“Daz, temenin gue ke kondangan dong,” pinta Lara, rekan kerja Dazzle sore itu.
“Makanya, jangan kelamaan jomlo. Sampe ke kondangan aja minta ditemenin sama aku,” ledek Dazzle membuat Lara melempar remasan kertas ke arahnya.
“Ayolah Daz. Gue tahu kok lo gak ada acara ntar sore,” rengek Lara.
“Emang di mana tempatnya? Trus yang nikah siapa?” cecar Dazzle.
“Di Four Season Jimbaran. Itu kolega Bokap, anaknya nikah, Bokap lagi di Jakarta kagak bisa hadir. Mau ya? Makan gratis ini.” Lara mengedipkan matanya ke arah Dazzle.
“Lah menurutmu aku gak bisa apa kalau Cuma makan di Four Season aja?” elak Dazzle.
“Ya bisa. Pan lo biasanya makan di pintu masuknya.” Lara tertawa keras sementara Dazzle meleparinya balik dengan remasan kertas.
“Iya, iya ntar aku temenin,” kata Dazzle pada akhirnya.
“You always be my saviour.” Lara menghambur dan hendak memeluk Dazzle, seketika Dazzle menyilangkan tangannya.
“Jangan bikin aku keenakan.” Dazzle menggelengkan kepalanya.
“Otak mesum!” Lara menjitak kepala Dazzle karena kesal.
“Pasti lo mesum ya sama pacar lo?” Lara duduk di pegangan kursi Dazzle.
“Mesum gimana dulu? Tapi aku sama dia kagak sampai yang intercourselah. Aku masih menjunjung tinggi buat jaga kehormatan cewekku,” terang Dazzle membuat Lara mengernyitkan dahinya.
“Gak mungkin,” desis Lara tak percaya.
“Imanku masih kuat La,” kata Dazzle seraya menjitak kepala gadis yang sudah seperti adik buatnya itu.
“Mau ke mana?” tanya Lara saat Dazzle melangkah pergi.
“Ke toilet, mau ikut?” goda Dazzle membuat Lara memutar bola matanya.
“Mesum!”
Dazzle berlalu sambil tertawa.
Merah sedang melajukan motor sewaannya, dari bandara ke arah Kuta. Pikirannya sedang kacau. Apa yang membuatnya kabur ke Bali, adalah hal yang paling tidak bisa dia hindari.
“Bodoh!” Tiba-tiba Merah berteriak melepaskan semua perasaanya. Tak peduli dengan orang yang menatapnya.
Merah menghentikan motornya di parkiran Hardrock hotel. Dengan tergesa dia menuju lobi.
“Saya ada janji dengan Pak Domi,” kata Merah kepada resepsionis.
“Baik Mbak, silakan duduk dulu, saya infokan kepada Pak Domi,” jawab resepsionis seraya menunjuk sofa di seberang meja resepsionis.
Merah duduk dengan tak tenang.
“Me, sudah lama?” sapa seseorang membuatnya mendongak.
“Ah belum, apakah kamu sibuk? Tak apa kah aku menganggu?” tanya Merah tak enak.
“Kamu seperti sama siapa saja? Ayo ke kafe,” ajak Domi melangkah menuju bagian kafe di depan hotel.
“Pesanlah,” kata Domi begitu mereka duduk berhadapan di meja.
“Kamu kenapa lagi? Bertengkar lagi dengan Papa?” tebak Domi membuat Merah mendesah.
“Apakah seperti tertulis di wajahku?” tanya Merah terenyak.
“Me, kenapa sih, kamu gak nurut saja sama Papa? Setidaknya mengalah?” tanya Domi sambil menyesap kopi pilihannya.
“Mengalah? Dom, whole my life was tangled by him, aku Cuma pengen bebas, apa aku salah? Kali ini bahkan aku harus menikah dengan orang yang bahkan aku melihatnya saja jijik,” desis Merah jengah.
“Me, yang kamu bilang menjijikan itu adalah temanku,” kata Domi lirih.
“Kamu bahkan tahu apa yang dia lakukan padaku saat itu, dan kini aku bahkan harus menerimanya? Kamu ternyata sama brengseknya sama dia.” Merah pergi meninggalkan Domi yang menghela napasnya berat.
“ Tunggu Me!” teriak Domi sambil menyusul Merah yang kesal.
“Aku gak bermaksud seperti itu, apa salahnya kamu menerimanya, sebagai bentuk pertanggungjawabannya.” Domi menatap mata Merah tajam, menusuk, tepat di luka yang susah payah Merah sembuhkan.
“Dia memperkosaku, di hadapanmu, dengan alasan mabuk, dan kamu malah tertidur di sampingku, dan tak melakukan apa pun. Aku sudah memaafkanmu, tapi kini kamu bahkan melukaiku lebih dalam!” teriak Merah tak terima.
Semua pengunjung kafe menatap mereka dan mulai berbisik-bisik.
Domi menyeret Merah pergi, menyingkir dari pandangan orang-orang untuk menghindari spekulasi.
“Aku sudah meminta maaf, dia juga. Dia khilaf, kamu yang membuat semuanya rumit. Dia mau bertanggung jawab, kamu menghindar. Maumu apa?” desak Domi membuat Merah semakin emosi.
“Segampang itukah kalian para laki-laki mengatakan kata pertanggungjawaban, yang aku yakin bahkan kalian pasti tak tahu artinya.” Merah menepis tangan Domi yang mencengkeram lengannya.
“Me, apa maumu? Jangan bodoh hanya demi ego.” Domi menyugar rambutnya kasar.
“Aku memilih jadi bodoh, daripada membuat kalian merasa dengan meminta maaf dan menikah adalah bentuk pertanggungjawaban.” Merah kemudian pergi meninggalkan Domi.
Sepanjang langkah kakinya, dia mengulang kembali ingatan tentang peristiwa malam itu. Mereka bertia sedang berlibur di Nusa Penida, Merah, Domi dan Bara, sahabat Domi. Malam itu, Domi dan Bara mabuk berat. Entah apa yang merasuki Bara, dia dengan bernafsu menggerayangi tubuh Merah, melumat setiap inchi bibirnya. Merah memberontak, tapi tenaganya kalah kuat, Domi hanya melihat itu dengan tatapan yang kosong karena mabuk berat, tak melakukan apa pun saat Bara memperkosa Merah, adiknya.
Air mata Merah turun tanpa bisa dikendalikannya. Dia tak lagi peduli dengan anggapan orang-orang yang melihatnya menangis di jalanan.
Dazzle dan Lara memasuki plataran Four Season, venue wedding di pantai, bagian belakang hotel. Lara tampak cantik dengan dress selutut dan sepatu senada. Dazzle hanya memakai blazernya dan celana kerja.
Saat memasuki pantai, Dazzle melihat beberapa orang yang membuatnay mengernyit, ada keluarga Danta di sana, kekasihnya, dan juga keluarga Rama, sahabatnya. Mungkin mereka berkolega dengan mempelai.
Tapi kemudian matanya bersibobrok dengan dua orang yang dianggapnya penting,
“La, aku harus pergi. Kamu bisakan pulang sendiri?” kata Dazzle membuat Lara kaget.
“Ada kejadian mendadak, aku harus segera pergi.” Dazzle berpura-pura melihat ponselnya.
“Hah, baiklah. Aku bisa naik Grab nanti.” Lara akhirnya mengalah.
Dazzle segera pergi dari sana dengan perasaan tak karuan. Kemudian melarikan motor besarnya ke arah Kuta. Semuanya campur aduk.
Dazzle melempar kaleng minuman yang dipegangnya. Emosinya sedang tak terkendali. Kejadian yang tadi dilihatnya, telah menorehkan beribu prasangka dihatinya. Danta, perempuan yang selama ini dicintainya, bahkan membuatnya rela terlihat bodoh, ternyata hanya memanfaatkannya. Danta terlihat bahagia tadi, bersama dengan laki-laki yang juga sangat dikenalnya. Mereka memakai pakaian pengantin, yang beberapa bulan lalu sempat dilihatnya di butik, bersama Danta. Bagaiman bisa dia tidak menyadari dengan sandiwara mereka, membuat Dazzle merasa seperti sedang dipecundangi. Dazzle meneriaki ombak yang bergulung di pantai Kuta. Tak peduli dengan orang yang memandang dengan tatapan bertanya-tanya. Jingga yang semburat di ufuk barat, mungkin sedang menyaksikan janji sehidup semati Danta dengan Rama, sahabatnya, di pantai private hotel bintang lima di Jimbaran.
Dengan kuyu Dazzle menggenapkan hatinya, berusaha menegarkan diri dan berjalan ke arah jalanan.
“Aduh!” pekik seorang perempuan menyadarkan Dazzle.
“Maaf, maafkan saya,” kata Dazzle tak enak, perempuan itu jatuh terjengkang di depannya.
“Makanya kalau jalan itu pakai mata!” perempuan itu marah.
Dazzle mengulurkan tangannya untuk membantu perempuan itu berdiri. Setelah mengibaskan pasir yang menempel pada bajunya perempuan itu menyelidik ke arah Dazzle.
“Kamu mabuk ya? Jalan gak lihat-lihat, mata merah gitu,” kata-kata perempuan itu membuat Dazzle terhenyak.
“Gak kok, saya gak mabuk. Mata saya habis kemasukan pasir,” elak Dazzle.
Perempuan itu masih menatap tak percaya.
“Maaf, saya minta maaf,” Dazzle menurunkan intonasi suaranya.
“Baiklah. Lagian aku sudah terlambat gara-gara kejadian ini,” kata perempuan itu berlalu dari hadapan Dazzle.
Dazzle menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana hari ini sangat sial baginya. Dering ponsel kembali menyadarkannya. Rama.“Bro, kamu dimana? I want to tell you something,” kata Rama di seberang sana. Dazzle menahan geram.“Lagi di Kuta? Ada apa?”“Oh baguslah, nanti ketemuan di La Planca seperti biasa ya?” kata Rama seperti tidak ada apa-apa.“Mau ngomongin apa? Aku gak ada waktu,” Dazzle berusaha mengelak.“Penting Bro, please. Kali ini. Besok gak akan lagi,” kata Rama membuat Dazzle mengeratakkan giginya menahan amarah.“Iya, besok gak akan menganggu lagi, karena mulai detik ini saja aku sudah tak ingin mengenalmu,” runtuk Dazzle dalam hati.“Oke, aku tunggu di La Planca,” kata Dazzle menyerah.Dazzle bergegas ke arah motornya di parkiran. Memasang helm dan melajukan motornya ke arah Legian. Jam segini jalanan Legian Seminyak sedang pad
Dazzle menghela nafasnya berat.“Mungkin, itulah takdir,” kata Dazzle.“Hah, laki-laki sepertimu percaya takdir?”“Tidak usah memancing emosi. Hariku sedang buruk,” kata Dazzle mengalah.Merah menghela nafasnya berat.“Sama,” kata Merah pada akhirnya.Mereka berdua menyesap mojito yang diantar pelayan ke meja mereka.“Kamu kerja?” tanya Merah membuat Dazzle mengangguk.“Oh, kirain hanya pengangguran di sini,”“Hmm ... sudah kubilang jangan memancing,”“Maaf,” kata Merah menatap Dazzle tajam.“Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan?”“Aku? Aku sedang menghindari yang katamu takdir tadi. Sedang melarikan diri dari sebuah cerita, aku ingin bebas, tak terperangkap dalam sebuah plot yang menawanku,” kata Merah diplomatis.“Berapa lama di Bali?”“Kenapa? Kamu
Merah merasakan pening, kini dia berada di kamar hotelnya. Kejadian semalam membuatnya merasakan tidur nyenyak. Setelah sekian lama dia mendapati mimpi buruk. Mimpi yang sama. Tentang Bara.Dering ponsel membuatnya terduduk. Siapa yang menghubunginya pagi-pagi begini. Papanya.“Ada apa, Pa?” tanya Merah sedikit enggan.“Apa kamu pikir dengan kabur, kamu akan bisa lepas dari perintahku? Kembali sekarang, lakukan pernikahan, atau kamu lebih suka dicoret dari daftar keluarga?” Suara renta tapi bernada angkuh itu membuat Merah menghela napasnya berat.“Coret aku, aku akan mengambil barangku setelah siap untuk melihatmu,” kata Merah pada akhirnya.“Anak tak tahu diri. Dengan seperti itu, apakah kamu berharap akan mendapatkan warisanku?” salaknya dari seberang saluran.“Aku tak mengharapkan apa pun. Bahkan pengertianmu juga kini tak lagi kuharapkan. Bila bisnismu tak berjalan setelah ini, janga
Dazzle sedang duduk di depan komputer di ruang kerjanya. Lara belum terlihat datang sesiang ini. Pikiran Dazzle masih merutuki kebodohannya tertipu oleh Danta dan Rama selama ini.“Daz!” Suara Lara membuat Dazzle tersadar dan menoleh.Lara masuk ke ruangan mereka dengan tergesa. Menyeret kursi dan duduk di samping Dazzle yang enggan menanggapinya.“Lo tahu, kemarin setelah lo pulang, gur kebetulan mendengar gosip,” kata Lara. Dazzle hanya mendesah.“Lo gak penasaran?” tanya Lara melihat reaksi Dazzle yang tak peduli.“Apa?” tanya Dazzle tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer yang sedng menampilkan data.“Jadi, para tamu undangan berbisik-bisik, mempelai wanita itu menikah dalam keadaan hamil dan meninggalkan pacarnya untuk menikah dengan mempelai pria karena untuk kerja sama perusahaan mereka katanya,” kata Lara membuat Dazzle tersedak ludahnya sendiri.“Lo kenap
Merah terbangun, kepalanya terasa berat, dia asing dengan ruangan ini. Saat menoleh ke kanan, Domi sedang duduk sambil terkantuk-kantuk. Lalu Merah mengingat kejadian yang terjadi tadi pagi, ingatannya tentang Bara menyeruak. Matanya nyalang beredar ke penjuru ruang, was-was akan keberadaan Bara. Kemudian dia mendesah lega, Bara tak terlihat.“Dom,” desis Merah, membuat Domi terlonjak.“Me, kamu sudah sadar? Maafkan aku Me, aku tak pernah mau memahamimu,” kata Domi dengan mata berkaca-kaca.“Maafkan aku menyusahkanmu,” kata Merah berusaha bangkit.“Jangan, berbaringlah. Dokter sudah memeriksamu, dia mengatakan, kamu mungkin enggan untuk bangun, maafkan aku Me.” Domi menggenggam tangan Merah erat. Menyalurkan energi yang bisa dia salurkan untuk menguatkan adiknya itu.“Aku sudah menelepon Papa. Dia marah besar, tapi aku tak lagi peduli, Me. Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan untuk kebahagiaa
Mereka berdua melewati pematang sawah, Dazzle mengantar Merah kembali ke villa. Mereka berpisah karena sudah saling menemukan. Selanjutnya hanya bagaimana melanjutkan hari.Dazzle melajukan motornya dengan hati yang mungkin sedikit ringan. Menjanjikan sebuah perasaan kepada seorang perempuan yang bahkan belum sepenuhnya dikenal. Entah kenapa, rasanya saat bersama Merah, perasaannya mengendap. Lukanya menguap. Ada pertautan yang bahkan dia sendiri tak paham. Dia bahkan belum bisa memastikan, ini sekedar pelampiasan atau memang sebuah takdir yang menyatukan mereka?“Non, sudah makan siang?” sapa seseorang membuat Merah kaget. Saat Domi mengantarnya, tak ada orang di rumah.“Maaf Non, saya Mbok Ijah, tadi Mas Domi telepon, bilang kalau adiknya akan menghuni rumah untuk sementara, Mbok disuruh nemenin Non,” kata Mbok Ijah sambil mengulurkan tangannya.“Oh iya Mbok, maaf merepotkan. Aku tadi sudah makan di luar,” jawab Merah
Dazzle kembali melajukan motornya ke arah Kuta. Dia sudah mengirim pesan untuk Lara. Kini pikirannya bercabang. Bagaimana mengatakan ijin kerja mobile kepada Lara dan bagaimana menolong Merah.Memang, menjadi pemikir sepertinya selalu membuatnya berada dalam situasi yang rumit.Lara menunggu di starbucks reserve Kuta. Menyesap machiatonya.“Kok lama? Dari mana lo? Cuti klayapan,” salak Lara membuat Dazzle melemparinya dengan struk pembelian.“Sabar napa,” sergah Dazzle menyandarkan punggungnya.“Kamu bisa lobi Pak Irwan agar aku bisa kerja mobile?” tanya Dazzle membuat Lara melotot.“Kenapa lo mendadak pengen kerja mobile?” selidik Lara.“Ya, aku ada urusan yang mendadak dan, rumit,” elak Dazzle.“Lo harus jelasin, baru gue mau bantu,” ancam Lara.Dazzle menyesap cafe lattenya.“Aku, sedang dalam misi, entah ini kutukan atau apa,”
Dazzle menyetir mobil Lara, pagi ini Lara memaksa untuk memakai mobilnya. Dazzle sedang tak ingin membantah.“Kamu yakin nih, Daz?” tanya Lara memecah konsentrasi Dazzle.“Yakin tentang apa?” Dazzle balik bertanya.“Tentang wanita ini,” kata Lara seraya melirik Dazzle.“Yakin tentang dia atau tentang tindakanku?” Dazzle memperjelas.“Tentang tindakanmu sih. Kamu menjadi sangat impulsive,” kata Lara.“Aku juga tak yakin. Tapi aku juga ingin mencoba menjadi caregiver dan lebih memahami orang lain,” kata Dazzle tak yakin dengan tujuannya yang sebenarnya.Apakah ini karena dia ingin membantu Merah, atau ini caranya untuk melarikan diri dari kehidupan.Lara menggelengkan kepalanya. Dazzle sepertinya tak waras.Merah sesekali melihat ke arah halaman. Memastikan matanya melihat kedatangan Dazzle. Dia sungguh merasa gila sudah mengharapkan Dazzle seperti ini
Sepulang dari Lombok, Dazzle memboyong Merah ke Singaraja. Karena sekarang dia tak bekerja, bisa leluasa menemani Merah.“Daz, jangan menggoda, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” erang Merah saat Dazzle mulai menciuminya.Gerakan tangannya di keyboard laptopnya terhenti. Sungguh Dazzle tak memberinya waktu untuk bernapas.“Gak usah kerja. Kan kamu sudah menjadi istriku. Aku yang memimpin Janu Company sekarang,” sergah Dazzle tak menghentikan aktivitasnya.“Aku gak mau hanya menerima uangmu,” elak Merah menghalau kepala Dazzle yang mulai turun ke lehernya.Sungguh. Dazzle membuatnya tak bisa berpikir jernih.“Menyerah?” tanya Dazzle saat Merah akhirnya menutup laptopnya.Dia tak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan Dazzle yang menempel di tubuhnya.Merah bangkit, menarik Dazzle ke tempat favoritnya. Bathub. Dazzle tersenyum sambil meloloskan pakaian Merah.Keduta
Dazzle mengerjapkan mata saat Merah sibuk memilih baju untuk ke Gili. Repotnya jadi wanita.“Pakai itu saja,” putus Dazzle saat Merah memakai kaos dan celana pendeknya.“Tapi,” potong Merah merasa dirinya sangat buruk memakai kaos dan celana pendek.“Udah, pakai itu saja. Ayo berangkat,” kata Dazzle menggelandang Merah yang buru-buru meraih tas selempangnya.“Kamu mau terlambat naik perahu?” ancam Dazzle saat Merah masih mengomel.“Apa pun yang kamu pakai, kamu cantik,” desis Dazzle membuat Merah merona.Udara Lombok yang panas, ditambah angin laut yang kering, membakar tubuh mereka saat menyeberang ke Gili.Merah tak hentinya tersenyum. Tangannya tak lepas dari tangan Dazzle, seolah takut Dazzle meninggalkannya.“Aku lho, gak akan ke mana-mana,” bisik Dazzle saat Merah mengeratkan genggamannya.“Jangan melirik wanita lain,” ancam Merah.
Sepanjang malam, mereka hanya berpelukan dan berciuman. Dazzle benar-benar menahan dirinya agar tak menyakiti Merah.“Sudah capek?” tanya Dazzle saat Merah mulai memejamkan matanya.Merah mengangguk, tak kuat membuka matanya lagi. Dia memeluk Dazzle erat.“Tidurlah,” bisik Dazzle sambil membelai punggung Merah.Dazzle meninggalkan Merah yang sudah lelap. Kemudian duduk di kursi teras. Menghirup udara laut yang basah.Mengingat Merah yang menangis semalaman karena mereka tak bisa melakukan penestrasi, membuat Dazzle luruh. Trauma yang ternyata menyisakan efek pada tubuh Merah.Tubuhnya menegang, kata dokter kemarin, ada jaringan parut di sana. Yang membuat otot di sekitarnya menegang otomatis saat mendapat rangsangan.Dazzle mengembuskan napasnya. Dia tak akan meninggalkan Merah hanya karena ini. Dia harus membantu Merah lepas dari trauma dan kesakitan itu.Merah membuka matanya, tak mendapati Dazzle di s
Merah masih tak percaya dengan kondisi tubuhnya. Dia kini meringkuk di tempat tidur. Di kamar kost Dazzle.Penjelasan dokter tentang penyakit yang dideritanya, membuatnya merasakan hantaman. Apalagi yang membuatnya merasa lebih hancur sekarang?Vaginismus, kejadian yang menyertai korban pelecehan pada umumnya. Ketegangan otot vagina yang tanpa sengaja karena adanya rangsangan. Sehingga membuat penestrasi tak bisa dilakukan.Merah meraba dirinya sendiri, merasakan perih saat tangannya di sana. Dokter bilang, semuanya harus pelan-pelan.Merah terisak, ternyata, memang hidupnya tak semudah itu.Dazzle melihat Merah meringkuk sambil menangis, tak tega melihatnya.“Me,” bisik Dazzle. “Makan dulu ya.”Merah tak mau menyentuh makannya sedari pulang dari rumah sakit.Dazzle mengelus punggung Merah.Ketukan pintu membuat Dazzle beranjak. Tanya sekarang berada di depan Dazzle.“Ma.” Dazzl
Dazzle membawakan sarapan ke kamar. Karena Merah benar-benar terlihat capek dan tertidur pulas.Domi berpamitan, setelah sarapan akan langsung ke kantor. Dazzle mengiyakan.Dazzle membuka jendela kamar yang langsung memperlihatkan laut lepas. Membuat Merah mengernyitkan dahinya, silau.“Pagi, Princess,” sapa Dazzle membuat Merah malu.Apalagi sarapan sudah terhidang di meja. Dengan view yang sangat menawan, Merah mengagumi siluet Dazzle yang berdiri di depan jendela.Merah turun dari ranjang, duduk di sofa dan mulai memakan sarapan yang dibawa Dazzle.“Setelah ini, kita tak ada kegiatan. Aku hanya ingin bergelung di sana,” goda Dazzle membuat Merah melotot.“Mama lagi ada janji sama designer, buat baju kalian, apalah itu,” kata Dazzle kemudian merebahkan diri di pangkuan Merah.Seketika membuat jantung Merah berlompatan. Sikap Dazzle selalu memberi reaksi berlebihan untuk itu.“M
Kusuma Wardhana tak percaya, yang akan melamar Merah adalah anak Janu Wijanarko. Pengusaha yang mengusai jaringan hotel dan vila di Bali dan Lombok.Di mana Merah bertemu dengan anak, yang bahkan jarang terekspos media itu?Mata Kusuma menatap Janu yang duduk dengan tenang di kursi seberangnya. Tenang seperti biasa. Seperti Janu yang memang dikenalnya.“Ternyata, kita ditakdirkan menjadi besan, Pak Tua,” kekeh Janu membuat Kusuma tersenyum sinis.“Apakah kamu sudah mendengar kisah anak ini?” tanya Kusuma tanpa basa-basi.Merah diam, menundukkan wajahnya. Menahan air matanya.“Tak penting bagiku. Yang terpenting, anakku menerimanya dengan lapang dada. Lalu apa masalahnya? Harga dirimu yang tinggi itu?” serang Janu dingin.Dazzle menahan napasnya. Papanya menabuh genderang perang.Domi mencoba menetralisir ketegangan yang menjalari tubuhnya. Suhu ruangan private itu mendadak panas.&ldqu
Dazzle sedang mengomel saat Merah membuka matanya, dia tak menemukan Dazzle di kamar, tapi mendengar suaranya di luar.Merah bangkit dan melihat keluar.Dazzle sedang berdebat dengan mamanya. Seketika Merah ingat, bahwa Mama Dazzle mengajaknya untuk pergi terlebih dahulu ke Mulia bersama. Bagaimana dia bisa bangun terlambat.“Mama sik, datang kepagian,” omel Dazzle.“Ini jam berapa, Daz? Kamu apain anak orang jam segini belum bangun?” cecar Tanya sambil berkacak pinggang.“Dazzle gak ngapa-ngapainlah. Anak Mama masih waras,” bantah Dazzle tak terima.“Yakin?” selidik Tanya tak percaya.“Plis, Ma,” rengek Dazzle.“Ya, ya, ya, Mama percaya. Sekarang, mana anak perempuan Mama?” tuntut Tanya membuat Dazzle masuk ke dalam kamar dan mendapati Merah sudah berdandan.“Wah, baru mau aku bangunkan,” kata Dazzle.“Kalian berisik,”
Merah terpaku saat melihat Dazzle memeluk wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang beranjak senja. Seorang laki-laki gagah dan tampan, yang mirip Dazzle menepuk bahu Dazzle.“Itu kan, Janu Wijanarko, pengusaha yang memiliki jaringan hotel dan vila di sekitar Bali dan Lombok.” Merah membatin.“Jadi, Dazzle adalah anak keluarga yang diperhitungkan di Bali ini? Kenapa dia tak mengatakannya,” batin Merah bertanya-tanya.“Ma, ini Merah Angkasa,” kata Dazzle sambil menyentuh lengan Merah. Membuatnya tersadar dan kemudian tersenyum kikuk.“Cantik, secantik namanya,” desis Tanya membuat Merah tersipu.“Terima kasih, Tante,” kata Merah.“Kok tante, Mama,” ralat Tanya membuat Merah semakin salah tingkah.“Sebelum semuanya terlalu jauh, Merah ingin mengatakan sesuatu,” desis Merah setelah mereka duduk di kursi masing-masing.“Me,&rdqu
“Ma, Daz akan pulang besok. Membawakan menantu untuk Mama. Tapi Daz mau meminta satu hal,” kata Dazzle saat menghubungi mamanya.“Daz minta, Mama menerima semua keputusan Daz, dan tidak akan membuat pandangan negatif soal wanita yang Daz pilih,” kata Dazzle seraya menjauh dari kamar. Takut Merah terbangun dan mendengarnya.Setelah mondar-mandir dan bergumam, sedikit menjelaskan panjang lebar, Dazzle menghela napasnya lega. Baginya, ini adalah awal yang baik. Dia tahu, keluarganya tak pernah mempersulit hidupnya.Merah terbangun, mendapati dirinya sendirian, langit sudah sangat gelap. Dia langsung menegakkan tubuhnya, mengedarkan pandang dan mencari Dazzle.Air matanya sudah akan turun saat dia melihat Dazzle masuk dan menutup pintu. Dia menghela napasnya lega. Ketakutan akan kenyataan bahwa mungkin Dazzle meninggalkannya sendirian, membuatnya panik.“Hei, sudah bangun. Maaf, aku harus menelepon Domi dan kedua orang tua