Bab 23: Taktik dan Bayangan
Di sudut gelap dunia manusia, Ragnar duduk di sebuah ruangan sempit yang diterangi cahaya redup dari lilin-lilin tua. Di hadapannya, bola kristal berputar pelan, memantulkan bayangan wajahnya yang tegang. Di sebelahnya, Banyu berdiri dengan tangan bersedekap, sorot matanya tajam dan penuh perhitungan."Jadi, Odin telah menunjukkan dirinya," Ragnar membuka percakapan dengan nada serius. "Itu berarti Amaterasu benar-benar percaya pada bocah manusia itu. Ini lebih buruk dari yang aku kira."Banyu, dengan seringai kecil di wajahnya, menjawab, "Kau panik, Ragnar? Bukankah itu tidak seperti dirimu?"Ragnar menatapnya tajam, tetapi tak berkata apa-apa. Dia tahu Banyu sering berbicara dengan nada menggoda, tetapi kali ini situasinya tidak untuk main-main."Bocah itu sudah menjadi masalah sejak awal," Ragnar melanjutkan. "Sekarang, dengan perlindungan Amaterasu, kita tidak hanya menghadapi kekuatan Ares, tetapi**Bab 24: Batas Cahaya dan Kegelapan** Di tengah malam yang sepi, portal gelap milik Banyu memudar di depan apartemen Livia. Sosoknya muncul dengan tenang, mengenakan jaket hitam yang membuatnya tampak seperti mahasiswa biasa. Matanya bersinar redup dengan kejahatan yang tersembunyi di balik wajah ramahnya. “Sepertinya perlindungan Amaterasu cukup kuat,” gumamnya sambil merasakan aura yang mengelilingi apartemen itu. Banyu melangkah mendekat, namun begitu ia mencoba menembus penghalang gaib itu, sebuah cahaya keemasan menyala terang, mendorongnya mundur. Ia terkejut, menyadari bahwa kekuatan Amaterasu lebih besar dari yang ia perkirakan. “Kurang ajar,” desisnya. “Tapi ini belum selesai.” Dari dalam kegelapan, sebuah suara memanggilnya. "Jangan gegabah, Banyu." Banyu menoleh dan melihat Ragnar berdiri di sana, matanya tajam memerhatikan situasi. “Penghalang ini terlalu kuat
Bab 25: Pertarungan Sengit Hutan lebat di bawah sinar rembulan menjadi tempat pertemuan rahasia para dewa. Amaterasu, Odin, Zeus, dan Pak Budi berdiri mengelilingi altar kuno yang memancarkan cahaya keemasan. Ketegangan meliputi udara. "Dia tidak akan mampu," suara Zeus bergema, penuh keraguan. "Arjuna terlalu muda. Bahkan dengan kekuatan Ares, dia masih manusia yang lemah." Odin, yang berdiri dengan tongkat bercahaya di tangan, menjawab dengan bijak, "Setiap pahlawan besar memulai perjalanan mereka dengan keraguan. Arjuna akan membuktikan bahwa manusia bisa lebih kuat daripada yang kita kira." Pak Budi, dengan sikap sederhana namun penuh keyakinan, menambahkan, "Saya telah melihat potensinya. Dia hanya perlu diberi waktu. Namun, Sven tidak akan memberi kita waktu itu." Amaterasu menatap mereka semua dengan serius. "Kita tidak punya pilihan lain. Sven sudah menggerakkan pasukannya. Perlindungan di sekitar Livia adalah pertahanan terakhir kita sebelum ia menyerang lebih j
**Bab 26:Awal Perjalanan** Pagi yang dingin menyelimuti tempat persembunyian mereka. Arjuna bersiap-siap untuk perjalanan panjang ke pegunungan es seperti yang diarahkan oleh Pak Budi. Di sisi lain, Livia, Bayu, Dani, dan Sarah tetap tinggal untuk memperkuat perlindungan di sekitar persembunyian. Pak Budi menyerahkan gulungan tua kepada Arjuna. Gulungan itu menggambarkan jalur menuju kuil Odin yang tersembunyi di puncak pegunungan es. "Ingat, perjalanan ini tidak hanya menguji fisikmu, tetapi juga hatimu. Jangan biarkan keraguan menguasaimu." Arjuna mengangguk. "Aku akan kembali dengan kekuatan yang cukup untuk mengakhiri semua ini." Saat Arjuna bersiap untuk pergi, Livia mendekatinya. Wajahnya terlihat gelisah. "Juna, aku tahu ini penting, tapi aku tidak bisa berhenti merasa kalau perjalanan ini terlalu berbahaya." "Aku harus pergi, Liv," jawab Arjuna dengan suara lembut namun te
**Bab 27: Ujian di Kuil Odin **Di Gerbang Kuil Odin** Dingin yang menusuk seolah menyusup hingga ke tulang Arjuna saat ia berdiri di depan Kuil Odin. Pemandangan di sekitarnya begitu menakjubkan: puncak gunung bersalju yang menjulang tinggi, dan langit keabuan yang terhampar luas, melingkupi kuil dengan ukiran kuno yang memancarkan aura mistis. Odin berdiri di depan gerbang, tongkatnya yang berujung burung gagak bersinar redup. "Arjuna," ujar Odin dengan suara berat, "di dalam kuil ini, kau akan diuji hingga ke inti jiwamu. Hanya mereka yang mampu menghadapi ketakutan, dosa, dan keraguan dalam diri mereka yang akan keluar sebagai pemenang." Arjuna mengangguk. Tombak *Guntur Naga* yang diberikan Pak Budi terasa berat di tangannya, seolah menambah beban mental yang sudah ia rasakan sejak kepergian Helena. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir bayangan kekalahan dan rasa bersalah. Ketika Odin mengetukkan tongkatnya ke tanah, pintu besar kuil itu mulai membuka dengan suar
Bab 28: Serangan Mendadak Di Tempat Persembunyian Malam itu begitu sunyi, hanya terdengar angin dingin yang menerpa dinding kayu markas persembunyian. Semua orang berkumpul di ruang utama, merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Livia bersandar di sudut ruangan, wajahnya masih pucat akibat luka yang belum sepenuhnya sembuh. Ratna, seperti biasanya, berada di sisinya, memastikan perban di lengan Livia tetap terpasang dengan baik. "Kau harus tetap tenang," ujar Ratna, berusaha menenangkan. "Tubuhmu belum pulih, jangan memaksakan diri." "Aku hanya berharap kita semua bisa selamat dari ini, Ratna," balas Livia lemah namun tegas. Di sisi lain ruangan, Bayu, Dani, dan Sarah berkumpul di sekitar meja, mempelajari rencana pertahanan darurat yang sudah mereka susun. Dani tampak paling gelisah, memegang pisaunya dengan tangan yang gemetar. "Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Bayu dengan nada serius. "Kalau mereka menyerang lagi seperti tadi malam, kita tidak akan punya b
*Bab 29: Cahaya di Tengah Gelap Malam itu, suasana desa terasa begitu sunyi, seperti menyimpan rahasia kelam yang tak terucap. Angin dingin membawa aroma tanah basah, sementara pohon-pohon besar yang mengelilingi desa berdiri kokoh seperti pelindung diam. Arjuna dan kelompoknya baru saja tiba, tubuh mereka masih diliputi rasa lelah setelah perjalanan yang panjang dan penuh bahaya. Pak Budi berdiri di depan gerbang kayu yang besar, tangannya terangkat seolah memberikan penghormatan kepada sesuatu yang tak terlihat. "Desa ini bukan desa biasa," ucapnya, suaranya penuh wibawa. "Para leluhur melindungi tempat ini, tapi kalian harus berhati-hati. Perlindungan mereka tidaklah abadi." **Kedatangan yang Mencurigakan** Saat mereka melangkah masuk, penduduk desa memandang dengan mata penuh rasa curiga dan ketakutan. Beberapa ibu menarik anak-anak mereka, sementara yang lain berbisik-bisik di balik pintu. Bayu berbisik pada Dani, "Apa mereka takut pada kita?" Dani, meskipun gemetar, menc
