“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.
Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibunya. Entah kehidupan seperti apa yang dia lewati selama ini.~“Akang.”“Maafin Akang, enggak bisa ngendaliin emosi. Kamu pasti takut.”“Enggak kok, aku cuma kaget aja.”“Dulu Ibu itu suka banget ikut investasi. Awalnya memang berhasil sampai kebeli tanah segala, tapi semakin ibu taruh investasi yang besar-besar Bi Juni malah tiba-tiba kabur gitu aja.”“Akang sebenarnya malu, kamu jadi harus tahu semua ini.”“Aku malah bangga sama Akang.”“Apanya yang dibanggain? Kamu tahu dulu sebelum kerja di hotel, Akang kerjanya kuli bangunan. Untung aja pas itu ketemu Pak Jeff, dia puas sama kinerja Akang. Makanya, dia terus pakai Akang buat bangun rumahnya. Sampai suatu hari karena lihat Akang pandai bersih-bersih kamar, dia malah minta Akang buat gantiin staf hotel yang saat itu kecelakaan.”“Terus pas staf itu sudah sehat, Akang kembali kerja bangunan?”“Enggak, Akang tetap kerja di hotel. Cuma statusnya magang. Soalnya pas itu kejraan di proyeknya sudah selesai, ‘kan hotelnya juga sudah jadi. Rezeki Mah enggak ada yang tahu ya, tahu enggak saat itu Akang malah dikuliahin sama Pak Jeff.”“Kok bisa?”“Iya gara-gara Akang bisa ngehandle tamunya yang orang jepang.”“Lah, Akang bisa Bahasa jepang?”“Akang ‘kan dulu sekolah pelayaran.”“Oh iya? Dari pelayaran malah jadi perhotelan?”“Rezeki masa ditolak?”“Akang keren banget.”“Yang keren mah kamu, mau-mauan nikah sama orang susah kayak Akang. Padahal, di luar sana pasti banyak yang ngejar kamu ‘kan?”“Banyak, tapi enggak pernah ada yang berani ngajakin nikah. Kebanyakan malah ngajak pacaran.”“Dek, mulai hari Akang janji enggak akan biarin kamu sedih lagi.”Aku tidak yakin, kalau kamu bisa menepati janji, jika sikap ibu masih terus saja seperti ini. Aku sendiri bahkan mulai ragu, masih bisa bertahan atau tidak.“Akang berterima kasih banget sama Pak Jeff, kalau bukan karena dia Akang enggak akan pernah nemuin bidadari cantik.”“Ih, gombal!”“Serius juga.”“Kalau aku ini bidadari terus Akang ini apa? Jaka Tarub?”“Bisa aja kamu.”“Sudah enggak marah lagi, ‘kan?”“Ck, udah enggak.”“Alhamdulillah.”“Bagaimana Akang enggak tambah cinta sama kamu. Bahkan, kamu tahu banget bagaimana caranya menangani orang yang emosi.”Lagi-lagi pria itu memegang tanganku. Kali ini bahkan ia menidurkan kepalanya di telapak tangan milikku.“Akang enggak kebayang kalau kamu enggak ada di sini. Mau jadi Akang tanpa kamu?”“Ya tetep jadi orang.”“Ih, diajak serius malah bercanda.”“Lagian Akang, abis marah-marah malah ngegombal.”“Ini bukan ngegombal, tapi lagi mikirin masa depan.”“Oh ya?”“Walau begini Akang juga kepikiran masa depan kita nanti. Akang sebetulnya sudah mulai jenuh. Semakin ke sini sikap ibu sudah semakin kekanak-kanakkan. Kamu bayangin aja tadi pagi, kalau enggak bohong kita masa mau pergi bonceng 3.”Entah kenapa bukannya kesal, aku malah tertawa. Aku hanya terbayang jika kami bertiga jadi berboncengan dalam satu motor.Sampai tiba-tiba aku baru menyadari jika sedari tadi Kang Dadan tengah memperhatikanku dari arah yang cukup dekat.“Bukannya mikir malah ketawa. Tapi, seneng deh lihat kamu ketawa kayak gini. Jarang banget soalnya.”Bagaimana aku bisa tertawa. Jika setiap hari harus dihadapkan pada posisi yang serba salah.“Jadi tambah cantik, kalau kamu banyak ketawa.”“Makasih.”“Oh ya, bagaimana bisnis kerudung kamu? Banyak orderannya?”“Alhamdulillah lumayan banyak. Malah kayaknya mau nambah 1 karyawan lagi. Soalnya keteteran banget.”Aku memang punya brand jilbab yang sudah kurintis sejak aku masih single dulu. Tadinya hanya untuk mengisi waktu luang di akhir pekan. Ternyata ketika ditekuni malah jadi usaha yang menghasilkan. Apalagi berjualan di pulau jawa. Konsumennya jauh lebih banyak dari saat aku masih menetap di bali.Mungkin, salah satu alasannya adalah karena ongkos kirim yang murah. Apa lagi sejak dulu pelanggan jilbabku banyak yang berasal dari pulau jawa.“Kayaknya kamu juga sudah lama enggak ke toko. Kita coba mobil baru, yuk. Akang juga udah lama loh enggak main ke toko kamu, siapa tahu aja ada yang bisa Akang bantu di sana.”“Akang yakin mau pergi, di rumah aja ibu masih panas?"“Ini salah Akang dari awal, selalu memaklumi kesalahan ibu tanpa mikirin perasaan kamu. Makanya, semakin ke sini ibu jadi selalu ngerasa benar sendiri. Kalau, kita biarin ibu terus bersikap begini. Bukan hanya kita yang bakal menjauh, mungkin orang lain juga. Kasihan juga nanti ke ibunya. Kamu enggak nyadar apa Dek, orang anak perempuannya aja enggak ada yang mau serumah sama Ibu.”Saat aku masih diam saja. Pria itu malah mengulurkan tangannya.“Ayo!”“Kang seharusnya mobil itu jangan atas namaku.”“Kenapa memangnya, orang Akang beliin emang buat kamu! Lagian Akang udah punya mobil pick up yang biasa angkut belanjaan. Nah kalau, yang bagus ini buat kamu belanja ke pasar.”“Ya kali belanja pakai mobil, Kang.”“Ya sudah terserah kamu mau dipakai ke mana. Mobil-mobil kamu.”~Sejak malam itu Kang Dadan benar-benar berubah. Aku tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun, yang jelas mendapat pembelaan darinya, itu sama seperti mendapatkan suntikan semangat baru di saat aku nyaris putus asa pada hubungan ini.Tak lupa kami berpamitan pada ibu yang saat itu masih mengunci diri di kamar. Sejujurnya ada perasaan tak enak meninggalkannya sendirian.“Enggak apa-apa, kalau enggak diginin ibu enggak akan bisa belajar dari kesalahan.”Sampai tiba di mana kami akan berangkat. Kang Dadan justru mendapatkan panggilan dari Teh Nadia.Saat itu Kang Dadan yang tengah bersiap, sengaja meloudspeaker panggilannya.“Kamu abis marahin ibu lagi, Dan?”“Cuma ribut biasa.”“Ibu bilang kamu abis beli mobil, banyak duitmu ya?”“Teteh ini telepon sebenernya mau ngomong apa?”“Teteh cuma mau ngomong, kamu jangan mentang-mentang ibu tinggal sama kamu bisa seenaknya. Enak aja kamu suruh ibu buat masak bersih-bersih di rumah. Sudah mah rumah warisan, malah enggak tahu diri, bukannya mentingin orang tua dulu malah istri yang dimanjain.”“Teteh emang pernah lihat enggak, ibu masak atau bersih-bersih rumah? Kalau enggak lihat sendiri mah, enggak usah banyak omong! Kalau, bener peduli mah sini pulang, rawat ibu pakai tangan Teteh sendiri, mau enggak? Nyalahin mah emang paling gampang, tapi kalau ada apa-apa mana pernah Teteh mau direpotin.”Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah enggak diajak jalan-jalan?” tanya salah se
“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh mau juga pada ikut suaminya.”“Ya memang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.”“Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.”“Memangnya salah kalau suami mengantar istrinya pulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku.“Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?”“Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutkanku.”“Lah, di mana-mana nikah ya harus punya anak. Emangnya kalian kalau udah t
Dan ajaibnya benar saja. Saat kami telah sampai di masjid untuk menunaikan salat magrib. Ponsel Kang Dadan berdering. Begitu dilihat ternyata panggilan dari ibu.“Angkat aja!” ucapku yang kala itu tak sengajamelihat ke layer ponsel miliknya.“Waktu salatnya bentar lagi mau habis. Nanti ajalah abis maghriban. Biar tenang.”Saat itu memnag waktu sudah menunjukkan pukul 7 kurang 10 menit lagi. Bayangkan saja, ketika orang lain sedang menunaikan salat maghrib kami malah sedang ribut-ribut di luar rumah.Sebenarnya malu, tetapi mau bagaimana lagi? Kurasa tetangga pun sudah hafal dengan kebiasaan ibu yang suka mencari masalah, bahkan kudengar dari Lisa. Sebelum Kang Dadan menikah, mertuaku ini kerap kali mencari masalah dengan tetangga sekitar. Ada saja yang diributkan, padahal hanya masalah sepele.Sekarang setelah ada aku, ia sudah jarang membuat onar di luar. Dan, ya sekarnag akulah yang jadi sasarannya.Entah kena
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
“Ibu tuh cuma lagi panas, karena kamu beliin istrimu mobil. Sudahlah tebelin aja kupingmu!” “Enggak bisalah, kasihan Yasmin. Kalau, aku diem terus masa iya aku biarin anak orang jadi bulan-bulanan ibu setiap hari.” “Susah, udah watak mau bagaimana lagi?” “Nanti aku minta Ismail anterin ibu ke rumah Teteh.” “Emangnya ibu mau dianter Mail?” “Ya, harus mau. Kalau, enggak mau sama siapa di rumah, tahu sendiri ibu penakut.” “Terserah saja, tapi tolong kabari Teteh, kalau udah ibu udah jalan mau ke sini.” “Oke, makasih banyak ya.” “Hm.” Panggilan pun dimatikan. Kau tahu meski nada bicaranya paling ketus. Bahkan raut wajahnya yang jutek, kurasa di antara yang lainnya hanya ia iparku yang tak banyak omong. “Kang….” “Kenapa kok wajahmu sedih begitu?” “Kalau demi membelaku, Akang harus memusuhi semua keluarga. Apa lebih baik aku yang ngalah aja?” “Apa maksud kamu ngomong begit
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny
Entah perasaanku saja atau tidak. Sepertinya Kang Dadan juga sudah tahu rencanaku. Sejak aku mengatakan ingin pergi sikapnya menjadi semakin protektif dan berani. Sejujurnya aku mendambakan ketegasan suamiku sejak dulu, tetapi jika bayarannya adalah ia yang harus dibenci keluarganya. Nyatanya aku tetap merasa sedikit bersalah.Hanya demi membelaku, kamu harus menerima kebencian mereka. Terima kasih ya, tetapi sekarang aku sendiri bahkan mulai ragu pada hubungan ini.~Kami hanya berisitirahat sebentar dan kembali melanjutkan perjalanan. Sampai tiba azan subuh berkumandang. Kang Dadan memutuskan untuk check in di sebuah hotel di kota Tegal.Katanya di sini ada tempat wisata yang bagus, jadi rencananya siangnya kami akan mampir ke sini. Kala itu aku menurut saja, lagi pula sudah lama sekali aku tidak berwisata ke tempat-tempat yang jauh.Setelah salat subuh, Kang Dadan memilih hotel yang cukup jauh dari pintu exit tol.“Kang ini enggak k
Seketika aku langsung menengok ke dalam. Hingga, rasanya jantungku berhenti berdetak, begitu melihat darah yang cukup banyak di bagian tempat duduk dan bawah mobil.‘Dia keguguran di mobil?’“Aku enggak tahu kenapa dia selalu begitu keras sama dirinya sendiri. Padahal, dia bisa pergi. Kenapa malah bertahan di sini. Aku enggak akan maafin kalian, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama Mbakku.”Saat itu Ilyas langsung melajukan kendaraannya. Seketika itu juga aku mengikutinya dari belakang. Padahal aku sudah memblokir nomor ibu di ponsel Nada, kenapa juga dia membukanya kembali. Ya Tuhan, kenapa Engkau masih saja mengujinya dengan kehilangan calon buah hati kami, padahal itu satu-satunya hal yang menguatkannya.Tiba di rumah sakit, Ilyas masih tak mau bicara apa pun. Sampai ia memasuki ruangan di mana Nada dirawat di sana.“Puas ‘kan Mas, liat Mbakku jadi kayak begini?” Kali ini aku bisa melihat mata Ilyas memerah. Pria itu bicara dengan volume yang meninggi, tetapi Nada bahkan t
Tak pernah terbayangkan aku akan sesakit ini mendengar kabar pernikahan Nada dengan Ali yang disampaikan langsung oleh Arnav. Putraku tak lagi menentang hubungan mereka. Aku tidak tahu, kapan tepatnya anak it berubah pikiran. Padahal, jelas saat ia datang untuk membantu acara tahlilan ibu, aku melihatnya begitu antusias menjodohkanku kembali dengan Bundanya.Bagaimana bisa ia berubah secepat itu?Ia bahkan mengatakan padaku, jika akan jadi pengantar pengantin, kala Bundanya menikah. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah ia mengatakan itu semua dengan bangga.Aku yang menghidupinya selama ini. Kenapa ia malah lebih percaya pada orang lain yang justru baru ia kenal.Sejujurnya aku masih tak percaya jika Nada benar-benar menikah. Jadi, hari di mana akadnya dilangsungkan aku mendatangi hotel tersebut. Sayangnya tak sembarangan orang bisa masuk ke acara pernikahannya. Penjagaannya cukup ketat. Aku bahkan harus check in hanya untuk mendapatkan in
“Aku mengizinkannya Al, lakukan saja!”“Terima kasih Nad. Kalau, kamu masih bingung mau pilih yang mana. Besok staff yang menjual perhiasannya akan datang ke rumahmu. Pilih saja yang kamu suka.”“Bagaimana kalau seleraku enggak sesuai sama kamu?”“Aku yakin pilihanmu pasti yang terbaik.”“Baiklah. Aku akan pilih yang termurah kalau begitu.”“Nad, yang benar saja. Aku akan meminta staff untuk enggak mencantumkan harganya.”Aku sampai dibuat terkekeh dengan kepanikan Ali. Ada apa dengannya, padahal aku hanya bercanda.“Kenapa malah ketawa? Aku serius juga.”“Uangmu pasti banyak sekali Al, sampai-sampai membuangnya dengan begitu mudah.”“Siapa juga yang sedang membuang uang, jelas-jelas aku sedang membelikanmu mahar. Apa kamu akan membuang mahar setelah akad berlangsung? Enggak mungkin ‘kan.”
Ali hanya tersenyum saja. Namun, aku bisa melihat ekspresi kelegaan di wajah Abah dan Ilyas.Ya Allah, jika Engkau berkenan menyatukan kami dalam ikatan suci pernikahan. Maka, jadikanlah pernikahan itu sebagai jalan untuk mencapai ridho-Mu.Setelah mendapatkan jawabannya Ali memilih untuk berpamitan.“Besok Ali ke sininya habis dzuhur, ya Bah.”“Oh, baik kami tunggu kedatangan Nak Ali dan keluarga.”Ali mengangguk lagi, sesekali ia tampak melirik padaku.“Kayaknya ada yang mau ngeduluin nih!” sindir Ilyas, begitu Ali sudah meninggalkan rumah dengan kendaraan roda empatnya.“Aku sekali aja belum, Mbak udah mau dua kali aja!” ucap Ali.“Apaan sih kamu, Dek!”“Enggak boleh ngomong gitu, Yas! Memangnya ada yang mau pernikahannya gagal!” ucap Abah.Memang Ilyas ini keterlaluan. Merusak mood saja. Dia pikir enak berpisah, setelah bertahun-tahun menj
“Kamu tahu enggak sih yang kamu bicarain ini apa? Sudahlah Nav,Bunda enggak akan nikah kok. Asalkan kamu di samping Bunda, semua itu udah lebih dari cukup kok. Lagi pula sekarang Bunda sudah punya pekerjaan yang bisa diandalkan. Jadi, seenggaknya kalau suatu hari ayahmu berhenti memberikan uang untuk biaya Pendidikan kamu, kita sudah ada penghasilan lain.”“Nav serius, enggak apa kalau sekarang juga Bunda mau nikah sama Om Ali. Nav enggak akan menghalanginya lagi. Kalian tuh saling mencintai, tetapi Nav malah terus aja mencegah kalian Bersatu. Lagi pula Nav juga kayaknya butuh teman main, kayak Yusuf.”“Nav….”“Bun, sudah cukup Bunda nahan kesedihan sendirian. Nav pengen banget lihat Bunda ketawa terus kayak tadi, mungkin aja Om Alilah jawaban doa-doa Nav selama ini. Nav ‘kan juga minta supaya Bunda bahagia, tetapi Nav malah keliru dengan mendoakan supaya rujuk sama Ayah. Padahal, yang membuat Bunda ba
“Enggak begitu kok, Sayang.”“Sekarang Nav, ngerti bedanya Om Ali sama Ayah.”“Sayang, kalau kamu enggak suka Bunda dekat samam Om Ali, lain kali Bunda akan jaga jarak. Oke? Cuma tadi itu kebetulan mobil pick up Bunda rusak. Om Ali cuma nawarin bantuan, ya udah makanya kami tadi di jalanan. Jangan salah paham dulu!”“Nav enggak tahu, kenapa hubungan orang dewasa seribet ini?”“Enggak ribet kok, nanti kalau Nav dewasa, juga pasti ngerti.”“Nav enggak mau nikah Bun, kalau ujungnya cerai.”“Enggak ada pasangan yang mau pernikahannya gagal di tengah jalan Nak, andai saja mengembalikan kepercayaan itu mudah. Bunda pasti sudah melakukannya buat kamu?”“Memangnya apa yang bikin Bunda sampai enggak mau balikkan sama Ayah? Bukannya aku sudah jelasin semuanya.”“Bunda takut kalau suatu hari sakit dan enggak bisa ngapa-ngapain kayak kemar
“Jagung bakarnya datang!” ucap Zayn dengan sekantong besar di tangannya.“Zayn, aku ngantuk.”Saat itu Zayn dan Arnav yang tengah larut dalam tawa mendadak menatapku dengan aneh.“Kok ngantuk sih Bun, kita baru aja kumpul.”“Hari ini Bunda lagi kurang sehat, apa lagi besok harus kembali ke kota jadi enggak apa-apa ya, Bunda tidur duluan?”“Yah, enggak seru banget sih Bun?”Sata tu aku bisa melihat keduanya tampak kecewa. Namun, aku juga tak bisa membohongi perasaanku. Aku membenci Zayn. Meski, kini seseorang menjelaskan jika semua murni karena rasa terima kasih.Aku yang menyaksikan sendiri bagaimana ketika Zayn menatap Ochi dengan pandangan yang sama saat menatapku. Bagaimana ia bahkan tak membiarkan pria wanita itu pulang sendirian.Aku hanya tak sanggup membayangkan hari-hari selama aku tak ada di sampingya. Mungkin saja keduanya sering kali menghabiskan waktu denga
“Kita bisa bicarakan ini lain kali ‘kan? Bukannya tujuan Nav ke sini mau bantuin Ayah, Nav bahkan belum ke makan nenek,” ucapku.Memecah hening yang terlanjur tercipta.“Nah iya, tapi kayaknya Nav juga capek. Mending istirahat dulu.”Saat itu Zayn langsung menarik ransel Zayn, sehingga tubuh anak itu terpaksa mengikuti langkah kaki ayahnya menuju kamar tidur.Ia mendorong tubuh Arnav ke dalam, lantas kembali menutup pintu. Saat itu Zayn masih saja terlihat canggung, tampak ketika ia tersenyum paksa padaku yang masih duduk di kursi tamu.“Astaghfirrullah, Ayah!”Dari arah dalam terdengar teriakan Arnav yang cukup nyaring. Sontak saja, kami langsung menghampirinya untuk memastikan apa yang terjadi.Begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya aku saat melihat keadaan kamar yang antah berantah. Pakaian yang tergeletak dilantai. Buku-buku yang ditumpuk asal, juga tumpahan kopi yang dibiarka
“Caramu salah, Zayn. Kamu membiarkan kebencian tumbuh di hati anak kita, padahal kamu tidak melakukan kesalahan.”“Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk terakhir kali. Aku enggak tahu lagi cara apa lagi, selain membuatnya percaya kalau aku sudah menikah.”“Oke, kalau itu memang maumu.”“Jadi ikut, Nad?”Awalnya aku sedikit ragu, melihat bagaimana kami akan menaiki sepeda motor hanya berdua. Namun, melihat dua pria yang sangat kerepotan mengurus acara pemakaman ibunya. Hatiku tak bisa menolak untuk iba.Aku mengangguk tanda setuju. Menaiki sepeda motor berdua, menit pertama kami hanya saling diam. Bahkan, sampai menit-menit selanjutnya. Zayn juga seperti tak tertarik membuka percakapan. Hingga, tiba di mesin ATM, Zayn memintaku turun. Sedangkan, dia akan menunggu di luar. Sambil membeli beberapa minuman dan snack.Aku memperhatikan bagaimana pria itu sedikit kebingungan. Sampai ia kembali dan han
Aku tak mungkin salah mengenali keduanya. Itu Zayn dan Gavin.Aku masih mengikuti iring-iringan itu sampai ke pemakanan. Hingga tiba di mana Zayn mulai mengazani almarhumah, suasana haru kian menyeruak. Hingga prosesi pemakaman selesai, suasana duka turut menyelimuti.Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Bu Utami.Saat itu aku memilih untuk tinggal. Rasanya ada sedikit sesal, karena sejak terakhir kali kami bertemu, kondisinya masih baik-baik saja. Zayn bahkan, tidak pernah menceritakan keadaan Ibu sama sekali.“Dia sudah enggak ada, Nad.”“Maafkan aku Zayn, aku bahkan enggak pernah nengok ibu. Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu tentang sakit ibu ke aku?”Saat itu Gavin masih ada di sana. Pria yang biasanya tak tahu diri dan selalu bersikap semena-mena itu hanya terisak sambil menatap pilu nisan ibu, ia bahkan tak menghiraukan keberadaanku.“Apa itu penti