Dazzle sedang duduk di depan komputer di ruang kerjanya. Lara belum terlihat datang sesiang ini. Pikiran Dazzle masih merutuki kebodohannya tertipu oleh Danta dan Rama selama ini.
“Daz!” Suara Lara membuat Dazzle tersadar dan menoleh.
Lara masuk ke ruangan mereka dengan tergesa. Menyeret kursi dan duduk di samping Dazzle yang enggan menanggapinya.
“Lo tahu, kemarin setelah lo pulang, gur kebetulan mendengar gosip,” kata Lara. Dazzle hanya mendesah.
“Lo gak penasaran?” tanya Lara melihat reaksi Dazzle yang tak peduli.
“Apa?” tanya Dazzle tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer yang sedng menampilkan data.
“Jadi, para tamu undangan berbisik-bisik, mempelai wanita itu menikah dalam keadaan hamil dan meninggalkan pacarnya untuk menikah dengan mempelai pria karena untuk kerja sama perusahaan mereka katanya,” kata Lara membuat Dazzle tersedak ludahnya sendiri.
“Lo kenapa sih? Lesu amat,” lanjut Lara melihat Dazzle tak seperti biasanya.
“Entah, rasanya sedang malas untuk melakukan apa pun,” kata Dazzle, lagi-lagi tanpa menoleh.
“Hm ... ada hubungannya dengan kejadian kemarin yang lo ninggalin gue di kondangan?” tebak Lara.
“Bisa jadi,” elak Dazzle.
“Beneran deh, lo kenapa sik? Kaya orang lagi patah hati,” selidik Lara.
“Siapa bilang?” sungut Dazzle.
“Nah itu sewot. Beneran deh lo patah hati ini,” kata Lara sambil meraba kening Dazzle.
“Apaan sih?” sergah Dazzle sambil mengibaskan tangan Lara.
“Kita jalan aja yuk, ngopi di Sbux,” kata Lara sambil menyeret Dazzle.
“Kerjaan belom kelar La, ntar aku dipecat,” protes Dazzle.
“Nanti gue yang ngomong sama Om Irwan. Lo terima beres,” kata Lara sambil mengedipkan matanya ke arah sekretaris Omnya itu.
Lara melesakkan tubuh Dazzle ke dalam mobil. Lalu menyetir mobilnya ke arah Sunser Road Kuta. Rujuannya adalah Starbuck.
“Ayo kita ngopi seharian,” kata Lara membuat Dazzle mendesah.
“Kamu emang ya.” Dazzle memesan Caffe Latte kesukaannya.
Mereka mencari tempat di pojok, agar privasi mereka sedikit lega.
“Jadi sekarang lo cerita sama gue,” kata Lara membuat Dazzle memejamkan matanya.
“Kamu tahu siapa yang menikah kemarin itu?” tanya Dazzle seraya menyesap kopinya.
“Rama Adiswara, putra kedua dari Sastro Diputra, pemilik beberapa vila di Bali dan Lombok,” kata Lara masih tak mengerti kaitan pernikahan kemarin dengan tampang lesu Dazzle hari ini.
“Mempelai perempuan?” selidik Dazzle.
“Kalau tak salah dia adalah putri dari direktur di sebuah bank swasta. Apa hubungannya dengan wajah lo?” seru Lara tak sabar.
“Kamu tahu siapa mereka bagiku?” tanya Dazzle membuat Lara semakin bingung.
“Danta, mempelai perempuan itu, adalah kekasihku. Dan Rama adalah sahabatku,” kata Dazzle pada akhirnya. Lara menutup mulutnya tak percaya.
“Daz, lo gak salah orang kan?” desisnya tak percaya.
Dazzle mengeluarkan ponselnya, membuka galeri fotonya, menunjukkan beberapa foto kebersamaannya dengan Danta, dan ironisnya, Rama juga.
Lara masih tak percaya. Dia menggeser layar ponsel Dazzle ke atas dan ke bawah berulang kali. Fakta bahwa semua yang dikatakan Dazzle benar adanya.
“Gila Daz, lo kuat banget dah,” decak Lara menyerahkan kembali ponsel Dazzle.
Dazzle menghapus semua foto itu sebelum hatinya bertambah perih.
“Pantesan lo kaya gak punya nyawa,” lanjut Lara membuat Dazzle melotot.
“Jadi, mari kita lupakan saja masalah ini dan abaikan semua perasaanku,” pinta Dazzle membuat Lara menggeleng. Sudah tidak waras orang ini.
“Daz, aku ingin bicara.” Tiba-tiba Danta sudah ada di antara mereka.
Membuat Dazzle terenyak dan Lara tak bisa berkata-kata.
“Bolehkan aku meminjam dia sebentar?” tanya Danta mengintimidasi ke arah Lara yang mengangguk dan beringsut pergi. Sialan.
“Daz, aku ingin menjelaskan semuanya. Kebetulan kita bertemu di sini.” Danta duduk di kursi yang tadi diduduki Lara.
“Apalagi? Aku sudah cukup muak,” desis Dazzle seraya menyesap kopinya unruk menghilangkan perih.
“Daz, aku beneran tak bermaksud membuatmu terlihat seperti pecundang. Aku berencana memberitahukan semuanya setelah ini settle,” kata Danta malah membuat Dazzle semakin marah.
“Setelah semua settle? Dan kamu pikir aku ini apa? Barang yang bisa kamu letakkan, lalu kamu pungut lagi?” cecar Dazzle.
“Daz, aku, kami, hanya tak ingin melukaimu,” bantah Danta mencoba untuk membuat Dazzle luluh.
“Bulshit! Bawa pergi semua kata-katamu, tak usah kembali. Selamat berbahagia dengan semua yang kamu miliki sekarang. Urus suamimu dan jangan pernah menampakkan lagi wajahmu di depanku. Bila kita tak sengaja bertemu, anggap kita tak pernah saling mengenal,” kata Dazzle seraya pergi meninggalkan Danta.
Danta beranjak dan memeluk Dazzle dari belakang. Membuat tubuh Dazzle menengang untuk sesaat. Damn.
“Lepaskan.” Dazzle mengurai tangan Danta yang membelit pinggangnya.
“Maafkan aku, Daz. I still love you. Apakah kita tak bisa tetap seperti dulu?” desis Danta entah bagaimana malah membuat Dazzle merasa jijik.
“Kamu gila. Aku tak akan pernah mau mengenalmu,” desis Dazzle meninggalkan Danta dan memberi kode kepada Lara untuk pergi.
Danta menatap punggung Dazzle dengan penyesalan yang tak habisnya. Meninggalkan Dazzle demi Rama, hanya karena nafsu mereka yang berbuah anak yang kini dikandungnya. Danta memijit keningnya. Terjebak bersama Rama, dan Dazzle dalam waktu bersamaan adalah akibat dari permainannya sendiri.
Lara menyetir mobil sambil sesekali melirik Dazzle yang terdiam. Mereka tak kembali ke kantor, Lara tahu kantor akan terlihat sangat membosankan dalam keadaan tak stabil.
“Kita kemana, La?” tanya Dazzle saat menyadari mobil mereka bergerak menjauhi Denpasar.
“Kita makan ikan di Goa Lawa,” kata Lara.
“Kita bolos kerja seharian? Beneran besok adalah hari pemecatanku,” erang Dazzle membuat Lara tertawa.
“Om Irwan akan diam kalau gue yang bilang. Jadi tenangkan otakmu,” kata Lara disela tawanya.
Yang ingin dilakukannya hanya menghibur Dazzle.
“Daz, kalo lo pengen nangis, gpp kali,” kata Lara.
“Perlu?” decih Dazzle.
“Ya kali lo butuh buat ngelampiasin emosi, dan gue termasuk cewek yang open minded soal cowok yang menangis. Manusiawi.” Lara mengedipkan matanya.
“Aku merasa tak pantas menangisi keduanya, La. Everything goes, perasaanku sakit, menjadi korban, tapi buat apa aku menangisi orang yang tak menganggapku ada? Kita realitis saja,” sergah Dazzle membuat Lara tertawa.
“Gue percaya lo orang kuat, tegar. Gue Cuma berharap, lo gak berubah jadi pendiam yang depresi,” oceh Lara membuat Dazzle tertawa pada akhirnya.
“Setidaknya, ada kamu yang membuatku tertawa, La,” kata Dazzle.
Bersyukur mempunyai partner kerja sekaligus sahabat yang tahu bagaimana memperlakukannya.
“Suatu hari, lo pasti bakalan dapet cewek yang emang pas buat lo. Memahami lo, dan menerima lo,” kata Lara membuat Dazzle mengangguk.
Suatu hari nanti. Entah kapan. Lalu dia mengingat Merah, apakah sekarang dia juga sedang merana? Apakah dia juga sedang menangisi hidup? Dazzle menggelengkan kepalanya. Kenapa harus mengingat Merah di saat seperti ini, dia bahkan tak mengenal Merah.
Merah terbangun, kepalanya terasa berat, dia asing dengan ruangan ini. Saat menoleh ke kanan, Domi sedang duduk sambil terkantuk-kantuk. Lalu Merah mengingat kejadian yang terjadi tadi pagi, ingatannya tentang Bara menyeruak. Matanya nyalang beredar ke penjuru ruang, was-was akan keberadaan Bara. Kemudian dia mendesah lega, Bara tak terlihat.“Dom,” desis Merah, membuat Domi terlonjak.“Me, kamu sudah sadar? Maafkan aku Me, aku tak pernah mau memahamimu,” kata Domi dengan mata berkaca-kaca.“Maafkan aku menyusahkanmu,” kata Merah berusaha bangkit.“Jangan, berbaringlah. Dokter sudah memeriksamu, dia mengatakan, kamu mungkin enggan untuk bangun, maafkan aku Me.” Domi menggenggam tangan Merah erat. Menyalurkan energi yang bisa dia salurkan untuk menguatkan adiknya itu.“Aku sudah menelepon Papa. Dia marah besar, tapi aku tak lagi peduli, Me. Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan untuk kebahagiaa
Mereka berdua melewati pematang sawah, Dazzle mengantar Merah kembali ke villa. Mereka berpisah karena sudah saling menemukan. Selanjutnya hanya bagaimana melanjutkan hari.Dazzle melajukan motornya dengan hati yang mungkin sedikit ringan. Menjanjikan sebuah perasaan kepada seorang perempuan yang bahkan belum sepenuhnya dikenal. Entah kenapa, rasanya saat bersama Merah, perasaannya mengendap. Lukanya menguap. Ada pertautan yang bahkan dia sendiri tak paham. Dia bahkan belum bisa memastikan, ini sekedar pelampiasan atau memang sebuah takdir yang menyatukan mereka?“Non, sudah makan siang?” sapa seseorang membuat Merah kaget. Saat Domi mengantarnya, tak ada orang di rumah.“Maaf Non, saya Mbok Ijah, tadi Mas Domi telepon, bilang kalau adiknya akan menghuni rumah untuk sementara, Mbok disuruh nemenin Non,” kata Mbok Ijah sambil mengulurkan tangannya.“Oh iya Mbok, maaf merepotkan. Aku tadi sudah makan di luar,” jawab Merah
Dazzle kembali melajukan motornya ke arah Kuta. Dia sudah mengirim pesan untuk Lara. Kini pikirannya bercabang. Bagaimana mengatakan ijin kerja mobile kepada Lara dan bagaimana menolong Merah.Memang, menjadi pemikir sepertinya selalu membuatnya berada dalam situasi yang rumit.Lara menunggu di starbucks reserve Kuta. Menyesap machiatonya.“Kok lama? Dari mana lo? Cuti klayapan,” salak Lara membuat Dazzle melemparinya dengan struk pembelian.“Sabar napa,” sergah Dazzle menyandarkan punggungnya.“Kamu bisa lobi Pak Irwan agar aku bisa kerja mobile?” tanya Dazzle membuat Lara melotot.“Kenapa lo mendadak pengen kerja mobile?” selidik Lara.“Ya, aku ada urusan yang mendadak dan, rumit,” elak Dazzle.“Lo harus jelasin, baru gue mau bantu,” ancam Lara.Dazzle menyesap cafe lattenya.“Aku, sedang dalam misi, entah ini kutukan atau apa,”
Dazzle menyetir mobil Lara, pagi ini Lara memaksa untuk memakai mobilnya. Dazzle sedang tak ingin membantah.“Kamu yakin nih, Daz?” tanya Lara memecah konsentrasi Dazzle.“Yakin tentang apa?” Dazzle balik bertanya.“Tentang wanita ini,” kata Lara seraya melirik Dazzle.“Yakin tentang dia atau tentang tindakanku?” Dazzle memperjelas.“Tentang tindakanmu sih. Kamu menjadi sangat impulsive,” kata Lara.“Aku juga tak yakin. Tapi aku juga ingin mencoba menjadi caregiver dan lebih memahami orang lain,” kata Dazzle tak yakin dengan tujuannya yang sebenarnya.Apakah ini karena dia ingin membantu Merah, atau ini caranya untuk melarikan diri dari kehidupan.Lara menggelengkan kepalanya. Dazzle sepertinya tak waras.Merah sesekali melihat ke arah halaman. Memastikan matanya melihat kedatangan Dazzle. Dia sungguh merasa gila sudah mengharapkan Dazzle seperti ini
Domi menemui Bara di kafe di kawasan Legian.“Ada apa? Bukankah sudah kukatakan kesepakatan tetap berlangsung meski kalian tak jadi menikah?” tanya Domi membuat Bara mengusap wajahya gusar.Ini tentang hatinya yang ingin memiliki Merah. Terlepas dari perjanjian bisnis itu. Ini tentang hatinya yang mencintai Merah dengan menggebu.“Pertemukan aku dengannya. Aku ingin mengatakan semuanya, penyesalanku dan cintaku padanya,” desis Bara membuat Domi menghela napasnya.“Aku tak tahu di mana Merah berada. Aku tak tahu nomor teleponnya, sepertinya dia mengganti nomornya,” dusta Domi.Dia tak ingin Merah semakin sakit, walaupun mungkin Bara tulus untuk perasaanya, tapi awal dari hubungan mereka sudah tak baik.“Jangan bohong, Dom,” desis Bara sambil menatap Domi penuh selidik.“Aku tak membohongimu,” sergah Domi.“Merah terluka Bar, terluka dalam. Melihatmu mungkin membua
Merah sudah siap. Menunggu dengan antusias kedatangan Dazzle. Hari ini mungkin akan menjadi hari baru baginya. Merah membuka matanya dengan percaya diri. Senyum tak lupa dia sematkan, untuk menguatkan dirinya sendiri, bahwa hidupnya, masih bisa berarti.Domi tak melepasnya pergi. Karena satu hal dan lain hal. Bagi Merah, rasa percaya Domi sudah cukup. Mbok Ijah menunggui Merah. Merasa iba dengan nona mudanya itu. Sungguh hidupnya tragis.Dazzle turun dari mobil, melihat Merah sudah siap di teras rumah membuatnya geli. Merah seperti anak owcil yang tak sabar menunggu saat diajak piknik.“Maaf ya lama, harus mengurus form kerja buat Lara, agar pekerjaanku tak keteteran,” kata Dazzle mulai mengangkut barang-barang Merah ke mobil.“Tak apa,” sahut Merah seraya membawa apa yang sekiranya dia bisa.Mbok Ijah membantu sekedarnya. Kemudian memeluk Merah, mendoakannya agar selalu bahagia dan sehat.Mobil mereka menyusuri jalan
Mobil kembali melaju, jalanan mulai menanjak, dan sempit. Mereka mengambil jalan yang nantinya akan turun di Seririt, Singaraja.Hawa sejuk, bau kopi mentah yang menguar, membuat mereka seolah melupakan tujuan mereka melakukan perjalanan ini.Bersenandung mengikuti lagu yang mereka putar. Tertawa bersama bila salah satunya lupa lirik, mengganti lirik sesuka hati mereka untuk bersenang-senang.Dazzle melupakan perihnya, Merah melupakan sakitnya. Penawar dari rasa yang menyakitkan, mungkin adalah kebersamaan yang tak menuntut apa pun.Hari menjelang sore saat mereka sampai di rumah Dazzle. Pak Made sudah menunggu di teras depan sambil menyesap kopinya.“Akhirnya datang juga,” kata Pak Made dengan logat Balinya yang kental.“Maaf ya, Pak, jadi menunggu,” kata Dazzle lalu menyalami orang yang sudah menjaga dan membersihkan rumahnya selama tak pernah dia tempati.“Mas Dazzle, kaya sama siapa saja. Bli kan eman
Merah menatap langit-langit kamar. Chandelier yang mengantung anggun membuatnya merasa itu seperti dirinya yang dulu sebelum jatuh dan pecah. Sempurna, kemudian cacat dan dianggap tak berharga. Merah memejamkan matanya. Menelusuri setiap jengkal sakit di hatinya. Merana setiap goresan luka itu. Luka yang tak terlihat, tapi menghunjam dalam. Selama bertahun dia menghadapinya sendirian. Semuanya tak mengerti tentang perasaannya. Yang mereka inginkan hanya, dia menerima setiap keputusan dari mereka, tanpa boleh memilih dan menolak. Perasaan sedih Merah, hanyalah hal cengeng yang harus diabaikan. Jangan dituruti. Dazzle, masih duduk di kursi malas. Menatap langit malam. Merenungi hidupnya yang berjungkir balik. Dari merengkuh bahagia saat mencintai Danta, kemudian terluka, lalu melewati hari abu-abu bersama Merah. Inikah yang sedang Tuhan sodorkan padanya? Skenario yang memang harus dijalaninya. Agar dia merasakan bahwa hidup tak selalu berjalan b
Sepulang dari Lombok, Dazzle memboyong Merah ke Singaraja. Karena sekarang dia tak bekerja, bisa leluasa menemani Merah.“Daz, jangan menggoda, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” erang Merah saat Dazzle mulai menciuminya.Gerakan tangannya di keyboard laptopnya terhenti. Sungguh Dazzle tak memberinya waktu untuk bernapas.“Gak usah kerja. Kan kamu sudah menjadi istriku. Aku yang memimpin Janu Company sekarang,” sergah Dazzle tak menghentikan aktivitasnya.“Aku gak mau hanya menerima uangmu,” elak Merah menghalau kepala Dazzle yang mulai turun ke lehernya.Sungguh. Dazzle membuatnya tak bisa berpikir jernih.“Menyerah?” tanya Dazzle saat Merah akhirnya menutup laptopnya.Dia tak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan Dazzle yang menempel di tubuhnya.Merah bangkit, menarik Dazzle ke tempat favoritnya. Bathub. Dazzle tersenyum sambil meloloskan pakaian Merah.Keduta
Dazzle mengerjapkan mata saat Merah sibuk memilih baju untuk ke Gili. Repotnya jadi wanita.“Pakai itu saja,” putus Dazzle saat Merah memakai kaos dan celana pendeknya.“Tapi,” potong Merah merasa dirinya sangat buruk memakai kaos dan celana pendek.“Udah, pakai itu saja. Ayo berangkat,” kata Dazzle menggelandang Merah yang buru-buru meraih tas selempangnya.“Kamu mau terlambat naik perahu?” ancam Dazzle saat Merah masih mengomel.“Apa pun yang kamu pakai, kamu cantik,” desis Dazzle membuat Merah merona.Udara Lombok yang panas, ditambah angin laut yang kering, membakar tubuh mereka saat menyeberang ke Gili.Merah tak hentinya tersenyum. Tangannya tak lepas dari tangan Dazzle, seolah takut Dazzle meninggalkannya.“Aku lho, gak akan ke mana-mana,” bisik Dazzle saat Merah mengeratkan genggamannya.“Jangan melirik wanita lain,” ancam Merah.
Sepanjang malam, mereka hanya berpelukan dan berciuman. Dazzle benar-benar menahan dirinya agar tak menyakiti Merah.“Sudah capek?” tanya Dazzle saat Merah mulai memejamkan matanya.Merah mengangguk, tak kuat membuka matanya lagi. Dia memeluk Dazzle erat.“Tidurlah,” bisik Dazzle sambil membelai punggung Merah.Dazzle meninggalkan Merah yang sudah lelap. Kemudian duduk di kursi teras. Menghirup udara laut yang basah.Mengingat Merah yang menangis semalaman karena mereka tak bisa melakukan penestrasi, membuat Dazzle luruh. Trauma yang ternyata menyisakan efek pada tubuh Merah.Tubuhnya menegang, kata dokter kemarin, ada jaringan parut di sana. Yang membuat otot di sekitarnya menegang otomatis saat mendapat rangsangan.Dazzle mengembuskan napasnya. Dia tak akan meninggalkan Merah hanya karena ini. Dia harus membantu Merah lepas dari trauma dan kesakitan itu.Merah membuka matanya, tak mendapati Dazzle di s
Merah masih tak percaya dengan kondisi tubuhnya. Dia kini meringkuk di tempat tidur. Di kamar kost Dazzle.Penjelasan dokter tentang penyakit yang dideritanya, membuatnya merasakan hantaman. Apalagi yang membuatnya merasa lebih hancur sekarang?Vaginismus, kejadian yang menyertai korban pelecehan pada umumnya. Ketegangan otot vagina yang tanpa sengaja karena adanya rangsangan. Sehingga membuat penestrasi tak bisa dilakukan.Merah meraba dirinya sendiri, merasakan perih saat tangannya di sana. Dokter bilang, semuanya harus pelan-pelan.Merah terisak, ternyata, memang hidupnya tak semudah itu.Dazzle melihat Merah meringkuk sambil menangis, tak tega melihatnya.“Me,” bisik Dazzle. “Makan dulu ya.”Merah tak mau menyentuh makannya sedari pulang dari rumah sakit.Dazzle mengelus punggung Merah.Ketukan pintu membuat Dazzle beranjak. Tanya sekarang berada di depan Dazzle.“Ma.” Dazzl
Dazzle membawakan sarapan ke kamar. Karena Merah benar-benar terlihat capek dan tertidur pulas.Domi berpamitan, setelah sarapan akan langsung ke kantor. Dazzle mengiyakan.Dazzle membuka jendela kamar yang langsung memperlihatkan laut lepas. Membuat Merah mengernyitkan dahinya, silau.“Pagi, Princess,” sapa Dazzle membuat Merah malu.Apalagi sarapan sudah terhidang di meja. Dengan view yang sangat menawan, Merah mengagumi siluet Dazzle yang berdiri di depan jendela.Merah turun dari ranjang, duduk di sofa dan mulai memakan sarapan yang dibawa Dazzle.“Setelah ini, kita tak ada kegiatan. Aku hanya ingin bergelung di sana,” goda Dazzle membuat Merah melotot.“Mama lagi ada janji sama designer, buat baju kalian, apalah itu,” kata Dazzle kemudian merebahkan diri di pangkuan Merah.Seketika membuat jantung Merah berlompatan. Sikap Dazzle selalu memberi reaksi berlebihan untuk itu.“M
Kusuma Wardhana tak percaya, yang akan melamar Merah adalah anak Janu Wijanarko. Pengusaha yang mengusai jaringan hotel dan vila di Bali dan Lombok.Di mana Merah bertemu dengan anak, yang bahkan jarang terekspos media itu?Mata Kusuma menatap Janu yang duduk dengan tenang di kursi seberangnya. Tenang seperti biasa. Seperti Janu yang memang dikenalnya.“Ternyata, kita ditakdirkan menjadi besan, Pak Tua,” kekeh Janu membuat Kusuma tersenyum sinis.“Apakah kamu sudah mendengar kisah anak ini?” tanya Kusuma tanpa basa-basi.Merah diam, menundukkan wajahnya. Menahan air matanya.“Tak penting bagiku. Yang terpenting, anakku menerimanya dengan lapang dada. Lalu apa masalahnya? Harga dirimu yang tinggi itu?” serang Janu dingin.Dazzle menahan napasnya. Papanya menabuh genderang perang.Domi mencoba menetralisir ketegangan yang menjalari tubuhnya. Suhu ruangan private itu mendadak panas.&ldqu
Dazzle sedang mengomel saat Merah membuka matanya, dia tak menemukan Dazzle di kamar, tapi mendengar suaranya di luar.Merah bangkit dan melihat keluar.Dazzle sedang berdebat dengan mamanya. Seketika Merah ingat, bahwa Mama Dazzle mengajaknya untuk pergi terlebih dahulu ke Mulia bersama. Bagaimana dia bisa bangun terlambat.“Mama sik, datang kepagian,” omel Dazzle.“Ini jam berapa, Daz? Kamu apain anak orang jam segini belum bangun?” cecar Tanya sambil berkacak pinggang.“Dazzle gak ngapa-ngapainlah. Anak Mama masih waras,” bantah Dazzle tak terima.“Yakin?” selidik Tanya tak percaya.“Plis, Ma,” rengek Dazzle.“Ya, ya, ya, Mama percaya. Sekarang, mana anak perempuan Mama?” tuntut Tanya membuat Dazzle masuk ke dalam kamar dan mendapati Merah sudah berdandan.“Wah, baru mau aku bangunkan,” kata Dazzle.“Kalian berisik,”
Merah terpaku saat melihat Dazzle memeluk wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang beranjak senja. Seorang laki-laki gagah dan tampan, yang mirip Dazzle menepuk bahu Dazzle.“Itu kan, Janu Wijanarko, pengusaha yang memiliki jaringan hotel dan vila di sekitar Bali dan Lombok.” Merah membatin.“Jadi, Dazzle adalah anak keluarga yang diperhitungkan di Bali ini? Kenapa dia tak mengatakannya,” batin Merah bertanya-tanya.“Ma, ini Merah Angkasa,” kata Dazzle sambil menyentuh lengan Merah. Membuatnya tersadar dan kemudian tersenyum kikuk.“Cantik, secantik namanya,” desis Tanya membuat Merah tersipu.“Terima kasih, Tante,” kata Merah.“Kok tante, Mama,” ralat Tanya membuat Merah semakin salah tingkah.“Sebelum semuanya terlalu jauh, Merah ingin mengatakan sesuatu,” desis Merah setelah mereka duduk di kursi masing-masing.“Me,&rdqu
“Ma, Daz akan pulang besok. Membawakan menantu untuk Mama. Tapi Daz mau meminta satu hal,” kata Dazzle saat menghubungi mamanya.“Daz minta, Mama menerima semua keputusan Daz, dan tidak akan membuat pandangan negatif soal wanita yang Daz pilih,” kata Dazzle seraya menjauh dari kamar. Takut Merah terbangun dan mendengarnya.Setelah mondar-mandir dan bergumam, sedikit menjelaskan panjang lebar, Dazzle menghela napasnya lega. Baginya, ini adalah awal yang baik. Dia tahu, keluarganya tak pernah mempersulit hidupnya.Merah terbangun, mendapati dirinya sendirian, langit sudah sangat gelap. Dia langsung menegakkan tubuhnya, mengedarkan pandang dan mencari Dazzle.Air matanya sudah akan turun saat dia melihat Dazzle masuk dan menutup pintu. Dia menghela napasnya lega. Ketakutan akan kenyataan bahwa mungkin Dazzle meninggalkannya sendirian, membuatnya panik.“Hei, sudah bangun. Maaf, aku harus menelepon Domi dan kedua orang tua