Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.
Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah enggak diajak jalan-jalan?” tanya salah seorang tetanggaku.Aku ingat ia adalah teman baik ibu.“Ibu lagi pengen di rumah aja, hayu Bu!” ucap Kang Dadan ramah.Sementara, aku hanya tersenyum saja. Bisa dibilang aku memang tak terlalu akrab dengan tetangga. Hampir setiap hari aku sibuk dengan bisnis onlineku. Lagi pula jika berkumpul, pada akhirnya kami hanya akan membicarakan keburukan orang lain atau seringnya menyindirku karena tak kunjung hamil.Berbagai upaya telah kami lakukan dari terapi medis sampai herbal. Namun, jawabannya tetap sama. Meskipun, kami sama-sama subur. Jika kondisi psikis terganggu, juga akan sangat berpengaruh pada proses kehamilan itu sendiri.Disadari atau tidak, hampir setiap hari hidupku penuh dengan tekanan. Apa lagi sebabnya kalau bukan ibu yang selalu mengomentari semua hal, meski seharusnya itu bukanlah kesalahan.“Sayang, kenapa diam aja?”“Hm enggak apa-apa.”“Kalau ada apa-apa tuh bilang, jangan dipendam sendirian lagi.”“Akang kenapa sih kok tiba-tiba berubah jadi begini?”“Kamu enggak suka?”“Akang maunya aku jawab apa?”“Enggak usah dijawab aja kalau gitu.”“Aku cuma ngerasa aneh aja. Ada sesuatu yang Akang sembunyiin, ya?”“Enggak ada, cuma denger kamu minta pulang sampe 3 bulan lamanya. Akang berasa ditampar sebagai suami kamu, Akang udah gagal. Seharusnya kalau aja dari awal Akang enggak nyuruh kamu buat ngalah terus. Seharusnya malam itu kamu pasti enggak bakal minta pulang selama itu.”“Aku cuma mau pulang bukan minta pisah.”“Sekarang bilangnya memang begitu, tapi mana ada yang tahu kalau nyampe ke sana kamu malah berubah pikiran?”“Jadi sebenarnya Akang takut aku bakal pulang dan enggak balik lagi?”“Jangan sampelah kejadian begitu. Makanya sebelum terlambat Akang mau nyoba buat memperbaiki semuanya. Akang juga sadar, cuma laki-laki biasa, masih mending ada yang mau.”“Akang mah selalu merendah.”“Dulu Akang tuh susah banget tahu. Enggak tahu kenapa ibu malah nekat nyekolahin ke STM pelayaran, padahal biayanya mahal.”“Loh, jadi itu bukan keinginan Akang?”“Akang mah pengennya malah belajar IT, tapi ibu bilang buat apa ujungnya cuma jadi tukang warnet.”“Ya Allah ya enggak tukang warnet aja, ‘kan banyak pekerjaan lain.’“Ya namanya di kampung, belum terlalu peka teknologi. Jadi peminatnya sedikit.”“Terus kenapa Akang enggak ikut pelayaran aja? ‘kan aku denger-denger gajinya lumayan.”“Ibu memang tadinya masukin Akang ke sana, berharap bisa kerja di kapal yang gajinya puluhan juta, tapi pas mau berangkat teman akrab Akang yang merantau duluan, malah meninggal di kapal. Ibu langsung panik, padahal semua surat-suratnya sudah diurus, tapi malah dibatalin begitu aja. Ya sudah, dari pada nekat berangkat tanpa ridho orang tua, mending enggak sekalian.”Bahkan pria ini ikhlas-ikhlas saja ketika hidupnya diatur sepenuhnya oleh orang tuanya.“Akang nyesel enggak?”“Pastilah. Kesel, marah, merasa enggak adil. Ya, mau bagaimana lagi. Kehidupan terus berjalan juga, Akang enggak mungkin diam aja. Akang cari kerja sana-sini. Pas dapet di pabrik, cuma 6 bulan habis kontrak. Nah pas mau cari kerja lagi, ibu udah kelilit hutang sana-sini. Akang jadi ikut paniklah, jadilah kerja bangunan, ngerasain gajinya gede, malah jadi keterusan. Apa lagi waktu itu nyari kerja susah banget.”Aku lantas memegangi tangan lelakiku dengan lembut.“Sabar, ya!”“Hm, kejadiannya sudha lewat juga. Yang terpenting kalau nanti kita di kasih kesempatan buat punya momongan, Akang enggak akan maksain dia mau sekolah di mana. Dari pada ujung-ujungnya enggak jadi apa-apa.”“Iya, insyaallah.”Akhirnya kami sampai di workshopku. Aku memang menyediakan stand untuk melayani pembeli yang datang langsung ke toko. Namun, tak terlalu banyak, karena memang fokus kami menjual secara online.Hampir seharian kami menghabiskan waktu di sana. Kang Dadan juga turut membantu packing yang alhamdulillahnya tidak pernah ada habisnya.Sore hari, kami baru memutuskan untuk pulang, karena memang workshopku juga tutup hanya sampai pukul 4 sore.Ketika kami datang ibu sedang duduk di ruang televisi. Pendengarannya memang sedikit terganggu akhir-akhir ini. Aku sudah mengingatkannya untuk memeriksakannya ke dokter, tetapi katanya aku ini menghinanya tuli.Ia tersinggung, padahal maksudku baik. Sekarang lihat saja ia menonton televisi begitu dekat dengan volume yang tinggi. Bahkan, saat kami datang pun Ibu bisa tak sadar.Hingga ketika Kang Dadan menepuknya, barulah wanita itu menengok dan langsung memasang wajah masam. Padahal, saat ia fokus menonton, ia sedang tersenyum menikmati tayangan saat itu.Kami masih mencium tangannya dengan takzim. Juga memberikan kebab turki yang merupakan camilan favoritnya.“Ibu udah makan,” katanya masih dengan nafa yang sedikit angkuh.“Ya udah Dadan taruh di meja, barangkali ibu mau makan lagi.”“Oh ya, lain kali jangan nonton televisi dekat-dekat, Bu. Memang enggak pusing?"“Televis ini rusak! Masa udah dibesarin volumenya, tetep enggak kedengeran.”Aku yang tengah menata kebab di piring, segera memberikan kode pada Kang Dadan yang kebingungan. Sambil memegangi kedua telingaku, berharap ia mengerti. Seperti yang diharapkan akhirnya Kang Dadan mengerti maksudku.Sambil mengecek televisi dan mengurangi volumenya yang bising. Kang Dadan mulai melihat ibu yang saat itu masih kesal.“Bukan televisinya yang rusak, tapi mungkin ibu yang pendengarannya terganggu.”“Maksud kamu ibu budeg?”“Dadan juga enggak tahu pastinya bagaimana, makanya besok kita periksakan ke dokter THT.”“Enggak mau, enak aja. Ibu masih sehat gini, pasti istrimu yang ngadu. Dokter THT kan buat orang congean. Ibu enggak mungkinlah kayak gitu. Orang masih normal kok.”Aku memilih diam dan menikmati kebabnya. Entah kenapa juga aku cepat sekali lapar.Terkadang kita memang tak bisa mencegah orang lain berkata buruk, tapi kita bisa memilih untuk menutup telinga dan tak peduli dengan hal-hal yang hanya akan membuat kita sakit hati.“THT itu enggak cuma orang conge, lagian ibu tahu dari mana? Orang yang sudah berumur juga banyak yang telinganya terganggu, makanya kita periksa buat memastikannya dulu.”“Maksud kamu ibu tua?”“Ya, emang ibu udah enggak muda lagi.”“Alah, kamu mah percaya aja sama istrimu. Orang ibu masih sehat kok, kamu ngomongnya aja ibu masih denger. Orang kata Nadia aja ibu masih normal.”Jelas saja ia mendengarnya, suamiku berbicara setengah berteriak.“Emangnya ibu ngomong apa ke Teh Nadia?”“Ya, ibu cerita dikatain budeg sama istrimu.”“Ibu bagaimana sih dipeduliin bukannya makasih, malah terus jelek-jelekkin Yasmin. Ibunya aja yang enggak sadar Teteh ngomong kayak gitu karena engak mau ribet ngurusin. Ibu mau sampai kapan sih kayak gini terus? Ibu sadar enggak, sikap ibu ini bikin siapa aja enggak betah?"“Kok kamu jadi marah-marah sama ibu?”“Ya ibu bangga-banggain terus Teteh yang jelas-jelas cuma datang setahun sekali, ngasih uang enggak seberapa tapi terus dibandingin sama Yasmin yang tiap hari urusin Ibu. Kalau memang dia beneran peduli, buktiin mau enggak dia ke sini, tinggal bareng sama Ibu?”“Dia ‘kan punya anak kecil, repot. Wajar dia enggak bisa ke sini.”“Ya, terus? Karena, kami belum punya anak, kami juga enggak ada kesibukan? Bagaiamana Yasmin mau punya anak, kalau ibu terus-terusan bikin dia tertekan.”“Alah, istrimu aja yang manja. Lagian, dari dulu kalau bukan mandul, enggak mungkinlah kalian sampe 6 tahun enggak punya anak."Saat itu bukan hanya aku yang melarafalkan istighfar, bahkan Kang Dadan juga tampak mengelus dada mendengarkan ucapan ibu barusan.“Yas, ayo ikut Akang! Kita berangkat sekarang aja! beresin barang-barang kamu!Saat itu Kang Dadan menarik tanganku ke dalam kamar. Tanpa kata, ia lantas memasukkan pakaiannya ke koperku.“Ayo masukin barang-barangmu! Tunggu apa lagi?”“Hm, iya Kang.”Selesai mengepak semuanya kami lantas keluar kamar. Ibu jelas bingung melihat kami yang malah keluar dengan koper besar.“Kalian mau ke mana?”“Ke Bali.”“Kok mendadak banget?”“Kita pamit Bu, tolong jangan larang kami lagi. Sudah 6 tahun, Yasmin ngabdi sama ibu di sini, tapi sampai sekarang ibu masih aja enggak bisa menghargai kebaikan dia.”“Enggak bisa gitu dong Dan, terus ibu sama siapa di sini?”“Ibu telepon aja Teh Nadia yang katanya peduli sama Ibu, ayo Sayang!”“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh mau juga pada ikut suaminya.”“Ya memang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.”“Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.”“Memangnya salah kalau suami mengantar istrinya pulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku.“Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?”“Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutkanku.”“Lah, di mana-mana nikah ya harus punya anak. Emangnya kalian kalau udah t
Dan ajaibnya benar saja. Saat kami telah sampai di masjid untuk menunaikan salat magrib. Ponsel Kang Dadan berdering. Begitu dilihat ternyata panggilan dari ibu.“Angkat aja!” ucapku yang kala itu tak sengajamelihat ke layer ponsel miliknya.“Waktu salatnya bentar lagi mau habis. Nanti ajalah abis maghriban. Biar tenang.”Saat itu memnag waktu sudah menunjukkan pukul 7 kurang 10 menit lagi. Bayangkan saja, ketika orang lain sedang menunaikan salat maghrib kami malah sedang ribut-ribut di luar rumah.Sebenarnya malu, tetapi mau bagaimana lagi? Kurasa tetangga pun sudah hafal dengan kebiasaan ibu yang suka mencari masalah, bahkan kudengar dari Lisa. Sebelum Kang Dadan menikah, mertuaku ini kerap kali mencari masalah dengan tetangga sekitar. Ada saja yang diributkan, padahal hanya masalah sepele.Sekarang setelah ada aku, ia sudah jarang membuat onar di luar. Dan, ya sekarnag akulah yang jadi sasarannya.Entah kena
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
“Ibu tuh cuma lagi panas, karena kamu beliin istrimu mobil. Sudahlah tebelin aja kupingmu!” “Enggak bisalah, kasihan Yasmin. Kalau, aku diem terus masa iya aku biarin anak orang jadi bulan-bulanan ibu setiap hari.” “Susah, udah watak mau bagaimana lagi?” “Nanti aku minta Ismail anterin ibu ke rumah Teteh.” “Emangnya ibu mau dianter Mail?” “Ya, harus mau. Kalau, enggak mau sama siapa di rumah, tahu sendiri ibu penakut.” “Terserah saja, tapi tolong kabari Teteh, kalau udah ibu udah jalan mau ke sini.” “Oke, makasih banyak ya.” “Hm.” Panggilan pun dimatikan. Kau tahu meski nada bicaranya paling ketus. Bahkan raut wajahnya yang jutek, kurasa di antara yang lainnya hanya ia iparku yang tak banyak omong. “Kang….” “Kenapa kok wajahmu sedih begitu?” “Kalau demi membelaku, Akang harus memusuhi semua keluarga. Apa lebih baik aku yang ngalah aja?” “Apa maksud kamu ngomong begit
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny
Entah perasaanku saja atau tidak. Sepertinya Kang Dadan juga sudah tahu rencanaku. Sejak aku mengatakan ingin pergi sikapnya menjadi semakin protektif dan berani. Sejujurnya aku mendambakan ketegasan suamiku sejak dulu, tetapi jika bayarannya adalah ia yang harus dibenci keluarganya. Nyatanya aku tetap merasa sedikit bersalah.Hanya demi membelaku, kamu harus menerima kebencian mereka. Terima kasih ya, tetapi sekarang aku sendiri bahkan mulai ragu pada hubungan ini.~Kami hanya berisitirahat sebentar dan kembali melanjutkan perjalanan. Sampai tiba azan subuh berkumandang. Kang Dadan memutuskan untuk check in di sebuah hotel di kota Tegal.Katanya di sini ada tempat wisata yang bagus, jadi rencananya siangnya kami akan mampir ke sini. Kala itu aku menurut saja, lagi pula sudah lama sekali aku tidak berwisata ke tempat-tempat yang jauh.Setelah salat subuh, Kang Dadan memilih hotel yang cukup jauh dari pintu exit tol.“Kang ini enggak k
Seketika aku langsung menengok ke dalam. Hingga, rasanya jantungku berhenti berdetak, begitu melihat darah yang cukup banyak di bagian tempat duduk dan bawah mobil.‘Dia keguguran di mobil?’“Aku enggak tahu kenapa dia selalu begitu keras sama dirinya sendiri. Padahal, dia bisa pergi. Kenapa malah bertahan di sini. Aku enggak akan maafin kalian, kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama Mbakku.”Saat itu Ilyas langsung melajukan kendaraannya. Seketika itu juga aku mengikutinya dari belakang. Padahal aku sudah memblokir nomor ibu di ponsel Nada, kenapa juga dia membukanya kembali. Ya Tuhan, kenapa Engkau masih saja mengujinya dengan kehilangan calon buah hati kami, padahal itu satu-satunya hal yang menguatkannya.Tiba di rumah sakit, Ilyas masih tak mau bicara apa pun. Sampai ia memasuki ruangan di mana Nada dirawat di sana.“Puas ‘kan Mas, liat Mbakku jadi kayak begini?” Kali ini aku bisa melihat mata Ilyas memerah. Pria itu bicara dengan volume yang meninggi, tetapi Nada bahkan t
Di rumah Ayah dan Ibu sudah menyambutku dengan hangat. Mereka bahkan menyiapkan hidangan yang sangat banyak. Namun, entah terbuat dari apa hati keluargaku ini. Ia bahkan tak langsung bertanya kenapa aku hanya pulang sendiri. Padahal, sebelumnya aku mengabarkan jika pulang bersama suamiku.“Bu, maaf kali ini aku pulang sendiri.”“Sudah masuk dulu, pasti capek ‘kan.”“Nanti dulu, itu koperku masih ketinggalan.”“Tenang, Ayah yang beresin,” ucap Ayah yang saat itu tengah bersiap kembali ke mobil.Namun, malah dicegah Azam di jalan.“Azam aja Yah, nanti sekalian dianterin ke kamar.”Anak itu bukan hanya parasnya yang rupawan, tetapi sikapnya juga sangat pengertian. Ibu dan ayah pasti sangat menyukainya.“Biarin aja mereka rebutan, sudah biasa,” kata ibu, sambil menuntutku untuk masuk ke dalam.“Mau mandi dulu apa makan?”“Mandi dulu aja Bu, udah lengket banget,” ucapku.“Oke. Di kamar kamu sekarang ada water heaternya loh, mandi pakai air
Tak pernah terbayangkan aku akan sesakit ini mendengar kabar pernikahan Nada dengan Ali yang disampaikan langsung oleh Arnav. Putraku tak lagi menentang hubungan mereka. Aku tidak tahu, kapan tepatnya anak it berubah pikiran. Padahal, jelas saat ia datang untuk membantu acara tahlilan ibu, aku melihatnya begitu antusias menjodohkanku kembali dengan Bundanya.Bagaimana bisa ia berubah secepat itu?Ia bahkan mengatakan padaku, jika akan jadi pengantar pengantin, kala Bundanya menikah. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah ia mengatakan itu semua dengan bangga.Aku yang menghidupinya selama ini. Kenapa ia malah lebih percaya pada orang lain yang justru baru ia kenal.Sejujurnya aku masih tak percaya jika Nada benar-benar menikah. Jadi, hari di mana akadnya dilangsungkan aku mendatangi hotel tersebut. Sayangnya tak sembarangan orang bisa masuk ke acara pernikahannya. Penjagaannya cukup ketat. Aku bahkan harus check in hanya untuk mendapatkan in
“Aku mengizinkannya Al, lakukan saja!”“Terima kasih Nad. Kalau, kamu masih bingung mau pilih yang mana. Besok staff yang menjual perhiasannya akan datang ke rumahmu. Pilih saja yang kamu suka.”“Bagaimana kalau seleraku enggak sesuai sama kamu?”“Aku yakin pilihanmu pasti yang terbaik.”“Baiklah. Aku akan pilih yang termurah kalau begitu.”“Nad, yang benar saja. Aku akan meminta staff untuk enggak mencantumkan harganya.”Aku sampai dibuat terkekeh dengan kepanikan Ali. Ada apa dengannya, padahal aku hanya bercanda.“Kenapa malah ketawa? Aku serius juga.”“Uangmu pasti banyak sekali Al, sampai-sampai membuangnya dengan begitu mudah.”“Siapa juga yang sedang membuang uang, jelas-jelas aku sedang membelikanmu mahar. Apa kamu akan membuang mahar setelah akad berlangsung? Enggak mungkin ‘kan.”
Ali hanya tersenyum saja. Namun, aku bisa melihat ekspresi kelegaan di wajah Abah dan Ilyas.Ya Allah, jika Engkau berkenan menyatukan kami dalam ikatan suci pernikahan. Maka, jadikanlah pernikahan itu sebagai jalan untuk mencapai ridho-Mu.Setelah mendapatkan jawabannya Ali memilih untuk berpamitan.“Besok Ali ke sininya habis dzuhur, ya Bah.”“Oh, baik kami tunggu kedatangan Nak Ali dan keluarga.”Ali mengangguk lagi, sesekali ia tampak melirik padaku.“Kayaknya ada yang mau ngeduluin nih!” sindir Ilyas, begitu Ali sudah meninggalkan rumah dengan kendaraan roda empatnya.“Aku sekali aja belum, Mbak udah mau dua kali aja!” ucap Ali.“Apaan sih kamu, Dek!”“Enggak boleh ngomong gitu, Yas! Memangnya ada yang mau pernikahannya gagal!” ucap Abah.Memang Ilyas ini keterlaluan. Merusak mood saja. Dia pikir enak berpisah, setelah bertahun-tahun menj
“Kamu tahu enggak sih yang kamu bicarain ini apa? Sudahlah Nav,Bunda enggak akan nikah kok. Asalkan kamu di samping Bunda, semua itu udah lebih dari cukup kok. Lagi pula sekarang Bunda sudah punya pekerjaan yang bisa diandalkan. Jadi, seenggaknya kalau suatu hari ayahmu berhenti memberikan uang untuk biaya Pendidikan kamu, kita sudah ada penghasilan lain.”“Nav serius, enggak apa kalau sekarang juga Bunda mau nikah sama Om Ali. Nav enggak akan menghalanginya lagi. Kalian tuh saling mencintai, tetapi Nav malah terus aja mencegah kalian Bersatu. Lagi pula Nav juga kayaknya butuh teman main, kayak Yusuf.”“Nav….”“Bun, sudah cukup Bunda nahan kesedihan sendirian. Nav pengen banget lihat Bunda ketawa terus kayak tadi, mungkin aja Om Alilah jawaban doa-doa Nav selama ini. Nav ‘kan juga minta supaya Bunda bahagia, tetapi Nav malah keliru dengan mendoakan supaya rujuk sama Ayah. Padahal, yang membuat Bunda ba
“Enggak begitu kok, Sayang.”“Sekarang Nav, ngerti bedanya Om Ali sama Ayah.”“Sayang, kalau kamu enggak suka Bunda dekat samam Om Ali, lain kali Bunda akan jaga jarak. Oke? Cuma tadi itu kebetulan mobil pick up Bunda rusak. Om Ali cuma nawarin bantuan, ya udah makanya kami tadi di jalanan. Jangan salah paham dulu!”“Nav enggak tahu, kenapa hubungan orang dewasa seribet ini?”“Enggak ribet kok, nanti kalau Nav dewasa, juga pasti ngerti.”“Nav enggak mau nikah Bun, kalau ujungnya cerai.”“Enggak ada pasangan yang mau pernikahannya gagal di tengah jalan Nak, andai saja mengembalikan kepercayaan itu mudah. Bunda pasti sudah melakukannya buat kamu?”“Memangnya apa yang bikin Bunda sampai enggak mau balikkan sama Ayah? Bukannya aku sudah jelasin semuanya.”“Bunda takut kalau suatu hari sakit dan enggak bisa ngapa-ngapain kayak kemar
“Jagung bakarnya datang!” ucap Zayn dengan sekantong besar di tangannya.“Zayn, aku ngantuk.”Saat itu Zayn dan Arnav yang tengah larut dalam tawa mendadak menatapku dengan aneh.“Kok ngantuk sih Bun, kita baru aja kumpul.”“Hari ini Bunda lagi kurang sehat, apa lagi besok harus kembali ke kota jadi enggak apa-apa ya, Bunda tidur duluan?”“Yah, enggak seru banget sih Bun?”Sata tu aku bisa melihat keduanya tampak kecewa. Namun, aku juga tak bisa membohongi perasaanku. Aku membenci Zayn. Meski, kini seseorang menjelaskan jika semua murni karena rasa terima kasih.Aku yang menyaksikan sendiri bagaimana ketika Zayn menatap Ochi dengan pandangan yang sama saat menatapku. Bagaimana ia bahkan tak membiarkan pria wanita itu pulang sendirian.Aku hanya tak sanggup membayangkan hari-hari selama aku tak ada di sampingya. Mungkin saja keduanya sering kali menghabiskan waktu denga
“Kita bisa bicarakan ini lain kali ‘kan? Bukannya tujuan Nav ke sini mau bantuin Ayah, Nav bahkan belum ke makan nenek,” ucapku.Memecah hening yang terlanjur tercipta.“Nah iya, tapi kayaknya Nav juga capek. Mending istirahat dulu.”Saat itu Zayn langsung menarik ransel Zayn, sehingga tubuh anak itu terpaksa mengikuti langkah kaki ayahnya menuju kamar tidur.Ia mendorong tubuh Arnav ke dalam, lantas kembali menutup pintu. Saat itu Zayn masih saja terlihat canggung, tampak ketika ia tersenyum paksa padaku yang masih duduk di kursi tamu.“Astaghfirrullah, Ayah!”Dari arah dalam terdengar teriakan Arnav yang cukup nyaring. Sontak saja, kami langsung menghampirinya untuk memastikan apa yang terjadi.Begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya aku saat melihat keadaan kamar yang antah berantah. Pakaian yang tergeletak dilantai. Buku-buku yang ditumpuk asal, juga tumpahan kopi yang dibiarka
“Caramu salah, Zayn. Kamu membiarkan kebencian tumbuh di hati anak kita, padahal kamu tidak melakukan kesalahan.”“Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk terakhir kali. Aku enggak tahu lagi cara apa lagi, selain membuatnya percaya kalau aku sudah menikah.”“Oke, kalau itu memang maumu.”“Jadi ikut, Nad?”Awalnya aku sedikit ragu, melihat bagaimana kami akan menaiki sepeda motor hanya berdua. Namun, melihat dua pria yang sangat kerepotan mengurus acara pemakaman ibunya. Hatiku tak bisa menolak untuk iba.Aku mengangguk tanda setuju. Menaiki sepeda motor berdua, menit pertama kami hanya saling diam. Bahkan, sampai menit-menit selanjutnya. Zayn juga seperti tak tertarik membuka percakapan. Hingga, tiba di mesin ATM, Zayn memintaku turun. Sedangkan, dia akan menunggu di luar. Sambil membeli beberapa minuman dan snack.Aku memperhatikan bagaimana pria itu sedikit kebingungan. Sampai ia kembali dan han
Aku tak mungkin salah mengenali keduanya. Itu Zayn dan Gavin.Aku masih mengikuti iring-iringan itu sampai ke pemakanan. Hingga tiba di mana Zayn mulai mengazani almarhumah, suasana haru kian menyeruak. Hingga prosesi pemakaman selesai, suasana duka turut menyelimuti.Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Bu Utami.Saat itu aku memilih untuk tinggal. Rasanya ada sedikit sesal, karena sejak terakhir kali kami bertemu, kondisinya masih baik-baik saja. Zayn bahkan, tidak pernah menceritakan keadaan Ibu sama sekali.“Dia sudah enggak ada, Nad.”“Maafkan aku Zayn, aku bahkan enggak pernah nengok ibu. Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu tentang sakit ibu ke aku?”Saat itu Gavin masih ada di sana. Pria yang biasanya tak tahu diri dan selalu bersikap semena-mena itu hanya terisak sambil menatap pilu nisan ibu, ia bahkan tak menghiraukan keberadaanku.“Apa itu penti