Bab 17: Musuh dalam Bayangan
Matahari pagi perlahan menyinari kawasan hutan tempat Arjuna menjalani latihan bersama Pak Budi. Hembusan angin terasa sejuk, mengiringi ketenangan suasana di sekeliling mereka. Pak Budi, dengan sorot mata penuh ketenangan dan kebijaksanaan, berdiri tegap di hadapan Arjuna yang tampak bersiap-siap. “Arjuna, kekuatan yang ada di dalam dirimu bukanlah kekuatan biasa,” ujar Pak Budi sambil menatap Arjuna dalam-dalam. “Kekuatanmu memiliki jejak masa lalu yang panjang, berhubungan erat dengan para dewa dan dunia spiritual.” Arjuna menyimak dengan penuh perhatian, pandangannya tak lepas dari wajah Pak Budi yang selalu tenang. Selama ini, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya, sesuatu yang sering kali muncul dalam bentuk bayangan aneh dan kekuatan yang tidak ia pahami. Namun, mendengar kata-kata Pak Budi hari ini, Arjuna merasa seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang.**Bab 18: Kekuatan yang Tersembunyi** Suasana malam terasa lebih hening dari biasanya. Langit bertabur bintang, tapi bagi Arjuna, malam ini bukan sekadar waktu untuk beristirahat. Ia duduk bersila di kamarnya, mencoba mengulang latihan meditasi yang diajarkan Pak Budi. Di kepalanya terlintas kejadian-kejadian aneh yang ia alami selama ini, juga kilasan kekuatan yang mulai ia rasakan namun belum sepenuhnya ia kuasai. “Sesuatu yang besar sedang menantimu,” gumam Arjuna pada dirinya sendiri, teringat kata-kata Pak Budi. Ia menutup matanya lebih erat, berusaha merasakan kembali getaran kekuatan dalam dirinya. Di tempat lain, Ragnar dan Banyu bertemu di area tersembunyi di pinggiran kampus, jauh dari hiruk-pikuk dan pandangan mahasiswa lain. Ragnar menatap Banyu dengan sorot mata penuh perhitungan. “Bagaimana, apa kau mendapatkan informasi yang kita butuhkan?” Ragnar bertanya sambil menyilangkan tangan. Banyu mengangguk. “Dani mengungkapkan bahwa Pak Budi memang dikenal di kampus, dan
**Bab 19: Cahaya Dari Timur** Malam itu, setelah pertarungan dengan bayangan gelap, Arjuna duduk bersila di depan Pak Budi di sebuah gua kecil yang terletak di dalam hutan. Sisa-sisa energi pertempuran masih terasa, tetapi Arjuna kini dihantui oleh perasaan berat di dadanya. Pertarungannya melawan makhluk itu bukan hanya fisik; ia merasakan bayangan gelap itu mencoba memakan jiwanya, menyeretnya ke sisi yang lebih gelap dari dirinya sendiri. Pak Budi, yang duduk di seberangnya, memperhatikan perubahan pada wajah Arjuna. “Kau mulai menyadari, bukan? Kekuatan besar seperti ini tak hanya menjadi berkat, tetapi juga kutukan jika tak dikendalikan.” Arjuna mengangguk pelan, tetapi sebelum ia sempat menjawab, cahaya lembut tiba-tiba memenuhi gua. Pak Budi segera bangkit, tangannya menyentuh tasbih yang tergantung di pinggangnya, bersiap menghadapi ancaman lain. Namun, cahaya itu tak membawa ancaman. Sebaliknya, ia membawa keda
**Bab 20: Jejak Cahaya dan Bayangan** Malam berganti pagi, namun bagi Arjuna, ketegangan dari pertempuran melawan bayangan Ragnar dan serigala gelap itu masih terasa segar. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya terus bergerak. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di cakrawala, dan ia harus bersiap menghadapinya. Pak Budi, yang duduk di seberang api unggun kecil di depan gua, mengamati muridnya dengan tatapan bijaksana. Ia tahu Arjuna sudah melewati batas kemampuannya semalam, tetapi ia juga tahu bahwa waktu mereka terbatas. "Arjuna," ucap Pak Budi akhirnya, memecah keheningan, "kau berhasil menguasai sebagian kecil dari kekuatanmu. Itu luar biasa, tapi jangan terlalu puas dulu." Arjuna mengangguk, meskipun matanya menunjukkan kebimbangan. "Apa menurut Anda aku akan siap ketika mereka datang lagi?" Pak Budi menarik napas dalam. "Siap atau tidak, mereka tidak akan berhenti. Ragnar dan Sven adalah tipe yang sabar.
**Bab 21: Kekacauan di Tengah Kota** Langit kota mendung, seolah memprediksi kekacauan yang akan segera terjadi. Di jalan utama, orang-orang berlarian panik, menjauhi bayangan besar yang menjulang tinggi. Bayangan itu tidak memiliki bentuk pasti—kadang terlihat seperti raksasa berkepala tiga, kadang seperti makhluk dengan cakar tajam dan sayap hitam. Di sebuah sudut kota, Livia dan Helena berdiri mematung, mata mereka terpaku pada fenomena aneh tersebut. "Helena, kita harus pergi!" Livia menarik tangan sahabatnya, tetapi tubuhnya kaku karena ketakutan. "Apa itu, Livia? Itu... bukan manusia," bisik Helena, suaranya bergetar. Livia tahu, apa pun makhluk itu, kehadirannya membawa ancaman besar. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, bayangan itu tiba-tiba berubah bentuk lagi, menciptakan sebuah pusaran angin besar yang membuat kaca-kaca toko di sekitar mereka pecah. Helena menjerit, menunduk
Bab 23: Taktik dan BayanganDi sudut gelap dunia manusia, Ragnar duduk di sebuah ruangan sempit yang diterangi cahaya redup dari lilin-lilin tua. Di hadapannya, bola kristal berputar pelan, memantulkan bayangan wajahnya yang tegang. Di sebelahnya, Banyu berdiri dengan tangan bersedekap, sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. "Jadi, Odin telah menunjukkan dirinya," Ragnar membuka percakapan dengan nada serius. "Itu berarti Amaterasu benar-benar percaya pada bocah manusia itu. Ini lebih buruk dari yang aku kira." Banyu, dengan seringai kecil di wajahnya, menjawab, "Kau panik, Ragnar? Bukankah itu tidak seperti dirimu?" Ragnar menatapnya tajam, tetapi tak berkata apa-apa. Dia tahu Banyu sering berbicara dengan nada menggoda, tetapi kali ini situasinya tidak untuk main-main. "Bocah itu sudah menjadi masalah sejak awal," Ragnar melanjutkan. "Sekarang, dengan perlindungan Amaterasu, kita tidak hanya menghadapi kekuatan Ares, tetapi
**Bab 24: Batas Cahaya dan Kegelapan** Di tengah malam yang sepi, portal gelap milik Banyu memudar di depan apartemen Livia. Sosoknya muncul dengan tenang, mengenakan jaket hitam yang membuatnya tampak seperti mahasiswa biasa. Matanya bersinar redup dengan kejahatan yang tersembunyi di balik wajah ramahnya. “Sepertinya perlindungan Amaterasu cukup kuat,” gumamnya sambil merasakan aura yang mengelilingi apartemen itu. Banyu melangkah mendekat, namun begitu ia mencoba menembus penghalang gaib itu, sebuah cahaya keemasan menyala terang, mendorongnya mundur. Ia terkejut, menyadari bahwa kekuatan Amaterasu lebih besar dari yang ia perkirakan. “Kurang ajar,” desisnya. “Tapi ini belum selesai.” Dari dalam kegelapan, sebuah suara memanggilnya. "Jangan gegabah, Banyu." Banyu menoleh dan melihat Ragnar berdiri di sana, matanya tajam memerhatikan situasi. “Penghalang ini terlalu kuat
Bab 25: Pertarungan Sengit Hutan lebat di bawah sinar rembulan menjadi tempat pertemuan rahasia para dewa. Amaterasu, Odin, Zeus, dan Pak Budi berdiri mengelilingi altar kuno yang memancarkan cahaya keemasan. Ketegangan meliputi udara. "Dia tidak akan mampu," suara Zeus bergema, penuh keraguan. "Arjuna terlalu muda. Bahkan dengan kekuatan Ares, dia masih manusia yang lemah." Odin, yang berdiri dengan tongkat bercahaya di tangan, menjawab dengan bijak, "Setiap pahlawan besar memulai perjalanan mereka dengan keraguan. Arjuna akan membuktikan bahwa manusia bisa lebih kuat daripada yang kita kira." Pak Budi, dengan sikap sederhana namun penuh keyakinan, menambahkan, "Saya telah melihat potensinya. Dia hanya perlu diberi waktu. Namun, Sven tidak akan memberi kita waktu itu." Amaterasu menatap mereka semua dengan serius. "Kita tidak punya pilihan lain. Sven sudah menggerakkan pasukannya. Perlindungan di sekitar Livia adalah pertahanan terakhir kita sebelum ia menyerang lebih j
**Bab 26:Awal Perjalanan** Pagi yang dingin menyelimuti tempat persembunyian mereka. Arjuna bersiap-siap untuk perjalanan panjang ke pegunungan es seperti yang diarahkan oleh Pak Budi. Di sisi lain, Livia, Bayu, Dani, dan Sarah tetap tinggal untuk memperkuat perlindungan di sekitar persembunyian. Pak Budi menyerahkan gulungan tua kepada Arjuna. Gulungan itu menggambarkan jalur menuju kuil Odin yang tersembunyi di puncak pegunungan es. "Ingat, perjalanan ini tidak hanya menguji fisikmu, tetapi juga hatimu. Jangan biarkan keraguan menguasaimu." Arjuna mengangguk. "Aku akan kembali dengan kekuatan yang cukup untuk mengakhiri semua ini." Saat Arjuna bersiap untuk pergi, Livia mendekatinya. Wajahnya terlihat gelisah. "Juna, aku tahu ini penting, tapi aku tidak bisa berhenti merasa kalau perjalanan ini terlalu berbahaya." "Aku harus pergi, Liv," jawab Arjuna dengan suara lembut namun te
Bab 83: Api Dendam yang Membara Arjuna berdiri terpaku di depan puing-puing rumah orang tuanya. Malam yang gelap terasa seperti neraka bagi dirinya. Bau hangus dari kayu yang terbakar masih tercium, bercampur dengan darah yang mengering di tanah. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan oleh kemarahan yang membara. Pak Budi berdiri di sampingnya, tubuhnya penuh luka setelah pertarungan sengit melawan Kyle dan Ragnar. Meski berhasil melukai Kyle, kehadiran Ragnar yang mendadak mengubah segalanya. Kini, mereka hanya bisa berdiri di hadapan kehancuran, dengan dua tubuh tak bernyawa tergeletak di antara reruntuhan. “Arjuna...” Pak Budi mencoba berbicara, tetapi suaranya bergetar. Arjuna perlahan berlutut di samping tubuh kedua orang tuanya. Matanya menatap kosong ke arah mereka, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Ibunya, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat, kini terbaring diam dengan luka mendalam di dadanya. Ayahnya, yang selalu menjadi sosok pelindu
Bab 82: Darah di Bawah Langit Malam Di tengah kegelapan ruang bawah tanah yang dingin, Sven berdiri dengan angkuh di atas lantai batu yang berlumut. Kilatan cahaya biru dari bola kristal di tangannya memantulkan wajahnya yang penuh dengan kegetiran dan kebencian. Mata merahnya menatap tajam pusaran dimensi dalam bola tersebut, menyaksikan Arjuna yang baru saja berhasil melewati ujian waktu bersama Sun Wukong dan Pak Budi. "Dia semakin kuat," gumam Sven dengan suara berat yang menggema di ruangan itu. Di sampingnya, berdiri sosok pria berotot dengan rambut pirang pendek dan wajah keras — Kyle, tangan kanan Sven yang terkenal tanpa ampun. Mata Kyle yang dingin memancarkan kekejaman yang sudah menjadi ciri khasnya. “Dia sudah melampaui ekspektasi kita,” lanjut Sven sambil mengepalkan tangan. "Tapi kekuatan yang besar tidak ada artinya kalau hati seseorang dihancurkan.” Kyle mengangguk tanpa ekspresi. “Apa perintahmu, Tuan Sven?” Sven tersenyum tipis, senyum yang lebih me
Bab 81: Ujian Waktu dan Bayangan Masa Lalu Arena kosmik berputar seperti pusaran dimensi tanpa akhir. Arjuna berdiri di tengahnya, tubuhnya diliputi rasa lelah yang menusuk, tetapi tekadnya tetap membara. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan cermat persiapan ujian berikutnya. “Ujian waktu adalah ujian terakhir sebelum kau sepenuhnya layak disebut pewaris kekuatan para dewa,” kata Sun Wukong dengan suara berat. Pak Budi menambahkan, “Ini bukan sekadar perjalanan melawan elemen. Waktu adalah musuh yang tidak terlihat, yang bisa menghancurkan jiwa siapa pun.” Arjuna menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang ia lewati—kematian teman-temannya, kekacauan yang ditinggalkan Sven, serta kehilangan besar yang menghantam hatinya—ia tahu bahwa ujian ini mungkin yang paling berbahaya. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arjuna sambil menatap lurus ke pusaran waktu yang berkilauan di depannya. “Kau harus melangkah ke dalam waktu itu sendiri,” j
Bab 80: Ujian Kekosongan Arena Kosmik kembali hening. Hanya gema napas Arjuna yang terdengar saat ia berdiri di tengah ruang tak berujung itu. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya setelah menghadapi dua elemen pertama, angin dan api. Namun, tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan ujian yang lebih berat sedang menantinya. Sun Wukong berdiri di tepi arena, tongkat emasnya menciptakan suara ketukan pelan saat ia menyentuh lantai kaca hitam dengan ujung tongkatnya. Wajahnya serius, sebuah ekspresi yang jarang terlihat dari raja kera yang biasanya ceria. Pak Budi berdiri di sampingnya, tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh perhatian. "Elemen berikutnya akan benar-benar menguji inti jiwamu, Arjuna," kata Pak Budi, suaranya bergema lembut di dalam arena. "Ini bukan soal kekuatan fisik atau bahkan pengendalian energi semata. Ini tentang seberapa kuat hatimu menghadapi kehampaan
Bab 79: Awal Perjalanan Baru Keesokan paginya, langit di Alam Para Dewa dihiasi warna keemasan yang memukau, seperti lukisan hidup yang tak ada bandingannya di dunia fana. Sinar mentari lembut menyentuh setiap sudut istana, membawa ketenangan sekaligus kekuatan baru bagi siapa pun yang merasakannya. Arjuna berdiri di balkon kamarnya, mengenakan pakaian tempur ringan yang diberikan para dewa. Angin sejuk mengelus wajahnya, namun pikirannya jauh dari damai. Ia memikirkan kata-kata Amaterasu semalam. Bayangan Livia yang berlatih untuk menjadi lebih kuat terus menghantui benaknya. Di satu sisi, ia merasa bangga atas keberanian Livia, namun di sisi lain, ia khawatir. Livia adalah bagian terpenting dalam hidupnya, dan gagasan bahwa ia harus menghadapi bahaya membuat Arjuna tidak bisa tenang. “Sudah siap?” Suara Sun Wukong yang khas membuyarkan lamunan Arjuna. Ia menoleh dan mendapati sosok raja kera itu berdiri di depan pintu kamar, dengan tongkat emasnya yang bersandar di bahu.
Bab 78: Ketenangan Sebelum Badai Setelah pertemuan panjang dengan para dewa, Arjuna merasa tubuh dan pikirannya lelah. Langkahnya berat saat ia mengikuti Sun Wukong dan Pak Budi melalui lorong-lorong megah di istana Alam Para Dewa. Dinding-dindingnya penuh ukiran indah, menceritakan kisah-kisah kuno tentang peperangan, cinta, dan pengorbanan. “Kau butuh istirahat,” kata Pak Budi lembut. “Pikiranmu harus jernih untuk apa yang akan datang.” Arjuna hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menjawab. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar besar yang disediakan untuknya. Pintu besar dari kayu berukir terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat. Di dalamnya, ruangan itu memancarkan aura ketenangan. Tempat tidurnya besar, dihiasi kain sutra berwarna biru dan emas. Di sudut ruangan, sebuah jendela besar menghadap ke langit ungu Alam Para Dewa, memberikan pemandangan yang memukau. “Ini tempatmu untuk malam ini,” kata Sun Wukong sambil melirik sekeliling. “Manfaatkan waktumu. Besok,
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men