Dahiku mengernyit, pura-pura tidak paham. "Itu nama tempatnya?"
Zean tertawa pelan. Dari tatapan matanya, aku cukup yakin kalau ia tahu bahwa aku sengaja. Oleh karena itu, ia segera meralat ucapannya.
"Please spend a whole day with me tomorrow, Anna. I can assure you that you'll have some fun."
Aku diam sejenak sambil menatap Zean curiga. "A whole day? Memangnya kamu mau ajak aku ke mana, sih? Jauh banget sampai perlu seharian, ya?"
"
"So, you hate me now?” tanya Zean lirih.Aku diam sesaat."If I hate you, I won't accept your call, Zean," jawabku sambil menahan tawa."Really?" Binar bahagia kembali muncul di netra biru Zean.Aku mengangguk."Then, it's a yes?""Apanya?" tanyaku balik. Tidak paham."Jalan-jalan besok." Tiba-tiba Zean terke
Aku lupa. Benar-benar lupa. Standar seorang Kanatta, seperti Zean, tidak mungkin sama denganku yang … rata-rata. Well, keluargaku memang berkecukupan, tetapi Kanatta sudah pasti berada di level lain.“Zean,” panggilku lirih. Namun, mataku masih fokus menatap bangunan megah yang berada di atas bukit.“Ya, Anna?”“Itu resort yang kamu maksud?” tanyaku seraya menunjuk ke arah bangunan megah berwarna putih yang sedari tadi membuatku penasaran. Sekilas, Zean melirik ke arah jariku menunjuk.Dari kejauhan, arsitektur luar bangunan itu terlihat minimalis, tetapi modern. Namun, pilar-pilar tinggi yang berada di tengah bangunan membuatku seketika
“Anna.""Hm?" sahutku seraya bergumam. Mataku terpejam cukup erat. Otomatis, indra perasaku semakin peka, terutama terhadap intensitas angin yang menyentuh kulitku."I still have one wish, am I right?"Spontan, aku melirik Zean kesal."Aku nggak menyangka. Ternyata kamu banyak maunya juga ya, Zean?" ledekku sebelum kembali menutup mata. Tak lama kemudian, aku mendengar pria itu tertawa.Kemarin malam, Zean memang tidak jadi mengutarakan permohonannya. Ketika aku berusaha membujuknya agar memberitahuku, ia berjanji akan mengatakan padaku saat waktunya tepat. Well
Angin yang agak kencang lagi-lagi menerpa kulitku yang tidak tertutup pakaian. Keringat dingin membasahi dahiku dan membuat kondisi tubuhku makin tidak karuan. Well, ini sudah kesekian kalinya sejak aku terpaksa mengabulkan keinginan aneh Zean. Begitu salah satu pegawai selesai memakaikan pengaman di tubuhku, aku langsung menutup mata. Di video yang kuambil, pemandangannya memang menakjubkan. Namun, ketika aku tidak sengaja melihat ke bawah, kakiku menjadi jeli lagi. Kan nggak lucu kalau tiba-tiba aku jatuh bukan karena sengaja melompat, tetapi karena kakiku lemas duluan! Meskipun di bawah sana ada sungai, tapi dengan kondisi terikat begini, aku tidak yakin kalau aku akan bisa berenang jika terjadi sesuatu yang … diluar rencana. Intinya, aku masih sangat t
“Dasar menyebalkan!” teriakku sambil mengayunkan bat ke arah bola yang baru saja dimuntahkan oleh mesin pelempar. CTAKK! SRAAKK! Pukulanku mengenai bola dengan telak, melabungkannya cukup tinggi hingga mengenai papan sasaran berbentuk lingkaran yang ditempatkan di tengah jaring penghalang bola. “HOME RUN!” Lagi-lagi, speaker yang terletak tidak jauh di belakangku bersorak, lengkap dengan tambahan efek sorakan bahagia orang banyak yang memperkuat kesan, seolah aku sedang benar-benar berada di tengah pertandingan baseball.
"How is it?" tanya Zean dengan binar bangga di netra birunya. “Apanya?” tanyaku balik sebelum memasukkan sepotong choco chips cookies ke dalam mulut. “The things that we do today.” Aku diam sejenak, mengingat kembali apa yang sudah kami lakukan hari ini. Well, hari ini, kami memang sudah mencoba banyak hal. And mostly, they are really memorable. “Well … it’s pretty fun,” jawabku santai sambil mengangguk kecil. Baiklah. Aku mengaku. Hari ini memang menyenangkan. Sangat. Meski bungee jumping yang dilakukan pagi hari tidak pernah masuk dalam wishlist-ku, tetapi ada kelegaan yang aneh yang kurasakan setelahnya. Semoga saja ini bukan pertanda buruk, karena aku tidak mau mengidap adrenalin junkie. “Then, what’s your favorite?” Aku diam lagi, atau lebih tepatnya, aku sedang berusaha mengingat perasaanku saat melakukan aktivitas sepanjang hari ini. Hari ini memang cukup melelahkan, tetapi juga menyenangkan. Energi dari sarapanku dikuras habis karena bungee jumping. Setelah menikmati
"Nah, kan!"Di seberang meja makanku, Chariz duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Dari ekspresinya, terlihat jelas bahwa gadis itu sedang kesal.Well, aku bisa maklum dengan sikapnya. Ia dan Reina pasti cemas karena aku tidak bisa dihubungi selama dua hari saat aku berkunjung ke resort Zean.Begitu aku pulang dari resort sore ini, barulah aku menghubungi mereka. Sebagai permintaan maaf, aku pun mengundang mereka ke apartemenku untuk makan malam bersama.Seperti biasanya, pasti ada cerita di setiap pertemuan kami. Kali ini, aku menceritakan tentang kalimat ambigu Zean yang bukannya membuatku merasa lebih baik, ia malah membuat imajinasiku semakin menjadi-jadi. Sialnya, aku lupa kalau topik
Should I try to make a boundary? As if I can! Bukannya tidak bisa, sih. Hanya, ini akan jadi hal yang sedikit sulit karena ⏤entah bagaimana⏤ Zean hampir selalu tahu apa yang terjadi padaku. Contohnya, seperti yang terjadi sekarang ini. "Hai, Anna." Di dekat persimpangan menuju lapangan parkir mobil kampus, aku spontan menghentikan langkah. Memastikan dengan mataku bahwa sosok yang mendadak menyapaku itu adalah Zean Kanatta sungguhan. Terlebih, bahwa kakinya sekarang sedang menapak tanah, bukan melayang. "Zean? Kok kamu bisa di sini? Ada apa?" tanyaku sambil berlari kecil ke arahnya. Ketika jarak kami sudah cukup dekat, aku baru memperhatikan penampilannya yang tidak biasa. Kaos polos berwarna putih yang ia kenakan ditutupi oleh jaket kulit berwarna hitam. Celana jeans dengan warna senada yang ia pakai membuatnya terlihat lebih santai. Terlebih karena senyum yang terpajang indah di wajah tampannya. "Kamu sedang libur? Ada acara apa ke sini?" tanyaku lagi karena Zean tidak sege
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler