Bisa lebih kuat dari sekarang. Juna tersenyum kecut mengingat kata-kata ayahnya tadi siang. Jadi, Daddy berpikir seperti itu tentangnya, ia seorang yang lemah dan selalu bisa dimanfaatkan orang lain. Mungkin benar, mungkin Om Ronny hanya memanfaatkannya untuk kemajuan perusahaannya. Namun, bukankah perusahaannya juga mendapatkan keuntungan dengan kerjasama mereka itu? Lalu, apakah itu masih bisa disebut dimanfaatkan? Entahlah, ia tak ingin memikirkan hal yang menurutnya tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan pribadinya. Dua hal itu tidak boleh disatukan. Ia harus profesional. Dari apa yang dikatakan ayahnya tadi siang dapat disimpulkan jika Tuan Besar masih tidak menerima kembali hubungannya dengan Diva. Bolehkah ia berpikir jika ayahnya sedikit kekanakkan? Baiklah, mungkin apa yang dilakukan Daddy benar, tetapi juga salah. Daddy yang tidak terima dengan sikap keluarga Wijaya karena mereka yang menyembunyikan keberadaan Diva kemudian memutuskan hubungan kerjasama perusahaan me
Tak ada semangat lagi ketika bangun pagi seperti yang dirasakannya dulu. Masih tidak ada kabar dari Juna membuat semuanya terasa hambar. Diva masih betah memejamkan mata meskipun kantuk sudah hilang darinya sejak beberapa menit yang lalu. Dia tak ingin membuka mata, setidaknya untuk beberapa saat. Suara denting dari ponselnya membuat Diva mengubah posisi tidurannya. Tubuhnya yang tadi miring ke samping kiri, sekarang telentang. Dengan sangat malas dia membuka mata, melirik nakas dengan ekor matanya. Tampak cahaya sedikit lebih terang berpendar dari sana, dia yakin itu adalah cahaya yang berasal dari ponselnya yang menyala. Suasana kamar tidurnya masih temaram. Pagi ini ibu kota tengah diselimuti mendung. Kumpulan awan abu-abu tebal menutupi sinar matahari sehingga tak sampai ke bumi, membuat kamarnya masih sedikit gelap. Cahaya sekecil apa pun pasti akan tertangkap indra penglihatan. Diva mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih ponselnya yang cahaya sudah padam. Sepertinya hanya b
New York di penghujung musim semi, suhu udara semakin terasa hangat. Di jalan-jalan, tak lagi di dapati orang-orang mengenakan baju tebal, meskipun tidak mengenakan pakaian kekurangan bahan dan terbuka. Banyak keluarga yang sudah merencanakan akan pergi berlibur ke mana selama musim panas nanti. Beberapa pelajar sibuk mencari pekerjaan untuk menghabiskan libur musim panas mereka. Juna masih ingat hal itu. Ia yang sejak kecil selalu bersekolah di sekolah internasional yang menggunakan sistem empat musim, selalu menghabiskan liburannya di sini bersama Omi dan Opi. Ia juga akan melamar pekerjaan untuk mengisi kekosongan waktu. Bukan pekerjaan yang berat, hanya bekerja paruh waktu di toko kelontong atau restoran cepat saji. Ia menghabiskan waktunya untuk bekerja selama hampir dua bulan. Di akhir musim panas kedua orang tuanya akan datang dan membawanya pergi berlibur ke mana saja yang ia inginkan. Biasanya ia akan memilih pantai sebagai destinasi liburan mereka, dan kedua orang tuanya a
Suara dering telepon terdengar sayup-sayup di telinga Diva. Dia sedang berada di kamar mandi untuk membersihkan diri. Sudah dua hari mulutnya tidak bersentuhan dengan air. Dia ke kamar mandi hanya untuk mencuci muka dan menggosok gigi, tanpa mandi. Beruntung acara mandinya sudah selesai, dia hanya perlu mengenakan jubah mandi dan membungkus kepalanya dengan handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Nama penelepon yang tertera di layar ponsel membuat napas Diva seakan berhenti. Udara di sekitarnya seolah menipis, dadanya terasa sesak. Akhirnya, setelah lebih dari satu minggu, Juna menghubunginya juga. "Kamu di mana, Be? Aku nggak ganggu kamu, 'kan?" Astaga! Pertanyaan apa itu? Bukankah seharusnya Juna menanyakan bagaimana kabarnya dulu, atau meminta maaf padanya? Bukan bertanya yang seperti itu. "Be, kamu baik-baik aja, 'kan? Aku kangen banget sama kamu."Suara Juna tercekat. Apakah Juna menangis sama seperti dirinya sekarang? Iya, bulir-bulir air matanya tumpah tanpa disadar
Seandainya saja waktu dapat dihentikan, Diva pasti akan melakukannya. Dia ingin terus saja malam dan terus tidur. Meskipun berada di atas tempat tidur bisa kapan saja dan tidak dapat membuat semua masalahnya hilang, tetapi jika malam hari rasanya semua masalahnya terangkat. Tidurnya memang tidak nyenyak beberapa hari belakangan ini, tepatnya sejak masalah mulai menghampiri perusahaan Papa. Dia selalu tidur tengah malam, dan bangun pagi-pagi sekali. Padahal matanya masih mengantuk, hanya saja saat dipejamkan dia tak bisa kembali terlelap. Berbeda dengan yang dirasakannya pagi ini. Pukul enam pagi, biasanya dia sudah bangun satu jam lebih, dan sudah tak lagi berada di atas tempat tidur. Bangun tidur, dia akan langsung ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Turun ke bawah –ke dapur– untuk mengambil dua kotak susu berukuran setengah liter dan beberapa camilan atau kue. Beberapa hari terakhir dia tidak berminat makan nasi, selera makannya menguap setiap kali melihatnya. H
Pukul sepuluh pagi bukanlah waktunya sarapan lagi, tetapi Juna dan Diva mengisi perut mereka di jam itu. Setelah berolahraga pagi yang panas dan menguras tenaga, dilanjutkan dengan mandi sambil melanjutkan berolahraga dengan sedikit pemanasan, mereka memutuskan untuk sarapan sepiring nasi goreng buatan Bik Sumi. Nasi goreng yang kembali hangat setelah dihangatkan kembali oleh asisten rumah tangga kesayangan keluarga Wijaya. Diva makan dengan lahap karena Juna yang menyuapinya. Juna diberi tahu Bik Sumi jika Diva tidak makan nasi beberapa hari ini, oleh karena itu ia berinisiatif untuk menyuapinya. Suara gaduh yang berasal dari depan rumah tidak membuat acara sarapan mereka yang sudah terlambat menjadi terganggu. Mereka meneruskan sarapan sampai sebuah seruan tertahan mengagetkan mereka. Diva menghentikan gerakannya mengunyah nasi goreng di dalam mulutnya. Hanya Juna saja yang tampak tenang menyeruput susu kotaknya melalui sedotan. "Juna!" "Pagi, Om! Pagi, Tante!" sapa Juna tenang.
Mereka tidak membawa Diva ke rumah sakit, dia menolaknya. Diva bersikeras dia baik-baik saja, hanya perlu beristirahat. Oleh sebab itu, dia meminta Juna untuk membawanya ke kamarnya. Meskipun sangat khawatir, tetapi Juna terpaksa harus menurutinya. Apalagi Diva mengancam akan meninggalkannya jika ia tidak menuruti. Benar-benar kalimat yang sangat ampuh, sejak dulu. Iya, sejak dulu. Sejak Juna mengakui dan menyatakan perasaan padanya sebelas tahun yang lalu. Diva sudah mendapatkan kembali ingatannya. Itulah kenapa dia menolak Juna membawanya ke rumah sakit karena dia benar-benar tidak apa-apa. Juna membaringkan tubuh mungil Diva ke atas tempat tidur dengan hati-hati, tak ingin membuat wanitanya semakin merasa tak nyaman apalagi merasa sakit. Tubuh Diva dingin, Juna menyelimutinya sampai sebatas dada, kemudian duduk di sisi kosong tempat tidurnya. Sementara itu, kedua orang Diva berdiri di belakangnya. Papa Diva melarang istrinya mendekat karena merasa putri mereka lebih membutuhkan
Satu erangan lolos dari mulut Diva. Dia terpaksa membukanya karena Juna terus menggigiti bibirnya, bergantian atas dan bawah. Memang tidak sakit, tetapi seluruh tubuhnya memanas bagai dialiri listrik ribuan volt. Dengan terpaksa Diva membuka mulutnya, membiarkan Juna mengobrak-abriknya. Dia hanya bisa pasrah tanpa melawan, dan mendorong bahunya saat merasakan pasokan udara di paru-parunya semakin menipis. Dadanya panas, rasanya seperti terbakar. Diva memukul kuat lengan Juna yang masih menahan tengkuknya. "Kamu beneran mau bunuh aku? Beneran mau aku mati, gitu?" belalak Diva sengit setelah Juna melepaskan bibirnya. "Biar apa? Biar kamu bisa sama Tasya?" Bukannya takut apalagi marah, Juna justru tertawa melihatnya. Wanitanya yang bar-bar sudah kembali. "Apaan ketawa-ketawa nggak jelas gitu?" Diva semakin sewot. Tangannya dengan kasar menepis tangan Juna yang masih mengusap pipinya. "Jangan pegang-pegang kalo kamu udah pernah megang cewek lain.""Astaga, Be!" Juna makin tertawa. Taw
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop