Bab 66: Di Bawah Langit yang Tenang Setelah pertemuan dengan para dewa, Arjuna kembali ke pondok sederhana di tepi hutan tempat ia dan Livia berlindung sementara waktu. Hembusan angin malam membawa kesejukan, menenangkan pikiran Arjuna yang masih dipenuhi dengan bayangan pertarungan dan pesan para dewa. Ia membuka pintu kayu pondok perlahan, dan di dalam, Livia tengah duduk di kursi dekat jendela, memandang bulan yang menggantung tinggi di langit. “Bagaimana?” tanya Livia lembut, menoleh ke arah Arjuna. Wajahnya tampak lelah, tetapi sorot matanya tetap penuh perhatian. “Pertarungan ini masih jauh dari selesai,” jawab Arjuna, suaranya rendah. Ia menutup pintu di belakangnya, berjalan mendekat. “Semar dan para dewa memperingatkanku bahwa Sven sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang... mungkin akan mengubah segalanya.” Livia menghela napas pelan, tangannya menyentuh lengan kursi. “Arjuna, kau telah berjuang begitu keras. Tapi, kau juga butuh waktu untuk bernapas.
Bab 67: Luka yang Menorehkan Harga Diri Ruangan tempat Ragnar berbaring sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang menjadi pengiring waktu. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, meskipun perban yang membalut dada dan lengannya sudah diganti berkali-kali. Aroma obat memenuhi udara, menyatu dengan dinginnya lantai batu. Di luar, awan gelap menyelimuti langit, membuat suasana semakin muram. Ragnar mengerang pelan, mencoba mengangkat tubuhnya dari ranjang sempit yang ia tempati. Setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam di otot dan tulangnya. Kekalahan dari Arjuna menjadi beban yang lebih berat daripada luka-luka fisiknya. Bukan hanya kekalahan itu melukai tubuhnya, tetapi juga egonya yang selama ini ia anggap tak tergoyahkan. Pintu ruangan terbuka perlahan, menciptakan suara berderit yang memecah keheningan. Kyle muncul dari balik pintu, wajahnya terlihat santai, tetapi tatapan matanya seperti elang yang mengamati mangsanya. Ia membawa secangkir kopi yang masih men
Bab 68: Rencana dalam Kegelapan Di dalam ruang tak bercahaya di benteng Sven, Kyle berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya, menatap peta yang terbentang di atas meja batu besar. Sekelilingnya, keheningan menggantung tegang, hanya dipecahkan oleh suara langkah berat ketika empat sosok memasuki ruangan satu per satu. Lyra, dengan rambut putih yang tampak membara seperti api, mendekati meja dengan gerakan anggun. Matanya yang berkilauan memancarkan keyakinan akan kekuatannya. Di belakangnya, Damos melangkah masuk dengan suara gemuruh, tubuh berbatu raksasanya hampir menyentuh langit-langit ruangan. Eryon, makhluk tanpa wajah yang tubuhnya bergerak seperti bayangan cair, muncul dari kegelapan tanpa suara, hanya meninggalkan getaran samar di udara. Terakhir, Velric memasuki ruangan, baju zirah hitam berlumuran darahnya memantulkan cahaya redup dari obor. Ia berjalan dengan ketenangan seorang ksatria yang tahu betul kekuatannya tak tertandingi. “Jadi, inilah merek
Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri
Bab 70: Bantuan dari Langit dan Bumi Malam itu terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Di tengah kehancuran pondok kecil yang kini tak lebih dari puing-puing, Arjuna berdiri dengan tubuh penuh luka, memegang tombak dengan tangan gemetar. Kyle dan anak buahnya berdiri di hadapannya, penuh percaya diri meski beberapa dari mereka telah terluka. Kyle melangkah maju, senyumnya sinis. "Kau telah mencoba melawan, Arjuna, tapi ini adalah akhirnya. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan." Namun, sebelum Kyle dapat melancarkan serangannya, suara gemuruh menggelegar dari langit. Angin kencang menerjang, memadamkan api yang membakar hutan di sekitar mereka. Langit berubah gelap, dan kilat-kilat petir saling bersahutan, menciptakan pemandangan yang menggetarkan hati. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar meluncur dari balik awan hitam. Tongkat emas raksasa berkilauan turun dari langit seperti meteor dan menghantam tubuh Damos dengan kekuatan luar biasa. Tidak ada waktu untuk Damos
Bab 71: Kembali ke Istana Kegelapan Malam terasa semakin gelap di dunia bawah, atmosfer dingin dan menyesakkan menyelimuti lorong panjang yang berujung pada istana megah milik Sven. Kyle, dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengering, berjalan tertatih-tatih melewati penjaga yang hanya menatapnya tanpa berani memberikan bantuan. Perasaan kalah membakar hatinya, tapi ia menepis semua rasa sakit itu, bertekad melaporkan kegagalan ini pada Sven. Setelah berjam-jam perjalanan penuh rasa sakit, Kyle akhirnya tiba di aula utama istana. Cahaya temaram dari obor di sepanjang dinding menambah suasana suram. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara tawa dingin yang ia kenal baik menggema dari salah satu sudut ruangan. Ragnar, yang kini berdiri dengan tubuh tegap dan tanpa bekas luka, menatap Kyle dengan tatapan penuh ejekan. “Kyle,” ucapnya, suaranya sarat dengan sarkasme. “Apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tikus basah yang baru saja dilempar keluar dari neraka.”
Bab 72: Kesadaran yang Membuka Kebenaran Hutan sunyi, hanya suara hembusan angin yang terdengar di antara pepohonan tinggi. Setelah pertempuran yang berat, suasana tegang telah berubah menjadi keheningan. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri berdekatan, keduanya tampak berbicara dengan Arjuna. “Arjuna,” kata Pak Budi, suaranya lembut namun tegas, “kau harus segera mempersiapkan diri. Sven tidak akan tinggal diam setelah kehilangan pasukan seperti ini.” Sun Wukong mengangguk setuju, tongkat emasnya yang besar berdiri tegak di sampingnya. “Benar. Perang ini baru saja dimulai. Sven akan mengirim yang lebih kuat, yang lebih ganas. Tapi dengan kerja keras, kau bisa menghadapi mereka.” Arjuna mendengarkan dengan serius, pikirannya masih dipenuhi bayangan pertempuran sebelumnya. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara lembut dari dalam pondok. “Arjuna…?” Mata Arjuna melebar. Ia segera berbalik dan berl
Bab 73: Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan Arjuna, Livia, Sun Wukong, dan Pak Budi duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di tengah hutan. Malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit, dan keheningan hutan terasa menenangkan setelah hari yang penuh dengan pertempuran. Arjuna sedang memeriksa luka di lengannya, sementara Livia duduk di sampingnya, tampak cemas. “Luka itu tidak terlalu dalam, kan?” tanya Livia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arjuna tersenyum menenangkan. “Hanya goresan kecil. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.” Pak Budi yang duduk tak jauh dari mereka mengangguk. “Tubuhmu mungkin kuat, tapi hati-hati, Arjuna. Luka kecil bisa menjadi masalah besar jika kau mengabaikannya.” Sun Wukong yang sedang membersihkan tongkat emasnya tertawa kecil. “Semar benar, meskipun aku rasa kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkannya.” Livia menghela napas, lalu menoleh ke Arjuna. “Kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak tahu apa yang akan kulaku
Bab 77: Perjalanan ke Alam Para Dewa Pagi itu, udara di Gunung Salak terasa lebih segar dari biasanya. Sinar matahari menembus celah dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang bergerak di atas tanah. Arjuna, Sun Wukong, dan Pak Budi berdiri di sebuah dataran terbuka, memandang ke arah timur di mana lembah hijau membentang jauh hingga ke cakrawala. Namun, meski pemandangan itu memukau, pikiran mereka tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. “Kita harus bergerak sekarang,” ujar Sun Wukong, tongkat emasnya bersandar di bahunya. “Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita sia-siakan, terutama ketika Sven mungkin sedang mempersiapkan langkah berikutnya.” Pak Budi mengangguk. Ia merapikan kain sarungnya, lalu memandang Arjuna dengan serius. “Alam para dewa bukan tempat sembarangan, Juna. Kau akan bertemu banyak entitas yang memiliki kekuatan jauh di luar nalar manusia. Tetapi, kita tidak punya pilihan. Untuk melawan Sven, kita membutuhkan aliansi yang lebih kuat.” Arjuna menat
Bab 76: Panggilan dari Puncak Kabut tebal semakin menyelimuti perjalanan mereka, membuat udara terasa berat dan mencekik. Sunyi yang mencekam hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka di atas tanah berbatu dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin. Arjuna memimpin di depan, pandangannya tertuju pada puncak yang masih samar terlihat di kejauhan. Panggilan itu semakin kuat, tidak lagi berupa bisikan tetapi menjadi gema yang berdentam di dalam dirinya. “Puncaknya tidak jauh lagi,” kata Pak Budi sambil mengamati sekitar, meskipun nada suaranya penuh kehati-hatian. “Tapi kita harus tetap waspada. Energi di sini semakin kacau.” Arjuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Pikirannya terus tertuju pada suara yang seakan-akan berbicara langsung ke dalam jiwanya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sun Wukong, yang berjalan di belakang, tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Tunggu,” katanya tegas, mengangkat tongkatnya. Matanya menyipit, mena
Bab 75: Di Balik Bayang Gunung Salak Gunung Salak menjulang megah di kejauhan, kabutnya melingkupi puncaknya seperti selimut rahasia yang menjaga misteri. Angin pegunungan yang dingin menyapu wajah Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong saat mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyelimuti dunia dengan cahaya jingga yang menambah suasana menegangkan. “Di sini,” kata Pak Budi sambil berhenti di sebuah celah batu besar. “Ini pintu masuk ke jalur tersembunyi yang akan membawa kita ke tempat latihan berikutnya. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Sven telah mengirim anteknya, mereka mungkin sudah memasang jebakan.” Arjuna mengangguk, matanya memindai sekitar dengan waspada. Ia merasa udara di sekitarnya lebih berat, seolah sesuatu yang tak kasatmata sedang mengintai mereka. “Rasakan itu?” Sun Wukong tiba-tiba berkata, menghentikan langkah mereka. Ia memegang tongkat emasnya dengan erat, matanya menyipit tajam. “Apa itu?” Arjuna bertanya, men
Bab 74: Di Ambang Badai Malam masih membalut hutan dengan keheningan ketika Arjuna, Pak Budi, dan Sun Wukong akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat mereka. Udara malam dingin menusuk, dan hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin menemani langkah mereka. Perasaan kosong melingkupi hati Arjuna setelah perpisahannya dengan Livia. Meskipun ia tahu keputusan itu adalah yang terbaik untuk keselamatan Livia, bayangannya tetap memenuhi pikirannya. Pak Budi berjalan di samping Arjuna, memecah keheningan. “Arjuna, aku tahu kau memikirkan Livia. Tapi, kau harus ingat, apa yang kita hadapi saat ini jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan. Sven dan pasukannya tidak akan berhenti.” Sun Wukong mengangguk dari depan, menoleh sedikit ke belakang. “Bahkan jika kita berhasil melindungi Livia, musuh kita akan menemukan celah lain. Mereka akan terus mencoba. Itu sebabnya, kau harus mempersiapkan dirimu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.” Arjuna menghela napas
Bab 73: Perpisahan di Bawah Cahaya Bulan Arjuna, Livia, Sun Wukong, dan Pak Budi duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di tengah hutan. Malam itu, bintang-bintang bertaburan di langit, dan keheningan hutan terasa menenangkan setelah hari yang penuh dengan pertempuran. Arjuna sedang memeriksa luka di lengannya, sementara Livia duduk di sampingnya, tampak cemas. “Luka itu tidak terlalu dalam, kan?” tanya Livia, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Arjuna tersenyum menenangkan. “Hanya goresan kecil. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.” Pak Budi yang duduk tak jauh dari mereka mengangguk. “Tubuhmu mungkin kuat, tapi hati-hati, Arjuna. Luka kecil bisa menjadi masalah besar jika kau mengabaikannya.” Sun Wukong yang sedang membersihkan tongkat emasnya tertawa kecil. “Semar benar, meskipun aku rasa kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkannya.” Livia menghela napas, lalu menoleh ke Arjuna. “Kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak tahu apa yang akan kulaku
Bab 72: Kesadaran yang Membuka Kebenaran Hutan sunyi, hanya suara hembusan angin yang terdengar di antara pepohonan tinggi. Setelah pertempuran yang berat, suasana tegang telah berubah menjadi keheningan. Pak Budi dan Sun Wukong berdiri berdekatan, keduanya tampak berbicara dengan Arjuna. “Arjuna,” kata Pak Budi, suaranya lembut namun tegas, “kau harus segera mempersiapkan diri. Sven tidak akan tinggal diam setelah kehilangan pasukan seperti ini.” Sun Wukong mengangguk setuju, tongkat emasnya yang besar berdiri tegak di sampingnya. “Benar. Perang ini baru saja dimulai. Sven akan mengirim yang lebih kuat, yang lebih ganas. Tapi dengan kerja keras, kau bisa menghadapi mereka.” Arjuna mendengarkan dengan serius, pikirannya masih dipenuhi bayangan pertempuran sebelumnya. Ia tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara lembut dari dalam pondok. “Arjuna…?” Mata Arjuna melebar. Ia segera berbalik dan berl
Bab 71: Kembali ke Istana Kegelapan Malam terasa semakin gelap di dunia bawah, atmosfer dingin dan menyesakkan menyelimuti lorong panjang yang berujung pada istana megah milik Sven. Kyle, dengan tubuh penuh luka dan darah yang mengering, berjalan tertatih-tatih melewati penjaga yang hanya menatapnya tanpa berani memberikan bantuan. Perasaan kalah membakar hatinya, tapi ia menepis semua rasa sakit itu, bertekad melaporkan kegagalan ini pada Sven. Setelah berjam-jam perjalanan penuh rasa sakit, Kyle akhirnya tiba di aula utama istana. Cahaya temaram dari obor di sepanjang dinding menambah suasana suram. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara tawa dingin yang ia kenal baik menggema dari salah satu sudut ruangan. Ragnar, yang kini berdiri dengan tubuh tegap dan tanpa bekas luka, menatap Kyle dengan tatapan penuh ejekan. “Kyle,” ucapnya, suaranya sarat dengan sarkasme. “Apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tikus basah yang baru saja dilempar keluar dari neraka.”
Bab 70: Bantuan dari Langit dan Bumi Malam itu terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Di tengah kehancuran pondok kecil yang kini tak lebih dari puing-puing, Arjuna berdiri dengan tubuh penuh luka, memegang tombak dengan tangan gemetar. Kyle dan anak buahnya berdiri di hadapannya, penuh percaya diri meski beberapa dari mereka telah terluka. Kyle melangkah maju, senyumnya sinis. "Kau telah mencoba melawan, Arjuna, tapi ini adalah akhirnya. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan." Namun, sebelum Kyle dapat melancarkan serangannya, suara gemuruh menggelegar dari langit. Angin kencang menerjang, memadamkan api yang membakar hutan di sekitar mereka. Langit berubah gelap, dan kilat-kilat petir saling bersahutan, menciptakan pemandangan yang menggetarkan hati. Tiba-tiba, sebuah bayangan besar meluncur dari balik awan hitam. Tongkat emas raksasa berkilauan turun dari langit seperti meteor dan menghantam tubuh Damos dengan kekuatan luar biasa. Tidak ada waktu untuk Damos
Bab 69: Serangan di Malam yang Tenang Arjuna dan Livia menikmati malam yang tenang di sebuah pondok kecil di tengah hutan, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Udara malam terasa segar, ditemani suara gemerisik dedaunan yang bergerak lembut ditiup angin. Setelah peristiwa berat yang mereka alami, malam itu menjadi momen singkat untuk melepaskan beban yang mereka tanggung bersama. Livia, dengan tatapan lembut, menatap ke luar jendela, sementara Arjuna duduk di kursi dekat perapian. Mereka berbincang ringan tentang masa depan—tentang kemungkinan yang masih jauh dari jangkauan, tetapi tetap memberi mereka harapan kecil untuk terus bertahan. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Di kejauhan, bayangan gelap menyelinap di antara pepohonan. Kyle dan timnya telah tiba, bergerak seperti pemburu yang mengintai mangsanya. Mereka tahu betul bahwa pondok kecil itu adalah tempat persembunyian Arjuna dan Livia. Kyle berdiri di depan pasukannya: Lyra, Damos, Eryon, dan Velri