Taxi online yang kami naiki berhenti di depan pemakaman Dita. Langkahku sedikit terasa berat. Rasa sedih menyergapku secara tiba-tiba. Dani menatap wajah, dia terlihat heran karena aku menghentikan langkah."Ibu kenapa berhenti? Ibu sakit?" tanya Dani dengan wajah polosnya.Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku lakukan berulang-ulang, hingga merasa sedikit tenang. Dani menggenggam tanganku dengan erat dan menatap wajah. Sekarang wajahnya terlihat khawatir."Ibu tidak sakit Nak, cuma sedikit pusing aja tetapi sekarang sudah hilang. Ayo Kita masuk," aku berkata seraya kembali melangkah memasuki area pemakaman.Pusara Dita terletak di pojokan area pemakaman, tepatnya dibawah pohon bambu yang rindang. Kami tiba di pusara Dita yang terlihat sudah ditumbuhi rumput liar. Aku mencabuti bakal rumput yang akan tumbuh besar itu satu persatu. Mengumpulkannya menjadi satu, agar tidak di buang ke sembarang tempat. Dani mengikutiku mencabuti rumput liar yang tumbuh cukup subur.
"Ibu, Dani minggu depan ada acara jalan-jalan ke Taman Safari dari Sekolah, Dani boleh ikut ya Bu?" tanya Dani, di suatu siang sepulangnya dari sekolah.Dani anak yang mandiri, dia tidak mau di antar jemput seperti teman-teman lainnya. Aku hanya mengantar jemputnya selama satu minggu saja, pada saat awal dia masuk sekolah. "Iya boleh. Orangtuanya harus ikut juga gak, Dan?" tanyaku penasaran. Biasanya jika ada acara wisata dari sekolah, orang tua diwajibkan untuk ikut."Wajib ikut, Bu. Ini ada surat pemberitahuannya dari sekolah," jawab Dani seraya menyerahkan selembar kertas dari tangannya.Aku membaca surat pemberitahuan itu, sementara Dani masih berdiri mematung menatap yang sedang serius membaca surat pemberitahuan pemberiannya."Bagaimana Bu? Dani boleh ikut kan?" tanya Dani dengan wajah penuh harap."Iya boleh," jawabku singkat."Hore ... asyik, Dani mau jalan-jalan ke Taman Safari sama Ibu. Terimakasih ya, Bu!!" Dani bersorak kegirangan, dengan spontan dia memelukku dengan era
"Maksud saya bagaimana sikap Saiful, apakah dia sopan atau jelalatan seperti kebanyakan lelaki," Bu Ustadzah menjelaskan maksud dari pertanyaannya seraya tersenyum kepadaku.Aku sebenarnya kurang paham kenapa Bu Ustadzah bertanya seperti itu. Apa beliau takut keponakannya bersikap tidak baik kepadaku?"Sikap Mas Saiful biasa saja Bu Ustadzah. Dia hanya menanyakan Bu Ustadzah dan bertanya siapa saya, setelah itu dia pergi," jawabku polos.Bu Ustadzah tiba-tiba terkekeh sendiri."Sudah, itu saja? Tidak ada yang lain?" tanya Bu Ustadzah lagi."Tidak ada," jawabku singkat."Ehhmm .. kalau menurut Mbak Dinar, wajah Syaiful bagaimana? Tampan kan?" Bu Ustadzah memberikan pertanyaan yang membuatku malu sendiri.Aku tidak melihat wajah Mas Syaiful dengan jelas, karena selama pembicaraan menunduk. Namun aku tidak memungkiri kala pertama kali melihatnya saat membukakan pintu untuknya. Aku sempat melihat wajahnya yang tampan."Emmh ... anu Bu Ustadzah saya tidak begitu memperhatikan. Selama pembi
Aku segera menepikan motor dan berusaha mencegat security itu. Dia menghentikan langkah dan menatapku. Mungkin dia mencoba mengingat siapa aku, tetapi sepertinya dia lupa."Maaf, Bapak bukannya security yang bekerja di rumah Kak Disti?" tanyaku ragu-ragu.Dalam hati sebenarnya aku takut salah orang, karena kalau sampai salah pastinya akan membuat malu setengah mati."I-iya. Saya mantan securitynya Bu Disti. Maaf, Mbak siapa ya?" tanya security itu menatapku bingung.Sepertinya dia memang lupa denganku. Terbukti dia memanggilku dengan sebutan Mbak, tidak seperti sebelumnya ketika berkunjung ke rumah jak Disti dia memanggil dengan sebutan Ibu."Pak, saya Dinar Adiknya Kak Disti. Memang Bapak sudah tidak bekerja lagi sama Kak Disti?" tanyaku penasaran. "Ooh, Mbak Adiknya Bu Disti yang pernah datang bersama anak Mbak, lalu turun hujan besar?" security itu mulai mengingatku.Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat tidak nyaman."Mbak terlihat berbeda sekali. Lebih cant
"Disti, ayo bangun ini sudah jam berapa?" mamanggil anak sulungku seraya membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Disti bergeming, dia masih berbaring menggunakan selimut tebalnya. Bahkan kini selimutnya dia naikan ke atas kepala, sehingga menutupi seluruh tubuhnya.Aku memang harus bersabar menghadapi anak sulung yang satu ini. Berbeda sekali dengan adiknya Dinar, jam segini dia sudah bersiap berangkat ke sekolah menggunakan sepedanya.Tidak kunjung mendapatkan respon dari Disti, aku menarik selimutnya dan membuangnya ke lantai. Aku berkacak pinggang dan melotot ke arahnya."Bangun, ini sudah jam berapa? Nanti kqmu bisa terlambat ke sekolah. Apa kamu mau dihukum lagi oleh guru kalau sampai terlambat lagi?!!" bentakku kepada Disti.Kali ini bentakanku berhasil membuatnya terbangun dari pembaringannya. Dia mengucek kedua mata dan menatap ke arahku dengan tatapan marah."Ibu bisa nggak, banguninnya biasa aja? Kan bisa pake cara baik-baik. Kayak waktu bangunin si Dinar, Anak emas Ibu!" pro
"Mbak Dinar, kok diam saja? Siapa memangnya yang tega menitipkan orang tuanya ke panti asuhan?" tanya Bu Ustadzah lagi."Kakak saya, Bu Ustadzah" jawabku lirih.Akhirnya aku menceritakan semuanya tentang kak Disti. Termasuk kebohongannya selama ini kepadaku yang tidak berterus terang tentang keberadaan ibu. Andaikan dulu dia meminta untuk merawat ibu, pasti akan kulakukan walaupun kehidupan serba kekurangan, karena sudah menjadi tanggung jawab seorang setiap anak berbakti ke pada orang tua, sampai akhir hayatnya.Bu Ustadzah menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu dalam hal ini bersalah atau tidak, karena telah membiarkan ibu yang telah melahirkan dititipkan ke panti jompo, dan dirawat oleh orang yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu. Apakah Ibu baik-baik saja selama tinggal disana? Aku pernah mendengar berita di televisi, ada oknum pengurus panti jompo yang menelantarkan pasiennya."Bu Ustadzah, apakah saya bersa
"Ya, Syaiful. Saya sudah ada di dekat gerbang sekolah Dani. Saya ingin mengantar Mbak Dinar dan Dani pulang," ucap Mas Syaiful datar."Ooh, i-iya Mas" jawabku terbata.Mas Syaiful mengakhiri pembicaraan denganku.Jawaban Mas Syaiful terdengar sangat datar, tetapi berbeda denganku yang jelas sekali terdengar gugup. Aku tidak tahu, apa maksud Mas Syaiful datang menjemput. Aku tidak mau menduga-duga, khawatir jatuhnya akan menjadi suudzon. Namun aku tidak bisa memungkiri jika ritme jantung tiba-tiba berdetak tidak beraturan.Darimana Mas Syaiful tahu nomorku? Ah ... sudah pasti Bu Ustadzah yang memberikannya. Ada perasaan tidak enak dan canggung berhadapan dengan seorang laki-laki dengan statusku saat ini. Walaupun ada Dani bersamaku tetapi tetap saja merasa gugup. "Dani, ayo kita pulang," ajakku kepada Dani yang sedang terkantuk-kantuk di tempatnya duduk."Hemmm ... mobilnya sudah ada Bu?" tanya Dani."Iya, ayo," aku menarik tangan Dani dan memapahnya berjalan keluar dari area sekolah.
Hatiku kembali berdebar, mendengar suara Mas Syaiful. Ada apa gerangan dia sudah berada disini pagi-pagi sekali? Apakah dia ingin membuktikan ucapannya, mengenai rencanya ingin belajar ilmu agama langsung kepada Bu Ustadzah? Dua kali bertemu dengannya, aku sedikit bisa menyimpulkan kalau Mas Syaiful adalah tipe orang yang suka memberi kejutan. Beruntung, untuk mencapai kamarku tidak perlu melewati ruang tengah. Sehingga aku bisa melenggang bebas masuk ke kamar. Biarkan saja aku berpura-pura tidak tahu dengan kedatangan Mas Syaiful, karena merasa tidak ada urusan dengannya. Berusaha fokus pada urusanku sendiri. Rencananya hari ini aku ingin menemui ibu yang berada di panti sosial yang alamatnya didapat dari Mas Syaiful. Aku mengenakan sebuah gamis berwarna coklat mocca, di padukan dengan sebuah khimar yang berwarna senada. Menyapukan bedak tipis ke wajah dan sedikit lipstik berwarna peach agar tidak terlihat pucat. Biasanya jika di rumah, aku jarang sekali berhias. Paling banter hany
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar