Dazzle menyetir mobil Lara, pagi ini Lara memaksa untuk memakai mobilnya. Dazzle sedang tak ingin membantah.
“Kamu yakin nih, Daz?” tanya Lara memecah konsentrasi Dazzle.
“Yakin tentang apa?” Dazzle balik bertanya.
“Tentang wanita ini,” kata Lara seraya melirik Dazzle.
“Yakin tentang dia atau tentang tindakanku?” Dazzle memperjelas.
“Tentang tindakanmu sih. Kamu menjadi sangat impulsive,” kata Lara.
“Aku juga tak yakin. Tapi aku juga ingin mencoba menjadi caregiver dan lebih memahami orang lain,” kata Dazzle tak yakin dengan tujuannya yang sebenarnya.
Apakah ini karena dia ingin membantu Merah, atau ini caranya untuk melarikan diri dari kehidupan.
Lara menggelengkan kepalanya. Dazzle sepertinya tak waras.
Merah sesekali melihat ke arah halaman. Memastikan matanya melihat kedatangan Dazzle. Dia sungguh merasa gila sudah mengharapkan Dazzle seperti ini
Domi menemui Bara di kafe di kawasan Legian.“Ada apa? Bukankah sudah kukatakan kesepakatan tetap berlangsung meski kalian tak jadi menikah?” tanya Domi membuat Bara mengusap wajahya gusar.Ini tentang hatinya yang ingin memiliki Merah. Terlepas dari perjanjian bisnis itu. Ini tentang hatinya yang mencintai Merah dengan menggebu.“Pertemukan aku dengannya. Aku ingin mengatakan semuanya, penyesalanku dan cintaku padanya,” desis Bara membuat Domi menghela napasnya.“Aku tak tahu di mana Merah berada. Aku tak tahu nomor teleponnya, sepertinya dia mengganti nomornya,” dusta Domi.Dia tak ingin Merah semakin sakit, walaupun mungkin Bara tulus untuk perasaanya, tapi awal dari hubungan mereka sudah tak baik.“Jangan bohong, Dom,” desis Bara sambil menatap Domi penuh selidik.“Aku tak membohongimu,” sergah Domi.“Merah terluka Bar, terluka dalam. Melihatmu mungkin membua
Merah sudah siap. Menunggu dengan antusias kedatangan Dazzle. Hari ini mungkin akan menjadi hari baru baginya. Merah membuka matanya dengan percaya diri. Senyum tak lupa dia sematkan, untuk menguatkan dirinya sendiri, bahwa hidupnya, masih bisa berarti.Domi tak melepasnya pergi. Karena satu hal dan lain hal. Bagi Merah, rasa percaya Domi sudah cukup. Mbok Ijah menunggui Merah. Merasa iba dengan nona mudanya itu. Sungguh hidupnya tragis.Dazzle turun dari mobil, melihat Merah sudah siap di teras rumah membuatnya geli. Merah seperti anak owcil yang tak sabar menunggu saat diajak piknik.“Maaf ya lama, harus mengurus form kerja buat Lara, agar pekerjaanku tak keteteran,” kata Dazzle mulai mengangkut barang-barang Merah ke mobil.“Tak apa,” sahut Merah seraya membawa apa yang sekiranya dia bisa.Mbok Ijah membantu sekedarnya. Kemudian memeluk Merah, mendoakannya agar selalu bahagia dan sehat.Mobil mereka menyusuri jalan
Mobil kembali melaju, jalanan mulai menanjak, dan sempit. Mereka mengambil jalan yang nantinya akan turun di Seririt, Singaraja.Hawa sejuk, bau kopi mentah yang menguar, membuat mereka seolah melupakan tujuan mereka melakukan perjalanan ini.Bersenandung mengikuti lagu yang mereka putar. Tertawa bersama bila salah satunya lupa lirik, mengganti lirik sesuka hati mereka untuk bersenang-senang.Dazzle melupakan perihnya, Merah melupakan sakitnya. Penawar dari rasa yang menyakitkan, mungkin adalah kebersamaan yang tak menuntut apa pun.Hari menjelang sore saat mereka sampai di rumah Dazzle. Pak Made sudah menunggu di teras depan sambil menyesap kopinya.“Akhirnya datang juga,” kata Pak Made dengan logat Balinya yang kental.“Maaf ya, Pak, jadi menunggu,” kata Dazzle lalu menyalami orang yang sudah menjaga dan membersihkan rumahnya selama tak pernah dia tempati.“Mas Dazzle, kaya sama siapa saja. Bli kan eman
Merah menatap langit-langit kamar. Chandelier yang mengantung anggun membuatnya merasa itu seperti dirinya yang dulu sebelum jatuh dan pecah. Sempurna, kemudian cacat dan dianggap tak berharga. Merah memejamkan matanya. Menelusuri setiap jengkal sakit di hatinya. Merana setiap goresan luka itu. Luka yang tak terlihat, tapi menghunjam dalam. Selama bertahun dia menghadapinya sendirian. Semuanya tak mengerti tentang perasaannya. Yang mereka inginkan hanya, dia menerima setiap keputusan dari mereka, tanpa boleh memilih dan menolak. Perasaan sedih Merah, hanyalah hal cengeng yang harus diabaikan. Jangan dituruti. Dazzle, masih duduk di kursi malas. Menatap langit malam. Merenungi hidupnya yang berjungkir balik. Dari merengkuh bahagia saat mencintai Danta, kemudian terluka, lalu melewati hari abu-abu bersama Merah. Inikah yang sedang Tuhan sodorkan padanya? Skenario yang memang harus dijalaninya. Agar dia merasakan bahwa hidup tak selalu berjalan b
Bara sedang merenungi nasibnya, saat ponselnya berbunyi. Kusuma Wardhana. Papa Merah.“Iya, Om. Ada apa?” tanya Bara pelan.“Om, sudah saya katakan, saya akan menikahi Merah, bila memang Merah bersedia. Bukan karena paksaan,” kata Bara sambil memejamkan matanya.Hatinya masih perih bila mengingat kesalahannya terhadap Merah. Lebih perih saat mengingat penolakan Merah.“Om. Maaf, saya tidak bisa melakukan itu tanpa kesadaran penuh dari Merah. Sudah cukup dosa yang saya lakukan terhadap Merah.” Bara mengusap wajahnya dengan pasrah.Sambungan terputus sepihak. Kusuma Wardhana melempar sumpah serapahnya sebelum menutup telepon. Bara paham akan kemarahan orang tua itu. Tapi Bara juga tak bisa membuat Merah menjadi pengantinnya bila memang Merah tak mau.Bara tak ingin menambah luka Merah. Sudah cukup tindakan bejatnya kala itu. Bila mengingat reaksi Merah yang langsung histeris saat melihatnya, malah membuat Ba
Merah menatap Dazzle yang sedang berkutat dengan laptopnya. Hatinya berdesir saat menatap laki-laki itu.Apakah dia mulai terlibat perasaan dengannya? Merah menggelengkan kepalanya. Menyadarkan dirinya sendiri. Dia tak layak untuk mengharapkan Dazzle lebih dari ini.Kesediaan Dazzle menemaninya untuk pulih saja, sudah lebih dari cukup.“Kenapa, Me?” tanya Dazzle melihat Merah bertingkah aneh.“Nggak,” jawab Merah singkat. Jengah karena merasa ketahuan.Dazzle kemudian menutup laptopnya. Duduk di samping Merah. Kini mereka berdekatan di sofa besar di ruang tengah itu.“Pekerjaanku sudah selesai. Lara sudah kubungkam dengan dokumen-dokumen yang harus dia periksa,” kata Dazzle membuat Merah tertawa.Membayangkan Lara mengomel di kantornya.Dazzle memejamkan matanya. Rasa kantuk yang menyerangnya, membuat dia terlelap dalam sekejap. Merah menatap wajah Dazzle yang mulai mendengkur halus.T
Malam itu, Merah tertidur dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Mungkin, meski tanpa janji yang muluk-muluk tentang perasaan yang belum menetap, tapi Dazzle sudah membuka jalan untuknya.Dazzle, masih tersadar, tak bisa memejamkan mata, karena, hatinya menjadi sangat gelisah. Apakah tindakannya sudah benar? Mengutarakan semua hal semu yang dia rasakan kepada Merah? Tak menjanjikan apa pun, tapi merengkuh Merah dalam hatinya.Omong kosong apa yang sebenarnya sedang dia tawarkan untuk hatinya yang terluka, dan Merah? Apakah ini bukan pelarian? Apakah ini murni perasaannya yang mulai membuka diri untuk orang lain?Dazzle tak bisa memejamkan matanya, gelisah memikirkan reaksi Merah atas sikap agresifnya. Entah bagaimana, dia kemudian mengetuk pintu kamar Merah.Merah yang masih belum sepenuhnya lelap, terbangun karena ketukan pintu. Beranjak membukanya, dan mendapati Dazzle berdiri di sana, lagian, siapa lagi yang ada di rumah ini selain mereka berdua?
Danta menatap laut biru di hadapannya. Pasir hitam di kakinya. Panas matahari yang mulai tenggelam tak seberapa membakar kulitnya. Tapi hatinya terasa panas.Rama bahkan seperti tak peduli lagi padanya. Dia ingin setidaknya Rama bisa bersamanya. Menghadapi perasaan berdosa ini bersama.Kemudian saat dia melangkah untuk duduk di mejanya, dia melihat kelebatan bayangan Dazzle sedang mempersilakan duduk seorang wanita dengan sopan, seperti yang selalu Dazzle lakukan untuknya dulu.Hatinya mendadak meradang. Ada rasa tak terima Dazzle bersama wanita lain. Secepat ini. Setelah dia meninggalkannya. Inikah cemburu? Inikah perasaan sakit yang juga Dazzle rasakan saat mengetahui dia dan Rama menikah?Danta meremas jarinya sendiri. Kenapa harus sekarang? Kenapa dia melihat Dazzle tersenyum manis kepada wanita lain sekarang. Dia tak bisa marah kepada Dazzle sekarang. Karena tak ada lagi hubungan di antara mereka. Tapi egonya sedang menguasai kepalanya.&ldquo
Sepulang dari Lombok, Dazzle memboyong Merah ke Singaraja. Karena sekarang dia tak bekerja, bisa leluasa menemani Merah.“Daz, jangan menggoda, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” erang Merah saat Dazzle mulai menciuminya.Gerakan tangannya di keyboard laptopnya terhenti. Sungguh Dazzle tak memberinya waktu untuk bernapas.“Gak usah kerja. Kan kamu sudah menjadi istriku. Aku yang memimpin Janu Company sekarang,” sergah Dazzle tak menghentikan aktivitasnya.“Aku gak mau hanya menerima uangmu,” elak Merah menghalau kepala Dazzle yang mulai turun ke lehernya.Sungguh. Dazzle membuatnya tak bisa berpikir jernih.“Menyerah?” tanya Dazzle saat Merah akhirnya menutup laptopnya.Dia tak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan Dazzle yang menempel di tubuhnya.Merah bangkit, menarik Dazzle ke tempat favoritnya. Bathub. Dazzle tersenyum sambil meloloskan pakaian Merah.Keduta
Dazzle mengerjapkan mata saat Merah sibuk memilih baju untuk ke Gili. Repotnya jadi wanita.“Pakai itu saja,” putus Dazzle saat Merah memakai kaos dan celana pendeknya.“Tapi,” potong Merah merasa dirinya sangat buruk memakai kaos dan celana pendek.“Udah, pakai itu saja. Ayo berangkat,” kata Dazzle menggelandang Merah yang buru-buru meraih tas selempangnya.“Kamu mau terlambat naik perahu?” ancam Dazzle saat Merah masih mengomel.“Apa pun yang kamu pakai, kamu cantik,” desis Dazzle membuat Merah merona.Udara Lombok yang panas, ditambah angin laut yang kering, membakar tubuh mereka saat menyeberang ke Gili.Merah tak hentinya tersenyum. Tangannya tak lepas dari tangan Dazzle, seolah takut Dazzle meninggalkannya.“Aku lho, gak akan ke mana-mana,” bisik Dazzle saat Merah mengeratkan genggamannya.“Jangan melirik wanita lain,” ancam Merah.
Sepanjang malam, mereka hanya berpelukan dan berciuman. Dazzle benar-benar menahan dirinya agar tak menyakiti Merah.“Sudah capek?” tanya Dazzle saat Merah mulai memejamkan matanya.Merah mengangguk, tak kuat membuka matanya lagi. Dia memeluk Dazzle erat.“Tidurlah,” bisik Dazzle sambil membelai punggung Merah.Dazzle meninggalkan Merah yang sudah lelap. Kemudian duduk di kursi teras. Menghirup udara laut yang basah.Mengingat Merah yang menangis semalaman karena mereka tak bisa melakukan penestrasi, membuat Dazzle luruh. Trauma yang ternyata menyisakan efek pada tubuh Merah.Tubuhnya menegang, kata dokter kemarin, ada jaringan parut di sana. Yang membuat otot di sekitarnya menegang otomatis saat mendapat rangsangan.Dazzle mengembuskan napasnya. Dia tak akan meninggalkan Merah hanya karena ini. Dia harus membantu Merah lepas dari trauma dan kesakitan itu.Merah membuka matanya, tak mendapati Dazzle di s
Merah masih tak percaya dengan kondisi tubuhnya. Dia kini meringkuk di tempat tidur. Di kamar kost Dazzle.Penjelasan dokter tentang penyakit yang dideritanya, membuatnya merasakan hantaman. Apalagi yang membuatnya merasa lebih hancur sekarang?Vaginismus, kejadian yang menyertai korban pelecehan pada umumnya. Ketegangan otot vagina yang tanpa sengaja karena adanya rangsangan. Sehingga membuat penestrasi tak bisa dilakukan.Merah meraba dirinya sendiri, merasakan perih saat tangannya di sana. Dokter bilang, semuanya harus pelan-pelan.Merah terisak, ternyata, memang hidupnya tak semudah itu.Dazzle melihat Merah meringkuk sambil menangis, tak tega melihatnya.“Me,” bisik Dazzle. “Makan dulu ya.”Merah tak mau menyentuh makannya sedari pulang dari rumah sakit.Dazzle mengelus punggung Merah.Ketukan pintu membuat Dazzle beranjak. Tanya sekarang berada di depan Dazzle.“Ma.” Dazzl
Dazzle membawakan sarapan ke kamar. Karena Merah benar-benar terlihat capek dan tertidur pulas.Domi berpamitan, setelah sarapan akan langsung ke kantor. Dazzle mengiyakan.Dazzle membuka jendela kamar yang langsung memperlihatkan laut lepas. Membuat Merah mengernyitkan dahinya, silau.“Pagi, Princess,” sapa Dazzle membuat Merah malu.Apalagi sarapan sudah terhidang di meja. Dengan view yang sangat menawan, Merah mengagumi siluet Dazzle yang berdiri di depan jendela.Merah turun dari ranjang, duduk di sofa dan mulai memakan sarapan yang dibawa Dazzle.“Setelah ini, kita tak ada kegiatan. Aku hanya ingin bergelung di sana,” goda Dazzle membuat Merah melotot.“Mama lagi ada janji sama designer, buat baju kalian, apalah itu,” kata Dazzle kemudian merebahkan diri di pangkuan Merah.Seketika membuat jantung Merah berlompatan. Sikap Dazzle selalu memberi reaksi berlebihan untuk itu.“M
Kusuma Wardhana tak percaya, yang akan melamar Merah adalah anak Janu Wijanarko. Pengusaha yang mengusai jaringan hotel dan vila di Bali dan Lombok.Di mana Merah bertemu dengan anak, yang bahkan jarang terekspos media itu?Mata Kusuma menatap Janu yang duduk dengan tenang di kursi seberangnya. Tenang seperti biasa. Seperti Janu yang memang dikenalnya.“Ternyata, kita ditakdirkan menjadi besan, Pak Tua,” kekeh Janu membuat Kusuma tersenyum sinis.“Apakah kamu sudah mendengar kisah anak ini?” tanya Kusuma tanpa basa-basi.Merah diam, menundukkan wajahnya. Menahan air matanya.“Tak penting bagiku. Yang terpenting, anakku menerimanya dengan lapang dada. Lalu apa masalahnya? Harga dirimu yang tinggi itu?” serang Janu dingin.Dazzle menahan napasnya. Papanya menabuh genderang perang.Domi mencoba menetralisir ketegangan yang menjalari tubuhnya. Suhu ruangan private itu mendadak panas.&ldqu
Dazzle sedang mengomel saat Merah membuka matanya, dia tak menemukan Dazzle di kamar, tapi mendengar suaranya di luar.Merah bangkit dan melihat keluar.Dazzle sedang berdebat dengan mamanya. Seketika Merah ingat, bahwa Mama Dazzle mengajaknya untuk pergi terlebih dahulu ke Mulia bersama. Bagaimana dia bisa bangun terlambat.“Mama sik, datang kepagian,” omel Dazzle.“Ini jam berapa, Daz? Kamu apain anak orang jam segini belum bangun?” cecar Tanya sambil berkacak pinggang.“Dazzle gak ngapa-ngapainlah. Anak Mama masih waras,” bantah Dazzle tak terima.“Yakin?” selidik Tanya tak percaya.“Plis, Ma,” rengek Dazzle.“Ya, ya, ya, Mama percaya. Sekarang, mana anak perempuan Mama?” tuntut Tanya membuat Dazzle masuk ke dalam kamar dan mendapati Merah sudah berdandan.“Wah, baru mau aku bangunkan,” kata Dazzle.“Kalian berisik,”
Merah terpaku saat melihat Dazzle memeluk wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang beranjak senja. Seorang laki-laki gagah dan tampan, yang mirip Dazzle menepuk bahu Dazzle.“Itu kan, Janu Wijanarko, pengusaha yang memiliki jaringan hotel dan vila di sekitar Bali dan Lombok.” Merah membatin.“Jadi, Dazzle adalah anak keluarga yang diperhitungkan di Bali ini? Kenapa dia tak mengatakannya,” batin Merah bertanya-tanya.“Ma, ini Merah Angkasa,” kata Dazzle sambil menyentuh lengan Merah. Membuatnya tersadar dan kemudian tersenyum kikuk.“Cantik, secantik namanya,” desis Tanya membuat Merah tersipu.“Terima kasih, Tante,” kata Merah.“Kok tante, Mama,” ralat Tanya membuat Merah semakin salah tingkah.“Sebelum semuanya terlalu jauh, Merah ingin mengatakan sesuatu,” desis Merah setelah mereka duduk di kursi masing-masing.“Me,&rdqu
“Ma, Daz akan pulang besok. Membawakan menantu untuk Mama. Tapi Daz mau meminta satu hal,” kata Dazzle saat menghubungi mamanya.“Daz minta, Mama menerima semua keputusan Daz, dan tidak akan membuat pandangan negatif soal wanita yang Daz pilih,” kata Dazzle seraya menjauh dari kamar. Takut Merah terbangun dan mendengarnya.Setelah mondar-mandir dan bergumam, sedikit menjelaskan panjang lebar, Dazzle menghela napasnya lega. Baginya, ini adalah awal yang baik. Dia tahu, keluarganya tak pernah mempersulit hidupnya.Merah terbangun, mendapati dirinya sendirian, langit sudah sangat gelap. Dia langsung menegakkan tubuhnya, mengedarkan pandang dan mencari Dazzle.Air matanya sudah akan turun saat dia melihat Dazzle masuk dan menutup pintu. Dia menghela napasnya lega. Ketakutan akan kenyataan bahwa mungkin Dazzle meninggalkannya sendirian, membuatnya panik.“Hei, sudah bangun. Maaf, aku harus menelepon Domi dan kedua orang tua