“Kenapa, Kak?”
“You won’t tell anyone about this, right?”
Chris diam sejenak, kemudian bibirnya menyeringai jahil. “Should I?”
Spontan, aku mendecakkan lidah dan menatapnya protes. Sesaat kemudian, Chris malah tertawa pelan.
“Kalau nggak mau ketahuan, kenapa Kak Eka mau beli itu waktu sama aku? Bukannya lebih baik belinya waktu sendirian?”
“Aku memang bisa beli lagi lain waktu, tetapi aku butuhnya sekarang, karena jogging malam sama kamu
Awkward. Sangat awkward.Sejak beberapa menit yang lalu, pria itu tidak mengatakan apa pun. Well, ia tidak benar-benar diam, sih.Nyatanya, ia sempat menyapaku dan mengatakan agar aku memberikan kantong plastik belanjaanku karena terlihat penuh dan berat. Namun, itu semua terangkum dalam satu kalimat yang singkat, dan kami menghabiskan beberapa menit sisanya dalam keheningan yang super canggung.Sesekali, aku melirik, Zean. Memeriksa ekspresi yang terpasang di wajah tampannya. Jika aku tidak salah mengenali, Zean memang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun, tidak ada
“Bagaimana?”Aku hanya melirik sekilas ke arah pemuda tampan yang duduk di hadapanku. Ekspresinya terlihat sok santai sambil melahap pancake yang menjadi menu sarapan kami. Rasa penasarannya memang tidak terlihat jelas, tetapi aku yakin kalau ia hanya pura-pura basa-basi.Well, sebagai sesama orang yang terlambat sarapan karena bangun kesiangan, hanya ia seorang yang aku kenal di cafe yang ada di lantai dasar hotel bintang lima ini. Jadi, aku tidak mau ambil pusing dengan pertanyaan ambigu dan sikapnya yang sok cool.Sebenarnya aku bisa saja menggunakan jasa
"Aneh-aneh gimana, sih? Kamu jangan pakai kata-kata yang ambigu, ya."Meskipun kami memilih tempat duduk di balkon outdoor bukan berarti kalau tidak akan ada yang mendengar ucapan Chris, bukan?"Lho? Kak Eka lupa kalau kemarin mau beli barangnya orang dewasa?""HEH! MULUTMU!" Nih anak beneran minta dilakban ya mulutnya!"Kenapa? Kan yang kemarin memang barangnya orang dewasanya," ujarnya sok tidak bersalah.Aku hanya bisa menghela napas panjang. Pasti ini efek samping karena terlalu banyak bergaul dengan kak Naki. Makanya, Chris bisa jadi maki
"Kamu yakin, Ka?"Sebagai jawaban, aku langsung mengangguk mantap."Hanya karena penasaran rasanya soju, lantas kamu nekat mau ke Korea?" tanya Chariz lagi dengan ekspresi yang masih belum percaya.Aku diam sejenak, mencari jawaban lain yang sekiranya terdengar lebih berbobot. Baru kemudian, aku mengangguk pelan."Nggak semata-mata karena penasaran rasa soju juga sih, Riz. Aku juga penasaran sama beberapa tempat wisata, terutama tempat yang sering jadi lokasi syuting drama," dalihku berusaha terdengar santai."Sekalian aku juga mau coba main batting center di sana," imbuhku lirih.
"Kamu tadi bilang mau berangkat bulan September ya? Memangnya jadwal masuk kuliah lagi bulan apa?""Seingatku, awal atau pertengahan September, sih.”“Jadi, kamu mau bolos di hari pertama kuliah?” Makin lama, ekspresi Chariz mengeruh. Ia bahkan terlihat lebih kesal dari sebelumnya.“Have I told you guys that it’s still a plan? A rough plan, to be exact?” balasku lirih, berusaha terdengar santai, meskipun sebenarnya emosiku mulai tersentil karena reaksi Chariz.Sebenarnya, Chariz tidak sepenuhnya salah, sih. Aku cukup yakin kalau ia cemas jika aku akan terlalu cepat mengambil keputusan karena dikendalikan emosi. Terlebih, ini mempengaruhi studiku, yan
Luckily, it's not something bad. But, something kinda strange happened.Seseorang tampak seperti separuh duduk di depan kap mobil city car-ku yang terparkir di basement apartemen tempat Marry tinggal. Kepalanya menunduk. Ia tampak fokus mengoperasikan gawai di tangannya.Secara postur, pria berkemeja lengan panjang itu tampak familiar. Badannya yang tinggi tegap, serta rambut hitamnya yang ditata rapi ke belakang tampak seperti orang yang kukenal.Otomatis, aku memelankan langkah sambil mengamatinya. Mataku fokus memindai, sedangkan tanganku mempersiapkan semprotan merica yang menggantung di samping tas ransel.
Aku tahu kalau Zean adalah pria yang serius dalam mayoritas waktunya. Namun, baru kali ini aku melihat Zean begitu … niat.Semula, aku mengira kalau pria itu hanya memesan tempat di salah satu restoran favoritnya untuk kami makan malam. Well, meskipun aku bilang kalau aku tidak keberatan makan sate di warung pinggir jalan, Zean tidak pernah mengizinkannya. Jadi, hampir bisa dipastikan kalau makan malam kami tidak di tempat sembarangan. Sayangnya, aku melewatkan petunjuk sederhana yang diucapkan Zean.Yup! Benar! Seperti yang ia katakan sebelumnya, ternyata Zean juga sudah membuat janji di salah satu butik terkenal dan salon yang, konon katanya menjadi langganan para selebriti, untuk memperbaiki penampilanku yang saat ini sama sekali tidak anggun.
Bodoh. Echana bodoh! Aku bahkan makin merasa bersalah ketika melihat Zean yang berusaha tertawa."Do you hate me that much?"Terlebih ketika aku melihat senyum tipis di wajah Zean.ARGH! TUH KAN! AH DASAR ECHANA BEGO!Sebelum aku sempat memberikan penjelasan, Zean tiba-tiba tertawa. Well, daripada sebelumnya, ekspresi Zean kali ini terlihat lebih baik. At least, ia tampak lebih tulus memperlihatkan senyum bahagianya."