Pagi ini Dewi terbangun dengan kondisi kesehatan yang jauh membaik. Rasa sakit yang kemarin membabi buta menyerang di bagian kepalanya, kini hilang entah kemana.Dia berjalan menghampiri jendela kamar kos yang berbalut cat warna putih tulang, dan membukanya secara perlahan. Udara pagi ini sangat sejuk, tampak dari kejauhan pemandangan yang memanjakan netra, sebuah taman yang letaknya bersebelahan langsung dengan danau, dengan bangku besi yang di balut cat berwarna putih. Dia ingat betul, itu bangku yang kemarin dia duduki bersama Dimas. "Selama disini, aku belum pernah bertemu dengan penghuni kos lain, nggak ada salahnya kan aku jalan-jalan keluar? Siapa tau aku menemukan teman baru di sini," ujarnya pada diri sendiri. Dewi bergegas memakai sandal selop berwarna pink kesayanganya. Dengan hati riang dia memberanikan diri keluar dari tempat kediamanya yang mulai dia tempati 3 hari yang lalu."Hidup baru, aku datang!" ucapnya riang sembari bergegas keluar.Saat ini kondisi hatinya cuk
"Permisi, Kak, bisakah saya mendaftar kerja disini?" Gadis yang semula mengelap meja seketika terbahak dan mendekati Dewi. "Kayanya nggak bisa, melihat pakaian yang kau pakai saja, harusnya kamu ngerti, dong! Di sana tertulis, 'Berpakaian sopan dan rapi'," gadis itu menunjuk papan lowongan kerja yang tertera di teras cafe.Memang benar, Dewi datang menggunakan atasan kaos dan celana kolor pendek tradisional. Sangat jauh dari penampilan orang yang hendak melamar kerja. Namun mau bagaimana lagi? Hanya pakaian rumahan yang Dimas bawakan. 1 setel baju bagus dan celana jeans yang Dimas berikan ada di keranjang pakaian kotor, belum sempat dicuci."Bisakah saya menemui pemilik cafe ini, Kak?" pinta Dewi membuat karyawati itu makin kesal.Nampaknya salah seorang karyawan lain mulai mendekat setelah mendengar percakapan dua orang gadis di pintu masuk cafe. Seorang karyawan laki-laki berwajah cuek dengan tinggi 170 cm. Saat itu belum ada satu pun pengunjung di cafe itu."Ada apa Rin? Dari tad
"Sus, saya mau keluar, kira-kira 2 jam. Tolong, kalau ada yang nyari saya, sampaikan untuk datang kembali nanti." Tutur Dimas kepada gadis muda yang selama setahun terahir ini menjadi sekretaris pribadinya. "Baik, Pak. Sebelumnya maaf, ini tadi Mbak Ramona nitip ini untuk diberikan kepada Bapak," gadis manis berkulit sawo matang itu menyerahkan sebuah kotak makan, yang dia sendiri tidak tau apa isinya."Apa ini?" Dimas membuka kotak makanan itu untuk memastikan apa isinya. Bakwan jagung manis, Ramona tau betul camilan kegemaran Dimas yang satu ini. Dan ketika mengingat itu pemberian dari Ramona, seketika minatnya terhadap camilan itu berkurang."Buat kamu aja, Sus. Saya memberikan ini bukan karena saya tidak suka, hanya saja saya sedang males sama yang ngasih,""Oh, gitu ya, Pak? Terima kasih, Pak," Susiana menerima kotak itu dengan senang hati. ***Dimas mengendarai mobilnya penuh semangat menuju kosan tempat Dewi tinggal. Senyum simpul terpatri di wajah laki-laki berwibawa itu,
"Assalamu'alaikum, Neng? Kenapa beberapa hari ini nggak menelepon, Ibu? Kamu baik-baik kan disana?""Wa'alaikumsalam, Bu, maaf, Dewi beberapa hari ini sibuk, sampai belum sempat hubungi keluarga, Dewi baik-baik kok disini, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Pagi-pagi udah hujan aja ini, Neng,""Ya sama, Bu, disini juga hujan lebat, padahal Dewi belum berangkat ke tempat kerja," Dewi menatap keluar jendela kamar. Hujan belum juga menunjukan tanda-tanda akan mereda."Lagi siap-siap mau berangkat kerja ya, Neng? Neng sudah sarapan?"Pertanyaan itu membuat Dewi teringat dengan rasa lapar yang berusaha dia abaikan. Tangan kirinya mengelus perut. Sama sekali tidak ada yang bisa dia makan pagi ini, hanya ada air minum. "Sudah kok, Bu," katanya kemudian. "Ya sudah, Neng. Hati-hati di jalan ya? Ibu berdo'a, semoga segala urusan kamu dimudahkan sama Tuhan.""Aamiin ... Dewi kerja dulu ya, Bu," Dewi menutup sambungan telepon.Percakapan singkat, namun cukup menghangatkan hati gadis itu. Terlebih pa
Waktu menunjukan pukul 11.30 WIB. Hujan yang semula mengguyur perlahan mulai mereda. Specta Cafe mulai dipadati pengunjung di jam istirahat kerja seperti hari-hari biasanya."Mau pesan apa, Tuan?" tanya Erin dengan sangat sopan dan hati-hati tehadap tamu pria berbadan kekar yang kini duduk di meja nomor 7. Wajahnya begitu sangar didukung dengan tatto yang memenuhi lengan tanganya. Pria itu mengisyaratkan dengan jari telunjuk ke arah gadis waiters bersurai hitam panjang berparas menawan yang tengah menyajikan pesanan pengunjung. Dia menginginkan Dewi yang melayani dirinya."Meja nomor 7 memintamu melayaninya," Erin berbisik saat melewati Dewi yang tengah sibuk dengan pekerjaanya."Siapa dia?" Dewi bertanya sembari melihat ke arah pria yang meminta dilayani olehnya. "Mana aku tahu." Erin menjawab ketus sembari berlalu. Mimik wajahnya tak bisa menutupi atas rasa ketidak sukaanya terhadap Dewi.Dewi berjalan mendekati pria itu dengan tatapan penuh selidik. "Maaf, Tuan, ada yang bisa say
"Gimana hari pertama kerjamu?" tanya gadis bertubuh jangkung yang kini duduk bersama Dewi di atas lantai beralaskan tikar."Ya begitulah, Va. Ada enaknya, ada engganya juga." jawab Dewi yang kemudian menyuapkan pisang goreng ke dalam mulutnya.Hanya ada pisang goreng kaki lima dan secangkir teh hangat yang menemani bincang malam kedua gadis itu. Dari tempat kerja, Dewi mendapat jatah makan sekali, itupun sengaja dia ambil setelah jam kerja usai. Agar tak merasakan lapar saat hendak tidur malam. Bukankah sulit untuk memejamkan mata dan tertidur ketika perut dalam keadaan lapar?"Nggak enaknya?" Eva memegang cangkir dan meniup teh yang masih sangat panas, lalu menyesapnya sedikit. "Ada yang ketus banget, Va. Padahal aku yakin, aku nggak berbuat salah sama dia." Dewi mendengus. "Wajar, Wi. Namanya juga orang hidup. Mau kita sebaik apapun, pasti tetep ada yang nggak suka." Eva menepuk bahu Dewi pelan, mengisyaratkan agar Dewi tegar menghadapi situasi yang dia alami.Terdengar suara henta
[Mon, kamu lagi dimana? Lagi sama pacarmu ngga?]Satu pesan masuk ke ponsel gadis berambut ikal mayang yang saat ini tengah mondar-mandir di depan ranjang tidurnya. Pikirannya kalut, hingga sampai saat ini tak satupun pria yang dicintainya mengirim pesan kepadanya, bahkan Dimas selalu menghindar setiap mereka berpapasan di kantor.[Engga, Sha. Aku dirumah. Btw, tumben kamu ngechat aku, ada perlu apa?]Shasa Kusuma, gadis berambut pirang yang mengintai aktifitas panas yang dilakukan oleh dua sejoli di kos malam ini adalah teman seangkatan Ramona sewaktu SMA. Keduanya saling akrab, bermula dari kebiasaan mereka mendatangi klub malam yang sama, Liquid Exchange. [Barusan aku lihat cowo mirip pacarmu, Mon, lagi kissing sama tetangga kosan. Kalo aku ngga salah ingat sih, bener pacarmu si Dimas itu,]Butuh untuk meyakinkan ucapanya sendiri, Sasha hanya bertemu Dimas sekali, itupun di acara reuni SMA dua tahun yang lalu saat Ramona mengajak pacarnya di acara tersebut.[Ada bukti?] Ramona memb
Ramona kembali ke rumah dengan wajah sendu yang tak dapat disembunyikan. Ketika membuka pintu, ia mendapati sang ayah masih tetap diposisi semula, tak menyadari kepulangan anak gadisnya yang pulang dengan air mata bercucuran. Hanya ketenangan yang dibutuhkan gadis itu untuk saat ini, dan juga sepasang telinga untuk sudi mendengarkan jeritan luka batinnya yang menganga. Mona hanya tinggal berdua dengan ayahnya untuk saat ini, sedangkan profesi ibunya sebagai pramugari menjadikan beliau jarang pulang ke rumah. Ingin rasa hati mengadu kepada ayahnya atas kesialan yang menimpa gadis itu malam ini, namun dia sadar, sang ayah bukanlah pendengar yang baik. Gadis itu membanting pintu kamar dan mengambil posisi meringkuk, memeluk lutut di atas lantai. Buliran bening di pelupuk mata tak kunjung berhenti meloloskan diri, yang sama sekali tidak ia sadari, beriringan dengan sumpah serapah seorang wanita yang merasa terhianati.Bayangan tentang Dimas dan gadis itu terus menghantui pikiranya. Hati
Dimas menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan gelisah. Denga langkah seribu pria itu berjalan ke ruangan bersalin. Satu per satu kamar dia periksa demi mendapati sang istri, nyaris putus asa karena Dewi tak juga ditemukan. Kini langkahnya tiba di ruangan paling ujung. Pria itu menekuk lutut dengan kedua mata terpejam. Jantungnya memompa darah begitu cepat, bayangan dari rasa bersalah telah membiarkan istrinya yang saat ini sedang membutuhkannya terus berkelibat di kepala. Dewi tidak memiliki keluarga lain selain Dimas di kota itu. Suara rintihan dari seorang perempuan yang sangat familiar masuk ke dalam telinganya. Seketika kedua mata pria itu terbuka lebar dan menegakkan badan. Bergegas Dimas membuka gorden yang berada di sebelah kiri tubuh. Dilihatnya seorang wanita yang tengah menangis sembari berpegangan pada lengan Rina, salah satu karyawati di perusahaan tempatnya bekerja."Sabar, Bu. Bu Dewi pasti kuat." wajah wanita itu terlihat panik. Dia belum memiliki pengalaman mela
Di ambang pintu berpegangan pada kusen dan satu tangan mengelus perut yang terasa berdesir karena janin di dalam perut melakukan sebuah pergerakan, Dewi menatap nanar pada Dimas yang pergi berlalu melewatinya tanpa sepatah kata. Perasaan nyeri menyerang ulu hati mendapati sang suami beraut dingin, tidak sehangat biasanya. Dewi tidak menyangka jika Dimas akan semarah itu. Biasanya pagi-pagi sekali pria itu sudah mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan, namun pagi ini terasa jauh berbeda dari biasanya. Hanya ada roti tawar dan selai kacang di balik tudung saji. Tidak ada lagi baki berisi beragam menu masakan seperti kemarin. Pria itu pergi ke tempat kerja tanpa berpamitan (walau di waktu lalu ucapan pamitnya kerap kali dibalas ketus, bahkan seolah terkesan Dewi abaikan), tetapi Dewi merasa lega. Keberadaannya masih berada dalam jangkauan perhatian pria itu. Tetapi itu kemarin, entitasnya saat ini seperti sebuah mahluk tak kasat mata. "Ini semua salahku. Seharusnya sejak awal aku m
Pagi itu Dewi bangun dan mendapati sarapan sudah tersedia di atas nakas di samping tempat tidur. Dimas menjadi suami siaga semenjak tahu istrinya hamil. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk memasak jika waktu subuh tiba, atau membeli masakan di warteg jika dia tak sempat. Hal itu dilakukan Dimas tanpa pamrih, meski hingga hamil memasukki trimester terakhir pun Dewi masih hemat bicara dengannya. Segala sikap dingin Dewi diakari oleh kesalah pahaman Dewi terhadap Dimas dan Anggita. Pria itu hampir putus asa. Berulang kali Dimas menjelaskan, jika antara dirinya dengan Anggita tak ada hubungan sepesial, namun hanya punggung sang istri yang dia dapat. Perlahan Dewi beringsut mendekati nakas tanpa ada keinginan untuk melepas pantat yang menempel pada benda yang ada di bawah tubuh. Perlahan dia mengambil baki makanan dengan sangat hati-hati, khawatir jika makanan di dalamnya tumpah. Namun alis tebalnya tiba-tiba bertaut, mendapati secarik kertas di sekatan baki logam.'Mas sudah siapka
Akhir-akhir ini Dewi merasa tidak enak badan. Tubuhnya mudah lelah, nafsu makan berkurang, mual disertai sakit kepala, bahkan tak jarang gadis itu muntah. Gejala-gejala tersebut selalu datang mengganggu harinya, dan semakin parah di waktu pagi.Sudah selama satu minggu Dewi tinggal di kosan Eva, Dewi enggan untuk kembali pulang. Rasa kecewanya terhadap Dimas yang membabi buta menjadikan dia lupa atas segala kebaikan sang suami."Wi, apa kau tidak ingin memeriksakan kondisimu ke dokter?" tanya Eva dengan raut wajah menunjukkan kekhawatiran. Gadis itu membaca gejala-gejala kesehatan yang Dewi alami akhir-akhir ini sebagai tanda kehamilan. Namun, melihat kondisi hati sahabatnya yang masih didera kecewa, Eva tidak ingin mengatakannya terlebih dahulu. Biarkan Dewi mengetahui sendiri."Tidak, Va, aku baik-baik saja." jawab Dewi yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah menumpahkan isi perutnya, bubur ayam yang menjadi sarapannya pagi ini.Jelas sekali gadis itu berbohong. Wajahnya yang
Dewi langsung memeluk Eva saat gadis itu muncul dari balik pintu. Membuat gadis itu terkesiap, dengan kehadiran Dewi yang tanpa aba-aba siang itu.Alis Eva bertaut, apa yang sudah membawa sahabatnya ini datang? Melihat gadis itu menangis terisak, Eva tahu betul, Dewi sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Kita bicarakan di dalam ya?" bujuk Eva kepada Dewi yang langsung berbalas anggukan. Eva kembali di hadapan Dewi dengan segelas air. Dengan bibir mengulas senyum, Eva menyerahkan gelas berisi air tersebut kepada Dewi. "Kamu minum ya?" kembali Eva membujuk Dewi saat menyerahkan segelas air putih kepada perempuan itu. Dewi mereguk air minum sekali tandas. Menangis sepanjang hari benar-benar membuat tenggorokannya kering. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Eva dengan hati-hati. Pembawaan gadis bertubuh jangkung tersebut terdengar sangat hangat, sehingga Dewi tanpa ragu menceritakan masalah yang dia alami kepada Eva. "Rumah tanggaku ... sedang tidak baik-baik saja saat ini." ucap D
Tiga hari berlalu setelah bertemu dengan Risman wajah Dewi berangsur-angsur membaik. Bekas lebam sudah semakin memudar, hanya perlu sedikit polesan make up untuk menutupinya. Dewi segera menyusul Dimas di ruang makan seusai ia memantas diri. Seperti yang Dimas katakan tempo hari, Dimas mengijinkan Dewi untuk ikut ke tempat kerja.Aroma wangi yang menguar membuat pria yang sibuk berkutat dengan alat makan mengangkat wajah. Pandangannya menatap wanita yang berjalan mendekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu terlihat bertambah cantik setiap harinya. Lama Dimas memperhatikan Dewi yang diam mematung setelah menyadari pandangan sang suami seolah melekat pada tubuhnya. “Ada yang aneh?” tanya Dewi sembari melempar tatapan ragu. Takut jika karyawan di kantor tempat Dimas bekerja menilai penampilannya norak.“Engga, Sayang. Buruan makan.” Jawab Dimas datar lalu kembali dengan sarapannya.Dewi mendengus pelan. Disaat seperti ini dia membutuhkan saran atau pujian dari Dimas. Tapi pr
“Aduh, Mas, pelan-pelan, sakit,” Dewi meringis kesakitan saat Dimas mengompres pipinya dengan handuk kecil yang sebelumnya dicelup dalam air dingin.Tamparan perih yang Risman daratkan pada wajah wanita itu menyisahkan lebam. Sudah bisa dipastikan tamparannya begitu keras.“Lagian. Kenapa sih, pake bersihin halaman segala. Kan kita bisa suruh orang buat bersihin.” Jawab Dimas sembari mengulangi kegiatan yang sama. Mengompres pipi yang sering dia ciumi. “Hih. Aku itu bosen, Mas, karena nggak ngapa-ngapain. Kamu sih, enak, kerja di kantor, ketemu teman-teman. Ada yang daiajak bercanda. Lah aku?” Dewi mengarahkan telunjuk pada wajahnya yang memperlihatkan ekspresi kesal.Dimas menggeleng pelan mendengar alasan istrinya. Setelah menikah, Dewi mulai agak cerewet, tidak semalu dulu. “Kan bisa cari hiburan, nonton video youtttup mungkin.”Dewi menghembuskan nafas pasrah. Setelah diingat, memang benar apa yang Dimas katakan. Dunia ini tidak bisa diarunginya dengan aman tanpa pria itu disisih
Dimas mengerjap beberapa kali saat netranya tidak menemukan raga sang istri disebelahnya. Sayup-sayup terdengar suara wajan dan serok beradu. Pria bertubuh tinggi itu berjalan ke arah sumber suara. Di dapatinya sang istri sedang memasak, masih menggunakan lingerie berwarna hitam yang dipakai semalam. Pria itu tersenyum melihat kelakuan istrinya. Aroma lezat masakan menguar di dapur minimalis bernuansa klasik tersebut. Dari belakang Dimas memeluk tubuh wanita tersebut. Membuatnya terperanjat, nyaris melempar alat masak yang saat ini ada dalam genggamannya. Untung Dewi cepat sadar. Seandainya reflek ia melempar alat masak tersebut, bisa=bisa wajah tampan suaminya ternoda dengan lepuhan minyak.“Kaget ya?” ucap Dimas sembari membelai leher jenjang istrinya dengan bibir dan hangat hembusan nafas.“Kagetlah, kamu tiba-tiba nongol begitu,” gerutu Dewi atas kemunculan Dimas yang datang tanpa terdengar suara derap kakinya. Dimas tersenyum sembari membelai gemas rambut istrinya yang diikat eko
Dimas menyusuri jalanan ramai dengan hati yang gelisah. Berulang kali ia mengusap kasar wajahnya. Baru saja pria itu menerima kabar kalau ibunya jatuh sakit. Perasaan bersalah kepada wanita yang telah melahirkannya pun muncul. Dimas memutuskan untuk keluar dari rumah sejak Mayang mengancam tidak akan lagi menganggapnya sebagai anak jika Dimas masih menjalin hubungan dengan gadis yang dianggapnya rendahan itu. Didalam ruangan yang didominasi warna putih seorang wanita tua yang amat ia kenali langsung menghadap kanan memunggunginya begitu Dimas menampakkan batang hidung. Dalam hati, Mayang merasa sangat senang dengan kedatangan Dimas. Mungkin putranya merasa menyesal dan bersedia meninggalkan gadis murahan itu saat mengetahui kondisi kesehatanya menurun.“Apa kata dokter, Pa?” tanya Dimas kepada ayahnya yang sedari awal menyambutnya dengan hangat.“Biasa, Dim. Darah tinggi Mama kamu kumat.” Jawaban Suhendar disambut dengan decahan oleh Mayang.Dimas menarik nafas dalam setelah mendengar