Yang pasti, suara itu bukan milik salah satu keluargaku. Bukan kak Naki, bukan juga Chris, apa lagi papa Ian. Suara Zean juga tidak seperti itu. Sialnya, saat berusaha mengingat si pemilik suara, sosok yang muncul di dalam benakku malah Adrian Shimaru.
It can’t be him, right?
Kebetulan, saat itu gawaiku bergetar dari dalam saku. Jadi, aku segera merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan gawai dari sana, dan menerima telepon dari entah-siapa karena aku sama sekali tidak mengecek namanya.
“Iya, iya. Aku sudah dalam perjalanan,” ucapku dalam bahasa Korea sambil kembali bergegas menuju pintu, seolah aku menghentikan langkah sejenak karena gawaiku, bukan karena namaku dipanggil.
Sudah lama aku tidak berlari sekencang ini.Sepanjang dua puluh tahun hidupku, aku hanya berlari cepat pada saat pengambilan nilai pelajaran penjaskes, ketika sedang latihan atau bertanding olahraga, mengejar Chris untuk menjitak kepalanya karena sudah berani mengusiliku, ataupun lari dari kejaran kak Naki setelah aku berhasil membuatnya kesal.Waktu dikejar guru BP karena ketahuan memanjat pagar sekolah pun, aku tidak sampai berlari sekencang ini. Namun, berkat orang itu, aku jadi memecahkan rekor lari cepatku. Karena sampai detik ini, setelah berlari beberapa blok, aku masih belum juga bisa menangkap pria yang beraninya mencopetku."PENCURI!!! BERHENTI!!!" teriakku sekuat tenaga sambil berlari mengejarnya.
"Nona, apakah anda bisa mendengar saya?" tanya pria itu panik.Suaranya seperti seseorang yang kukenal, tetapi ⏤karena sorot lampu yang sangat terang di belakangnya⏤ aku tidak bisa melihat jelas wajah pria itu. Meskipun aku sudah menyipitkan mata, berusaha mengenali pria itu, pandangan mataku justru menjadi semakin kabur."Nona! Hei! Apa kau bisa mendengarku?"Makin lama, suara pria itu terdengar makin panik."Bagaimana ini? Ia tidak akan mati, 'kan?"
“Ok. I won’t take you there if you tell me why."Aku diam sejenak dengan kedua mata sudah terpejam.Memangnya aku belum pernah bercerita pada Zean tentang ini, ya?Well, selama ini aku memang menyimpannya untuk diriku sendiri, sih. Selain karena tidak ada yang bertanya, aku memang tidak pernah menunjukkan traumaku yang satu ini.Begitu rapatnya aku menyimpan rahasia ini, sampai-sampai Chariz dan Reina ⏤yang sangat dekat dan akrab denganku selain keluarga dan juga Zean⏤ tidak tahu menahu tentang hal ini.Bahkan, sepertinya keluargaku pun tidak tahu bahwa a
Seperti sebelumnya, mimpiku tiba-tiba terputus. Kegelapan lagi-lagi menyergapku tanpa pertanda. Yang aku tahu, sekarang sekitarku menjadi gelap gulita. Untungnya, keadaan itu tidak berlangsung lama, karena samar-samar, aku bisa mendengar suara orang lain dari kejauhan. “ … kau harus pergi.” “ … Kau saja yang pergi! …. Di sini!” Makin lama, suara mereka yang tadinya sedikit berdengung, terdengar semakin jelas. “Aku akan menjaganya. Aku janji.” Si pria pertama terdengar sedang berusaha meyakinkan lawan bicaranya. “ .... ” “Atau kau ingin berjaga di sini dan melihatnya kabur lagi?" Dari nada bicaranya, aku cukup yakin kalau yang barusan adalah sarkasme untuk menyindir lawannya yang masih terdiam. "You already know that I’m your best option, don’t you?” ujarnya lagi, yang kali ini terdengar seperti sedang memprotes karena sang lawan bicara masih tidak mau memberikan tanggapan. "Tell me right away when she wakes up." Akhirnya, sang lawan bicara memberikan respon. But for some
Ada yang aneh. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan kelakuan kak Ken beberapa hari belakangan ini. Bukannya aneh dengan konteks super negatif, sih. Hanya, Kenzie Izard ⏤yang lebih akrab kupanggil dengan nama kak Ken⏤ bertingkah tidak seperti biasanya. Sejauh aku mengenalnya selama beberapa hari ini, aku mendapat kesan bahwa ia adalah pria polos baik hati yang agak ceroboh, tetapi sangat bertanggungjawab. Buktinya, sebagai pria yang ⏤ katanya tidak sengaja⏤ menabrakku, ia membayar dokter dan menanggung semua biaya pengobatan untuk merawatku. Tidak hanya itu, ia juga membiarkanku tinggal di kamar tidur tamu di apartemennya sebagai ganti ruang rawatku. Terlebih, setelah ia tahu kalau aku baru saja kecopetan dan kehilangan semua uang, alat komunikasi, hingga kartu identitas. Bahkan, ia juga mau membantuku menemukan barang bendaku yang hilang dibawa pencopet malam itu. Uang tunaiku memang raib, tetapi setidaknya kemarin malam kartu identitas dan juga gawaiku kembali dengan se
Ada yang pernah bilang kalau dunia ini hanyalah selebar daun kelor. Awalnya, aku merasa istilah itu konyol. But now, it hits me pretty hard.Setelah sama-sama terhenyak saat menatap satu sama lain, pria yang adalah tamu kak Ken itu bersuara terlebih dahulu."Carl?" tanyanya ragu-ragu.Astaga!Spontan, aku menutup mulutku dengan tangan yang bebas.Di muka bumi ini, hanya segelintir orang yang memanggilku dengan nama Carl. Bahkan, hampir sudah tidak ada lagi karena circle baseball-ku sudah banya
“Then, you told them about your accident too, didn't you?”“UHUK! UHUK!”Dengan sigap, Riichi langsung menyodorkan segelas air mineral ke arahku, yang segera diraih dan kuteguk hingga tersisa separuhnya."See? I knew it. You didn't tell them yet, did you?” tuduhnya lirih yang membuatku langsung meliriknya sebal.Ketika sorot matanya yang sok tahu itu bertemu pandang denganku, spontan aku mendengkus seraya membuang pandangan ke piringku yang sudah mulai kehabisan daging.
Entah sudah berapa lama, aku terdiam. Beruntung, Riichi juga tidak mengajakku bicara. Sepertinya ia paham kalau aku sedang tidak ingin bicara. Well, dari berbagai macam simulasi yang sudah pernah kubayangkan sebelumnya, tidak pernah terpikir olehku kalau situasinya akan membuatku begini “takut”.Pada awal perjalanan, aku memang merasa cemas dan takut jika hari ini datang. Baik itu rasa takut karena dimarahi, menjadi tahanan rumah, ataupun pembatasan fasilitas lainnya. Bahkan,⏤percaya atau tidak⏤ aku juga sampai menyiapkan batin jika nanti namaku dicoret dari daftar kartu keluarga. Itupun kalau papa Ian sudah tidak ingin aku untuk menikah dengan Zean.Sayangnya, ternyata simulasi di dalam benakku masih tidak cukup jauh untuk memikirkan kemungkinan terburuk. Alhasil