Angin malam berhembus kencang ketika Jung Jinsi dan Ye Xuanqing bergegas keluar dari ruang kerja. Aroma aneh yang tersisa dari sosok bayangan tadi masih menggantung di udaraâbau logam yang samar dan hawa siluman yang dingin."Dia tidak pergi jauh," ujar Jung Jinsi dengan tatapan tajam. "Aku bisa merasakan jejak energinya.""Arah mana?" tanya Ye Xuanqing sudah menggenggam gagang pedangnya, siap bertindak kapan saja.Jung Jinsi memejamkan mata, ujung jarinya menyentuh udara seolah membaca aliran energi di sekitarnya. Lalu, secara perlahan matanya terbuka, bersinar keemasan. "Ke atap paviliun belakang!"Tanpa berpikir panjang, keduanya melesat dengan kecepatan luar biasa. Ye Xuanqing melompat dari satu pilar ke pilar lain dengan lincah, sementara Jung Jinsi menggunakan kekuatan silumannya untuk melesat lebih cepat, tubuhnya seperti bayangan yang hampir tidak terlihat di tengah gelapnya malam.Di atap paviliun, sosok misterius itu sudah berdiri menunggu. Matanya merah menyala, tubuhnya d
"Jadi itu bukan roh terikat yang sebenarnya," ujar Ye Xuanqing akhirnya, suaranya berat. "Apa yang kita hadapi tadi hanyalah proyeksi." Jung Jinsi menatapnya tajam. "Aku sempat merasakan auranya. Itu nyata, Xuanqing. Kalau itu hanya proyeksi, bagaimana bisa serangannya melukai kita?" "Mantra pengganda," sela Jing Qian, nada suaranya datar. "Beberapa siluman tingkat tinggi bahkan roh terikat sekalipun bisa menggunakan sihir semacam itu. Mereka menciptakan bayangan diri mereka yang mampu menyerang dan bertahan, seolah-olah itu tubuh asli mereka." Ye Xuanqing mengangguk. "Saat aku menebasnya, seharusnya roh terikat itu melemah atau mati. Tapi luka-luka yang kita berikan padanya seakan tak berpengaruh. Lalu, saat aku merasakan auranya lagiâĶ Aku sadar, ada dua sumber yang berbeda dalam radius yang sama. Itu bukan satu roh, tapi duplikat." Jung Jinsi menggigit bibirnya, matanya meredup. "Jadi, yang kita hadapi tadi bukanlah yang asli?" "Benar," jawab Jing Qian. "Yang asli pasti te
Ye Xuanqing dan Jung Jinsi duduk bersandar di depan pintu kamar Ye Qingyu. Malam semakin larut, namun mereka tetap berjaga. Udara dingin merayap, tapi kehangatan di antara mereka tak bisa disangkal. Jung Jinsi menyandarkan kepalanya ke bahu Ye Xuanqing. "Aku tak menyangka ini akan seberat iniâĶ Aku takut kita tak bisa menyelamatkan Tuan Besar Ye." Ye Xuanqing melingkarkan tangannya di bahunya, memberi kehangatan. "Tapi kita berhasil, Jinsi. Ayah selamat, dan roh terikat itu sudah dihancurkan. Kau juga sudah melakukan banyak hal. Aku tak bisa melakukannya tanpamu." Jung Jinsi mendongak, menatap wajah pria itu yang tampak lelah namun tetap penuh keteguhan. "Aku hanya tak ingin melihatmu terluka. AkuâĶ aku khawatir padamu, Xuanqing." Ye Xuanqing tersenyum tipis, lalu tanpa ragu, dia mengusap pipi Jung Jinsi dengan lembut. "Aku juga khawatir padamu. Saat kita bertarung tadiâĶ Aku takut sesuatu akan terjadi padamu. Aku tak ingin kehilanganmu." Jung Jinsi merasakan jantungnya berdeta
Malam merayap di atas Istana Kekaisaran Sheng, menebarkan bayang-bayang gelap yang menari di antara paviliun dan lorong berornamen keemasan. Di atap sebuah gedung yang menghadap ke pelataran dalam, tiga sosok melayang di antara kegelapan.Jung Jinsi, si siluman rubah ekor sembilan itu berdiri tegak dengan tatapan tajam, telinganya bergerak pelan menangkap setiap suara samar di sekelilingnya. Di sebelahnya, Jing Qian yang lebih ramping dan gesit, memejamkan mata sejenak, mengatur napas agar lebih halus dari hembusan angin malam. Fen Rou, satu-satunya manusia di antara mereka, merapat ke bayangan dinding, tangannya siap mencabut pedang dari sarungnya.âMenurut informasi yang kudapat,â bisik Fen Rou hampir tanpa suara, âIbu Suri Zhao Weini memiliki janji temu rahasia di aula belakang Istana Liuyang.â"Baiklah, kita hanya perlu menyusup ke sana dan mencari tahu siapa yang ditemui wanita tua itu." Jing Qian mengangguk dan mulai bergerak lebih dulu. Dibelakangnya, Jung Jinsi dan Fen Rou be
Di luar gerbang istana, suasana malam tetap hidup dengan aktivitas warga. Lampion-lampion berayun pelan diterpa angin, menerangi pedagang yang masih berjualan dan pengunjung yang menikmati makanan di kedai pinggir jalan. Di antara keramaian, dua sosok duduk di sudut kedai teh yang cukup gelap, memperhatikan gerbang istana dengan waspada. Ye Xuanqing, dengan pakaian sederhana layaknya rakyat biasa, mengaduk tehnya perlahan. Di sebelahnya, Ming Tian tampak lebih santai, menikmati makanan yang ia pesan, tetapi matanya tetap tajam mengawasi situasi sekitar. âNyonya Muda dan yang lain sudah masuk,â bisik Ming Tian sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Xuanqing tidak segera menjawab. Ia justru mengalihkan pandangannya ke sekelompok warga yang duduk tak jauh dari mereka, terlibat dalam percakapan yang cukup serius. âAku dengar pajak kembali dinaikkan bulan ini. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan?â keluh seorang pria paruh baya, mengusap wajahnya yang penuh keringat. Seorang wanita tu
Malam yang awalnya hanya diwarnai riuh rendah pasar kini berubah menjadi penuh ketegangan. Dari kejauhan, Ye Xuanqing dan Ming Tian melihat tiga sosok yang berlari dengan cepat, diikuti oleh sekelompok penjaga bersenjata yang mengejar mereka dengan teriakan tajam. "Berhenti disana!" "Jangan lari!" "Berhenti, dasar penyusup!" Teriakan-teriakan para penjaga bergema ditengah malam, mengejar Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou yang terus berlari menghindari istana Kekaisaran Sheng. "Mereka berhasil keluar, tapi dalam keadaan dikejar," ujar Ming Tian dengan nada datar, namun tubuhnya sudah bergerak. Ye Xuanqing meraih lengan bajunya, menahan. "Jangan bertindak gegabah. Kita harus mengalihkan perhatian para penjaga, bukan menarik perhatian lebih banyak." Ming Tian menyeringai. "Bukankah itu hal yang sama?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke tengah jalan, berjalan dengan sikap santai seolah tak terjadi apa-apa. Saat para penjaga semakin dekat, ia pura-pura tersandung seb
Di tengah hutan yang diterangi cahaya bulan pucat, Ye Xuanqing dan Ming Tian bergegas melintasi pepohonan. Langkah mereka cepat, menembus dedaunan dan bayangan yang bergoyang. Mereka harus segera menyusul Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou sebelum semuanya terlambat. Namun, sesampainya di tepi jurang berbatu, mereka terhenti. Kabut hitam pekat bergulung-gulung di depan mereka. Di tengah kabut yang berputar, sosok perempuan melangkah maju. Mata keemasan yang menyala penuh kebencian menatap mereka. Rambut panjangnya tergerai seperti bayangan kelam, berkilauan di bawah sinar bulan. Gaun ungu tuanya berayun lembut, sementara aura mengerikan menguar dari tubuhnya. "Lu Sangyun," bisik Ming Tian dengan suara rendah. "Tangan kanan Hei Lian Hua," sambung Ye Xuanqing dengan ekspresi dingin. Lu Sangyun menyeringai, bibirnya melengkung dengan keangkuhan. "Kalian benar-benar mengira bisa melawan Ibu Suri? Kalian tak lebih dari bidak kecil dalam permainan ini." "Meski begitu, kami tida
Ye Xuanqing dan Ming Tian semakin berjalan cepat setelah pertarungan melawan siluman mimpi buruk, Lu Sangyun. Mereka kembali ke kediaman Keluarga Ye melalui gerbang belakang. Tepat dihalaman belakang itu pula Jung Jinsi, Jing Qian dan Fen Rou berada. Mereka bertiga juga baru saja tiba di kediaman. Terbukti dengan nafas mereka yang masih satu-satu. "Kalian sudah kembali," ucap Ye Xuanqing merasa lega begitu dia melangkahkan kaki masuk ke kediaman. semua orang menoleh ke arahnya, termasuk Jung Jinsi. Dia langsung tersenyum manis dan berlari kecil menuju sang Adipati. "Xuanqing, kau kembali dengan selamat juga." Jung Jinsi begitu lega. Meskipun dia sendiri hampir menjadi mayat jika kalah dengan Hei Lian Hua tadi. "Tentu saja, apapun yang terjadi aku pasti akan kembali." Ye Xuanqing menjawabnya dengan senyum tipis. Kemudian Fen Rou maju terlebih dahulu, dia hendak melaporkan apa yang mereka lihat saat menyusup ke istana Kekaisaran Sheng. "Adipati, kami melihatâ" "Fen Rou cu
Ye Xuanqing dan Ming Tian semakin berjalan cepat setelah pertarungan melawan siluman mimpi buruk, Lu Sangyun. Mereka kembali ke kediaman Keluarga Ye melalui gerbang belakang. Tepat dihalaman belakang itu pula Jung Jinsi, Jing Qian dan Fen Rou berada. Mereka bertiga juga baru saja tiba di kediaman. Terbukti dengan nafas mereka yang masih satu-satu. "Kalian sudah kembali," ucap Ye Xuanqing merasa lega begitu dia melangkahkan kaki masuk ke kediaman. semua orang menoleh ke arahnya, termasuk Jung Jinsi. Dia langsung tersenyum manis dan berlari kecil menuju sang Adipati. "Xuanqing, kau kembali dengan selamat juga." Jung Jinsi begitu lega. Meskipun dia sendiri hampir menjadi mayat jika kalah dengan Hei Lian Hua tadi. "Tentu saja, apapun yang terjadi aku pasti akan kembali." Ye Xuanqing menjawabnya dengan senyum tipis. Kemudian Fen Rou maju terlebih dahulu, dia hendak melaporkan apa yang mereka lihat saat menyusup ke istana Kekaisaran Sheng. "Adipati, kami melihatâ" "Fen Rou cu
Di tengah hutan yang diterangi cahaya bulan pucat, Ye Xuanqing dan Ming Tian bergegas melintasi pepohonan. Langkah mereka cepat, menembus dedaunan dan bayangan yang bergoyang. Mereka harus segera menyusul Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou sebelum semuanya terlambat. Namun, sesampainya di tepi jurang berbatu, mereka terhenti. Kabut hitam pekat bergulung-gulung di depan mereka. Di tengah kabut yang berputar, sosok perempuan melangkah maju. Mata keemasan yang menyala penuh kebencian menatap mereka. Rambut panjangnya tergerai seperti bayangan kelam, berkilauan di bawah sinar bulan. Gaun ungu tuanya berayun lembut, sementara aura mengerikan menguar dari tubuhnya. "Lu Sangyun," bisik Ming Tian dengan suara rendah. "Tangan kanan Hei Lian Hua," sambung Ye Xuanqing dengan ekspresi dingin. Lu Sangyun menyeringai, bibirnya melengkung dengan keangkuhan. "Kalian benar-benar mengira bisa melawan Ibu Suri? Kalian tak lebih dari bidak kecil dalam permainan ini." "Meski begitu, kami tida
Malam yang awalnya hanya diwarnai riuh rendah pasar kini berubah menjadi penuh ketegangan. Dari kejauhan, Ye Xuanqing dan Ming Tian melihat tiga sosok yang berlari dengan cepat, diikuti oleh sekelompok penjaga bersenjata yang mengejar mereka dengan teriakan tajam. "Berhenti disana!" "Jangan lari!" "Berhenti, dasar penyusup!" Teriakan-teriakan para penjaga bergema ditengah malam, mengejar Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou yang terus berlari menghindari istana Kekaisaran Sheng. "Mereka berhasil keluar, tapi dalam keadaan dikejar," ujar Ming Tian dengan nada datar, namun tubuhnya sudah bergerak. Ye Xuanqing meraih lengan bajunya, menahan. "Jangan bertindak gegabah. Kita harus mengalihkan perhatian para penjaga, bukan menarik perhatian lebih banyak." Ming Tian menyeringai. "Bukankah itu hal yang sama?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke tengah jalan, berjalan dengan sikap santai seolah tak terjadi apa-apa. Saat para penjaga semakin dekat, ia pura-pura tersandung seb
Di luar gerbang istana, suasana malam tetap hidup dengan aktivitas warga. Lampion-lampion berayun pelan diterpa angin, menerangi pedagang yang masih berjualan dan pengunjung yang menikmati makanan di kedai pinggir jalan. Di antara keramaian, dua sosok duduk di sudut kedai teh yang cukup gelap, memperhatikan gerbang istana dengan waspada. Ye Xuanqing, dengan pakaian sederhana layaknya rakyat biasa, mengaduk tehnya perlahan. Di sebelahnya, Ming Tian tampak lebih santai, menikmati makanan yang ia pesan, tetapi matanya tetap tajam mengawasi situasi sekitar. âNyonya Muda dan yang lain sudah masuk,â bisik Ming Tian sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Xuanqing tidak segera menjawab. Ia justru mengalihkan pandangannya ke sekelompok warga yang duduk tak jauh dari mereka, terlibat dalam percakapan yang cukup serius. âAku dengar pajak kembali dinaikkan bulan ini. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan?â keluh seorang pria paruh baya, mengusap wajahnya yang penuh keringat. Seorang wanita tu
Malam merayap di atas Istana Kekaisaran Sheng, menebarkan bayang-bayang gelap yang menari di antara paviliun dan lorong berornamen keemasan. Di atap sebuah gedung yang menghadap ke pelataran dalam, tiga sosok melayang di antara kegelapan.Jung Jinsi, si siluman rubah ekor sembilan itu berdiri tegak dengan tatapan tajam, telinganya bergerak pelan menangkap setiap suara samar di sekelilingnya. Di sebelahnya, Jing Qian yang lebih ramping dan gesit, memejamkan mata sejenak, mengatur napas agar lebih halus dari hembusan angin malam. Fen Rou, satu-satunya manusia di antara mereka, merapat ke bayangan dinding, tangannya siap mencabut pedang dari sarungnya.âMenurut informasi yang kudapat,â bisik Fen Rou hampir tanpa suara, âIbu Suri Zhao Weini memiliki janji temu rahasia di aula belakang Istana Liuyang.â"Baiklah, kita hanya perlu menyusup ke sana dan mencari tahu siapa yang ditemui wanita tua itu." Jing Qian mengangguk dan mulai bergerak lebih dulu. Dibelakangnya, Jung Jinsi dan Fen Rou be
Ye Xuanqing dan Jung Jinsi duduk bersandar di depan pintu kamar Ye Qingyu. Malam semakin larut, namun mereka tetap berjaga. Udara dingin merayap, tapi kehangatan di antara mereka tak bisa disangkal. Jung Jinsi menyandarkan kepalanya ke bahu Ye Xuanqing. "Aku tak menyangka ini akan seberat iniâĶ Aku takut kita tak bisa menyelamatkan Tuan Besar Ye." Ye Xuanqing melingkarkan tangannya di bahunya, memberi kehangatan. "Tapi kita berhasil, Jinsi. Ayah selamat, dan roh terikat itu sudah dihancurkan. Kau juga sudah melakukan banyak hal. Aku tak bisa melakukannya tanpamu." Jung Jinsi mendongak, menatap wajah pria itu yang tampak lelah namun tetap penuh keteguhan. "Aku hanya tak ingin melihatmu terluka. AkuâĶ aku khawatir padamu, Xuanqing." Ye Xuanqing tersenyum tipis, lalu tanpa ragu, dia mengusap pipi Jung Jinsi dengan lembut. "Aku juga khawatir padamu. Saat kita bertarung tadiâĶ Aku takut sesuatu akan terjadi padamu. Aku tak ingin kehilanganmu." Jung Jinsi merasakan jantungnya berdeta
"Jadi itu bukan roh terikat yang sebenarnya," ujar Ye Xuanqing akhirnya, suaranya berat. "Apa yang kita hadapi tadi hanyalah proyeksi." Jung Jinsi menatapnya tajam. "Aku sempat merasakan auranya. Itu nyata, Xuanqing. Kalau itu hanya proyeksi, bagaimana bisa serangannya melukai kita?" "Mantra pengganda," sela Jing Qian, nada suaranya datar. "Beberapa siluman tingkat tinggi bahkan roh terikat sekalipun bisa menggunakan sihir semacam itu. Mereka menciptakan bayangan diri mereka yang mampu menyerang dan bertahan, seolah-olah itu tubuh asli mereka." Ye Xuanqing mengangguk. "Saat aku menebasnya, seharusnya roh terikat itu melemah atau mati. Tapi luka-luka yang kita berikan padanya seakan tak berpengaruh. Lalu, saat aku merasakan auranya lagiâĶ Aku sadar, ada dua sumber yang berbeda dalam radius yang sama. Itu bukan satu roh, tapi duplikat." Jung Jinsi menggigit bibirnya, matanya meredup. "Jadi, yang kita hadapi tadi bukanlah yang asli?" "Benar," jawab Jing Qian. "Yang asli pasti te
Angin malam berhembus kencang ketika Jung Jinsi dan Ye Xuanqing bergegas keluar dari ruang kerja. Aroma aneh yang tersisa dari sosok bayangan tadi masih menggantung di udaraâbau logam yang samar dan hawa siluman yang dingin."Dia tidak pergi jauh," ujar Jung Jinsi dengan tatapan tajam. "Aku bisa merasakan jejak energinya.""Arah mana?" tanya Ye Xuanqing sudah menggenggam gagang pedangnya, siap bertindak kapan saja.Jung Jinsi memejamkan mata, ujung jarinya menyentuh udara seolah membaca aliran energi di sekitarnya. Lalu, secara perlahan matanya terbuka, bersinar keemasan. "Ke atap paviliun belakang!"Tanpa berpikir panjang, keduanya melesat dengan kecepatan luar biasa. Ye Xuanqing melompat dari satu pilar ke pilar lain dengan lincah, sementara Jung Jinsi menggunakan kekuatan silumannya untuk melesat lebih cepat, tubuhnya seperti bayangan yang hampir tidak terlihat di tengah gelapnya malam.Di atap paviliun, sosok misterius itu sudah berdiri menunggu. Matanya merah menyala, tubuhnya d
Malam di kediaman Keluarga Ye semakin larut, dan sebagian besar penghuni rumah telah terlelap dalam tidur mereka. Namun, di taman belakang yang diterangi sinar rembulan, Jung Jinsi dan Ye Xuanqing masih terjaga.Angin malam bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang bermekaran di sekitar paviliun tempat mereka duduk. Xuanqing duduk bersandar pada salah satu tiang kayu, sementara Jinsi berdiri tak jauh darinya, menatap kolam yang permukaannya berkilauan tertimpa cahaya bulan.âKenapa kau masih di sini?â suara Xuanqing memecah keheningan.Jinsi menoleh sekilas sebelum kembali menatap air. âAku tidak bisa tidur.âXuanqing tersenyum tipis. âKalau begitu, kau harusnya tidur di kamarku. Aku bisa menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu.âJinsi menoleh cepat, menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. âKau pikir aku anak kecil?âXuanqing terkekeh. âBukan. Tapi kalau itu bisa membuatmu tidur lebih nyenyak, aku tidak keberatan.âJinsi mendengus pelan sebelum berjalan mendekatinya. Ia bersa