Bab 30: Kegelapan yang Mengintai Pagi hari datang dengan keheningan yang menyesakkan. Desa yang semalam dilanda ketakutan kini tampak seperti sebuah tempat yang hilang dari waktu. Penduduknya mulai keluar dari rumah, namun wajah-wajah mereka kosong, seperti terperangkap dalam ketakutan yang mendalam. Arjuna, Pak Budi, dan yang lainnya duduk di ruang tamu rumah kepala desa, mencoba menyusun rencana selanjutnya. "Pak Budi," kata Arjuna dengan suara berat. "Kita sudah melawan Mara, tapi aku merasa... ini baru permulaan. Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai." Pak Budi mengangguk perlahan. "Kau benar, Arjuna. Mara hanyalah perpanjangan dari kekuatan yang lebih gelap. Kekuatan yang mengarah pada kehancuran. Tapi kita harus tetap kuat. Setiap langkah yang kita ambil kini akan menentukan apakah kita bisa menghadapinya atau tidak." Arjuna menatapnya tajam. "Bagaimana kita bisa melawannya jika kita terus-menerus dihantui oleh ketakutan? Aku merasa tidak bisa mengendalikan diriku." Sar
Bab 32: Jejak di Dalam Kegelapan Malam di desa dipenuhi ketegangan. Angin dingin berhembus membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering, menyelinap melalui celah-celah dinding rumah Pak Budi. Di dalamnya, suasana tak kalah suram. Arjuna duduk di dekat perapian, matanya terpaku pada nyala api yang memantul di retakan dinding tanah liat. Namun pikirannya melayang, memutar kembali semua kejadian sejak ia terlibat dalam perang ini. Di sudut lain ruangan, Pak Budi sibuk mencampurkan ramuan herbal di dalam sebuah mangkuk batu. Tangannya bergerak cepat, mencampur dedaunan, akar, dan cairan yang mengeluarkan aroma menyengat. "Kau kelihatan gelisah, Juna," katanya, memecah keheningan tanpa menoleh. Arjuna mengusap wajahnya. "Aku hanya memikirkan apa yang kau katakan tadi, soal portal itu. Aku paham bahayanya, tapi... kenapa harus aku, Pak?" Pak Budi menghentikan pekerjaannya, menatap Arjuna dengan tatapan tajam namun penuh pengertian. “Karena kau adalah Ares, sang dewa perang. Kau terl
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men
Bab 74: Di Ambang Badai Malam masih membalut hutan dengan keheningan ketika Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat mereka. Udara malam dingin menusuk, dan hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin menemani langkah mereka. Perasaan kosong melingkupi hati Arjuna setelah perpisahannya dengan Livia. Meskipun ia tahu keputusan itu adalah yang terbaik untuk keselamatan Livia, bayangannya tetap memenuhi pikirannya. Pak Budi berjalan di samping Arjuna, memecah keheningan. “Arjuna, aku tahu kau memikirkan Livia. Tapi, kau harus ingat, apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Sven dan pasukannya tidak akan berhenti.” Sun Wukong mengangguk dari depan, menoleh sedikit ke belakang. “Bahkan jika kita berhasil melindungi Livia, musuh kita akan menemukan celah lain. Mereka akan terus mencoba. Itu sebabnya, kau harus mempersiapkan dirimu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.” Arjuna menghela napas
Bab 73: Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan Arjuna, Livia, Sun Wukong, dan Pak Budi duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di tengah hutan. Malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit, dan keheningan hutan terasa menenangkan setelah hari yang penuh dengan pertempuran. Arjuna sedang memeriksa luka di lengannya, sementara Livia duduk di sampingnya, tampak cemas. “Luka itu tidak terlalu dalam, kan?” tanya Livia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arjuna tersenyum menenangkan. “Hanya goresan kecil. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.” Pak Budi yang duduk tak jauh dari mereka mengangguk. “Tubuhmu mungkin kuat, tapi hati-hati, Arjuna. Luka kecil bisa menjadi masalah besar jika kau mengabaikannya.” Sun Wukong yang sedang membersihkan tongkat emasnya tertawa kecil. “Semar benar, meskipun aku rasa kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkannya.” Livia menghela napas, lalu menoleh ke Arjuna. “Kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak tahu apa yang akan kulaku
Bab 72: Kesadaran yang Membuka Kebenaran Hutan sunyi, hanya suara hembusan angin yang terdengar di antara pepohonan tinggi. Setelah pertempuran yang berat, suasana tegang telah berubah menjadi keheningan. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri berdekatan, keduanya tampak berbicara dengan Arjuna. “Arjuna,” kata Pak Budi, suaranya lembut namun tegas, “kau harus segera mempersiapkan diri. Sven tidak akan tinggal diam setelah kehilangan pasukan seperti ini.” Sun Wukong mengangguk setuju, tongkat emasnya yang besar berdiri tegak di sampingnya. “Benar. Perang ini baru saja dimulai. Sven akan mengirim yang lebih kuat, yang lebih ganas. Tapi dengan kerja keras, kau bisa menghadapi mereka.” Arjuna mendengarkan dengan serius, pikirannya masih dipenuhi bayangan pertempuran sebelumnya. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara lembut dari dalam pondok. “Arjuna…?” Mata Arjuna melebar. Ia segera berbalik dan berl
Bab 71: Kembali ke Istana Kegelapan Malam terasa semakin gelap di dunia bawah, atmosfer dingin dan menyesakkan menyelimuti lorong panjang yang berujung pada istana megah milik Sven. Kyle, dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengering, berjalan tertatih-tatih melewati penjaga yang hanya menatapnya tanpa berani memberikan bantuan. Perasaan kalah membakar hatinya, tapi ia menepis semua rasa sakit itu, bertekad melaporkan kegagalan ini pada Sven. Setelah berjam-jam perjalanan penuh rasa sakit, Kyle akhirnya tiba di aula utama istana. Cahaya temaram dari obor di sepanjang dinding menambah suasana suram. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara tawa dingin yang ia kenal baik menggema dari salah satu sudut ruangan. Ragnar, yang kini berdiri dengan tubuh tegap dan tanpa bekas luka, menatap Kyle dengan tatapan penuh ejekan. “Kyle,” ucapnya, suaranya sarat dengan sarkasme. “Apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tikus basah yang baru saja dilempar keluar dari neraka.”
Bab 70: Bantuan dari Langit dan Bumi Malam itu terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Di tengah kehancuran pondok kecil yang kini tak lebih dari puing-puing, Arjuna berdiri dengan tubuh penuh luka, memegang tombak dengan tangan gemetar. Kyle dan anak buahnya berdiri di hadapannya, penuh percaya diri meski beberapa dari mereka telah terluka. Kyle melangkah maju, senyumnya sinis. "Kau telah mencoba melawan, Arjuna, tapi ini adalah akhirnya. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan." Namun, sebelum Kyle dapat melancarkan serangannya, suara gemuruh menggelegar dari langit. Angin kencang menerjang, memadamkan api yang membakar hutan di sekitar mereka. Langit berubah gelap, dan kilat-kilat petir saling bersahutan, menciptakan pemandangan yang menggetarkan hati. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar meluncur dari balik awan hitam. Tongkat emas raksasa berkilauan turun dari langit seperti meteor dan menghantam tubuh Damos dengan kekuatan luar biasa. Tidak ada waktu untuk Damos
Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri