Home / Romansa / Rembulan Untuk Mantan Pramuria / 5. Bawa aku pergi dari sini!

Share

5. Bawa aku pergi dari sini!

Author: Yeny Yuliana
last update Last Updated: 2022-09-05 21:29:59

Sulutan rokok dari Mami Dori semalam menyisakan luka lepuhan yang cukup lebar di wajah Dewi. Jika sebelumnya dia hanya melihat penyiksaan yang dilakukan sang mucikari kepada teman-teman seperjuanganya, kali ini dia benar-benar mengalaminya. Dia sudah merasakan bagaimana kejamnya tangan keriput sang mucikari, yang tak segan menyiksa siapapun jika dirinya dibuat kecewa.

Gadis malang itu berbaring meratapi nasib pahit dirinya. Matanya terpejam, membayangkan bagaimana wajah-wajah setiap anggota keluarga yang jauh berada di kampung kelahiranya. Hanya bayang-bayang wajah keluarga yang sanggup membuatnya bertahan sejauh ini.

Menjadi perempuan penghibur bukanlah profesi impianya, itu dilakuakanya karena terpaksa. Terpaksa karena tak sampai hati membiarkan ibu yang melahirkanya harus berjuang sendirian menghidupi ayah dan adik-adiknya yang masih menginjak usia sekolah.

Layar smartphone yang tadinya hitam nampak menyala. Dengan malas Dewi meraih benda itu, sembari menguatkan hati jika yang diterimanya adalah kabar buruk tentang ayahnya yang kini tengah berjuang melawan sakit.

[Hari ini aku pulang lebih awal, aku boleh kan datang jemput kamu?] Tersenyum sembari menghela nafas panjang. Hatinya merasa lega, ternyata pesan yang masuk dari Dimas. Dengan sigap jemarinya membalas pesan itu.

[Iya, Dim, jemput aku begitu jam kerjamu usai.]

Hanya menerima pesan dari Dimas cukup membuat hati yang dipenuhi lara itu terhibur.

"Terimaksih, Tuhan! Sudah menghiburku melalui pesan dari Dimas!", gumamnya dalam hati sembari menyeka air mata yang tak disadari mengalir tanpa disadari.

...........

"Mam, Dewi pamit, udah dijemput", pamit Dewi sopan kepada sang mucikari. Matanya enggan menatap wajah itu, hatinya masih dipenuhi dengan rasa takut dan trauma dengan kejadian semalam.

"Iya. Kali ini jangan berbohong lagi, setor uang yang banyak untukku!", perintahnya sembari memainkan ponsel ditanganya, dia sama sekali tidak menoleh ke arah Dewi.

"Selama ini dia mengeksploitasi tubuhku, harusnya aku yang dapat bayaran penuh atas kerjaanku!" keluh Dewi dalam hati.

"Baik, Mam." jawab Dewi sembari berlalu.

Matanya berbinar begitu mendapati teman prianya membukakan pintu mobil dan mempersilahkan dirinya untuk masuk. "Tuhan, seperti ada harapan baru setiap kali aku bertemu pria ini!", Dewi tersenyum dengan perasaan haru menyelimuti hatinya.

Menutup pintu dan hendak memasang sabuk pengaman, tersenyum menatap gadis disebelahnya. Kedua mata Dimas membulat, menyadari adanya luka yang menodai wajah Dewi.

"Kenapa?", tanya Dimas sembari menunjuk luka diwajah Dewi.

"Ceritanya panjang, Dim. Bisakah kamu membawaku pergi dari sini?"

"Oh. Okay!"

Mobil yang mereka naiki berhenti di suatu tempat yang indah. Sebuah taman dengan pemandangan danau yang terletak disudut kota. Warna jingga mulai menghiasi langit yang membuatnya tampak menenangkan. Tempat yang sangat sesuai untuk memperbaiki kondisi hati gadis malang itu.

Dimas berjalan menuntun tangan Dewi untuk duduk di sebuah kursi besi yang dibalut dengan cat warna putih. Dari luka diwajah itu, Dimas tahu kalau suatu hal buruk telah menimpa teman perempuanya. Suasana hening untuk sejenak, hingga pertanyaan yang dilontarkan Dimas mampu memecah keheningan diantara mereka.

