Ditengah malam, Jung Jinsi keluar dari kamarnya dan mendapati Jung Qian tengah duduk dengan bersandar pada pilar. Tidak ada siapa-siapa di luar kamarnya atau bahkan sepanjang koridor. Ye Xuanqing sendiri memang sudah meninggalkan Jung Jinsi sejak tadi, berharap bisa memberi ruang pada Jinsi agar beristirahat. "Kakak," panggil Jung Jinsi pada Jung Qian yang tampak melamun sembari bersidekap. Jing Qian mendongakkan kepalanya, lalu menegakkan tubuhnya. "Ada apa, kau butuh sesuatu?" tanyanya dengan nada yang datar. Jung Jinsi menggeleng pelan, dia hanya ikut duduk disamping sang kakak. "Tidak ada," balasnya singkat. "Kalau begitu kenapa kau keluar?" todong Jing Qian yang tidak puas dengan jawaban adiknya. "Aku hanya mengkhawatirkan mu kak, udara semakin dingin dan kau tak kunjung masuk." Jung Jinsi menjawab jujur, ada gurat cemas diwajahnya yang anggun. Mendengar itu Jing Qian hanya tersenyum samar, kemudian menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Jung Jinsi.
Di kediaman keluarga Ye, pagi itu udara terasa sedikit lebih berat dari biasanya. Langit masih berwarna jingga keemasan ketika seorang tamu agung datang dengan pakaian sederhana bahkan datang dengan menyelinap. Kaisar ke-8, Zhao Yun Taek turun dari kudanya di depan gerbang belakang. Tidak seperti biasanya, dia hanya membawa beberapa pengawal kepercayaannya. Kedatangannya kali ini tidak dengan keangkuhan seorang penguasa, melainkan seorang pria yang sedang mencari sekutu. Di dalam aula utama, Ye Qingyu, kepala keluarga Ye, sudah menunggu. Meski sudah berusia lanjut, posturnya tetap tegap, memancarkan aura seorang mantan jenderal yang masih dihormati hingga kini. Saat Kaisar memasuki aula, para pelayan segera mundur setelah memberikan teh. Zhao Yun Taek duduk di hadapan Ye Qingyu dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku tidak menyangka Yang Mulia akan datang secara langsung," ujar Ye Qingyu seraya mengamati sang kaisar. Zhao Yun Taek menghela napas panjang. Matanya menatap can
“Tidak, ini bukan lah Zhao Yun Taek yang aku kenal,” ucap Ye Qingyu tiba-tiba.Senyum sinis juga tercetak jelas di wajahnya yang tenang, tapi tetap waspada. Dia juga menggenggam lebih erat cangkir teh miliknya.Wajah sang kaisar langsung menengang seketika, seluruh anggota tubuhnya mendadak kaku. Seluruh titik akupuntur miliknya sudah ditotok oleh Ye Qingyu dari jarak jauh menggunakan energi spirirtualnya.“Apa yang kau katakan Ye Qingyu? Apa kau tahu kalau tindakan mu ini akan menyulitkan mu nanti, cepat lepaskan aku dan biarkan aku bergerak!” geram sang kaisar.“Sungguh, kau masih berpura-pura menjadi Zhao Yun Taek padahal aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Wah menarik!” Ye Qingyu bangkit dari duduknya, kemudian menatap nyalang sosok yang menyerupai kaisar ke-8.Kemudian dengan cepat pria paruh baya itu membaca mantra, dalam sekejap hawa disekeliling aula mendadak dingin hingga menusuk tulang. Sosok yang menyerupai kaisar itu pun mengerang kesakitan.Ye Qingyu mengeluarkan jimat d
Malam masih pekat ketika Jung Jinsi dan Ye Xuanqing bersiap untuk pergi. Udara di kediaman Keluarga Ye terasa tegang setelah mereka mendapatkan petunjuk dari mata enam milik Jing Qian. Waktu sangat berharga, dan mereka harus segera mencari keberadaan Hei Lian Hua sebelum siluman itu bergerak lebih jauh. Namun, sebelum mereka bisa melangkah keluar dari kediaman, seorang pelayan mendekati mereka dengan wajah cemas. “Tuan Muda, ada tamu yang ingin menemui Anda secara pribadi.” Ye Xuanqing mengerutkan kening, dia yakin tidak memiliki janji temu dengan siapapun kali ini. "Siapa?” Pelayan itu menunduk menjaga hormat. "Putri Daiyan, Zhao Yun Mei dari Istana Kekaisaran.” Jung Jinsi melirik Xuanqing dengan penuh tanya, tetapi pria itu hanya menghela napas sebelum berkata tegas memberi perintah. "Bawa dia ke taman belakang. Aku akan menemuinya.” Jung Jinsi awalnya ingin ikut, tetapi Ye Xuanqing meletakkan tangan di bahunya dengan pelan. "Aku akan menemui dia sebentar. Ini mungkin pen
Malam di kediaman Keluarga Ye semakin larut, dan sebagian besar penghuni rumah telah terlelap dalam tidur mereka. Namun, di taman belakang yang diterangi sinar rembulan, Jung Jinsi dan Ye Xuanqing masih terjaga.Angin malam bertiup lembut, membawa aroma bunga melati yang bermekaran di sekitar paviliun tempat mereka duduk. Xuanqing duduk bersandar pada salah satu tiang kayu, sementara Jinsi berdiri tak jauh darinya, menatap kolam yang permukaannya berkilauan tertimpa cahaya bulan.“Kenapa kau masih di sini?” suara Xuanqing memecah keheningan.Jinsi menoleh sekilas sebelum kembali menatap air. “Aku tidak bisa tidur.”Xuanqing tersenyum tipis. “Kalau begitu, kau harusnya tidur di kamarku. Aku bisa menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu.”Jinsi menoleh cepat, menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. “Kau pikir aku anak kecil?”Xuanqing terkekeh. “Bukan. Tapi kalau itu bisa membuatmu tidur lebih nyenyak, aku tidak keberatan.”Jinsi mendengus pelan sebelum berjalan mendekatinya. Ia bersa
Angin malam berhembus kencang ketika Jung Jinsi dan Ye Xuanqing bergegas keluar dari ruang kerja. Aroma aneh yang tersisa dari sosok bayangan tadi masih menggantung di udara—bau logam yang samar dan hawa siluman yang dingin."Dia tidak pergi jauh," ujar Jung Jinsi dengan tatapan tajam. "Aku bisa merasakan jejak energinya.""Arah mana?" tanya Ye Xuanqing sudah menggenggam gagang pedangnya, siap bertindak kapan saja.Jung Jinsi memejamkan mata, ujung jarinya menyentuh udara seolah membaca aliran energi di sekitarnya. Lalu, secara perlahan matanya terbuka, bersinar keemasan. "Ke atap paviliun belakang!"Tanpa berpikir panjang, keduanya melesat dengan kecepatan luar biasa. Ye Xuanqing melompat dari satu pilar ke pilar lain dengan lincah, sementara Jung Jinsi menggunakan kekuatan silumannya untuk melesat lebih cepat, tubuhnya seperti bayangan yang hampir tidak terlihat di tengah gelapnya malam.Di atap paviliun, sosok misterius itu sudah berdiri menunggu. Matanya merah menyala, tubuhnya d
"Jadi itu bukan roh terikat yang sebenarnya," ujar Ye Xuanqing akhirnya, suaranya berat. "Apa yang kita hadapi tadi hanyalah proyeksi." Jung Jinsi menatapnya tajam. "Aku sempat merasakan auranya. Itu nyata, Xuanqing. Kalau itu hanya proyeksi, bagaimana bisa serangannya melukai kita?" "Mantra pengganda," sela Jing Qian, nada suaranya datar. "Beberapa siluman tingkat tinggi bahkan roh terikat sekalipun bisa menggunakan sihir semacam itu. Mereka menciptakan bayangan diri mereka yang mampu menyerang dan bertahan, seolah-olah itu tubuh asli mereka." Ye Xuanqing mengangguk. "Saat aku menebasnya, seharusnya roh terikat itu melemah atau mati. Tapi luka-luka yang kita berikan padanya seakan tak berpengaruh. Lalu, saat aku merasakan auranya lagi… Aku sadar, ada dua sumber yang berbeda dalam radius yang sama. Itu bukan satu roh, tapi duplikat." Jung Jinsi menggigit bibirnya, matanya meredup. "Jadi, yang kita hadapi tadi bukanlah yang asli?" "Benar," jawab Jing Qian. "Yang asli pasti te
Ye Xuanqing dan Jung Jinsi duduk bersandar di depan pintu kamar Ye Qingyu. Malam semakin larut, namun mereka tetap berjaga. Udara dingin merayap, tapi kehangatan di antara mereka tak bisa disangkal. Jung Jinsi menyandarkan kepalanya ke bahu Ye Xuanqing. "Aku tak menyangka ini akan seberat ini… Aku takut kita tak bisa menyelamatkan Tuan Besar Ye." Ye Xuanqing melingkarkan tangannya di bahunya, memberi kehangatan. "Tapi kita berhasil, Jinsi. Ayah selamat, dan roh terikat itu sudah dihancurkan. Kau juga sudah melakukan banyak hal. Aku tak bisa melakukannya tanpamu." Jung Jinsi mendongak, menatap wajah pria itu yang tampak lelah namun tetap penuh keteguhan. "Aku hanya tak ingin melihatmu terluka. Aku… aku khawatir padamu, Xuanqing." Ye Xuanqing tersenyum tipis, lalu tanpa ragu, dia mengusap pipi Jung Jinsi dengan lembut. "Aku juga khawatir padamu. Saat kita bertarung tadi… Aku takut sesuatu akan terjadi padamu. Aku tak ingin kehilanganmu." Jung Jinsi merasakan jantungnya berdeta
Langit di atas Ibukota tampak lebih gelap dari biasanya, meski tak ada badai. Angin yang bertiup terasa membawa aroma darah dan dupa. Di kediaman Ye, suasana terasa tegang. Para pengawal berjaga dua kali lipat, dan paviliun belakang tempat Xuanqing dan Jinsi tinggal dijaga ketat oleh barrier spiritual. Hari ini adalah hari ke-7 pasca serangan yang dilakukan oleh Ye Xuanqing dan Jung Jinsi ke istana. Setelah hari itu, tidak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Selain itu Ibu Suri juga bungkam, meski sudah diinterogasi. Di ruang utama, Ye Xuanqing menatap peta yang terbentang di hadapannya. Di sampingnya berdiri Jinsi, masih pucat tapi tekad di matanya tak pernah surut. Di seberang meja berdiri Ming Tian, Fen Rou, dan Jing Qian, masing-masing dengan ekspresi murung. “Ada yang janggal,” gumam Jing Qian, melipat lengannya. “Formasi pemecah jiwa itu terlalu rumit untuk dibuat hanya oleh Ibu Suri dan dua siluman." “Benar,” sahut Ye Xuanqing. “Menurut dokumen yang ditemukan di balik d
Kabut kelabu menyelimuti tembok tinggi istana barat. Di bawah cahaya bulan yang tertutup awan, dua sosok melintas cepat di antara bayangan tembok. Ye Xuanqing mengenakan jubah pemburu berlapis perak, pedang Huoguang miliknya tergantung di pinggangnya. Sementara di sisinya, Jung Jinsi menyatu sempurna dalam gelap, rambut hitam panjangnya disembunyikan di balik penutup kepala hitam. Suara gemerisik langkah mereka nyaris tak terdengar. Mereka menyusup dari gerbang air bawah, melewati lorong rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah hidup di dalam istana. “Sudah lama sejak aku masuk dari jalur ini,” bisik Jung Jinsi pelan, matanya menyipit menatap lengkung lorong batu. "Terakhir kali aku masuk, untuk mencari informasi tentang Ibu Suri. Ye Xuanqing menoleh sekilas. “Dan sekarang kita masuk lagi lewat sini untuk menggagalkan semua rencana wanita tua itu!" "Karena itu, kita harus melakukan yang terbaik. Jangan sampai usaha kita gagal," balas Jung Jinsi dengan wajah y
Ye Xuanqing duduk dengan tenang, mengenakan jubah panjang warna arang dengan bordiran awan perak di tepinya. Wajahnya teduh, namun ada gurat berat yang tak tersembunyi di matanya. Di hadapannya, Jung Jinsi duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, menyandarkan dagu di tangannya.“Kau diam sejak bertemu dengan Putri Daiyan," ucap Jinsi pelan, matanya menatap pria itu dengan lembut. “Apa sang Putri Daiyan berkata sesuatu yang tak kau suka?” tanyanya pelan. Ye Xuanqing tak langsung menjawab. Ia menatap cangkir teh yang belum disentuh, lalu menghela napas. “Bukan dia yang jadi masalah. Tapi kabar yang dia bawa.”Jinsi mengangkat satu alis. “Pasti ini sesuatu dari Ibu Suri?” tebaknya dengan wajah yang serius. Ye Xuanqing menoleh padanya, lalu mengangguk samar. "Ibu Suri sudah bertindak terlalu jauh, bahkan sebelum kita bisa menerka apa saja yang dia perbuat.""Apa yang dia lakukan sebenarnya?" Jung Jinsi mendekat, semakin dekat dengan Ye Xuanqing dan menggenggam tangannya erat. "Form
"Apa?" Ye Xuanqing masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Namun sorot mata Zhao Yun Mei tidak menunjukkan kebohongan, hanya ada keteguhan yang coba dia tunjukkan saat ini. "Seharusnya Zhao Weini, ibu ku hanya selir agung. Tapi karena kematian permaisuri sebelumnya dia menduduki posisi permaisuri itu dengan berat. Kaisar ke-7 mendesak ibu untuk memberi penerus tahta, tapi dia tak kunjung dikaruniai keturunan." Ada jeda yang cukup lama saat Zhao Yun Mei menjelaskan masa lalu keluarga Kekaisaran Sheng. Fakta masa lalu yang dilupakan oleh rakyat, atau justru kabarnya tidak dibiarkan keluar dari dinding istana. "Ibu ku frustasi, dia tertekan dari berbagai sisi. Bahkan pria yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar malah memberikan luka dan tekanan yang luar biasa hebat. Karena dibutakan oleh luka dan keserakahan, Ibu akhirnya pergi ke pegunungan barat bertahun-tahun lalu sebelum kakak ku lahir." Mata Ye Xuanqing membulat sempurna mendengar itu semua, Zha
Pagi hari menyapa dengan sinar matahari hangat yang menembus celah pepohonan. Di sebuah tempat perlindungan sederhana dekat mata air yang ada di gunung belakang kediaman keluarga Ye. Ye Xuanqing duduk bersandar di pohon, sementara Jung Jinsi menyeduh teh. Jing Qian tengah memeriksa formasi pelindung di sekitar tempat itu, dan Fen Rou membersihkan bilah belatinya. Ming Tian duduk di atas batu besar, menatap langit dengan ekspresi tenang. "Apa yang kita berlima hadapi semalam pasti sebuah konspirasi besar," ucap Ye Xuanqing membuka percakapan dengan topik yang berat. Namun semuanya langsung mengangguk, tanggap atas apa yang dibicarakan sang Adipati Muda. Ming Tian yang semula menatap langit, perlahan beralih pada rekan kultivasinya. "Dia adalah tangan kanan Hei Lian Hua, dan mereka berada di pihak Ibu Suri. itu semua sudah jelas!" "Tapi aku tidak bisa percaya kalau Lu Sangyun dan Hei Lian Hua sepenuhnya berpihak pada wanita tua itu. Siluman seperti mereka sangat sulit untuk diajak
Ye Xuanqing dan Ming Tian semakin berjalan cepat setelah pertarungan melawan siluman mimpi buruk, Lu Sangyun. Mereka kembali ke kediaman Keluarga Ye melalui gerbang belakang. Tepat dihalaman belakang itu pula Jung Jinsi, Jing Qian dan Fen Rou berada. Mereka bertiga juga baru saja tiba di kediaman. Terbukti dengan nafas mereka yang masih satu-satu. "Kalian sudah kembali," ucap Ye Xuanqing merasa lega begitu dia melangkahkan kaki masuk ke kediaman. semua orang menoleh ke arahnya, termasuk Jung Jinsi. Dia langsung tersenyum manis dan berlari kecil menuju sang Adipati. "Xuanqing, kau kembali dengan selamat juga." Jung Jinsi begitu lega. Meskipun dia sendiri hampir menjadi mayat jika kalah dengan Hei Lian Hua tadi. "Tentu saja, apapun yang terjadi aku pasti akan kembali." Ye Xuanqing menjawabnya dengan senyum tipis. Kemudian Fen Rou maju terlebih dahulu, dia hendak melaporkan apa yang mereka lihat saat menyusup ke istana Kekaisaran Sheng. "Adipati, kami melihat—" "Fen Rou cu
Di tengah hutan yang diterangi cahaya bulan pucat, Ye Xuanqing dan Ming Tian bergegas melintasi pepohonan. Langkah mereka cepat, menembus dedaunan dan bayangan yang bergoyang. Mereka harus segera menyusul Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou sebelum semuanya terlambat. Namun, sesampainya di tepi jurang berbatu, mereka terhenti. Kabut hitam pekat bergulung-gulung di depan mereka. Di tengah kabut yang berputar, sosok perempuan melangkah maju. Mata keemasan yang menyala penuh kebencian menatap mereka. Rambut panjangnya tergerai seperti bayangan kelam, berkilauan di bawah sinar bulan. Gaun ungu tuanya berayun lembut, sementara aura mengerikan menguar dari tubuhnya. "Lu Sangyun," bisik Ming Tian dengan suara rendah. "Tangan kanan Hei Lian Hua," sambung Ye Xuanqing dengan ekspresi dingin. Lu Sangyun menyeringai, bibirnya melengkung dengan keangkuhan. "Kalian benar-benar mengira bisa melawan Ibu Suri? Kalian tak lebih dari bidak kecil dalam permainan ini." "Meski begitu, kami tida
Malam yang awalnya hanya diwarnai riuh rendah pasar kini berubah menjadi penuh ketegangan. Dari kejauhan, Ye Xuanqing dan Ming Tian melihat tiga sosok yang berlari dengan cepat, diikuti oleh sekelompok penjaga bersenjata yang mengejar mereka dengan teriakan tajam. "Berhenti disana!" "Jangan lari!" "Berhenti, dasar penyusup!" Teriakan-teriakan para penjaga bergema ditengah malam, mengejar Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou yang terus berlari menghindari istana Kekaisaran Sheng. "Mereka berhasil keluar, tapi dalam keadaan dikejar," ujar Ming Tian dengan nada datar, namun tubuhnya sudah bergerak. Ye Xuanqing meraih lengan bajunya, menahan. "Jangan bertindak gegabah. Kita harus mengalihkan perhatian para penjaga, bukan menarik perhatian lebih banyak." Ming Tian menyeringai. "Bukankah itu hal yang sama?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke tengah jalan, berjalan dengan sikap santai seolah tak terjadi apa-apa. Saat para penjaga semakin dekat, ia pura-pura tersandung seb
Di luar gerbang istana, suasana malam tetap hidup dengan aktivitas warga. Lampion-lampion berayun pelan diterpa angin, menerangi pedagang yang masih berjualan dan pengunjung yang menikmati makanan di kedai pinggir jalan. Di antara keramaian, dua sosok duduk di sudut kedai teh yang cukup gelap, memperhatikan gerbang istana dengan waspada. Ye Xuanqing, dengan pakaian sederhana layaknya rakyat biasa, mengaduk tehnya perlahan. Di sebelahnya, Ming Tian tampak lebih santai, menikmati makanan yang ia pesan, tetapi matanya tetap tajam mengawasi situasi sekitar. “Nyonya Muda dan yang lain sudah masuk,” bisik Ming Tian sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Xuanqing tidak segera menjawab. Ia justru mengalihkan pandangannya ke sekelompok warga yang duduk tak jauh dari mereka, terlibat dalam percakapan yang cukup serius. “Aku dengar pajak kembali dinaikkan bulan ini. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan?” keluh seorang pria paruh baya, mengusap wajahnya yang penuh keringat. Seorang wanita tu