Sedetik pertanyaan balasan dari Juna mengubah raut wajah Barbara, di detik berikutnya dia sudah kembali seperti biasa. Tarikan napas panjang dilakukannya, kemudian mengembuskannya dengan pelan melewati rongga hidung. Putra kecilnya sudah mulai berani memberontak, putra Arsen sekali. Senyum tipis terbit di bibirnya yang dipoles dengan lipstik berwarna peach. Ada terselip rasa bangga, di samping kesal yang mendominasi. Namun, dia tak menunjukkannya di depan dua orang pria yang disayanginya. Dia tak ingin memancing keributan di antara mereka. Dia akan mengajak Juna berlibur berdua setelah pertemuan ini berakhir, dan berbicara pribadi dengannya. Dia berharap putranya tak memiliki sedikit kelembutan dari mendiang Maharani Dirgantara di dalam dirinya."I think, everything is under control. I wash right, am I?" Barbara menatap putra semata wayangnya dengan tatapan penuh makna. Dia yakin, Juna pasti mengerti arti tatapannya. Juna mengembuskan napas panjang melalui mulut. "Thank you, Mom." H
Unit apartemen Nora berada di lantai sepuluh, memerlukan waktu beberapa menit dari tempat parkir untuk menuju ke sana. Apalagi berjalan dengan gerakan lambat seperti yang dilakukan Echa, dua kali lipat waktu yang diperlukan untuk tiba. Namun, semuanya terbayar dengan rasa sejuk ruangan dengan penyejuk udara dan pemandangan yang indah yang dapat dilihat dari balkon. Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu beberapa menit meladeni wanita centil dengan dandanan menornya, dan juga Echa. Sepanjang jalan menuju unit Nora, Echa terus saja berbicara. Seandainya saja indra pendengarannya memiliki mulut untuk berteriak, pasti ia akan melakukannya karena terlalu bosan mendengar celotehan Echa. "Padahal tadi gue mau ke rumah lo, lho, Va," kata Nora sambil meletakkan sebotol besar minuman dingin bersoda, dan dua kotak pizza pesanan Echa. Sahabatnya yang satu itu selalu ingat makanan favorit mereka jika berkumpul. "Nggak taunya lo udah ke sini duluan." Tawa kecil mengalun dari mulutnya. Diva yang s
Diva berusaha menggali ingatannya yang terkubur, dia menekan-nekan kepalanya dengan kedua tangan berharap mengingat semua yang dikatakan Nora. Namun, tak satu pun ada yang diingatnya. Justru bayangan wajah Arsyi dan kedua sahabatnya yang kembali muncul. Bayangan saat mereka berada di ketinggian, tempat yang diyakininya sebagai atap gedung sekolah. Bayangan itu seperti yang dilihatnya saat berada di rumah Arsyi beberapa hari yang lalu, dan membuatnya semakin yakin jika.ada sesuatu antara dirinya, kedua orang sahabatnya, dan pria itu. Sesuatu yang sepertinya yang mereka sembunyikan dari Juna karena dalam dua kali penampakan dia tidak melihat bayangan pria itu. Diva mengembuskan napas panjang sebelum membuka matanya. Dia sangat ingin tahu apa yang terjadi kala itu, tapi bila dia bertanya tak ada satu pun dari mereka yang menjawabnya. Sangat sangat menyebalkan. Sepertinya tak hanya dirinya yang menyimpan rahasia dari Juna, tapi juga pria iitu. Dia yakin teman-temannya tak memberi tahu k
Sejuknya suasana pegunungan Uitliberg tidak membuat Juna betah. Ia justru ingin cepat-cepat kembali ke hotel dan melanjutkan tidurnya yang terasa sangat kurang. Tadi malam tidurnya tak nyenyak, ia kurang berisitirahat. Seandainya saja bukan Mommy yang mengajaknya makan siang berdua di salah satu restoran yang berada di kaki gunung ini, tak mungkin ia sekarang berada di sini. Ibunya terlalu tahu kelemahannya sehingga membuatnya tak dapat menolak ajakannya, meski mereka sedang tak akur sekalipun. Seharusnya sekarang ia sudah berada di atas tempat tidurnya yang empuk dan hangat, kemudian menghubungi Diva sebelum kembali meneruskan tidurnya. Bukannya menemani Sang Ibu makan siang di restoran ini. Pertemuan dengan para pebisnis penting dunia sudah selesai beberapa menit sebelum jam makan siang. Mommy yang juga menghadiri pertemuan sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai pendamping Daddy, langsung berdiri dan menghampirinya. Dengan alasan ingin membicarakan hal yang penting, ibunya tercin
