**Bab 26:Awal Perjalanan** Pagi yang dingin menyelimuti tempat persembunyian mereka. Arjuna bersiap-siap untuk perjalanan panjang ke pegunungan es seperti yang diarahkan oleh Pak Budi. Di sisi lain, Livia, Bayu, Dani, dan Sarah tetap tinggal untuk memperkuat perlindungan di sekitar persembunyian. Pak Budi menyerahkan gulungan tua kepada Arjuna. Gulungan itu menggambarkan jalur menuju kuil Odin yang tersembunyi di puncak pegunungan es. "Ingat, perjalanan ini tidak hanya menguji fisikmu, tetapi juga hatimu. Jangan biarkan keraguan menguasaimu." Arjuna mengangguk. "Aku akan kembali dengan kekuatan yang cukup untuk mengakhiri semua ini." Saat Arjuna bersiap untuk pergi, Livia mendekatinya. Wajahnya terlihat gelisah. "Juna, aku tahu ini penting, tapi aku tidak bisa berhenti merasa kalau perjalanan ini terlalu berbahaya." "Aku harus pergi, Liv," jawab Arjuna dengan suara lembut namun te
**Bab 27: Ujian di Kuil Odin **Di Gerbang Kuil Odin** Dingin yang menusuk seolah menyusup hingga ke tulang Arjuna saat ia berdiri di depan Kuil Odin. Pemandangan di sekitarnya begitu menakjubkan: puncak gunung bersalju yang menjulang tinggi, dan langit keabuan yang terhampar luas, melingkupi kuil dengan ukiran kuno yang memancarkan aura mistis. Odin berdiri di depan gerbang, tongkatnya yang berujung burung gagak bersinar redup. "Arjuna," ujar Odin dengan suara berat, "di dalam kuil ini, kau akan diuji hingga ke inti jiwamu. Hanya mereka yang mampu menghadapi ketakutan, dosa, dan keraguan dalam diri mereka yang akan keluar sebagai pemenang." Arjuna mengangguk. Tombak *Guntur Naga* yang diberikan Pak Budi terasa berat di tangannya, seolah menambah beban mental yang sudah ia rasakan sejak kepergian Helena. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir bayangan kekalahan dan rasa bersalah. Ketika Odin mengetukkan tongkatnya ke tanah, pintu besar kuil itu mulai membuka dengan suar
Bab 28: Serangan Mendadak Di Tempat Persembunyian Malam itu begitu sunyi, hanya terdengar angin dingin yang menerpa dinding kayu markas persembunyian. Semua orang berkumpul di ruang utama, merasakan ketegangan yang menggantung di udara. Livia bersandar di sudut ruangan, wajahnya masih pucat akibat luka yang belum sepenuhnya sembuh. Ratna, seperti biasanya, berada di sisinya, memastikan perban di lengan Livia tetap terpasang dengan baik. "Kau harus tetap tenang," ujar Ratna, berusaha menenangkan. "Tubuhmu belum pulih, jangan memaksakan diri." "Aku hanya berharap kita semua bisa selamat dari ini, Ratna," balas Livia lemah namun tegas. Di sisi lain ruangan, Bayu, Dani, dan Sarah berkumpul di sekitar meja, mempelajari rencana pertahanan darurat yang sudah mereka susun. Dani tampak paling gelisah, memegang pisaunya dengan tangan yang gemetar. "Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Bayu dengan nada serius. "Kalau mereka menyerang lagi seperti tadi malam, kita tidak akan punya b
*Bab 29: Cahaya di Tengah Gelap Malam itu, suasana desa terasa begitu sunyi, seperti menyimpan rahasia kelam yang tak terucap. Angin dingin membawa aroma tanah basah, sementara pohon-pohon besar yang mengelilingi desa berdiri kokoh seperti pelindung diam. Arjuna dan kelompoknya baru saja tiba, tubuh mereka masih diliputi rasa lelah setelah perjalanan yang panjang dan penuh bahaya. Pak Budi berdiri di depan gerbang kayu yang besar, tangannya terangkat seolah memberikan penghormatan kepada sesuatu yang tak terlihat. "Desa ini bukan desa biasa," ucapnya, suaranya penuh wibawa. "Para leluhur melindungi tempat ini, tapi kalian harus berhati-hati. Perlindungan mereka tidaklah abadi." **Kedatangan yang Mencurigakan** Saat mereka melangkah masuk, penduduk desa memandang dengan mata penuh rasa curiga dan ketakutan. Beberapa ibu menarik anak-anak mereka, sementara yang lain berbisik-bisik di balik pintu. Bayu berbisik pada Dani, "Apa mereka takut pada kita?" Dani, meskipun gemetar, menc
Bab 30: Kegelapan yang Mengintai Pagi hari datang dengan keheningan yang menyesakkan. Desa yang semalam dilanda ketakutan kini tampak seperti sebuah tempat yang hilang dari waktu. Penduduknya mulai keluar dari rumah, namun wajah-wajah mereka kosong, seperti terperangkap dalam ketakutan yang mendalam. Arjuna, Pak Budi, dan yang lainnya duduk di ruang tamu rumah kepala desa, mencoba menyusun rencana selanjutnya. "Pak Budi," kata Arjuna dengan suara berat. "Kita sudah melawan Mara, tapi aku merasa... ini baru permulaan. Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai." Pak Budi mengangguk perlahan. "Kau benar, Arjuna. Mara hanyalah perpanjangan dari kekuatan yang lebih gelap. Kekuatan yang mengarah pada kehancuran. Tapi kita harus tetap kuat. Setiap langkah yang kita ambil kini akan menentukan apakah kita bisa menghadapinya atau tidak." Arjuna menatapnya tajam. "Bagaimana kita bisa melawannya jika kita terus-menerus dihantui oleh ketakutan? Aku merasa tidak bisa mengendalikan diriku." Sar
Bab 32: Jejak di Dalam Kegelapan Malam di desa dipenuhi ketegangan. Angin dingin berhembus membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering, menyelinap melalui celah-celah dinding rumah Pak Budi. Di dalamnya, suasana tak kalah suram. Arjuna duduk di dekat perapian, matanya terpaku pada nyala api yang memantul di retakan dinding tanah liat. Namun pikirannya melayang, memutar kembali semua kejadian sejak ia terlibat dalam perang ini. Di sudut lain ruangan, Pak Budi sibuk mencampurkan ramuan herbal di dalam sebuah mangkuk batu. Tangannya bergerak cepat, mencampur dedaunan, akar, dan cairan yang mengeluarkan aroma menyengat. "Kau kelihatan gelisah, Juna," katanya, memecah keheningan tanpa menoleh. Arjuna mengusap wajahnya. "Aku hanya memikirkan apa yang kau katakan tadi, soal portal itu. Aku paham bahayanya, tapi... kenapa harus aku, Pak?" Pak Budi menghentikan pekerjaannya, menatap Arjuna dengan tatapan tajam namun penuh pengertian. “Karena kau adalah Ares, sang dewa perang. Kau terl
**Bab 31: Api yang Terpendam** Malam itu, udara di desa terasa berat, seperti menanggung beban yang tidak terlihat. Arjuna berdiri di luar aula desa, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Tatapannya terpaku pada hutan gelap yang tampak tidak berujung. Kegelisahan menguasai dirinya, menyelimuti pikiran dengan rasa bersalah dan ketidakpastian. Suara langkah pelan mendekatinya, memecah keheningan. Ratna muncul dari balik bayangan, wajahnya penuh kekhawatiran. Ia membawa selimut tipis dan menggantungkan senyuman kecil di bibirnya. "Kau di sini lagi, memikirkan hal-hal yang sama," katanya pelan. Arjuna hanya diam, matanya masih menatap ke arah hutan. Ratna mendesah, lalu berdiri di sampingnya. “Kau tidak perlu menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi, Arjuna,” katanya sambil menyerahkan selimut itu. “Kita semua tahu kau melakukan yang terbaik.” Arjuna menerima selimut itu, meski tidak memakainya. "Aku mencoba, Ratna. Tapi mencoba saja tidak cukup. Kekuatan ini... setia
**Bab 33: Pertanda dari Kegelapan** Matahari perlahan menyembul dari balik awan, namun suasana hati kelompok kecil yang berkumpul di rumah Pak Budi tidak selaras dengan kecerahan pagi itu. Mereka semua tahu ancaman Ragnar semakin dekat. Ketegangan tergambar jelas di wajah Ratna, Livia, Bayu, Dani, dan Sarah yang duduk melingkar, mendengarkan rencana Pak Budi. "Kita harus segera menuju kuil tempat keris ini ditempa," ujar Pak Budi sambil mengangkat keris yang kini berada di tangan Arjuna. "Arjuna harus menyelesaikan ujiannya di sana. Kekuatan sejati keris ini hanya bisa terbangkitkan setelah itu. Tanpa kekuatan penuh, kita semua akan kalah." Bayu mengerutkan kening. "Tapi kenapa harus kita semua ikut? Bukannya ini hanya urusan Arjuna?" Ratna mendesah kesal. "Bayu, berhenti mengeluh. Kita semua sudah terlibat sejak awal." "Dia benar," tambah Sarah. "Kita semua di sini untuk me
Bab 68: Rencana dalam Kegelapan Di dalam ruang tak bercahaya di benteng Sven, Kyle berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, menatap peta yang terbentang di atas meja batu besar. Sekelilingnya, keheningan menggantung tegang, hanya dipecahkan oleh suara langkah berat ketika empat sosok memasuki ruangan satu per satu. Lyra, dengan rambut putih yang tampak membara seperti api, mendekati meja dengan gerakan anggun. Matanya yang berkilauan memancarkan keyakinan akan kekuatannya. Di belakangnya, Damos melangkah masuk dengan suara gemuruh, tubuh berbatu raksasanya hampir menyentuh langit-langit ruangan. Eryon, makhluk tanpa wajah yang tubuhnya bergerak seperti bayangan cair, muncul dari kegelapan tanpa suara, hanya meninggalkan getaran samar di udara. Terakhir, Velric memasuki ruangan, baju zirah hitam berlumuran darahnya memantulkan cahaya redup dari obor. Ia berjalan dengan ketenangan seorang ksatria yang tahu betul kekuatannya tak tertandingi. “Jadi, inilah merek
Bab 67: Luka yang Menorehkan Harga Diri Ruangan tempat Ragnar berbaring sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang menjadi pengiring waktu. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun perban yang membalut dada dan lengannya sudah diganti berkali-kali. Aroma obat memenuhi udara, menyatu dengan dinginnya lantai batu. Di luar, awan gelap menyelimuti langit, membuat suasana semakin muram. Ragnar mengerang pelan, mencoba mengangkat tubuhnya dari ranjang sempit yang ia tempati. Setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam di otot dan tulangnya. Kekalahan dari Arjuna menjadi beban yang lebih berat daripada luka-luka fisiknya. Bukan hanya kekalahan itu melukai tubuhnya, tetapi juga egonya yang selama ini ia anggap tak tergoyahkan. Pintu ruangan terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Kyle muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat santai, tetapi tatapan matanya seperti elang yang mengamati mangsanya. Ia membawa secangkir kopi yang masih men
Bab 66: Di Bawah Langit yang Tenang Setelah pertemuan dengan para dewa, Arjuna kembali ke pondok sederhana di tepi hutan tempat ia dan Livia berlindung sementara waktu. Hembusan angin malam membawa kesejukan, menenangkan pikiran Arjuna yang masih dipenuhi dengan bayangan pertarungan dan pesan para dewa. Ia membuka pintu kayu pondok perlahan, dan di dalam, Livia tengah duduk di kursi dekat jendela, memandang bulan yang menggantung tinggi di langit. “Bagaimana?” tanya Livia lembut, menoleh ke arah Arjuna. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap penuh perhatian. “Pertarungan ini masih jauh dari selesai,” jawab Arjuna, suaranya rendah. Ia menutup pintu di belakangnya, berjalan mendekat. “Semar dan para dewa memperingatkanku bahwa Sven sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang... mungkin akan mengubah segalanya.” Livia menghela napas pelan, tangannya menyentuh lengan kursi. “Arjuna, kau telah berjuang begitu keras. Tapi, kau juga butuh waktu untuk bernapas.
Bab 65: Perang yang Mendekat Hening menggantung di antara medan perang yang baru saja menjadi saksi kehancuran. Arjuna berdiri di tengah puing-puing, tubuhnya menggigil oleh sisa adrenalin yang masih mengalir deras. Kemenangan melawan Ragnar adalah bukti kekuatannya, tetapi juga pengingat akan bahaya yang lebih besar: Sven. Livia mendekatinya, wajahnya penuh kelegaan sekaligus kekhawatiran. Ia menggenggam tangan Arjuna dengan erat, seolah takut kehilangan dia lagi. “Arjuna, kau tahu ini belum selesai, kan?” Arjuna menatapnya, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi tekad. “Aku tahu, Livia. Sven sedang menunggu. Dia tidak akan tinggal diam setelah Ragnar kalah.” Malam itu, di perkemahan kecil yang mereka dirikan di pinggir hutan, Arjuna duduk di depan api unggun yang menyala redup. Livia tertidur di sisinya, kelelahan setelah hari yang panjang. Namun, pikiran Arjuna terus berputar. Ia tahu Sven adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada Ragnar. Sven adalah penguasa
Bab 64: Keputusan yang Tak Terhindarkan Suara dentingan senjata masih menggema di udara saat pertarungan antara Arjuna dan Ragnar mencapai puncaknya. Setiap gerakan mereka menciptakan ledakan energi yang mengguncang tanah, menghancurkan pepohonan, dan membuat udara bergetar. Namun, meski telah menggunakan kekuatan Ares yang mengalir di dalam dirinya, Arjuna merasakan tekanan yang luar biasa. Ragnar bukanlah lawan sembarangan; ia bertarung dengan presisi mematikan dan kekuatan luar biasa, seperti predator yang bermain-main dengan mangsanya sebelum memberikan pukulan terakhir. Livia berdiri di kejauhan, menggenggam tangan di depan dadanya dengan wajah penuh kecemasan. Ia ingin berteriak, ingin memberikan dukungan kepada Arjuna, tetapi suaranya tertahan oleh rasa takut yang mencekam. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ragnar adalah monster, kekuatan yang jauh melampaui batas manusia biasa. Namun, ia juga tahu bahwa Arjuna adalah satu-satunya harapan yang mereka mil
Bab 63: Bayangan yang Semakin Menggelap Malam itu menjadi saksi bagaimana Arjuna bertempur mati-matian melawan bayangan gelap yang mencoba membawa Livia. Cahaya biru dari kristal di tangannya mulai meredup, namun ia tetap berdiri dengan tubuh penuh luka. Nafasnya memburu, tapi matanya menyala dengan tekad. “Livia, kau harus pergi sekarang!” Arjuna berteriak sambil menahan satu bayangan yang menyerangnya dengan cakar hitam yang tajam. Livia memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Arjuna!” Namun, sebelum Livia sempat melangkah, salah satu bayangan melesat cepat ke arahnya. “Tidak!” Arjuna melompat ke depan, mengayunkan tinjunya yang berselimut cahaya biru. Bayangan itu hancur seketika, tetapi sisanya semakin agresif, mengepung mereka berdua. “Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan,” suara Ares bergema dalam pikiran Arjuna. **“Kita harus mundur sementara, atau kau akan kehilangan segalanya!”** “Lalu aku harus pergi ke mana?
Bab 62: Awan Gelap yang Menggantung Arjuna duduk di sisi tempat tidurnya, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin pagi berembus lembut, tetapi ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Mimpi yang baru saja dialaminya masih membekas kuat, seperti sebuah luka yang sulit sembuh. Livia sudah kembali tidur, tubuhnya terbungkus selimut hangat. Melihatnya dalam keadaan damai seperti itu membuat hati Arjuna terasa lega, tetapi pikirannya tetap kacau. Ia tahu Sven sedang merencanakan sesuatu. Mimpi itu bukan sekadar gambaran acak, melainkan sebuah pesan—peringatan tentang apa yang akan datang. Ia merasakan kehadiran Ares di dalam dirinya, membara seperti api yang siap membakar. **"Kau merasa itu nyata karena memang nyata,"** suara Ares terdengar, bergema di benaknya. **"Apa maksudmu?"** balas Arjuna dalam pikirannya. **"Mimpi itu bukan hanya pesan, tetapi sebuah celah kecil ke dalam rencana mereka. Sven ingin mematahkanmu sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai. Kau tidak bis
Bab 61: Rencana Gelap di Dunia Bawah Kedalaman dunia bawah selalu sunyi, tetapi bukan sunyi yang tenang—melainkan sunyi yang memekakkan, seolah-olah seluruh dunia itu menyembunyikan jeritan yang tidak pernah selesai. Di sebuah istana besar yang berdiri di atas lautan lava yang mendidih, Sven duduk di takhta hitamnya, wajahnya memancarkan kebencian yang mendalam. Di hadapannya berdiri Ragnar, bawahannya yang paling setia, tetapi juga yang paling kejam. “Semuanya berjalan sesuai rencana,” Ragnar membuka pembicaraan dengan suara penuh keyakinan. “Teman-teman Arjuna sudah kita singkirkan. Sekarang dia hanya memiliki Livia, satu-satunya kelemahan yang tersisa.” Sven tersenyum tipis, senyum yang tidak menunjukkan kegembiraan, melainkan ancaman. “Kehilangan mereka sudah cukup untuk mengguncangnya, tetapi tidak cukup untuk menghancurkannya sepenuhnya. Aku ingin dia tidak hanya kehilangan orang-orang yang ia cintai, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang harus kita l
Bab 60: Sebuah Kebenaran yang Tak TerelakkanArjuna terduduk di tepi tempat tidurnya, matanya menerawang jauh ke luar jendela kamar. Udara pagi terasa dingin, tetapi pikirannya berkecamuk seperti badai. Kenangan dari latihan panjang bersama para dewa masih terpatri jelas dalam benaknya. Ia ingat dengan detail setiap langkah, setiap pukulan, dan setiap pesan yang mereka berikan. Namun, di dunia nyata, semua itu terasa seperti lenyap begitu saja—hanya sekejap dalam tidur malam. Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut jari-jarinya. Meski tubuhnya berada di kamar ini, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah keutuhan yang belum kembali. Matanya melirik ke arah Livia, yang berdiri di dapur kecil mereka, dengan sabar menuangkan teh ke dalam cangkir. Suara kecil dari air yang dituangkan terdengar menenangkan, tetapi di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak terelakkan. Livia berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. “Ini, minumlah. Semoga bisa membantu menenangkanmu,” katanya sa