"Kapan kamu mau bercerita? Aku tau seseorang sudah dengan sengaja membuat luka itu diwajah kamu, Wi," tanya pria itu dengan tatapan teduh.

Dewi hanya bergeming, perlahan air mata mulai mengalir. Tangisnya mulai pecah, tangan Dimas menenggelamkan kepala gadis itu dibahunya. Isak tangisnya melukiskan betapa besar kesedihan yang selama ini disimpan dengan rapi.

"Kamu boleh nangis semaumu, Wi. Ceritakan kepadaku jika dirasa kamu sudah siap,"

"Aku udah nggak kuat hidup seperti ini, Dim ..." ucap gadis itu dengan lirih dan terisak.

Dimas mengelus kepala gadis yang bersandar dibahunya, berusaha sebisa mungkin untuk menenangkannya.

Langit senja telah berganti dengan redum sinar rembulan, disusul lampu-lampu taman yang dinyalakan secara serentak.

"Sudah mulai lega, Wi? Mau cerita mungkin?", tawar Dimas sembari menyerahkan sebotol air mineral yang barusan dia beli di toserba dekat taman.

Dewi tersenyum dan meneguk air itu. Menarik nafas panjang dan mulai menceritakan apa yang terjadi di malam itu.

"Terus, kenapa kemarin kamu menolak uang pemberianku, Wi? Ujung-ujungnya kamu yang susah kan," Dimas merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Dewi.

"Dim, kita teman kan? Tolong jagan merasa bersalah atas kejadian itu. Sejujurnya aku sudah terlalu muak, Dim. Aku ingin hidup tenang sebagaimana gadis-gadis seusiaku. Bekerja pagi, sore pulang, berkumpul dengan keluarga. Tapi himpitan ekonomi yang mengantarkan aku dijalan ini." terangnya sembari kembali meneguk air mineral.

"Ternyata kamu terpaksa ya, Wi bekerja seperti itu,"

"Iya, Dim. Aku terpaksa. Mulanya karena himpitan ekonomi sampai ahirnya salah seorang teman memperkenalkan aku dengan nenek-nenek kejam itu!"

"Sebaiknya kau hentikan saja pekerjaanmu itu, Wi. Carilah kerjaan lain,"

"Mauku begitu, Dim. Aku juga pengen banget mengahiri pekerjaan itu, menjalani pekerjaan yang baik, dan memulai hidup baru. Tapi mau kerja apa ya, Dim?" tanya Dewi menghela nafas panjang. Matanya terlihat sembab usai menangis.

Dimas diam, namun pikiranya terus bekerja. Dia berpikir langkah apa yang sebaiknya dia ambil untuk menolong gadis malang itu, hingga muncul ide untuk membawa gadis itu pergi dari tempatnya mengais rezeki sebelumnya.

"Dewi, aku akan membantumu mencari tempat tinggal, tapi berjanjilah untuk tidak kembali ketempat itu? Setelah kita menemukan tempat tinggal untukmu, aku akan bantu kamu nyari kerjaan! Setidaknya kamu keluar dulu dari sana ..."

"Pergi dari sana maksudmu, Dim?", Dewi menatap heran. Dahinya mengkernyit, bagaimana mungkin dia bisa pergi meninggalkan tempat itu begitu saja, tempatnya mengais rezeki sejak 3 tahun belakangan ini.

"Tapi gimana dengan barang-barangku disana? Masih ada pakaian dan sedikit uang." Dewi tertunduk lesu. Raut kesedihan dan kebimbangan masih terlihat jelas bersarang dalam dirinya.

"Uang tidak seberapa sih, tapi setidaknya masih cukup untuk makan seminggu kedepan. Sembari aku nyari-nyari kerjaan."

"Wi, kamu nggak usah mikirin soal itu, berapa uang yang tertinggal disana? Aku ganti deh! Aku akan biayain hidupmu selama kamu belum dapat kerja!"

Dewi tertegun dengan jawaban tegas dari mulut Dimas. Rasa haru membuatnya reflek memeluk pria yang ada di depanya.

"Makasih ya, Dim! Aku tidak akan lupa dengan segala kebaikanmu, aku janji!"

Jantung Dimas berdebar dalam pelukan gadis itu. Kawatir kalau-kalau gadis itu merasakan kencangnya detak jantung itu.

"I-iya, Wi. Tolong boleh dilepas?" ucap Dimas terbata mengimbangi degup jantung yang tak karuan.

"Maaf, Dim. Aku reflek! Hahaha!"

Dimas merasa lega melihat Dewi tersenyum. Ternyata usahanya untuk menghibur tidaklah sia-sia.

..........

Kendaraan roda empat itu berhenti didepan rumah dengan pagar kayu yang cukup tinggi. Terdapat sebuah papan bertuliskan 'Terima Kost Putri', yang dari situ Dewi paham. Disana adalah kos-kosan khusus untuk perempuan.

"Aku di depan rumahmu, bisa keluar sebentar, Ron?"

Dimas melakukan panggilan telepon dengan seseorang yang Dewi sama sekali tidak tau dengan siapa. Berselang 3 menit sejak panggilan telepon itu, seorang laki-laki bertubuh jangkung berpakaian santai keluar dari balik pagar tinggi itu.

"Ada perlu apa, Dim?", tanya laki-laki itu sembari tersenyum, memberi anggukan menyapa perempuan yang datang bersama Dimas.

"Ini, Ron, kami sedang mencari kosan. Ada yang kosong ga?" tanya Dimas memulai percakapan.

"Ada, Dim, tapi di lantai atas, gimana?"

"Boleh kami lihat dulu?"

"Boleh, boleh! Silahkan masuk!", jawab pemilik kos itu sembari berjalan mendahului mereka berdua.

Menunjukan tempat yang dia maksudkan dipercakapan sebelumnya.

Sebuah ruangan berukuran 3×5 meter dengan pemandangan danau disebalik jendela. Sudah dapat ditebak, itulah danau yang mereka kunjungi sore ini.

"Aku tinggal sebentar ya, kalian lihat-lihat dulu!", ucap pemilik kos sembari berjalan keluar meninggalkan mereka berdua.

"Gimana, Dew? Suka nggak dengan tempat ini?" tanya Dimas dengan mata menatap sekeliling.

"Suka, Dim! Ngomong-ngomong, kamu kenal dengan pemilik kos tadi?"

"Itu Roni, temanku sewaktu SMA. Anaknya baik, kok."

"Oh, gitu ya. Kira-kira harga sewa perbulan kamar ini berapa ya, Dim?"

"Udah, kamu ngga perlu pikirkan soal itu. Mau kamu tempati hari ini juga?"

Dewi terduduk diatas ranjang, menghela nafas panjang mengingati keadaan dirinya saat ini.

'Bagaimana dengan kelangsungan hidupku kedepanya? Bagaimana dengan sekolah adik-adiku yang harus ku biyayai?' Dewi merintih dalam hati. Hatinya kian gusar saat mengingat wajah-wajah keluarga yang begitu dia cintai.

"Jangan sungkan meminta tolong padaku jika kamu membutuhkan sesuatu." Ucap Dimas yang tepat mengenai sasaran.

Memang, saat ini Dewi membutuhkan uang. Akankah dia berani meminjam uang kepada Dimas untuk membayar spp Riska yang sebentar lagi ujian? Sebaiknya jangan! Dimas sudah banyak menolong sejauh ini. Dewi terhanyut dalam lamunan dengan tangan menyangga dagu.

"Dewi!" ucap Dimas sembari menggerakan telapak tangannya.

"Oh, maaf Dim. Sudah larut, kamu pulang ya? Aku butuh waktu untuk sendiri. Bukannya bermaksud mengusir ya, Dim, tapi -"

"Iya, Dewi. Aku bisa ngerti kok, hubungi aku jika kamu butuh sesuatu, aku pamit ya," pamit Dimas sembari menyerahkan kunci ruangan kepada Dewi. "Akan ku sampaikan jika ruangan ini kau tempati hari ini juga."

"Dimas, terima kasih untuk hari ini." ucap Dewi sembari tersenyum melambaikan tangan kepada pria tampan itu.

Pria itu hanya tersenyum, berjalan menuruni tangga dengan nenenteng jas hitam miliknya.

Beberapa pasang mata perempuan mengamati Dimas yang berjalan menuruni tangga. Tersirat kekaguman dari setiap pandangan mata yang melihat Dimas. Sudah seperti melihat seorang dewa saja.

***

Related chapters

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   6. Hari Sakit

    Sinar matahari nekat menerobos masuk melalui fentilasi udara ruangan berukuran 3×6 meter itu. Menyilaukan mata gadis yang sedari malam hanya berbaring dan menangis hingga terlelap.Nampaknya kondisi kesehatanya tengah menurun, dia terbangun dengan rasa sakit di bagian kepala yang teramat, serasa sebuah bongkahan batu besar tengah diletakkan di atas kepalanya. "Jam berapa ini?" matanya melirik ke arah jam dinding. Waktu menunjukan pukul 08.30 WIB. Menangis semalam cukup menguras energinya hingga dia terlelap dalam tidurnya. Gadis itu bangkit dan berjalan ke kamar mandi mungil yang berada di sudut ruangan. Meraup air dengan kedua telapak tangannya untuk kemudian dibaush ke wajah. Dingin. Basuhan air seketika menyadarkan pikiranya untuk kembali meratapi kenyataan pahit hidupnya.Sepasang manik hitam memperhatikan bayangan wajah yang terpantul dari cermin kamar mandi di depanya. Matanya sembab, wajahnya pucat. Luka bekas sulutan rokok malam itu juga belum kunjung mengering."Kok panas ya

    Last Updated : 2022-09-07
  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   7. Teman baru

    Pagi ini Dewi terbangun dengan kondisi kesehatan yang jauh membaik. Rasa sakit yang kemarin membabi buta menyerang di bagian kepalanya, kini hilang entah kemana.Dia berjalan menghampiri jendela kamar kos yang berbalut cat warna putih tulang, dan membukanya secara perlahan. Udara pagi ini sangat sejuk, tampak dari kejauhan pemandangan yang memanjakan netra, sebuah taman yang letaknya bersebelahan langsung dengan danau, dengan bangku besi yang di balut cat berwarna putih. Dia ingat betul, itu bangku yang kemarin dia duduki bersama Dimas. "Selama disini, aku belum pernah bertemu dengan penghuni kos lain, nggak ada salahnya kan aku jalan-jalan keluar? Siapa tau aku menemukan teman baru di sini," ujarnya pada diri sendiri. Dewi bergegas memakai sandal selop berwarna pink kesayanganya. Dengan hati riang dia memberanikan diri keluar dari tempat kediamanya yang mulai dia tempati 3 hari yang lalu."Hidup baru, aku datang!" ucapnya riang sembari bergegas keluar.Saat ini kondisi hatinya cuk

    Last Updated : 2022-09-08
  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   8. Kesialan datang bertubi-tubi

    "Permisi, Kak, bisakah saya mendaftar kerja disini?" Gadis yang semula mengelap meja seketika terbahak dan mendekati Dewi. "Kayanya nggak bisa, melihat pakaian yang kau pakai saja, harusnya kamu ngerti, dong! Di sana tertulis, 'Berpakaian sopan dan rapi'," gadis itu menunjuk papan lowongan kerja yang tertera di teras cafe.Memang benar, Dewi datang menggunakan atasan kaos dan celana kolor pendek tradisional. Sangat jauh dari penampilan orang yang hendak melamar kerja. Namun mau bagaimana lagi? Hanya pakaian rumahan yang Dimas bawakan. 1 setel baju bagus dan celana jeans yang Dimas berikan ada di keranjang pakaian kotor, belum sempat dicuci."Bisakah saya menemui pemilik cafe ini, Kak?" pinta Dewi membuat karyawati itu makin kesal.Nampaknya salah seorang karyawan lain mulai mendekat setelah mendengar percakapan dua orang gadis di pintu masuk cafe. Seorang karyawan laki-laki berwajah cuek dengan tinggi 170 cm. Saat itu belum ada satu pun pengunjung di cafe itu."Ada apa Rin? Dari tad

    Last Updated : 2022-09-09
  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   9. Dia datang bersama saya!

    "Sus, saya mau keluar, kira-kira 2 jam. Tolong, kalau ada yang nyari saya, sampaikan untuk datang kembali nanti." Tutur Dimas kepada gadis muda yang selama setahun terahir ini menjadi sekretaris pribadinya. "Baik, Pak. Sebelumnya maaf, ini tadi Mbak Ramona nitip ini untuk diberikan kepada Bapak," gadis manis berkulit sawo matang itu menyerahkan sebuah kotak makan, yang dia sendiri tidak tau apa isinya."Apa ini?" Dimas membuka kotak makanan itu untuk memastikan apa isinya. Bakwan jagung manis, Ramona tau betul camilan kegemaran Dimas yang satu ini. Dan ketika mengingat itu pemberian dari Ramona, seketika minatnya terhadap camilan itu berkurang."Buat kamu aja, Sus. Saya memberikan ini bukan karena saya tidak suka, hanya saja saya sedang males sama yang ngasih,""Oh, gitu ya, Pak? Terima kasih, Pak," Susiana menerima kotak itu dengan senang hati. ***Dimas mengendarai mobilnya penuh semangat menuju kosan tempat Dewi tinggal. Senyum simpul terpatri di wajah laki-laki berwibawa itu,

    Last Updated : 2022-09-12
  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   10. Hangat

    "Assalamu'alaikum, Neng? Kenapa beberapa hari ini nggak menelepon, Ibu? Kamu baik-baik kan disana?""Wa'alaikumsalam, Bu, maaf, Dewi beberapa hari ini sibuk, sampai belum sempat hubungi keluarga, Dewi baik-baik kok disini, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Pagi-pagi udah hujan aja ini, Neng,""Ya sama, Bu, disini juga hujan lebat, padahal Dewi belum berangkat ke tempat kerja," Dewi menatap keluar jendela kamar. Hujan belum juga menunjukan tanda-tanda akan mereda."Lagi siap-siap mau berangkat kerja ya, Neng? Neng sudah sarapan?"Pertanyaan itu membuat Dewi teringat dengan rasa lapar yang berusaha dia abaikan. Tangan kirinya mengelus perut. Sama sekali tidak ada yang bisa dia makan pagi ini, hanya ada air minum. "Sudah kok, Bu," katanya kemudian. "Ya sudah, Neng. Hati-hati di jalan ya? Ibu berdo'a, semoga segala urusan kamu dimudahkan sama Tuhan.""Aamiin ... Dewi kerja dulu ya, Bu," Dewi menutup sambungan telepon.Percakapan singkat, namun cukup menghangatkan hati gadis itu. Terlebih pa

    Last Updated : 2022-09-17
  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   11. Hari pertama kerja

    Waktu menunjukan pukul 11.30 WIB. Hujan yang semula mengguyur perlahan mulai mereda. Specta Cafe mulai dipadati pengunjung di jam istirahat kerja seperti hari-hari biasanya."Mau pesan apa, Tuan?" tanya Erin dengan sangat sopan dan hati-hati tehadap tamu pria berbadan kekar yang kini duduk di meja nomor 7. Wajahnya begitu sangar didukung dengan tatto yang memenuhi lengan tanganya. Pria itu mengisyaratkan dengan jari telunjuk ke arah gadis waiters bersurai hitam panjang berparas menawan yang tengah menyajikan pesanan pengunjung. Dia menginginkan Dewi yang melayani dirinya."Meja nomor 7 memintamu melayaninya," Erin berbisik saat melewati Dewi yang tengah sibuk dengan pekerjaanya."Siapa dia?" Dewi bertanya sembari melihat ke arah pria yang meminta dilayani olehnya. "Mana aku tahu." Erin menjawab ketus sembari berlalu. Mimik wajahnya tak bisa menutupi atas rasa ketidak sukaanya terhadap Dewi.Dewi berjalan mendekati pria itu dengan tatapan penuh selidik. "Maaf, Tuan, ada yang bisa say

    Last Updated : 2022-10-02
  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   12. Dimana letak salahku?

    "Gimana hari pertama kerjamu?" tanya gadis bertubuh jangkung yang kini duduk bersama Dewi di atas lantai beralaskan tikar."Ya begitulah, Va. Ada enaknya, ada engganya juga." jawab Dewi yang kemudian menyuapkan pisang goreng ke dalam mulutnya.Hanya ada pisang goreng kaki lima dan secangkir teh hangat yang menemani bincang malam kedua gadis itu. Dari tempat kerja, Dewi mendapat jatah makan sekali, itupun sengaja dia ambil setelah jam kerja usai. Agar tak merasakan lapar saat hendak tidur malam. Bukankah sulit untuk memejamkan mata dan tertidur ketika perut dalam keadaan lapar?"Nggak enaknya?" Eva memegang cangkir dan meniup teh yang masih sangat panas, lalu menyesapnya sedikit. "Ada yang ketus banget, Va. Padahal aku yakin, aku nggak berbuat salah sama dia." Dewi mendengus. "Wajar, Wi. Namanya juga orang hidup. Mau kita sebaik apapun, pasti tetep ada yang nggak suka." Eva menepuk bahu Dewi pelan, mengisyaratkan agar Dewi tegar menghadapi situasi yang dia alami.Terdengar suara henta

    Last Updated : 2022-10-04
  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   13. Kepergok berduaan

    [Mon, kamu lagi dimana? Lagi sama pacarmu ngga?]Satu pesan masuk ke ponsel gadis berambut ikal mayang yang saat ini tengah mondar-mandir di depan ranjang tidurnya. Pikirannya kalut, hingga sampai saat ini tak satupun pria yang dicintainya mengirim pesan kepadanya, bahkan Dimas selalu menghindar setiap mereka berpapasan di kantor.[Engga, Sha. Aku dirumah. Btw, tumben kamu ngechat aku, ada perlu apa?]Shasa Kusuma, gadis berambut pirang yang mengintai aktifitas panas yang dilakukan oleh dua sejoli di kos malam ini adalah teman seangkatan Ramona sewaktu SMA. Keduanya saling akrab, bermula dari kebiasaan mereka mendatangi klub malam yang sama, Liquid Exchange. [Barusan aku lihat cowo mirip pacarmu, Mon, lagi kissing sama tetangga kosan. Kalo aku ngga salah ingat sih, bener pacarmu si Dimas itu,]Butuh untuk meyakinkan ucapanya sendiri, Sasha hanya bertemu Dimas sekali, itupun di acara reuni SMA dua tahun yang lalu saat Ramona mengajak pacarnya di acara tersebut.[Ada bukti?] Ramona memb

    Last Updated : 2022-10-05

Latest chapter

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   49. Aditya Putra Adimas

    Dimas menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan gelisah. Denga langkah seribu pria itu berjalan ke ruangan bersalin. Satu per satu kamar dia periksa demi mendapati sang istri, nyaris putus asa karena Dewi tak juga ditemukan. Kini langkahnya tiba di ruangan paling ujung. Pria itu menekuk lutut dengan kedua mata terpejam. Jantungnya memompa darah begitu cepat, bayangan dari rasa bersalah telah membiarkan istrinya yang saat ini sedang membutuhkannya terus berkelibat di kepala. Dewi tidak memiliki keluarga lain selain Dimas di kota itu. Suara rintihan dari seorang perempuan yang sangat familiar masuk ke dalam telinganya. Seketika kedua mata pria itu terbuka lebar dan menegakkan badan. Bergegas Dimas membuka gorden yang berada di sebelah kiri tubuh. Dilihatnya seorang wanita yang tengah menangis sembari berpegangan pada lengan Rina, salah satu karyawati di perusahaan tempatnya bekerja."Sabar, Bu. Bu Dewi pasti kuat." wajah wanita itu terlihat panik. Dia belum memiliki pengalaman mela

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   48. Diabaikan

    Di ambang pintu berpegangan pada kusen dan satu tangan mengelus perut yang terasa berdesir karena janin di dalam perut melakukan sebuah pergerakan, Dewi menatap nanar pada Dimas yang pergi berlalu melewatinya tanpa sepatah kata. Perasaan nyeri menyerang ulu hati mendapati sang suami beraut dingin, tidak sehangat biasanya. Dewi tidak menyangka jika Dimas akan semarah itu. Biasanya pagi-pagi sekali pria itu sudah mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan, namun pagi ini terasa jauh berbeda dari biasanya. Hanya ada roti tawar dan selai kacang di balik tudung saji. Tidak ada lagi baki berisi beragam menu masakan seperti kemarin. Pria itu pergi ke tempat kerja tanpa berpamitan (walau di waktu lalu ucapan pamitnya kerap kali dibalas ketus, bahkan seolah terkesan Dewi abaikan), tetapi Dewi merasa lega. Keberadaannya masih berada dalam jangkauan perhatian pria itu. Tetapi itu kemarin, entitasnya saat ini seperti sebuah mahluk tak kasat mata. "Ini semua salahku. Seharusnya sejak awal aku m

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   47. Wanita Tak Tahu Diuntung

    Pagi itu Dewi bangun dan mendapati sarapan sudah tersedia di atas nakas di samping tempat tidur. Dimas menjadi suami siaga semenjak tahu istrinya hamil. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk memasak jika waktu subuh tiba, atau membeli masakan di warteg jika dia tak sempat. Hal itu dilakukan Dimas tanpa pamrih, meski hingga hamil memasukki trimester terakhir pun Dewi masih hemat bicara dengannya. Segala sikap dingin Dewi diakari oleh kesalah pahaman Dewi terhadap Dimas dan Anggita. Pria itu hampir putus asa. Berulang kali Dimas menjelaskan, jika antara dirinya dengan Anggita tak ada hubungan sepesial, namun hanya punggung sang istri yang dia dapat. Perlahan Dewi beringsut mendekati nakas tanpa ada keinginan untuk melepas pantat yang menempel pada benda yang ada di bawah tubuh. Perlahan dia mengambil baki makanan dengan sangat hati-hati, khawatir jika makanan di dalamnya tumpah. Namun alis tebalnya tiba-tiba bertaut, mendapati secarik kertas di sekatan baki logam.'Mas sudah siapka

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   46. Dua Garis Merah

    Akhir-akhir ini Dewi merasa tidak enak badan. Tubuhnya mudah lelah, nafsu makan berkurang, mual disertai sakit kepala, bahkan tak jarang gadis itu muntah. Gejala-gejala tersebut selalu datang mengganggu harinya, dan semakin parah di waktu pagi.Sudah selama satu minggu Dewi tinggal di kosan Eva, Dewi enggan untuk kembali pulang. Rasa kecewanya terhadap Dimas yang membabi buta menjadikan dia lupa atas segala kebaikan sang suami."Wi, apa kau tidak ingin memeriksakan kondisimu ke dokter?" tanya Eva dengan raut wajah menunjukkan kekhawatiran. Gadis itu membaca gejala-gejala kesehatan yang Dewi alami akhir-akhir ini sebagai tanda kehamilan. Namun, melihat kondisi hati sahabatnya yang masih didera kecewa, Eva tidak ingin mengatakannya terlebih dahulu. Biarkan Dewi mengetahui sendiri."Tidak, Va, aku baik-baik saja." jawab Dewi yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah menumpahkan isi perutnya, bubur ayam yang menjadi sarapannya pagi ini.Jelas sekali gadis itu berbohong. Wajahnya yang

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   45. Salah Paham

    Dewi langsung memeluk Eva saat gadis itu muncul dari balik pintu. Membuat gadis itu terkesiap, dengan kehadiran Dewi yang tanpa aba-aba siang itu.Alis Eva bertaut, apa yang sudah membawa sahabatnya ini datang? Melihat gadis itu menangis terisak, Eva tahu betul, Dewi sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Kita bicarakan di dalam ya?" bujuk Eva kepada Dewi yang langsung berbalas anggukan. Eva kembali di hadapan Dewi dengan segelas air. Dengan bibir mengulas senyum, Eva menyerahkan gelas berisi air tersebut kepada Dewi. "Kamu minum ya?" kembali Eva membujuk Dewi saat menyerahkan segelas air putih kepada perempuan itu. Dewi mereguk air minum sekali tandas. Menangis sepanjang hari benar-benar membuat tenggorokannya kering. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Eva dengan hati-hati. Pembawaan gadis bertubuh jangkung tersebut terdengar sangat hangat, sehingga Dewi tanpa ragu menceritakan masalah yang dia alami kepada Eva. "Rumah tanggaku ... sedang tidak baik-baik saja saat ini." ucap D

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   44. Anggita

    Tiga hari berlalu setelah bertemu dengan Risman wajah Dewi berangsur-angsur membaik. Bekas lebam sudah semakin memudar, hanya perlu sedikit polesan make up untuk menutupinya. Dewi segera menyusul Dimas di ruang makan seusai ia memantas diri. Seperti yang Dimas katakan tempo hari, Dimas mengijinkan Dewi untuk ikut ke tempat kerja.Aroma wangi yang menguar membuat pria yang sibuk berkutat dengan alat makan mengangkat wajah. Pandangannya menatap wanita yang berjalan mendekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu terlihat bertambah cantik setiap harinya. Lama Dimas memperhatikan Dewi yang diam mematung setelah menyadari pandangan sang suami seolah melekat pada tubuhnya. “Ada yang aneh?” tanya Dewi sembari melempar tatapan ragu. Takut jika karyawan di kantor tempat Dimas bekerja menilai penampilannya norak.“Engga, Sayang. Buruan makan.” Jawab Dimas datar lalu kembali dengan sarapannya.Dewi mendengus pelan. Disaat seperti ini dia membutuhkan saran atau pujian dari Dimas. Tapi pr

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   43. Kado Pernikahan dari Sahabat

    “Aduh, Mas, pelan-pelan, sakit,” Dewi meringis kesakitan saat Dimas mengompres pipinya dengan handuk kecil yang sebelumnya dicelup dalam air dingin.Tamparan perih yang Risman daratkan pada wajah wanita itu menyisahkan lebam. Sudah bisa dipastikan tamparannya begitu keras.“Lagian. Kenapa sih, pake bersihin halaman segala. Kan kita bisa suruh orang buat bersihin.” Jawab Dimas sembari mengulangi kegiatan yang sama. Mengompres pipi yang sering dia ciumi. “Hih. Aku itu bosen, Mas, karena nggak ngapa-ngapain. Kamu sih, enak, kerja di kantor, ketemu teman-teman. Ada yang daiajak bercanda. Lah aku?” Dewi mengarahkan telunjuk pada wajahnya yang memperlihatkan ekspresi kesal.Dimas menggeleng pelan mendengar alasan istrinya. Setelah menikah, Dewi mulai agak cerewet, tidak semalu dulu. “Kan bisa cari hiburan, nonton video youtttup mungkin.”Dewi menghembuskan nafas pasrah. Setelah diingat, memang benar apa yang Dimas katakan. Dunia ini tidak bisa diarunginya dengan aman tanpa pria itu disisih

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   42. Dunia Sesempit Daun Kelor

    Dimas mengerjap beberapa kali saat netranya tidak menemukan raga sang istri disebelahnya. Sayup-sayup terdengar suara wajan dan serok beradu. Pria bertubuh tinggi itu berjalan ke arah sumber suara. Di dapatinya sang istri sedang memasak, masih menggunakan lingerie berwarna hitam yang dipakai semalam. Pria itu tersenyum melihat kelakuan istrinya. Aroma lezat masakan menguar di dapur minimalis bernuansa klasik tersebut. Dari belakang Dimas memeluk tubuh wanita tersebut. Membuatnya terperanjat, nyaris melempar alat masak yang saat ini ada dalam genggamannya. Untung Dewi cepat sadar. Seandainya reflek ia melempar alat masak tersebut, bisa=bisa wajah tampan suaminya ternoda dengan lepuhan minyak.“Kaget ya?” ucap Dimas sembari membelai leher jenjang istrinya dengan bibir dan hangat hembusan nafas.“Kagetlah, kamu tiba-tiba nongol begitu,” gerutu Dewi atas kemunculan Dimas yang datang tanpa terdengar suara derap kakinya. Dimas tersenyum sembari membelai gemas rambut istrinya yang diikat eko

  • Rembulan Untuk Mantan Pramuria   41. Hari bahagia berselimut lara

    Dimas menyusuri jalanan ramai dengan hati yang gelisah. Berulang kali ia mengusap kasar wajahnya. Baru saja pria itu menerima kabar kalau ibunya jatuh sakit. Perasaan bersalah kepada wanita yang telah melahirkannya pun muncul. Dimas memutuskan untuk keluar dari rumah sejak Mayang mengancam tidak akan lagi menganggapnya sebagai anak jika Dimas masih menjalin hubungan dengan gadis yang dianggapnya rendahan itu. Didalam ruangan yang didominasi warna putih seorang wanita tua yang amat ia kenali langsung menghadap kanan memunggunginya begitu Dimas menampakkan batang hidung. Dalam hati, Mayang merasa sangat senang dengan kedatangan Dimas. Mungkin putranya merasa menyesal dan bersedia meninggalkan gadis murahan itu saat mengetahui kondisi kesehatanya menurun.“Apa kata dokter, Pa?” tanya Dimas kepada ayahnya yang sedari awal menyambutnya dengan hangat.“Biasa, Dim. Darah tinggi Mama kamu kumat.” Jawaban Suhendar disambut dengan decahan oleh Mayang.Dimas menarik nafas dalam setelah mendengar

DMCA.com Protection Status