Juna tahu, apa yang dilakukan ibunya semata-mata untuknya. Namun, tak seharusnya Mommy menyalahkan Diva. Wanitanya juga sama menderita sepertinya. Jika tidur selama satu tahun kemudian bangun dengan ingatan yang sama sekali kosong adalah hal yang baik, mungkin Diva tidak akan tersiksa. Mereka berdua sama menderita, sama-sama sakit. Jika Mommy menyalahkan Diva, itu sangat tidak adil bagi wanitanya. "Mom, it's not her fault." Juna menggelengkan kepala beberapa kali. "We were both hurt me and her. She was in the same pain as me. Please understand me, I love her more than my own life. She's the only one woman who can make me happy."Barbara mendengkus kasar, tetapi di dalam hati membenarkan perkataan putranya. Semua memang bukan salah perempuan itu, dan dia tidak menyalahkannya. Dia menyalahkan keluarganya yang tidak memberi tahu mereka, malah menyembunyikan kebenaran. Apa maksud mereka? Sepertinya dia perlu berbicara dengan Ronny Wijaya mengenai masalah ini. Tidak perlu Arsen turun ta
Di mana pun berada, kamar tidur selalu menjadi tempat terbaik dan terfavorit seseorang. Begitu juga dengan Juna, rasanya sangat melegakan saat kembali ke kamar tidurnya. Semua beban hidup terasa lenyap kala punggungnya menyentuh enpuknya kasar. Mata karamel itu terpejam sejenak, tangannya meraba saku dalam jasnya, meraih ponsel yang tersimpan di sana. Seharian ini ia tidak menyentuh alat komunikasinya, juga tidak mengaktifkan suara, ia biarkan ponselnya dalam keadaan mode diam dan tanpa getar. Ia tahu Diva pasti menghubunginya, meskipun sangat merindukannya, tetapi ia masih belum siap untuk berbicara dengannya. Apalagi tadi malam sampai seharian ini kondisi emosinya masih belum stabil, ia tak ingin tiba-tiba marah dan membentak wanitanya. Sore ini ia sudah merasa lebih baik, dan akan berkomunikasi tanpa tekanan emosi. Ada banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari wanitanya. Juna meringis, rasa bersalah makin menjadi saat mendengar suara Diva melalui pesan yang dikirimnya.
Diva kembali terlihat mengangguk dengan cepat. Dia mengusap air matanya menggunakan ujung jari-jarinya tangan kirinya, tangan kanannya masih memegangi ponsel. Dari gerakan tubuhnya dan latar belakang yang terlihat Juna tahu jika Diva sedang tengkurap di atas tempat tidurnya. "I'm sorry, too, Juna. Aku ngerti, kok, kalo kamu sibuk, tapi harus tetap kasih aku kabar, ya? Jangan kayak tadi siang."Juna juga menganggukkan kepala, senyum manis menghiasi bibir sexy-nya. "Kan, aku udah bilang kalo hari ini sibuk. Aku juga nggak bisa janji buat kasih kabar terus." Juna menggaruk ujung hidungnya meski tidak gatal, ia hanya tengah berpikir. "Gini aja, kamu hubungin Kevin aja kalo nggak bisa hubungin aku. Mau nggak?" tanyanya beberapa detik kemudian. Bila Diva setuju untuk menghubungi Kevin, ia akan memberikan nomor kontak ponsel sahabatnya itu agar Diva tidak repot memintanya dari sahabatnya yang menyebalkan. Baik Nora maupun Echa sama saja berisiknya bagi Juna. Kedua wanita itu selalu heboh s
Sudah lewat tengah malam baru Diva dapat memejamkan mata. Bukan karena Juna yang terus saja meneleponnya atau tidak memutuskan sambungan video call mereka, melainkan karena dia yang masih belum mengantuk. Kantuknya lenyap setelah Juna menghubunginya, berganti dengan rasa lega dan berbunga-bunga. Dadanya menghangat, tubuhnya bergetar, getaran yang indah setiap kali berada di dekat pria yang dicintainya itu. Jantungnya terus berdebar, debaran manis yang disukainya, dan membuat matanya tidak bisa terpejam. Seandainya saja Juna ada di sini, mungkin dia akan menyusul pria itu ke apartemennya dan menginap di sana. Ide yang gila, tetapi selalu membuatnya penasaran. Mungkin suatu hari dia akan melakukannya, menginap di apartemen seorang pria yang sepertinya bukan pertama kali dilakukannya. Makam kecil di sebelah makam palsunya yang dikatakan Juna sebagai makam calon bayi mereka selalu membuatnya memikirkan apa yang mereka lakukan. Jika dia memang keguguran seperti yang diceritakan Juna dan
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop