"Nona, apakah anda bisa mendengar saya?" tanya pria itu panik.
Suaranya seperti seseorang yang kukenal, tetapi ⏤karena sorot lampu yang sangat terang di belakangnya⏤ aku tidak bisa melihat jelas wajah pria itu. Meskipun aku sudah menyipitkan mata, berusaha mengenali pria itu, pandangan mataku justru menjadi semakin kabur.
"Nona! Hei! Apa kau bisa mendengarku?"
Makin lama, suara pria itu terdengar makin panik.
"Bagaimana ini? Ia tidak akan mati, 'kan?" <
“Ok. I won’t take you there if you tell me why."Aku diam sejenak dengan kedua mata sudah terpejam.Memangnya aku belum pernah bercerita pada Zean tentang ini, ya?Well, selama ini aku memang menyimpannya untuk diriku sendiri, sih. Selain karena tidak ada yang bertanya, aku memang tidak pernah menunjukkan traumaku yang satu ini.Begitu rapatnya aku menyimpan rahasia ini, sampai-sampai Chariz dan Reina ⏤yang sangat dekat dan akrab denganku selain keluarga dan juga Zean⏤ tidak tahu menahu tentang hal ini.Bahkan, sepertinya keluargaku pun tidak tahu bahwa a
Seperti sebelumnya, mimpiku tiba-tiba terputus. Kegelapan lagi-lagi menyergapku tanpa pertanda. Yang aku tahu, sekarang sekitarku menjadi gelap gulita. Untungnya, keadaan itu tidak berlangsung lama, karena samar-samar, aku bisa mendengar suara orang lain dari kejauhan. “ … kau harus pergi.” “ … Kau saja yang pergi! …. Di sini!” Makin lama, suara mereka yang tadinya sedikit berdengung, terdengar semakin jelas. “Aku akan menjaganya. Aku janji.” Si pria pertama terdengar sedang berusaha meyakinkan lawan bicaranya. “ .... ” “Atau kau ingin berjaga di sini dan melihatnya kabur lagi?" Dari nada bicaranya, aku cukup yakin kalau yang barusan adalah sarkasme untuk menyindir lawannya yang masih terdiam. "You already know that I’m your best option, don’t you?” ujarnya lagi, yang kali ini terdengar seperti sedang memprotes karena sang lawan bicara masih tidak mau memberikan tanggapan. "Tell me right away when she wakes up." Akhirnya, sang lawan bicara memberikan respon. But for some
Ada yang aneh. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan kelakuan kak Ken beberapa hari belakangan ini. Bukannya aneh dengan konteks super negatif, sih. Hanya, Kenzie Izard ⏤yang lebih akrab kupanggil dengan nama kak Ken⏤ bertingkah tidak seperti biasanya. Sejauh aku mengenalnya selama beberapa hari ini, aku mendapat kesan bahwa ia adalah pria polos baik hati yang agak ceroboh, tetapi sangat bertanggungjawab. Buktinya, sebagai pria yang ⏤ katanya tidak sengaja⏤ menabrakku, ia membayar dokter dan menanggung semua biaya pengobatan untuk merawatku. Tidak hanya itu, ia juga membiarkanku tinggal di kamar tidur tamu di apartemennya sebagai ganti ruang rawatku. Terlebih, setelah ia tahu kalau aku baru saja kecopetan dan kehilangan semua uang, alat komunikasi, hingga kartu identitas. Bahkan, ia juga mau membantuku menemukan barang bendaku yang hilang dibawa pencopet malam itu. Uang tunaiku memang raib, tetapi setidaknya kemarin malam kartu identitas dan juga gawaiku kembali dengan se
Ada yang pernah bilang kalau dunia ini hanyalah selebar daun kelor. Awalnya, aku merasa istilah itu konyol. But now, it hits me pretty hard.Setelah sama-sama terhenyak saat menatap satu sama lain, pria yang adalah tamu kak Ken itu bersuara terlebih dahulu."Carl?" tanyanya ragu-ragu.Astaga!Spontan, aku menutup mulutku dengan tangan yang bebas.Di muka bumi ini, hanya segelintir orang yang memanggilku dengan nama Carl. Bahkan, hampir sudah tidak ada lagi karena circle baseball-ku sudah banya
“Then, you told them about your accident too, didn't you?”“UHUK! UHUK!”Dengan sigap, Riichi langsung menyodorkan segelas air mineral ke arahku, yang segera diraih dan kuteguk hingga tersisa separuhnya."See? I knew it. You didn't tell them yet, did you?” tuduhnya lirih yang membuatku langsung meliriknya sebal.Ketika sorot matanya yang sok tahu itu bertemu pandang denganku, spontan aku mendengkus seraya membuang pandangan ke piringku yang sudah mulai kehabisan daging.
Entah sudah berapa lama, aku terdiam. Beruntung, Riichi juga tidak mengajakku bicara. Sepertinya ia paham kalau aku sedang tidak ingin bicara. Well, dari berbagai macam simulasi yang sudah pernah kubayangkan sebelumnya, tidak pernah terpikir olehku kalau situasinya akan membuatku begini “takut”.Pada awal perjalanan, aku memang merasa cemas dan takut jika hari ini datang. Baik itu rasa takut karena dimarahi, menjadi tahanan rumah, ataupun pembatasan fasilitas lainnya. Bahkan,⏤percaya atau tidak⏤ aku juga sampai menyiapkan batin jika nanti namaku dicoret dari daftar kartu keluarga. Itupun kalau papa Ian sudah tidak ingin aku untuk menikah dengan Zean.Sayangnya, ternyata simulasi di dalam benakku masih tidak cukup jauh untuk memikirkan kemungkinan terburuk. Alhasil
Begitu pesawat benar-benar mendarat dan para penumpang mulai beranjak dari kursi, yang kulakukan pertama adalah menyalakan gawaiku, beserta dengan jaringan internetnya. Untuk apa? Tentu saja untuk memvalidasi berita Riichi! Sayangnya, Riichi masih pria baik-baik yang tidak suka membual ataupun mengerjai orang seperti kak Naki. Jadi, berita yang ia katakan sama sekali tidak meleset. Well, kenyataan memang menyedihkan, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Aku juga sudah cukup merasa terpuruk dan dihujam rasa bersalah selama berjam-jam saat di pesawat tadi. Dan kembali merasa terpuruk, apalagi membiarkannya menjajahku terus menerus tidak akan menjadi solusi yang tepat. Sejujurnya, aku memang menyesal, tetapi sekarang, aku haru
"Apakah sekarang anda merasa tidak sehat? Seperti mual, lesu, atau pusing karena jetlag?" tanya pria yang duduk di samping pengemudi saat menoleh ke arahku sembari melepas topi.Sinar matanya memang terlihat ramah, tetapi aku masih belum bisa mengendorkan kewaspadaan. Terlebih, aku baru saja tahu kalau sepertinya aku salah naik mobil dan aku belum tahu siapa yang mengirim mereka.Jadi, aku segera menggeleng."Saya tidak apa-apa. Terima kasih sudah mencemaskan saya."Pria yang ternyata berkepala botak itu entah kenapa tiba-tiba menahan tawa saat melihat reaksiku.Lha? Memangnya ada yang salah dengan wajahku saat ini?
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler