Ada yang pernah bilang kalau dunia ini hanyalah selebar daun kelor. Awalnya, aku merasa istilah itu konyol. But now, it hits me pretty hard.Setelah sama-sama terhenyak saat menatap satu sama lain, pria yang adalah tamu kak Ken itu bersuara terlebih dahulu."Carl?" tanyanya ragu-ragu.Astaga!Spontan, aku menutup mulutku dengan tangan yang bebas.Di muka bumi ini, hanya segelintir orang yang memanggilku dengan nama Carl. Bahkan, hampir sudah tidak ada lagi karena circle baseball-ku sudah banya
“Then, you told them about your accident too, didn't you?”“UHUK! UHUK!”Dengan sigap, Riichi langsung menyodorkan segelas air mineral ke arahku, yang segera diraih dan kuteguk hingga tersisa separuhnya."See? I knew it. You didn't tell them yet, did you?” tuduhnya lirih yang membuatku langsung meliriknya sebal.Ketika sorot matanya yang sok tahu itu bertemu pandang denganku, spontan aku mendengkus seraya membuang pandangan ke piringku yang sudah mulai kehabisan daging.
Entah sudah berapa lama, aku terdiam. Beruntung, Riichi juga tidak mengajakku bicara. Sepertinya ia paham kalau aku sedang tidak ingin bicara. Well, dari berbagai macam simulasi yang sudah pernah kubayangkan sebelumnya, tidak pernah terpikir olehku kalau situasinya akan membuatku begini “takut”.Pada awal perjalanan, aku memang merasa cemas dan takut jika hari ini datang. Baik itu rasa takut karena dimarahi, menjadi tahanan rumah, ataupun pembatasan fasilitas lainnya. Bahkan,⏤percaya atau tidak⏤ aku juga sampai menyiapkan batin jika nanti namaku dicoret dari daftar kartu keluarga. Itupun kalau papa Ian sudah tidak ingin aku untuk menikah dengan Zean.Sayangnya, ternyata simulasi di dalam benakku masih tidak cukup jauh untuk memikirkan kemungkinan terburuk. Alhasil
Begitu pesawat benar-benar mendarat dan para penumpang mulai beranjak dari kursi, yang kulakukan pertama adalah menyalakan gawaiku, beserta dengan jaringan internetnya. Untuk apa? Tentu saja untuk memvalidasi berita Riichi! Sayangnya, Riichi masih pria baik-baik yang tidak suka membual ataupun mengerjai orang seperti kak Naki. Jadi, berita yang ia katakan sama sekali tidak meleset. Well, kenyataan memang menyedihkan, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Aku juga sudah cukup merasa terpuruk dan dihujam rasa bersalah selama berjam-jam saat di pesawat tadi. Dan kembali merasa terpuruk, apalagi membiarkannya menjajahku terus menerus tidak akan menjadi solusi yang tepat. Sejujurnya, aku memang menyesal, tetapi sekarang, aku haru
"Apakah sekarang anda merasa tidak sehat? Seperti mual, lesu, atau pusing karena jetlag?" tanya pria yang duduk di samping pengemudi saat menoleh ke arahku sembari melepas topi.Sinar matanya memang terlihat ramah, tetapi aku masih belum bisa mengendorkan kewaspadaan. Terlebih, aku baru saja tahu kalau sepertinya aku salah naik mobil dan aku belum tahu siapa yang mengirim mereka.Jadi, aku segera menggeleng."Saya tidak apa-apa. Terima kasih sudah mencemaskan saya."Pria yang ternyata berkepala botak itu entah kenapa tiba-tiba menahan tawa saat melihat reaksiku.Lha? Memangnya ada yang salah dengan wajahku saat ini?
Kukira, pria baik-baik adalah julukan untuk seorang pria yang memiliki nilai moral tinggi dan mampu mengaplikasikan nilai moral itu dalam kehidupannya sehari-hari. Termasuk, menjadi sosok yang sopan, pengampun, sabar, toleran, dan juga rasional.Memangnya sejak kapan mengirim orang untuk menjemput seseorang dan menyembunyikan identitasnya sampai detik terakhir pertemuan adalah bentuk dari kesopanan?Ini benar-benar gila!Yang lebih gila lagi, aku masih duduk di sedan hitam ini sambil menikmati burger keju kedua yang dibelikan oleh Pak Botak dan temannya di restoran fast food sekitar tiga puluh menit yang lalu.Well, at least, si
Hmmm … Should I really send my location to Zean right now? "Nggak usah GR, deh! Sekalipun pria itu memang benar adalah Rian, memangnya ia sebodoh itu untuk terus berusaha membujukmu di saat statusmu sudah menjadi tunangan Zean? Nggak ada untungnya juga. Yang ada, dia malah terlihat lebih bodoh dan menyedihkan," omel si logis dalam benakku. "Mungkin saja dia mau membahas lain. Lagipula, tidak menutup kemungkinan kalau Rian sudah menyerah saat berita kematianmu rilis, kan?" sindirnya lagi sambil memutar mata. Dalam imajinasiku, si logis yang kugambarkan sebagai sosok yang penampilannya mirip denganku, tetapi berwajah tegas, kini menyilangkan lengan di depan dada sambil menatapku tajam. Sialnya, gadis berpenampilan sepertiku yang berwajah kalem, sosok yang kugambarkan sebagai hati nuraniku, malah ikut mengangguk, seolah setuju dengan ucapan si logis yang sering berbeda pendapat dengannya. "It's more than a month since you both broke up, anyway. Sepertinya yang belum move on itu kamu,
"... Tunggu dulu! Tadi Anda bilang sudah mengirim informasiku pada siapa?" tanyaku lirih, masih belum percaya dengan nama yang terdengar oleh telingaku barusan. Karena kalau memang yang ia maksud adalah Zean yang aku kenal, aku cukup optimis kalau kabar itu tidak akan ia sebar. Terlebih, jika kabar itu bisa membuat keluargaku dalam masalah besar. Tetapi masalahnya, sekarang media sudah tahu. Lantas, siapa pelakunya? Hmmm … Apakah ini bentuk balas dendam dari sakit hati Zean karena kutinggal bepergian tanpa kabar? “Tidak! Tidak! Tidak! Zean bukan orang berhati sempit sepertimu, Echana. Kalaupun Zean adalah pelakunya, ia pasti punya alasan yang kuat!” sanggah batinku yang pro dengan Zean. Pria yang duduk di hadapanku itu perlahan menaikkan pandangan. Akhirnya, ia kembali menatapku lurus di mata, layaknya lawan bicara yang semestinya. Spontan, aku pun menajamkan telinga dan fokus pada indra pendengaranku agar tidak salah dengar. “Pewaris utama Kanatta Group, Zean Ralph Kanatta," jaw
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler