"Coba tolong di cek sekali lagi, Mbak. Siapa tahu yang meninggal itu Ibu Murniasih yang lain," bantah Mas Syaiful tidak percaya dengan informasi yang diberikan wanita bertubuh gempal itu, sama halnya dengan diriku.Wanita itu kembali menatap layar komputer di depannya sekali lagi, lalu kemudian dia terlihat menghembuskan nafasnya seraya menggeleng."Maaf, Pak. Namun nama Ibu Murniasih di panti ini cuma ada satu, tidak ada Ibu Murniasih lain. Ibu Murniasih dengan penanggung jawab Ibu Disti kan?" timpal wanita bertubuh gempal itu dengan wajah penuh keyakinan.Tubuhku hampir luruh ke lantai jika saja Mas Syaiful tidak sigap menahan dari belakang. Kepalaku terasa sakit dan nafas tiba-tiba terasa sesak. Mas Syaiful membawaku duduk di depan meja kerja wanita bertubuh gempal tadi. Sementara Dani menunjukan wajah khawatirnya.Wanita dihadapanku itu terlihat panik, namun segera berinisiatif memberikanku air mineral dalam gelas. Mas Syaiful memberikan gelas air mineral yang sudah diberikan sedo
Teruntuk kedua anakku, Disti dan Dinar.Maafkan Ibu belum bisa menjadi orang tua yang baik selama ini untuk kalian berdua. Namun percayalah, Ibu menyayangi kalian tanpa membedakan satu dengan lainnya. Untuk Dinar, Ibu minta maaf kepadamu, Nak karena selama ini seolah telah melupakanmu. Itu semua karena Kakakmu yang selalu melarang Ibu untuk bertemu denganmu. Namun doa selalu terpanjatkan untukmu dan keluargamu di setiap sujud Ibu. Untuk Disti, Ibu sudah memaafkanmu. Walaupun kamu memperlakukan Ibu kurang baik, tetapi mungkin kamu melakukannya karena sedang khilaf. Ibu juga sudah memaafkanmu yang telah menitipkan Ibu ke panti ini. Walaupun terkadang rasa sepi menyerang, tetapi disini Ibu punya banyak teman untuk berbagi. Maaf kan Ibu karena tidak bisa mewariskan harta untuk kalian berdua. Satu-satunya harta peninggalan Ayah kalian sudah di jual oleh Disti untuk bisnis suaminya. Padahal tanah warisan keluarga Ibu yang berupa tanah kosong di kota juga sudah di jual untuk membiayai kulia
"Ibu, Dani serius. Kok Ibu malah bercanda sih? ucap Dani seraya merengut."Iya deh, Ibu serius. Harga satu dollar itu sekitar empat belas ribu rupiah, Dani. Coba kamu hitung sendiri, jadi berapa?" ucapku menantang Dani. "Berarti 2000 dollar dikali empat belas ribu rupiah," gumam Dani, seraya jari jemarinya dia gunakan untuk berhitung.Aku tersenyum melihat Dani yang sedang sibuk berhitung. Sengaja aku tak membantunya, ingin tahu sejauh mana dia memahami dengan pelajaran berhitung yang sudah diajarkan."Empat belas kali dua hasilnya dua puluh delapan, ditambah nolnya ada enam Bu. Jadi berapa ya? Dani belum belajar nol yang jumlahnya sebanyak itu!" seru Dani bingung, seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Aku tak bisa menahan tawa, Dani baru kelas satu SD jadi belum belajar berhitung yang nominalnya jutaan."Hasilnya jadi dua puluh delapan juta, Sayang," jawabku seraya menyugar rambut Dani dengan penuh kasih sayang."Waaah, banyak sekali Bu. Itu artinya kita bisa beli rumah yang
Aku menganggukkan seraya melangkah menghampirinya."Kok diam saja, ayo duduk," tawar Mas Syaiful, ketika sudah berdiri di depannya.Aku merasa gugup karena hanya berduaan dengannya. Meskipun tempat Kami berdua berada di teras rumah, tetapi aku tetap merasa kikuk. Merasa tidak nyaman dengan statusku. Terlebih aku hanya berduaan saja dengan laki-laki yang bukan mahram. Namun ketika berada di ambang kebimbangan, Bu Ustadzah datang menghampiri kami dengan membawa sebuah nampan di tangannya yang berisi makanan dan minuman.Aku segera menyambut nampan yang di bawa Bu Ustadzah. Ada rasa sungkan, karena biasanya aku yang mempersiapkan jamuan jika ada tamu yang datang berkunjung. Bu Ustadzah kemudian duduk di samping Mas Syaiful."Ayo diminum dulu teh manisnya, biar kalian lebih santai," tawar Bu Ustadzah seraya tersenyum kepada kami berdua.Mas Syaiful membalas senyum Bu Ustadzah, seraya meraih secangkir teh buatan Bibiknya.Suasana hening, tidak ada yang berkata sepatah katapun. Sementara ak
Keesokan harinya aku dan Dani sedang bersiap bertemu dengan Pak Bonang, untuk bertransaksi mengenai pembelian rumah lama kami. Wajah Dani terlihat begitu semangat dan sumringah. Dia sudah tidak sabar untuk segera menempati rumah lama kami kembali. Salah satu alasannya selain merindukan kenangan kami dulu, dia juga ingin segera bertemu dengan sahabat baiknya, Kevin.Dani tidak memiliki teman di lingkungan rumah Bu Ustadzah, karena memang jumlah anak kecilnya sedikit dan tidak ada yang seusia Dani. Dia mempunyai banyak teman hanya di sekolahnya saja. Setelah selesai bersiap, kami pun berpamitan kepada Bu Ustadzah."Bu Ustazah, kami izin keluar dulu mau ada sedikit urusan." Pamitku seraya mencium punggung tangan beliau dengan takzim, pun dengan Dani."Iya, hati-hati ya Mbak Dinar dan Dani. Bawa motornya jangan ngebut-ngebut!" pesan Bu Ustadzah seraya tersenyum.Kami menjawab dengan anggukkan dan meninggalkan Bu Ustadzah yang menatap kepergian kami dengan senyum simpulnya. Aku bersyukur k
Mereka saling berpelukan, melepaskan kerinduan sebagai sepasang sahabat. "Apa kabar, Dani?" tanya Kevin kemudian seraya melepaskan pelukannya."Kabarku baik, Kevin" jawab Dani."Kamu kenapa pindah? Aku jadi kesepian tidak ada teman." Tanya Kevin seraya mengerucutkan bibirnya."Aku pindah karena rumah telah dijual, Kevin. Tapi sekarang Ibu sudah membeli rumah itu lagi. Sebentar lagi aku akan pindah kesini!" seru Dani seraya tersenyum."Benarkah? Hore ... Aku punya teman lagi," sorak Kevin senang.Aku dan Mbak Sherli tersenyum melihat tingkah putra Kami.Mbak Sherli mempersilahkan kami untuk masuk ke rumahnya, tetapi aku menolak dengan halus dan lebih memilih duduk di teras rumahnya."Jadi Mbak Dinar sudah resmi membeli kembali rumah yang dulu?" tanya Mbak Sherli penasaran."Iya, kami baru selesai bertransaksi dengan Pak Bonang," jawabku."Alhamdulillah. Semoga secepatnya Mbak pindah kesini, karena semenjak kepindahan Dani, dia terlihat kurang bersemangat. Semoga dengan kepindahan Mbak
Mobil yang membawa kami akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan luas yang bertuliskan Rumah Sakit Jiwa Persada. Kedua petugas turun lebih dulu dan membawa kak Disti. Sementara aku dan Dani mengikuti langkah petugas itu. Kak Disti tampak hanya pasrah mengikuti kemana petugas itu melangkah."Maaf Bu, sudah berapa lama pasien mengalami ODGJ?" tanya salah seorang petugas."Baru beberapa bulan saja, Pak" jawabku singkat."Kenapa kondisinya bisa seperti orang yang tidak terawat seperti ini Bu?" tanya petugas itu lagi."Kami hidup terpisah, Pak. Saya baru bertemu dengan Kakak hari ini, itu sebabnya langsung menghubungi pihak RSJ," jawabku jujur."Kakak Ibu harus bertemu dulu dengan psikiatri, untuk memutuskan apakah akan dilakukan perawatan disini atau cukup di rawat di rumah saja. Ibu juga sebagai keluarga pasien, akan diajak berkonsultasi dengan psikiatri" ucap petugas itu seraya melangkah lebar menuju sebuah ruangan. Aku mengangguk pelan.Akhirnya kami tiba di sebuah ruangan psikiatri
Dini hari, aku terbangun untuk berikhtiar melaksanakan sholat istikharah seperti yang disarankan Bu Ustadzah. Aku meminta petunjuk kepada Allah agar di mantapkan hati mengenai keputusan yang akan diambil nanti. Keputusan terbaik yang akan enentukan masa depanku dan Dani kelak.Tidak terasa, bulir air mataku jatuh ketika menengadahkan tangan seraya khusuk berdoa. Meminta petunjuk-Nya serta memohon ampunan atas semua dosa masa lalu yang pernah diperbuat. Aku juga berdoa agar kedepannya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Adzan subuh sayup-sayup terdengar di telinga. Aku terkejut dan terbangun dari tidur. Rupanya semalam aku ketiduran setelah melaksanakan sholat istikharah. Aku mengerjap-ngerjapkan kedua mata dan melihat ke sekeliling kamar mencari seseorang. Rupanya aku bermimpi tetapi terasa begitu nyata ketika Mas Dito hadir di hadapan. Wajahnya terlihat sangat tampan dengan pakaian serba putihnya. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya tersenyum menatap seraya membelai
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar