. Bukan pekerjaan yang berat, hanya bekerja paruh waktu di toko kelontong atau restoran cepat saji. Ia menghabiskan waktunya untuk bekerja selama hampir dua bulan. Di akhir musim panas kedua orang tuanya akan datang dan membawanya pergi berlibur ke mana saja yang ia inginkan. Biasanya ia akan memilih pantai sebagai destinasi liburan mereka, dan kedua orang tuanya a
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop