“Siapa yang barusan telpon?”
“ASTAGA!”
Aku yang baru saja menutup telpon, langsung terkaget karena Zean yang tiba-tiba berbisik tepat di samping telingaku.
“Zean! Jangan bisik-bisik tepat di telinga, ih! Aku kaget, tahu!” omelku sambil memukul dadanya kesal.
Ketika mendapati bahwa lengannya masih melingkari belakang perutku, aku buru-buru melepaskannya.
"Kenapa peluk-peluk segala, sih? Panas, tahu. Kamu nggak kepanasan, apa?" gerutuku sambil menjauhkan lengannya dari tubuhku yang tadi ia rengkuh.
“Kan Anna yang tadi memelukku duluan,” balas Zean dengan nada santai, tetapi sorot matanya menatapku jahil.
Suasana mendadak hening beberapa saat. Namun, kemudian keheningan itu dipecahkan oleh Zean yang akhirnya bersuara."Menurut kabar yang kuterima, mereka mendapatkan surat anonim yang mengatakan bahwa kau masih hidup, Anna. Isi surat itu diperkuat dengan lampiran beberapa lembar fotomu saat berwisata di pulau Komodo. Di foto-foto itu juga ada keterangan waktu pada saat foto itu diambil. Terlebih, para ahli juga sudah membuktikan bahwa itu bukan hasil editing. Karena itu, mereka memakainya untuk menuntut papa Ian."Tunggu dulu! Waktu di pulau Komodo? Bukankah saat itu aku sudah menggunakan penampilan dan juga identitas sebagai Lisa Natalie? Berarti sejak saat itu, aku sudah ketahuan, dong?
Sudah lama aku tahu kalau fokusku memang mudah teralih. Ajaibnya, aku bisa langganan juara kelas sejak SD hingga SMA. Bahkan, saat kuliah pun nilaiku selalu diatas rata-rata. Sayangnya, jika berurusan dengan kehidupan sosial, aku agak payah dan cukup pengecut. Contohnya, seperti saat ini. Ketika mobil yang dikemudikan Zean baru saja melewati gapura perumahan, dahiku sudah mulai deras mengeluarkan keringat dingin. Internally panik duluan, padahal belum “berperang”. Meskipun, kami masih on the way. “Zean, balik ke rumah aja, yuk. Besok aja aku ketemu Mama,” bujukku. “Memangnya Anna tidak merindukan mama Jessica sama sekali?” tanya Zean balik. “Kangen, lah," jawabku cepat. “Ya sudah.” Setelah mengatakan itu, Zean kembali fokus memperhatikan jalan. “Ya sudah apanya?” tanyaku penasaran. Merasa digantung. "Ya sudah. Let's stick to the plan." "Tapi kalau nanti⏤" Sebelum kalimatku tuntas, tiba-tiba Zean menekan sesuatu di gawai yang terpasang di dashboard bagian tengah. Tak lama
Aku tidak bohong saat mengatakan bahwa aku merindukan keluargaku. Termasuk merindukan lidah tajam kakak sulungku, sikapnya yang suka sok galak kalau cemas, juga tingkah menyebalkan adik bungsuku. Terutama, celetukannya yang kadang membuat darah tinggiku terpicu.Ya, aku merindukan semuanya.Jadi, aku maafkan pemilihan kata adik bungsuku itu dan menceritakan petualanganku dengan lengkap. Bahkan lebih lengkap daripada saat aku bercerita pada Zean. Termasuk, cerita tentang kak Ken, tetapi tidak dengan transaksiku dan Adachi.Untuk yang terakhir, aku masih tidak yakin untuk menceritakannya karena Chris juga kenal dengan Adachi. Lagipula, aku tidak ingin Zean salah paham dengan hubunganku dan Adachi.Menjelaskan hubunganku dengan Riichi saja sudah cukup sulit, karena Zean mas
Sudah bisa dipastikan bahwa topik pembicaraan di meja makan berubah menjadi lebih ringan. Kadang sempat bercanda juga, atau lebih tepatnya kak Naki dan Chris yang lagi-lagi berkolaborasi untuk menyindirku dalam berbagai hal.Biasanya, pada masa sebelum aku kabur dari rumah, aku akan marah ketika mereka mulai keterlaluan jika menyerangku secara bertubi-tubi tanpa henti. Tetapi, anehnya, malam itu aku malah terbahak.Sepertinya, ini karena aku benar-benar merindukan kehangatan keluargaku. Terlebih, mama Jessica juga memasak cukup banyak variasi makanan, dan mayoritas adalah favoritku.Intinya, hari itu berakhir dengan cukup menyenangkan.Or so I thought.*****
TOK! TOK! TOK!Tak lama kemudian, suara yang kukenal baik terdengar dari balik pintu.“Anna, it’s me. May I come in?”NICE TIMING!“Come in, Zean,” jawabku cepat sambil berusaha duduk di tepian ranjang.Detik berikutnya, Zean yang mengenakan pakaian kasual melangkah masuk ke dalam kamarku. Tangan kanannya yang membawa sebuah kantong plastik seketika menarik perhatianku.Apakah itu bubur ayam yang tadi dibilang oleh kak N
Ini curang.Ya, aku tahu. Aku sudah memikirkannya masak-masak, dan aku tidak menemukan cara yang lebih efektif tapi aman selain begini.Di satu sisi, aku sendiri merasa malu dan juga merasa bersalah. Aku malu karena tidak biasanya menggunakan cara tipikal flirting yang seperti ini untuk mendapatkan informasi. Selain itu, aku juga merasa bersalah pada Zean karena seperti sedang menggunakan afeksinya demi keuntungan pribadiku sendiri.Bahkan, rasa bersalahku menjadi semakin besar ketika Zean mendadak berhenti setelah aku berbisik di telinganya. Ia pasti sangat terkejut, karena aku pun begitu.“Percaya deh, Ka. Dia juga menikmati cara ini. Jadi, ini nggak sepenuhnya untu
Sengaja, aku tidak langsung menjawab.Dengan gerakan lambat, aku sedikit memutar tubuh hingga agak condong menghadap ke arah Zean. Mataku mengerjap lambat, lalu tersenyum. Menahan tawa."Zean ingin tahu tentang apa?" tanyaku dengan nada selembut mungkin. Aku juga menggunakan ekspresi, intonasi, serta gesture yang sama seperti Zean saat pria itu mengatakan hal yang sama padaku.Benar saja. Zean langsung tertawa. Ia pasti paham kalau barusan aku memang sengaja menirunya."Apakah Anna berjanji akan menjawab pertanyaanku?" tanya Zean balik dengan nada agak menantang, tetapi matanya menatapku menggoda.Hmmmm …
"Lalu, apa alasan Anna tidak mau dirawat di rumah sakit?" DEG! “If my memory serves me right, dulu, waktu Anna kena demam berdarah, Anna juga bersikeras agar tidak dibawa ke rumah sakit, ‘kan? Kemudian, saat kecelakaan di Seoul, Anna juga tidak mau dirawat di rumah sakit." Sialnya, Zean tidak hanya bertanya, tapi juga memberikan beberapa fakta pendukung. Secara tidak langsung, aku jadi merasa seperti dipaksa untuk menjawab. Alhasil, senyuman yang sedetik lalu masih tersungging di wajahku pun, seketika lenyap. Namun, karena Zean masih menatapku, aku segera memaksa bibirku kembali tersenyum, meskipun hasilnya agak canggung. Kemudian, aku langsung menoleh ke arah lain. Sengaja menghindari tatapannya yang membuat rasa bersalahku kian besar. Siapa juga yang menyangka kalau Zean akan menanyakan hal berat begini sepagi ini? Aku sih nggak! Karena enggan menjawab, aku pun diam. Sialnya, Zean ikut diam dan suasana di sekitar kami kembali terasa aneh. Sangat aneh dan canggung. "Jadi, ak
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler