Kukira, pria baik-baik adalah julukan untuk seorang pria yang memiliki nilai moral tinggi dan mampu mengaplikasikan nilai moral itu dalam kehidupannya sehari-hari. Termasuk, menjadi sosok yang sopan, pengampun, sabar, toleran, dan juga rasional.
Memangnya sejak kapan mengirim orang untuk menjemput seseorang dan menyembunyikan identitasnya sampai detik terakhir pertemuan adalah bentuk dari kesopanan?
Ini benar-benar gila!
Yang lebih gila lagi, aku masih duduk di sedan hitam ini sambil menikmati burger keju kedua yang dibelikan oleh Pak Botak dan temannya di restoran fast food sekitar tiga puluh menit yang lalu.
Well, at least, si
Hmmm … Should I really send my location to Zean right now? "Nggak usah GR, deh! Sekalipun pria itu memang benar adalah Rian, memangnya ia sebodoh itu untuk terus berusaha membujukmu di saat statusmu sudah menjadi tunangan Zean? Nggak ada untungnya juga. Yang ada, dia malah terlihat lebih bodoh dan menyedihkan," omel si logis dalam benakku. "Mungkin saja dia mau membahas lain. Lagipula, tidak menutup kemungkinan kalau Rian sudah menyerah saat berita kematianmu rilis, kan?" sindirnya lagi sambil memutar mata. Dalam imajinasiku, si logis yang kugambarkan sebagai sosok yang penampilannya mirip denganku, tetapi berwajah tegas, kini menyilangkan lengan di depan dada sambil menatapku tajam. Sialnya, gadis berpenampilan sepertiku yang berwajah kalem, sosok yang kugambarkan sebagai hati nuraniku, malah ikut mengangguk, seolah setuju dengan ucapan si logis yang sering berbeda pendapat dengannya. "It's more than a month since you both broke up, anyway. Sepertinya yang belum move on itu kamu,
"... Tunggu dulu! Tadi Anda bilang sudah mengirim informasiku pada siapa?" tanyaku lirih, masih belum percaya dengan nama yang terdengar oleh telingaku barusan. Karena kalau memang yang ia maksud adalah Zean yang aku kenal, aku cukup optimis kalau kabar itu tidak akan ia sebar. Terlebih, jika kabar itu bisa membuat keluargaku dalam masalah besar. Tetapi masalahnya, sekarang media sudah tahu. Lantas, siapa pelakunya? Hmmm … Apakah ini bentuk balas dendam dari sakit hati Zean karena kutinggal bepergian tanpa kabar? “Tidak! Tidak! Tidak! Zean bukan orang berhati sempit sepertimu, Echana. Kalaupun Zean adalah pelakunya, ia pasti punya alasan yang kuat!” sanggah batinku yang pro dengan Zean. Pria yang duduk di hadapanku itu perlahan menaikkan pandangan. Akhirnya, ia kembali menatapku lurus di mata, layaknya lawan bicara yang semestinya. Spontan, aku pun menajamkan telinga dan fokus pada indra pendengaranku agar tidak salah dengar. “Pewaris utama Kanatta Group, Zean Ralph Kanatta," jaw
Ketika aku menonton anime ataupun membaca komik tentang saudara yang sangat protektif pada saudaranya yang lain, mereka terlihat lucu. Ada banyak momen yang membuat mereka terlihat menyebalkan dan juga membuat frustasi, tetapi sering kali, aku masih bisa tertawa lepas karena tingkah kekonyolan mereka.Sayangnya, pria di depanku ini tidak termasuk. Meskipun parasnya tampan dan berkharisma, seperti tokoh utama pria dalam komik, tetapi ⏤nyatanya⏤ aku sama sekali tidak bisa tertawa.Alih-alih tertawa, aku justru merasa seperti diteror dengan ancaman pembunuhan paling kejam hanya karena kelepasan menyebut nama pria yang ⏤masih⏤ disukai adik kesayangannya.Dalam hati, aku pun tak kuasa bertanya-tanya.Memangnya Adachi sudah berbuat dosa apa, sih? Kok bisa kakaknya Rere benci banget sama bocah itu?Sebelum aku sempat menyuarakan rasa penasaranku, pintu tiba-tiba dibuka. Karena tidak ada yang mengetuk ⏤seperti pelayan tadi⏤, aku cukup yakin kalau yang datang bukanlah pesanan kami.Benar saja!
Well, dugaanku tidak sepenuhnya salah, sih. Karena yang datang memang bukan pelayan. Tetapi seorang pria yang perawakannya terlihat seperti kukenal.Ia agak menunduk, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas dari tempat dudukku. Namun, yang pasti, pria muda yang masih mengenakan setelan lengkap itu langsung menerobos masuk ke dalam ruangan begitu melihat Jeremy.Otomatis, aku melirik ke arah Jeremy. Memeriksa ekspresinya.Anehnya, alih-alih terlihat kaget atau marah, Jeremy hanya melirik ke arah pria itu sekilas, lalu mengangkat gelasnya dan minum dengan tenang. Seolah ia sudah menduga kedatangan pria itu dan tidak ambil pusing.Saat aku menoleh lagi ke arah si penerobos, barulah aku melihat wajahnya dengan lebih jelas.Detik itu juga, aku langsung paham alasan kenapa Jeremy tidak terkejut. Terlebih, saat netra birunya bertemu pandang dengan netra coklat tuaku."... Zean?!" pekikku kaget.Bagaimana bisa ia ada di⏤ Oh iya! Kan aku sendiri yang memberitahu lokasiku pada Zean!
“Kamu pasti belum makan, ‘kan? Ayo aku temani makan. We need to talk, anyway.” Daripada berkilah lebih jauh, aku merasa kalau lebih efisien jika berkata jujur dengan Zean. “Alright,” sahut Zean sambil berdiri. “Kalau gitu, kami pamit dulu, ya, Kak,” pamit Rere kemudian, lalu ia berdiri. “Tidak. Tidak usah. Aku sudah memesan tempat lain untuk makan siang dengan Anna. Jadi, kami pamit undur diri.” “Iya, Re. Kan yang pesan tempat ini kakakmu, masa kalian yang keluar, sih. Jadi, kami pamit dulu, ya. Terima kasih jamuan makan siangnya,” timpalku sambil berdiri. “Tapi, Kak⏤” Aku menggeleng, memberi isyarat agar Rere tidak menuntaskan kalimatnya, lalu tersenyum pada gadis itu. “Nanti kabari aku tentang jam penerbanganmu buat besok, ya? Let’s meet again before you take off tomorrow.” Rere menghela napas panjang. Menyerah membujukku lagi agar tetap tinggal, lalu ia mengangguk pelan sambil tersenyum ke arahku. “Oke, Kak.” Detik berikutnya, tiba-tiba Zean meraih tanganku, lalu mengge
Selama beberapa detik, Zean masih mematung.Karena ekspresi wajahnya yang kaget itu benar-benar lucu dan sangat amat jarang kulihat, aku jadi semakin ingin mengusilinya. Well, meskipun Zean memang lebih perhatian dan juga lebih peka daripada kedua saudara kandungku, tetap saja naluri seorang kakak yang mendapat kepuasan tersendiri ketika mengusili adiknya juga melekat pada darahnya.Keusilan Zean memang tidak seperti kak Naki ataupun Chris. Karena keisengan Zean punya "bentuk" yang berbeda dari kedua saudara kandungku.Jika target kak Naki dan Chris adalah membuatku kesal, tujuan Zean adalah membuatku malu. Bukan! Maksudnya bukan malu seperti dipermalukan di muka umum untuk menjatuhkan mental seseorang. Tetapi lebih seperti membuatku meleleh karena terpesona.Dugaan terkuatku, hal ini disebabkan oleh Zean yang sangat sadar diri tentang kelebihannya, terutama pesona dari segala keindahan yang melekat pada tubuhnya.Selain itu, tampaknya Zean juga tahu, kalau sejak pertemuan pertama k
“Siapa yang barusan telpon?”“ASTAGA!”Aku yang baru saja menutup telpon, langsung terkaget karena Zean yang tiba-tiba berbisik tepat di samping telingaku.“Zean! Jangan bisik-bisik tepat di telinga, ih! Aku kaget, tahu!” omelku sambil memukul dadanya kesal.Ketika mendapati bahwa lengannya masih melingkari belakang perutku, aku buru-buru melepaskannya."Kenapa peluk-peluk segala, sih? Panas, tahu. Kamu nggak kepanasan, apa?" gerutuku sambil menjauhkan lengannya dari tubuhku yang tadi ia rengkuh.“Kan Anna yang tadi memelukku duluan,” balas Zean dengan nada santai, tetapi sorot matanya menatapku jahil.
Suasana mendadak hening beberapa saat. Namun, kemudian keheningan itu dipecahkan oleh Zean yang akhirnya bersuara."Menurut kabar yang kuterima, mereka mendapatkan surat anonim yang mengatakan bahwa kau masih hidup, Anna. Isi surat itu diperkuat dengan lampiran beberapa lembar fotomu saat berwisata di pulau Komodo. Di foto-foto itu juga ada keterangan waktu pada saat foto itu diambil. Terlebih, para ahli juga sudah membuktikan bahwa itu bukan hasil editing. Karena itu, mereka memakainya untuk menuntut papa Ian."Tunggu dulu! Waktu di pulau Komodo? Bukankah saat itu aku sudah menggunakan penampilan dan juga identitas sebagai Lisa Natalie? Berarti sejak saat itu, aku sudah ketahuan, dong?
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler