Jung Jinsi duduk dengan tenang, sesekali mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Ye Xuanqing mengenai masalah politik kekaisaran yang akan mereka hadapi nantinya. Ini bukan hanya maasalh politik, tetapi ada banyak intrik rumit yang dirasakan dengan jelas oleh perempuan siluman itu.“Semuanya mengarah pada satu kesimpulan, Ibu Suri memegang kendali atas semuanya. Jadi tokoh utama yang harus kita kalahkan adalah Ibu Suri, benar?” tanya Jung Jinsi mengambil kesimpulan atas penjelasan Ye Xuanqing.“Kau benar, lebih tepatnya Ibu Suri dengan banyak tangan kanannya. Orang-orang wanita tua itu mencengkeram banyak hal, salah sedikit saja usaha kita semua akan gagal total!” Ye Xuanqing berkata jujur, itu memang kemungkinan terburuknya.Jung Jinsi menatap peta yang terbentang dihadapannya, menatap bebrap atempat penting yang akan menjadi tempat mereka melakukan rencana.“Di sini, seharusnya orang-orang Ibu Suri melakukan banyak pemalsuan aliran dana pajak.”Ada jeda dalam ucapannya sebelum Ju
Langit senja mewarnai puncak gunung dengan semburat keemasan ketika Ye Xuanqing berdiri di depan gerbang batu yang telah lama menahan langkah Jung Jinsi. Angin bertiup lembut, membawa aroma dedaunan dan bunga liar yang bermekaran di sekitar gunung belakang kediaman keluarga Ye. Hari ini, keputusan besar akan diambil.Ye Xuanqing menatap Jung Jinsi, siluman rubah berekor sembilan yang selama ini terkurung di gunung belakang. Mata keemasan Jung Jinsi bersinar lembut, mencerminkan emosi yang tak terkatakan. Ia tidak menyangka bahwa hari ini akan tiba, bahwa Ye Xuanqing benar-benar mempercayainya."Aku akan membiarkanmu pergi," ujar Ye Xuanqing akhirnya, suaranya tenang namun tegas. "Aku ingin membuktikan bahwa aku mempercayaimu. Dan lebih dari itu, aku ingin kau tahu perasaanku."Jung Jinsi menatapnya dalam diam, bulu putih di ekornya bergetar halus tertiup angin. Ia tahu betapa sulitnya bagi Ye Xuanqing untuk mengambil keputusan ini. Namun, pria itu tetap melakukannya. Demi dirinya, seb
Angin gunung Jiaguan berembus dingin saat Ye Xuanqing dan Jung Jinsi melangkah menuruni jalur berbatu yang dikelilingi pepohonan tinggi. Langit masih kelabu, sisa kabut pagi menggantung di udara, menambah kesan sunyi di sepanjang perjalanan mereka."Kita sudah hampir sampai di kaki gunung," kata Ye Xuanqing sambil merapatkan jubahnya. "Kau yakin baik-baik saja?" tanyanya pelan.Jung Jinsi menoleh ke belakang, matanya tajam mengamati jalan setapak yang baru mereka lewati. "Aku bakik-baik saja, tapi sejujurnya aku merasa cemas. Jika benar ibu suri mengirim orang untuk mencari siluman rubah ekor sembilan, ini bisa menjadi masalah besar."“Karena itu kita harus lebih berha—”Ucapan Ye Xuanqing menggantung diudara, dia belum selesai dengan ucapannya ketika secara mendadak muncul bayangan besar melompat turun dari dahan pohon di depan mereka. Ye Xuanqing langsung menarik pedangnya, tetapi Jung Jinsi dengan cepat mengangkat tangannya."Cheng Huang!" seru Jung Jinsi, sedikit terkejut.Pria ya
“Jinsi… kau!” Ye Xuanqing menahan diri. Rasanya dia ingin menghilang saja dari muka bumi sekarang.Kekhawatiran justru membuatnya terlihat bodoh! Kadang Ye Xuanqing lupa kalau perempuan yang dia cintai itu adalah seorang siluman.“Sial,” gumam Ye Xuanqing menahan malu.Jung Jinsi malah tertawa mengejek, sementara Jing Qian hanya menatap datar keduanya. “Pasangan yang sedang kasmaran memang selalu tampak bodoh!” sindir perempuan siluman itu terang-terangan.“Kau mengatakan itu karena kau belum pernah jatuh cinta, Jing Qian!” Jung Jinsi tersenyum geli.Ye Xuanqing pun ikut tertawa, interaksi ringan mereka memang menyenangkan. Dia juga tidak menyangka jika saudara siluman rubah itu menyenangkan. Jing Qian sendiri hanay memuatar bola matanya malas.“Terserah! Sekarang kau ikut dengan ku atau tidak?” tanya Jing Qian dengan ketus.Meski begitu Jung Jinsi malah tersenyum manis, dia segera menggandeng lengan Jing Qian dan bergelayut manja didepan saudarinya itu.“Tentu saja, kakak!” serunya
Hari sudah mulai gelap saat Jung Jinsi dan Jing Qian bersembunyi di goa yang tersembunyi di balik air terjun awan hitam. Keduanya duduk berhadapan dengan api unggun didepan mereka, sinar dari api membuat bayangan damai di dinding goa. “Jinsi,” panggil Jing Qian setelah keheningan yang cukup lama disekeliling mereka. Jung Jinsi mendongakkan kepalanya, menatap Jing Qian dengan antusias. “Ada apa?” tanyanya. Jing Qian menghela nafas berat sebelum melontarkan pertanyaan. “Apa kau mau terus berada disamping manusia lemah itu?” “Manusia lemah siapa maksud mu? Hei Jing Qian, Xuanqing itu pemburu siluman tingkat lima. Mana mungkin dia lemah,” balas Jung Jinsi dengan cepat. Dia sebenarnya sudah paham kemana arah pembicaraan saudarinya. Namun dia berpura-pura bodoh sekarang, sebab tidak mau beradu argumen apalagi berkelahi. “Dia memang pemburu siluman tingkat lima yang hebat, dia juga manusia yang punya kedudukan cukup tinggi di kekaisaran ini.” Jing Qian tetap serius, dia mengabaikan eks
“Giok dari paviliun selir kekaisaran, apa aku juga harus mencari tahu asal-usul ku ke istana?” Jung Jinsi meulai merasa kesal. Sejak dia terbangun setelah terluka di Sungai Qilin, Jung Jinsi hanya mengingat bagaimana Ibu Suri yang menghuni istana itu berbuat onar.Hal itulah yang membuatnya kesal setengah mati, apa lagi saat ini dia harus bersembunyi untuk sementara karena perintah dari wanita tua itu.“Jika kau merasa kesulitan, aku bersedia membantu. Kau hanya perlu memberi ku perintah,” balas Jing Qian dengan sigap.“Tentu saja, aku akan mulai mencari tahu asal-usul ku setelah masalah ini selesai.” Jung Jinsi mengangguk, dia sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya. Dia membutuhkan kebenaran yang mampu menjawab banyak pertanyaan dalam hidupnya.Namun ditengah percakapan keduanya, Jung Jinsi dan Jing Qian merasakan kehadiran seseorang. Jung Jinsi menajamkan pendengarannya ketika mendengar suara langkah kaki yang mulai mendekat ke mulut goa, dia waspada. Begitu juga dengan Jing Qi
Jung Jinsi mengikuti langkah Ye Xuanqing dan Ming Tian yang ada di barisan depan, sementara Jing Qiaan ada dibelakangnya. Jung Jinsi tersenyum samar melihat punggung lebar Ye Xuanqing yang tampak kokoh. Dia tidak menyangka akan benar-benar melabuhkan hatinya sepenuhnya pada pria manusia itu.Ditengah lamunannya, Jung Jinsi terkejut sebab Ming Tian di barisan paling depan berhenti mendadak. Hal itu membuat Ye Xuanqing juga menghentikan langkahnya tiba-tiba, sementara dirinya menubruk punggung Ye Xuanqing karena tidak fokus.“Aduh!” pekik Jung Jinsi tertahan, sembari mengusap dahinya.Ye Xuanqing langsung menoleh ke arah perempuan itu dengan tatapan khawatir. “Ada apa Jinsi, kau terluka?” tanyanya.“Tidak, aku hanya terkejut kau dan Ming Tian tiba-tiba berhenti.” Jung Jinsi menggeleng pelan.Mendengar jawaban itu Ye Xuanqing menghela nafas lega. Kemudian dia beralih pada Ming Tian yang diam sejak tadi.“Ming Tian, ada apa dengan mu?” tanya sang Adipati dengan kening berkerut.Ming Tian
Udara terasa lebih berat, dipenuhi aura sihir yang mencekik. Lingkaran cahaya merah menyala di tanah, menciptakan formasi perangkap yang menjebak Jung Jinsi, Jing Qian, dan para siluman lainnya. Energi mereka terserap perlahan, membuat tubuh mereka melemah seiring waktu.Jung Jinsi berlutut, tubuhnya gemetar ketika kekuatan silumannya terus mengalir keluar. Napasnya memburu, tangannya mencengkeram tanah basah untuk tetap sadar. Di sampingnya, Jing Qian bersandar pada pedangnya, wajahnya pucat tetapi tetap dengan ekspresi yang datar, berusaha tetap kuat.Di sisi lain, Ye Xuanqing dan Ming Tian berdiri tegap, tidak terpengaruh oleh formasi itu. Sebagai manusia, energi mereka tidak bisa diserap, tetapi mereka juga tidak bisa sekadar menghancurkan formasi ini tanpa cara yang tepat.Ye Xuanqing menghunus pedangnya, mengamati simbol-simbol kuno yang bersinar di bawah kakinya. "Formasi ini dirancang untuk menguras energi siluman sampai mereka tidak berdaya," gumamnya. "Jika kita tidak segera
Langit di atas Ibukota tampak lebih gelap dari biasanya, meski tak ada badai. Angin yang bertiup terasa membawa aroma darah dan dupa. Di kediaman Ye, suasana terasa tegang. Para pengawal berjaga dua kali lipat, dan paviliun belakang tempat Xuanqing dan Jinsi tinggal dijaga ketat oleh barrier spiritual. Hari ini adalah hari ke-7 pasca serangan yang dilakukan oleh Ye Xuanqing dan Jung Jinsi ke istana. Setelah hari itu, tidak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Selain itu Ibu Suri juga bungkam, meski sudah diinterogasi. Di ruang utama, Ye Xuanqing menatap peta yang terbentang di hadapannya. Di sampingnya berdiri Jinsi, masih pucat tapi tekad di matanya tak pernah surut. Di seberang meja berdiri Ming Tian, Fen Rou, dan Jing Qian, masing-masing dengan ekspresi murung. “Ada yang janggal,” gumam Jing Qian, melipat lengannya. “Formasi pemecah jiwa itu terlalu rumit untuk dibuat hanya oleh Ibu Suri dan dua siluman." “Benar,” sahut Ye Xuanqing. “Menurut dokumen yang ditemukan di balik d
Kabut kelabu menyelimuti tembok tinggi istana barat. Di bawah cahaya bulan yang tertutup awan, dua sosok melintas cepat di antara bayangan tembok. Ye Xuanqing mengenakan jubah pemburu berlapis perak, pedang Huoguang miliknya tergantung di pinggangnya. Sementara di sisinya, Jung Jinsi menyatu sempurna dalam gelap, rambut hitam panjangnya disembunyikan di balik penutup kepala hitam. Suara gemerisik langkah mereka nyaris tak terdengar. Mereka menyusup dari gerbang air bawah, melewati lorong rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah hidup di dalam istana. “Sudah lama sejak aku masuk dari jalur ini,” bisik Jung Jinsi pelan, matanya menyipit menatap lengkung lorong batu. "Terakhir kali aku masuk, untuk mencari informasi tentang Ibu Suri. Ye Xuanqing menoleh sekilas. “Dan sekarang kita masuk lagi lewat sini untuk menggagalkan semua rencana wanita tua itu!" "Karena itu, kita harus melakukan yang terbaik. Jangan sampai usaha kita gagal," balas Jung Jinsi dengan wajah y
Ye Xuanqing duduk dengan tenang, mengenakan jubah panjang warna arang dengan bordiran awan perak di tepinya. Wajahnya teduh, namun ada gurat berat yang tak tersembunyi di matanya. Di hadapannya, Jung Jinsi duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, menyandarkan dagu di tangannya.“Kau diam sejak bertemu dengan Putri Daiyan," ucap Jinsi pelan, matanya menatap pria itu dengan lembut. “Apa sang Putri Daiyan berkata sesuatu yang tak kau suka?” tanyanya pelan. Ye Xuanqing tak langsung menjawab. Ia menatap cangkir teh yang belum disentuh, lalu menghela napas. “Bukan dia yang jadi masalah. Tapi kabar yang dia bawa.”Jinsi mengangkat satu alis. “Pasti ini sesuatu dari Ibu Suri?” tebaknya dengan wajah yang serius. Ye Xuanqing menoleh padanya, lalu mengangguk samar. "Ibu Suri sudah bertindak terlalu jauh, bahkan sebelum kita bisa menerka apa saja yang dia perbuat.""Apa yang dia lakukan sebenarnya?" Jung Jinsi mendekat, semakin dekat dengan Ye Xuanqing dan menggenggam tangannya erat. "Form
"Apa?" Ye Xuanqing masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Namun sorot mata Zhao Yun Mei tidak menunjukkan kebohongan, hanya ada keteguhan yang coba dia tunjukkan saat ini. "Seharusnya Zhao Weini, ibu ku hanya selir agung. Tapi karena kematian permaisuri sebelumnya dia menduduki posisi permaisuri itu dengan berat. Kaisar ke-7 mendesak ibu untuk memberi penerus tahta, tapi dia tak kunjung dikaruniai keturunan." Ada jeda yang cukup lama saat Zhao Yun Mei menjelaskan masa lalu keluarga Kekaisaran Sheng. Fakta masa lalu yang dilupakan oleh rakyat, atau justru kabarnya tidak dibiarkan keluar dari dinding istana. "Ibu ku frustasi, dia tertekan dari berbagai sisi. Bahkan pria yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar malah memberikan luka dan tekanan yang luar biasa hebat. Karena dibutakan oleh luka dan keserakahan, Ibu akhirnya pergi ke pegunungan barat bertahun-tahun lalu sebelum kakak ku lahir." Mata Ye Xuanqing membulat sempurna mendengar itu semua, Zha
Pagi hari menyapa dengan sinar matahari hangat yang menembus celah pepohonan. Di sebuah tempat perlindungan sederhana dekat mata air yang ada di gunung belakang kediaman keluarga Ye. Ye Xuanqing duduk bersandar di pohon, sementara Jung Jinsi menyeduh teh. Jing Qian tengah memeriksa formasi pelindung di sekitar tempat itu, dan Fen Rou membersihkan bilah belatinya. Ming Tian duduk di atas batu besar, menatap langit dengan ekspresi tenang. "Apa yang kita berlima hadapi semalam pasti sebuah konspirasi besar," ucap Ye Xuanqing membuka percakapan dengan topik yang berat. Namun semuanya langsung mengangguk, tanggap atas apa yang dibicarakan sang Adipati Muda. Ming Tian yang semula menatap langit, perlahan beralih pada rekan kultivasinya. "Dia adalah tangan kanan Hei Lian Hua, dan mereka berada di pihak Ibu Suri. itu semua sudah jelas!" "Tapi aku tidak bisa percaya kalau Lu Sangyun dan Hei Lian Hua sepenuhnya berpihak pada wanita tua itu. Siluman seperti mereka sangat sulit untuk diajak
Ye Xuanqing dan Ming Tian semakin berjalan cepat setelah pertarungan melawan siluman mimpi buruk, Lu Sangyun. Mereka kembali ke kediaman Keluarga Ye melalui gerbang belakang. Tepat dihalaman belakang itu pula Jung Jinsi, Jing Qian dan Fen Rou berada. Mereka bertiga juga baru saja tiba di kediaman. Terbukti dengan nafas mereka yang masih satu-satu. "Kalian sudah kembali," ucap Ye Xuanqing merasa lega begitu dia melangkahkan kaki masuk ke kediaman. semua orang menoleh ke arahnya, termasuk Jung Jinsi. Dia langsung tersenyum manis dan berlari kecil menuju sang Adipati. "Xuanqing, kau kembali dengan selamat juga." Jung Jinsi begitu lega. Meskipun dia sendiri hampir menjadi mayat jika kalah dengan Hei Lian Hua tadi. "Tentu saja, apapun yang terjadi aku pasti akan kembali." Ye Xuanqing menjawabnya dengan senyum tipis. Kemudian Fen Rou maju terlebih dahulu, dia hendak melaporkan apa yang mereka lihat saat menyusup ke istana Kekaisaran Sheng. "Adipati, kami melihat—" "Fen Rou cu
Di tengah hutan yang diterangi cahaya bulan pucat, Ye Xuanqing dan Ming Tian bergegas melintasi pepohonan. Langkah mereka cepat, menembus dedaunan dan bayangan yang bergoyang. Mereka harus segera menyusul Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou sebelum semuanya terlambat. Namun, sesampainya di tepi jurang berbatu, mereka terhenti. Kabut hitam pekat bergulung-gulung di depan mereka. Di tengah kabut yang berputar, sosok perempuan melangkah maju. Mata keemasan yang menyala penuh kebencian menatap mereka. Rambut panjangnya tergerai seperti bayangan kelam, berkilauan di bawah sinar bulan. Gaun ungu tuanya berayun lembut, sementara aura mengerikan menguar dari tubuhnya. "Lu Sangyun," bisik Ming Tian dengan suara rendah. "Tangan kanan Hei Lian Hua," sambung Ye Xuanqing dengan ekspresi dingin. Lu Sangyun menyeringai, bibirnya melengkung dengan keangkuhan. "Kalian benar-benar mengira bisa melawan Ibu Suri? Kalian tak lebih dari bidak kecil dalam permainan ini." "Meski begitu, kami tida
Malam yang awalnya hanya diwarnai riuh rendah pasar kini berubah menjadi penuh ketegangan. Dari kejauhan, Ye Xuanqing dan Ming Tian melihat tiga sosok yang berlari dengan cepat, diikuti oleh sekelompok penjaga bersenjata yang mengejar mereka dengan teriakan tajam. "Berhenti disana!" "Jangan lari!" "Berhenti, dasar penyusup!" Teriakan-teriakan para penjaga bergema ditengah malam, mengejar Jung Jinsi, Jing Qian, dan Fen Rou yang terus berlari menghindari istana Kekaisaran Sheng. "Mereka berhasil keluar, tapi dalam keadaan dikejar," ujar Ming Tian dengan nada datar, namun tubuhnya sudah bergerak. Ye Xuanqing meraih lengan bajunya, menahan. "Jangan bertindak gegabah. Kita harus mengalihkan perhatian para penjaga, bukan menarik perhatian lebih banyak." Ming Tian menyeringai. "Bukankah itu hal yang sama?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke tengah jalan, berjalan dengan sikap santai seolah tak terjadi apa-apa. Saat para penjaga semakin dekat, ia pura-pura tersandung seb
Di luar gerbang istana, suasana malam tetap hidup dengan aktivitas warga. Lampion-lampion berayun pelan diterpa angin, menerangi pedagang yang masih berjualan dan pengunjung yang menikmati makanan di kedai pinggir jalan. Di antara keramaian, dua sosok duduk di sudut kedai teh yang cukup gelap, memperhatikan gerbang istana dengan waspada. Ye Xuanqing, dengan pakaian sederhana layaknya rakyat biasa, mengaduk tehnya perlahan. Di sebelahnya, Ming Tian tampak lebih santai, menikmati makanan yang ia pesan, tetapi matanya tetap tajam mengawasi situasi sekitar. “Nyonya Muda dan yang lain sudah masuk,” bisik Ming Tian sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Xuanqing tidak segera menjawab. Ia justru mengalihkan pandangannya ke sekelompok warga yang duduk tak jauh dari mereka, terlibat dalam percakapan yang cukup serius. “Aku dengar pajak kembali dinaikkan bulan ini. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan?” keluh seorang pria paruh baya, mengusap wajahnya yang penuh keringat. Seorang wanita tu