Dalam kegelapan yang pekat, Alagar melihat roh kedua orang tuanya yang disekap oleh rantai pengekang yang kuat dan berkilau. Wajahnya memerah oleh amarah yang membara terhadap Dewa Nika yang telah melakukan hal keji ini.Tanpa ragu, Alagar mengumpulkan kekuatan sihir kegelapannya yang mengalir deras dalam pembuluh darahnya. Dengan gerakan tangan yang cepat dan penuh amarah, ia melepaskan sihir pelahap ke arah rantai pengekang yang mengikat roh kedua orang tuanya.Sihir pelahap itu memakan rantai pengekang dengan lahap, menggerogoti setiap rantai yang mengikat hingga tidak tersisa. Begitu rantai itu lenyap, kedua roh orang tua Alagar terjatuh dengan lemah, seperti daun yang jatuh dari pohon."Ayah, Ibu!" seru Alagar yang langsung mendekati roh kedua orang tuanya. Wajahnya yang semula marah, kini berubah menjadi penuh kecemasan."Alagar," ucap kedua orang tuanya lemah seraya menatap Alagar dengan kasih sayang yang terpancar dari kedua mata roh merek
Dewa Nika terkejut melihat dua sosok Alagar di medan perang, satu sedang melawannya dan satunya lagi tanpa ampun membantai bawahannya dengan pedang kegelapan. Keheranan dan kemarahan bergemuruh dalam dadanya, membuat wajahnya memerah."Kenapa kau terlihat bingung, Nika?" tanya Alagar yang bersama Dewa Nika dengan nada mengejek, menambah amarah Dewa Nika.Dewa Nika menggertakkan giginya, mencoba menahan kemarahannya yang kian memuncak. "Kau ... sejak kapan kau terlepas dari pantauanku!" raung Dewa Nika Marah saat mengetahui lawannya hanyalah sebuah klon.Senyum penuh arti menghiasi wajah klon Alagar, membuat Dewa Nika semakin benci. Tak lama kemudian, klon Alagar melancarkan serangan mendadak yang membuat Dewa Nika terkejut dan terpaksa menghadapi serangan tersebut dengan penuh kewaspadaan.Sementara itu, Alagar yang asli terus membabat habis bawahan Dewa Nika dengan gerakan pedang kegelapan yang begitu cepat dan mematikan. Darah mengucur deras dan
Ketika kabar tentang terbunuhnya Surya dan Ankara mencapai telinga para bawahan Dewa Nika, kepanikan melanda mereka. Para pejuang yang sebelumnya penuh semangat kini terdiam, rasa takut mulai merasuki hati mereka. Tangan mereka bergetar, beberapa bahkan terjatuh ke tanah dalam keputusasaan."Sebenarnya siapa dia?" tanya salah satu bawahan Dewa Nika dengan suara bergetar, sembari menelan ludah yang terasa pahit. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin bercucuran di keningnya."Apakah dia juga setara dengan Tuan Nika?" timpal bawahan lainnya, matanya terbelalak, tak mampu menyembunyikan rasa takut yang memenuhi jiwanya.Suasana di medan perang menjadi mencekam. Raut wajah para bawahan Dewa Nika terlihat sangat putus asa, ada yang menunduk, ada yang terduduk, dan ada pula yang berdoa dalam hati. Mereka begidik ngeri melihat kekuatan Alagar yang mampu melenyapkan Dewa tingkat atas begitu mudahnya.Tiba-tiba, terdengar isak tangis dari seorang bawahan yan
Alagar berdiri tegak di atas reruntuhan gerbang Istana Api yang telah hancur, tangannya terangkat ke udara dan mengarah ke Dewa Nika yang terkapar lemah di tanah. Siluet sihir Naga kegelapan yang melingkar di tubuh Alagar mulai bergerak dengan gesit, seperti hendak membelah langit dan menghantam Dewa Nika dengan kekuatan penuh.Dewa Nika merasakan tubuhnya seperti tertancap ribuan jarum, tak mampu bergerak sedikit pun. Ia berusaha keras mengumpulkan sisa tenaga, namun sia-sia belaka. Para bawahan Dewa Nika menatap putus asa, menyerah pada kekuatan sihir Alagar yang menakutkan. Mereka sadar betul bahwa jika serangan Naga kegelapan itu dilepaskan, seluruh wilayah Istana Api bisa luluh lantak.Namun, tiba-tiba Dewa Agung muncul di antara Alagar dan Dewa Nika, wajahnya penuh kemarahan dan aura kekuatannya terasa sangat kuat. Ia mengangkat tangannya dan menciptakan sekat energi yang melindungi Dewa Nika dari serangan Alagar."Berhenti, Alagar!" teriak
Suni berdiri di hadapan Dewa Agung dengan penuh rasa hormat dan takjub. Matanya memandang sosok yang begitu agung di depannya, dalam posisi yang sopan, Suni membungkukkan badan sedikit pada Dewa Agung, sembari menangkupkan tinju di depan dada."Maaf, saya tidak memberikan salam pada Anda dulu tuan," ucap Suni dengan suara lembut namun jelas. Dia sadar bahwa tugasnya untuk menyelamatkan Istana Api jauh lebih penting daripada formalitas, namun dia tidak ingin melupakan adat dan tatakrama yang diajarkan oleh gurunya selama bertahun-tahun.Dewa Agung menggelengkan kepalanya perlahan, menunjukkan pengertian dan kebijaksanaannya yang mendalam. "Jangan pikirkan itu, aku tahu sangat berat bagimu untuk membunuh Ayahmu sendiri setelah baru keluar dari pertapaan mu," jawabnya dengan nada lembut dan penuh empati.Suni menghela nafas berat, merasakan beban yang selama ini menindih dadanya mulai terangkat perlahan. "Hanya itu yang bisa saya lakukan, Tuan," ujarnya sambi
Saat kedua orang tua Alagar terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dengan peralatan medis yang terhubung ke tubuh mereka. tiba-tiba membuka matanya, seolah-olah mereka baru saja terbangun dari mimpi panjang. Viona dan Pricilia yang ada di sana bergegas mendekat, wajah mereka penuh harapan."Paman, Bibi, syukurlah kalian baik-baik saja," ucap Pricilia dengan suara bergetar, sembari menitikan air mata dan memeluk Ibu Alagar yang masih tampak lemah.Ibu Alagar mencoba tersenyum pada Pricilia, memberikan kekuatan dengan pelukan lemahnya. Sementara itu, Ayah Alagar menggenggam tangan Viona, mengisyaratkan bahwa mereka telah bangkit dari ujian ini.Viona hanya menatap mereka berdua sambil tersenyum, lega melihat mereka sudah sadar. Dia lantas bertanya pada Alagar yang berdiri di sampingnya, matanya penuh penasaran. "Apa kamu sudah menyelesaikan masalahnya?" tanyanya memastikan.Alagar menoleh ke arah Viona, mengangguk sembari tersenyum. "Sudah, semuany
Alagar bergegas cepat menuju rumah sakit, ekspresi wajahnya terluhat santai. Begitu sampai di halaman parkir, dia langsung turun dari mobil dan merasakan ada sesuatu yang ganjil di sekitarnya. Tanpa diduga, waktu seketika membeku, dan udara terasa lebih dingin.Alagar mengernyitkan dahi, tahu siapa yang datang menemuinya. Tiba-tiba, sebuah portal dimensi terbuka di depannya. Dari portal itu, muncul Dewa Agung bersama dengan Bikely dan Suni, sosok yang tak asing lagi bagi Alagar."Apa kedatanganmu ingin membalas dendam apa yang telah aku lakukan di langit?" tanya Alagar dengan suara dingin, seolah tak takut pada kekuatan mereka. Energi sihirnya mulai meluap keluar, mengepul di sekeliling tubuhnya, siap untuk melindungi diri dari serangan apapun.Suni, yang melihat kemarahan Alagar, langsung menangkuokan tinjunya, menunjukkan kesopanan dihadapan Alagar. Matanya menyiratkan rasa bersalah yang mendalam."Tuan, kedatangan kami ke sini untuk meminta maa
Alagar melangkah masuk ke rumah sakit bersama Dewa Indra dan Bikely. Wajahnya terlihat muram dan penuh kekhawatiran. Sebelumnya, Dewa Agung telah mengabarkan bahwa sosok mahluk yang sangat dibenci olehnya berhasil terlepas dari Neraka bawah. Kini, mahluk itu bebas berkeliaran dan bisa mengancam kehidupan orang-orang yang ada di bumi, termasuk orang tua Alagar.Dewa Agung sendiri telah kembali ke langit untuk mencari tahu keberadaan sosok mahluk tersebut. Mengetahui hal ini, Alagar bergegas menuju rumah sakit untuk memastikan keamanan kedua orang tuanya yang tengah dirawat.Begitu tiba di ruang perawatan, Alagar melihat kedua orang tuanya sedang tertidur pulas. Wajah mereka tampak tenang, tak menyadari bahaya yang sedang mengancam. Alagar tak dapat menahan rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Ia menggenggam tangan ibunya dengan lembut, berbisik dalam hati agar mereka tetap aman dan selamat."Aku pasti akan tetap menjaga kalian semua," gu