Bab 60: Sebuah Kebenaran yang Tak TerelakkanArjuna terduduk di tepi tempat tidurnya, matanya menerawang jauh ke luar jendela kamar. Udara pagi terasa dingin, tetapi pikirannya berkecamuk seperti badai. Kenangan dari latihan panjang bersama para dewa masih terpatri jelas dalam benaknya. Ia ingat dengan detail setiap langkah, setiap pukulan, dan setiap pesan yang mereka berikan. Namun, di dunia nyata, semua itu terasa seperti lenyap begitu saja—hanya sekejap dalam tidur malam. Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut jari-jarinya. Meski tubuhnya berada di kamar ini, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah keutuhan yang belum kembali. Matanya melirik ke arah Livia, yang berdiri di dapur kecil mereka, dengan sabar menuangkan teh ke dalam cangkir. Suara kecil dari air yang dituangkan terdengar menenangkan, tetapi di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak terelakkan. Livia berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. “Ini, minumlah. Semoga bisa membantu menenangkanmu,” katanya sa
Bab 61: Rencana Gelap di Dunia Bawah Kedalaman dunia bawah selalu sunyi, tetapi bukan sunyi yang tenang—melainkan sunyi yang memekakkan, seolah-olah seluruh dunia itu menyembunyikan jeritan yang tidak pernah selesai. Di sebuah istana besar yang berdiri di atas lautan lava yang mendidih, Sven duduk di takhta hitamnya, wajahnya memancarkan kebencian yang mendalam. Di hadapannya berdiri Ragnar, bawahannya yang paling setia, tetapi juga yang paling kejam. “Semuanya berjalan sesuai rencana,” Ragnar membuka pembicaraan dengan suara penuh keyakinan. “Teman-teman Arjuna sudah kita singkirkan. Sekarang dia hanya memiliki Livia, satu-satunya kelemahan yang tersisa.” Sven tersenyum tipis, senyum yang tidak menunjukkan kegembiraan, melainkan ancaman. “Kehilangan mereka sudah cukup untuk mengguncangnya, tetapi tidak cukup untuk menghancurkannya sepenuhnya. Aku ingin dia tidak hanya kehilangan orang-orang yang ia cintai, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang harus kita l
Bab 62: Awan Gelap yang Menggantung Arjuna duduk di sisi tempat tidurnya, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin pagi berembus lembut, tetapi ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Mimpi yang baru saja dialaminya masih membekas kuat, seperti sebuah luka yang sulit sembuh. Livia sudah kembali tidur, tubuhnya terbungkus selimut hangat. Melihatnya dalam keadaan damai seperti itu membuat hati Arjuna terasa lega, tetapi pikirannya tetap kacau. Ia tahu Sven sedang merencanakan sesuatu. Mimpi itu bukan sekadar gambaran acak, melainkan sebuah pesan—peringatan tentang apa yang akan datang. Ia merasakan kehadiran Ares di dalam dirinya, membara seperti api yang siap membakar. **"Kau merasa itu nyata karena memang nyata,"** suara Ares terdengar, bergema di benaknya. **"Apa maksudmu?"** balas Arjuna dalam pikirannya. **"Mimpi itu bukan hanya pesan, tetapi sebuah celah kecil ke dalam rencana mereka. Sven ingin mematahkanmu sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai. Kau tidak bis
Bab 63: Bayangan yang Semakin Menggelap Malam itu menjadi saksi bagaimana Arjuna bertempur mati-matian melawan bayangan gelap yang mencoba membawa Livia. Cahaya biru dari kristal di tangannya mulai meredup, namun ia tetap berdiri dengan tubuh penuh luka. Nafasnya memburu, tapi matanya menyala dengan tekad. “Livia, kau harus pergi sekarang!” Arjuna berteriak sambil menahan satu bayangan yang menyerangnya dengan cakar hitam yang tajam. Livia memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Arjuna!” Namun, sebelum Livia sempat melangkah, salah satu bayangan melesat cepat ke arahnya. “Tidak!” Arjuna melompat ke depan, mengayunkan tinjunya yang berselimut cahaya biru. Bayangan itu hancur seketika, tetapi sisanya semakin agresif, mengepung mereka berdua. “Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan,” suara Ares bergema dalam pikiran Arjuna. **“Kita harus mundur sementara, atau kau akan kehilangan segalanya!”** “Lalu aku harus pergi ke mana?
Bab 64: Keputusan yang Tak Terhindarkan Suara dentingan senjata masih menggema di udara saat pertarungan antara Arjuna dan Ragnar mencapai puncaknya. Setiap gerakan mereka menciptakan ledakan energi yang mengguncang tanah, menghancurkan pepohonan, dan membuat udara bergetar. Namun, meski telah menggunakan kekuatan Ares yang mengalir di dalam dirinya, Arjuna merasakan tekanan yang luar biasa. Ragnar bukanlah lawan sembarangan; ia bertarung dengan presisi mematikan dan kekuatan luar biasa, seperti predator yang bermain-main dengan mangsanya sebelum memberikan pukulan terakhir. Livia berdiri di kejauhan, menggenggam tangan di depan dadanya dengan wajah penuh kecemasan. Ia ingin berteriak, ingin memberikan dukungan kepada Arjuna, tetapi suaranya tertahan oleh rasa takut yang mencekam. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ragnar adalah monster, kekuatan yang jauh melampaui batas manusia biasa. Namun, ia juga tahu bahwa Arjuna adalah satu-satunya harapan yang mereka mil
Bab 65: Perang yang Mendekat Hening menggantung di antara medan perang yang baru saja menjadi saksi kehancuran. Arjuna berdiri di tengah puing-puing, tubuhnya menggigil oleh sisa adrenalin yang masih mengalir deras. Kemenangan melawan Ragnar adalah bukti kekuatannya, tetapi juga pengingat akan bahaya yang lebih besar: Sven. Livia mendekatinya, wajahnya penuh kelegaan sekaligus kekhawatiran. Ia menggenggam tangan Arjuna dengan erat, seolah takut kehilangan dia lagi. “Arjuna, kau tahu ini belum selesai, kan?” Arjuna menatapnya, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi tekad. “Aku tahu, Livia. Sven sedang menunggu. Dia tidak akan tinggal diam setelah Ragnar kalah.” Malam itu, di perkemahan kecil yang mereka dirikan di pinggir hutan, Arjuna duduk di depan api unggun yang menyala redup. Livia tertidur di sisinya, kelelahan setelah hari yang panjang. Namun, pikiran Arjuna terus berputar. Ia tahu Sven adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada Ragnar. Sven adalah penguasa
Bab 1: Mimpi yang terasa nyata Arjuna Mahendra terbangun di rumah kontrakannya yang sederhana di pinggiran Yogyakarta. Ia duduk di tepi tempat tidur, menggosokkan kedua tangannya ke wajahnya yang tampak letih. Tubuhnya jangkung dengan bahu yang lebar, menunjukkan fisik yang kuat, meski wajahnya sering tampak lelah. Rambut hitamnya berantakan, dan matanya yang gelap memiliki tatapan tajam yang seolah menyimpan berbagai rahasia. Ia terlihat seperti pemuda biasa, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat orang di sekitarnya terkadang merasa ada hal misterius yang tersembunyi. Setelah berdiam sejenak, Arjuna meraih cangkir kopi yang ia siapkan tadi malam dan menatap ke luar jendela. Di pagi yang hening itu, ia bisa melihat sinar matahari perlahan-lahan mulai menerangi halaman belakang. Ada ketenangan dalam rutinitas paginya ini, membuatnya sejenak lupa dengan tugas akhir yang mulai mendekati tenggat waktu. Hidupnya berjalan biasa, tanpa gangguan, dan ia menikmatinya seperti i
Bab 2: Mimpi yang Mengganggu Arjuna terbangun di tengah malam dengan napas terengah-engah. Mimpi itu kembali—kali ini lebih jelas dan nyata. Ia bisa merasakan setiap luka dan suara dari pertempuran yang terjadi dalam mimpinya, membuat tubuhnya penuh dengan keringat dingin. Namun saat mencoba mengingatnya, segalanya kabur begitu saja. Pagi harinya, Arjuna berusaha menenangkan diri, seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, tatapan kosong dan wajah lelahnya justru menarik perhatian teman-teman kampusnya. Saat ia memasuki ruang kelas, beberapa teman dekatnya mulai menyadari perubahan pada dirinya. “Ada apa, Jun? Kamu kelihatan seperti zombie,” tanya Bima, teman sekampusnya yang selalu bersemangat. Bima memiliki tubuh tinggi dengan rambut acak-acakan, dan selalu memakai jaket denim favoritnya ke kampus. Tatapan khawatir tampak jelas di matanya. Arjuna mencoba tersenyum, meski lelah. “Ah, nggak apa-apa, Bim. Cuma lagi sering kebangun tengah malam,” jawabnya sambil menguap. “Serius, ka
Bab 65: Perang yang Mendekat Hening menggantung di antara medan perang yang baru saja menjadi saksi kehancuran. Arjuna berdiri di tengah puing-puing, tubuhnya menggigil oleh sisa adrenalin yang masih mengalir deras. Kemenangan melawan Ragnar adalah bukti kekuatannya, tetapi juga pengingat akan bahaya yang lebih besar: Sven. Livia mendekatinya, wajahnya penuh kelegaan sekaligus kekhawatiran. Ia menggenggam tangan Arjuna dengan erat, seolah takut kehilangan dia lagi. “Arjuna, kau tahu ini belum selesai, kan?” Arjuna menatapnya, matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi tekad. “Aku tahu, Livia. Sven sedang menunggu. Dia tidak akan tinggal diam setelah Ragnar kalah.” Malam itu, di perkemahan kecil yang mereka dirikan di pinggir hutan, Arjuna duduk di depan api unggun yang menyala redup. Livia tertidur di sisinya, kelelahan setelah hari yang panjang. Namun, pikiran Arjuna terus berputar. Ia tahu Sven adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada Ragnar. Sven adalah penguasa
Bab 64: Keputusan yang Tak Terhindarkan Suara dentingan senjata masih menggema di udara saat pertarungan antara Arjuna dan Ragnar mencapai puncaknya. Setiap gerakan mereka menciptakan ledakan energi yang mengguncang tanah, menghancurkan pepohonan, dan membuat udara bergetar. Namun, meski telah menggunakan kekuatan Ares yang mengalir di dalam dirinya, Arjuna merasakan tekanan yang luar biasa. Ragnar bukanlah lawan sembarangan; ia bertarung dengan presisi mematikan dan kekuatan luar biasa, seperti predator yang bermain-main dengan mangsanya sebelum memberikan pukulan terakhir. Livia berdiri di kejauhan, menggenggam tangan di depan dadanya dengan wajah penuh kecemasan. Ia ingin berteriak, ingin memberikan dukungan kepada Arjuna, tetapi suaranya tertahan oleh rasa takut yang mencekam. Ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ragnar adalah monster, kekuatan yang jauh melampaui batas manusia biasa. Namun, ia juga tahu bahwa Arjuna adalah satu-satunya harapan yang mereka mil
Bab 63: Bayangan yang Semakin Menggelap Malam itu menjadi saksi bagaimana Arjuna bertempur mati-matian melawan bayangan gelap yang mencoba membawa Livia. Cahaya biru dari kristal di tangannya mulai meredup, namun ia tetap berdiri dengan tubuh penuh luka. Nafasnya memburu, tapi matanya menyala dengan tekad. “Livia, kau harus pergi sekarang!” Arjuna berteriak sambil menahan satu bayangan yang menyerangnya dengan cakar hitam yang tajam. Livia memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Arjuna!” Namun, sebelum Livia sempat melangkah, salah satu bayangan melesat cepat ke arahnya. “Tidak!” Arjuna melompat ke depan, mengayunkan tinjunya yang berselimut cahaya biru. Bayangan itu hancur seketika, tetapi sisanya semakin agresif, mengepung mereka berdua. “Ini bukan pertarungan yang bisa kita menangkan,” suara Ares bergema dalam pikiran Arjuna. **“Kita harus mundur sementara, atau kau akan kehilangan segalanya!”** “Lalu aku harus pergi ke mana?
Bab 62: Awan Gelap yang Menggantung Arjuna duduk di sisi tempat tidurnya, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin pagi berembus lembut, tetapi ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Mimpi yang baru saja dialaminya masih membekas kuat, seperti sebuah luka yang sulit sembuh. Livia sudah kembali tidur, tubuhnya terbungkus selimut hangat. Melihatnya dalam keadaan damai seperti itu membuat hati Arjuna terasa lega, tetapi pikirannya tetap kacau. Ia tahu Sven sedang merencanakan sesuatu. Mimpi itu bukan sekadar gambaran acak, melainkan sebuah pesan—peringatan tentang apa yang akan datang. Ia merasakan kehadiran Ares di dalam dirinya, membara seperti api yang siap membakar. **"Kau merasa itu nyata karena memang nyata,"** suara Ares terdengar, bergema di benaknya. **"Apa maksudmu?"** balas Arjuna dalam pikirannya. **"Mimpi itu bukan hanya pesan, tetapi sebuah celah kecil ke dalam rencana mereka. Sven ingin mematahkanmu sebelum pertarungan yang sebenarnya dimulai. Kau tidak bis
Bab 61: Rencana Gelap di Dunia Bawah Kedalaman dunia bawah selalu sunyi, tetapi bukan sunyi yang tenang—melainkan sunyi yang memekakkan, seolah-olah seluruh dunia itu menyembunyikan jeritan yang tidak pernah selesai. Di sebuah istana besar yang berdiri di atas lautan lava yang mendidih, Sven duduk di takhta hitamnya, wajahnya memancarkan kebencian yang mendalam. Di hadapannya berdiri Ragnar, bawahannya yang paling setia, tetapi juga yang paling kejam. “Semuanya berjalan sesuai rencana,” Ragnar membuka pembicaraan dengan suara penuh keyakinan. “Teman-teman Arjuna sudah kita singkirkan. Sekarang dia hanya memiliki Livia, satu-satunya kelemahan yang tersisa.” Sven tersenyum tipis, senyum yang tidak menunjukkan kegembiraan, melainkan ancaman. “Kehilangan mereka sudah cukup untuk mengguncangnya, tetapi tidak cukup untuk menghancurkannya sepenuhnya. Aku ingin dia tidak hanya kehilangan orang-orang yang ia cintai, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri. Kau tahu apa yang harus kita l
Bab 60: Sebuah Kebenaran yang Tak TerelakkanArjuna terduduk di tepi tempat tidurnya, matanya menerawang jauh ke luar jendela kamar. Udara pagi terasa dingin, tetapi pikirannya berkecamuk seperti badai. Kenangan dari latihan panjang bersama para dewa masih terpatri jelas dalam benaknya. Ia ingat dengan detail setiap langkah, setiap pukulan, dan setiap pesan yang mereka berikan. Namun, di dunia nyata, semua itu terasa seperti lenyap begitu saja—hanya sekejap dalam tidur malam. Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut jari-jarinya. Meski tubuhnya berada di kamar ini, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah keutuhan yang belum kembali. Matanya melirik ke arah Livia, yang berdiri di dapur kecil mereka, dengan sabar menuangkan teh ke dalam cangkir. Suara kecil dari air yang dituangkan terdengar menenangkan, tetapi di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak terelakkan. Livia berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. “Ini, minumlah. Semoga bisa membantu menenangkanmu,” katanya sa
Bab 59: Latihan Terakhir Arjuna terjatuh dari langit, tubuhnya berputar dengan cepat di antara awan yang bergulung-gulung. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa ringan tetapi pikirannya berat oleh segala hal yang baru saja ia alami. Di bawah sana, tanah semakin jelas terlihat, dan dalam hitungan detik, ia mendarat dengan lembut seperti disentuh oleh tangan tak terlihat. Ia mengedarkan pandangan, dan matanya membelalak ketika mengenali tempat itu. Sebuah ladang yang dipenuhi tanaman padi yang bergoyang pelan diterpa angin. Rumah kayu sederhana berdiri tak jauh dari sana, dan di depannya, seorang pria tua mengenakan kain lurik sedang duduk santai di bawah pohon beringin. “Pak Budi?” suara Arjuna bergetar. Pria itu menoleh, tersenyum dengan wajah yang dipenuhi keriput bijak. “Ah, akhirnya kamu tiba juga, Arjuna. Aku menunggumu cukup lama.” Arjuna berjalan mendekat, napasnya tertahan. Ia tidak percaya bahwa dewa terakhir yang ia temui adalah orang yang ia kenal dengan nama Se
Bab 58: Kilat Terakhir dari Olympus Langit di Olympus bergemuruh, diselimuti awan kelabu yang menggantung rendah seolah bersiap menghantarkan hujan badai. Petir menyambar setiap beberapa detik, menerangi kawasan luas penuh dengan kuil-kuil megah dan pilar-pilar marmer putih. Namun, di tengah kekuatan yang menggetarkan itu, hanya satu sosok yang mendominasi. Zeus. Dewa para dewa Yunani, raja Olympus, berdiri dengan tongkat petir di tangannya. Setiap detak jantungnya seolah menyatu dengan getaran dunia di sekitarnya. Aura kekuasaan yang memancar darinya cukup untuk membuat siapa pun, termasuk dewa-dewa lainnya, menunduk dalam ketakutan atau kekaguman. Namun, di hadapan Zeus, berdiri seorang manusia: Arjuna. Arjuna memandangi Zeus dengan penuh tekad. Ia telah melalui perjalanan panjang dan berat, melatih dirinya dengan para dewa terkuat dalam mitologi yang pernah ia dengar. Namun, kali ini, ia tahu ujian yang akan dihadapinya adalah puncak dari segalanya. “Kau telah belajar dar
Bab 57: Keanggunan dan Kebijaksanaan Hera Langit Gunung Olympus tampak seperti sebuah mahakarya seni, dengan warna biru yang membentang tanpa batas, dihiasi awan-awan putih lembut yang melayang perlahan. Di kejauhan, puncak-puncak gunung menjulang seperti penjaga abadi, dan di tengah lanskap yang memukau itu, berdiri sebuah bangunan megah yang memancarkan aura keagungan. Aula Hera. Arjuna berdiri di depan pintu besar aula itu, tubuhnya terasa kecil dibandingkan dengan ukuran bangunan yang menjulang. Ukiran-ukiran pada pintu menggambarkan berbagai kisah mitos, setiap detail memancarkan keindahan seni yang luar biasa. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya setelah pelatihan panjang bersama para dewa sebelumnya. Pintu besar itu terbuka dengan sendirinya, menghasilkan suara lembut namun menggetarkan hati. Arjuna melangkah masuk, dan ia segera disambut oleh suasana yang mencerminkan keanggunan dan ketegasan Hera. Dinding-dinding aula terbuat dari pualam putih, dihia