“Sorry.” Amira yang memulai pembicaraan. Sejak tadi, suasana di dalam mobil hening tanpa suara, membuat Amira serba salah. “Bukan lo yang harus minta maaf!” Raga berseru kesal. “Ayah sama Ibu gue yang harusnya dengerin dulu penjelasan gue!” Amira menggeleng. “Gue salah. Gue masuk ke rumah lo tanpa izin.” Raga berdecak kesal. “Gue yang bawa lo masuk!” Amira meraih tangan Raga ke dalam genggaman. Dia mencoba menenangkan sang pacar. “Kita sama-sama salah. Lain kali jangan diulang.” Perlahan, Amira bersandar di bahu Raga. “Lebih baik dengerin apa kata orang tua lo, selagi mereka masih ada.” Amira tahu jika Raga kesal. Wajah cowok itu menekuk sempurna. Bibir Raga mengatup rapat dengan rahang yang mengeras. Bahkan sejak tadi Amira bisa mendengar gumam-gumam kemarahan dari Raga. “Tapi lo udah susah-susah bantu! Sampai pingsan begini. Harusnya lo dapet ucapan terima kasih! Kenapa malah minta maaf?!” Raga masih tidak terima. “Enggak masalah,” sahut Amira tanpa peduli. “Gue b
“Kamu gila!”Begitu Raga dan Amira membuka pintu kamar VIP rumah sakit, Heri menyambut dengan makian. Amira terkejut, apalagi Heri berteriak dengan suara yang memekakkan telinga. Tangan Heri, menunjuk lurus ke arah Raga. “Kamu itu cucuku, penerus keluarga Wijaya! Harusnya kamu berhati-hati!”Raga tidak menyahut. Dia membiarkan Heri meluapkan seluruh amarahnya, sampai akhirnya Heri kehabisan napas, tersengal. Suara monitor detak jantung yang sebelumnya stabil, kini berubah cepat. Ken yang sejak tadi hanya mengawasi di sudut ruangan, segera menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Namun, Heri mencegahnya.“Tidak usah!” Heri menggeram sambil berusaha mengendalikan napasnya. “Aku baik-baik saja!”Heri kembali memandang Raga. Kedua matanya langsung menatap tajam. Tidak ada ekspresi kesakitan di sana, hanya ketegasan juga dominasi yang tak ingin dibantah. Amira menyadari tatapan Heri yang sekarang beralih padanya. Dia menarik napas dalam, mencoba untuk tidak mengambil langkah mund
“Maaf.”Tak ada lagi yang bisa Raga katakan selain satu kalimat itu. Dia sudah berusaha mencoba memperbaiki keadaan, tapi ada hal yang tidak bisa langsung berubah meski dia memaksa.“Gue bakal berusaha lebih baik lagi.”Amira memandang Raga dengan sudut mata yang memerah dan pipi yang basah. “Enggak usah!” Sekali lagi, tendangan yang Amira berikan.Raga meringis sekilas sebelum menerimanya dengan lapang. “Lo enggak usah usaha lebih banyak lagi. Biar gue aja!” Tangan Amira menyeka air mata di pipinya.Amira berdecak berkali-kali sebelum kembali bicara pada Raga.“Gue yang salah karena udah macarin anak orang kaya!”Harusnya Amira tidak nekat dengan memilih pacar pertamanya dari kalangan yang berbeda darinya.Malahan, Amira tidak tanggung-tanggung. Seorang pewaris perusahaan yang dia pilih menjadi pacar.“Kenapa juga gue suka sama lo, sih?!” Erang Amira, tak terima.Andai saja Amira menjaga hatinya baik-baik, pastinya dia tidak akan kesulitan seperti sekarang.“Dari semua cowok, kenap
“Berapa nomor rekening lo?”Raga tertegun. Dia sangat bingung dengan pertanyaan Amira. Amira baru saja bangun tidur di kamarnya sendiri. Namun, tak ada angin tak ada hujan, Amira langsung menanyakan nomor rekening. Padahal mereka tidak membicarakan tentang uang tadi. “Buat apa? Mau ngapain?” Terdengar jelas kebingungan Raga, tapi Amira mengabaikannya. Raga terus bertanya sampai akhirnya Amira lelah, lalu membuka mulutnya sendiri. “Gue mau ngembaliin uang yang dikasih Kakek.” Amira pun jujur. Dia terus-menerus merasa tidak enak sejak Heri menyebut-nyebut masalah bayaran sebelum ini. “Gue enggak mau jadi pegawai yang makan gaji buta.” Amira menggeleng kemudian. “Salah. Gue enggak mau jadi pegawai. Gue kan pacar lo. Gue enggak mau terima bayaran buat ngelindungin orang yang gue sayang.”Raga menoleh sebentar. Dia harus mengalihkan pandangan dari Amira sampai wajahnya tidak terasa panas.Setiap kali Amira mengucapkan kata sayang, Raga selalu salah tingkah. Dia masih belum terbiasa
Reynald mengangguk, seolah sudah menduganya. “Duduk dulu, Amira.” Sepertinya mereka perlu berbicara lebih banyak kali ini. “Saya senang memberikan beasiswa untuk siswa seperti kamu.”Amira memang sudah mendapatkan beasiswa sejak pertama masuk ke Laveire. Tapi semenjak kepengurusan berpindah tangan, dia harus memastikan beberapa hal. “Beasiswa kamu akan tetap sama seperti yang sebelumnya kamu dapatkan. Saya berjanji akan membebaskan kamu dari biaya apa pun selama kamu bersekolah di Laveire.”Amira mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. “Saya juga sudah menawarkan pekerjaan yang mungkin untuk kamu kerjakan.”Memang, Amira jujur semalam jika dia mungkin membutuhkan uang tambahan. Dia tak malu-malu pada Reynald. Terlebih, dia memang butuh izin dari pihak sekolah jika ingin melakukan pekerjaan sambilan. “Apa masih kurang? Kenapa kamu ingin tinggal di asrama? Kamu kan sudah punya tempat tinggal.”Reynald ingin tahu alasan Amira. Apa benar semua ini dilakukan hanya demi bisa lanjut b
“Lo nanti bakal capek banget kalau harus tampil lima kali. Latihannya juga pasti lama.”Ternyata Raga memikirkan posisi Amira yang nantinya akan menjadi vokalis. Amira jadi tidak bisa kesal lagi pada Raga. Cowoknya itu hanya membelanya. “Ya tapi ngomongnya biasa aja ke Evan, enggak usah ngegas,” tuduh Amira. Seketika, Raga berpaling–menunjukkan jika apa yang Amira tuduhkan benar. Rupanya kedua cowok itu memang bertengkar karena Raga yang mulai duluan. “Kita omongin lagi baik-baik pas mereka balik,” sambung Amira. Seolah tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja Evan dan Michelle kembali masuk ke ruang OSIS. “Nah, pas banget,” ucap Amira. Amira mengamati Evan yang masih merengut di kursinya. Meski cemberut, cowok itu tidak pergi dan tetap mendengarkan. “Gue udah ngomong sama Raga.” Amira memulai pembicaraan. Dia langsung mendapatkan perhatian dari Evan dan Michelle. “Gue setuju sama dia.”Evan menghel
“Lo gila?!” Raga terkejut saat Amira menampar pipinya. Tangan Amira membuat bekas merah berdenyut. “Astaga!” Raga mengaduh sambil mengusap pipi yang terasa perih. “Sakit tau!”Amira tidak merasa bersalah. Dia malah balas melotot. “Habisnya lo ngajak gue check in!”Seruan Amira membuat Raga tersadar kemudian. Dia tertawa keras. “Apaan? Kenapa malah ketawa?” Amira memicing sinis. Bukannya minta maaf, Raga malah menertawakan dirinya. Apa yang lucu, coba? “Lo mikir apaan?” Raga menyindir Amira dengan tatapan. “Mikir jorok, ya?”Seketika wajah Amira memerah. Dia langsung sadar jika dirinya pasti sudah salah paham. “Terus ngapain lo ngajak gue ke hotel? Mau ngapain di sana?”Raga terkekeh sesaat. “Sekarang gue sama keluarga sementara tinggal di sana.”“Jadi gue pikir lo mau mampir. Hotel tempat gue tinggal juga deket sama mal,” sambung Raga. Amira berdecak kesal. Harusnya Rag
“Mau nyaingin lo,” jawab Amira. Raga memasang wajah bingung. Dia tidak mengerti. Menyaingi apa? Kenapa mereka harus bersaing?Amira tidak sabar melihat ekspresi Raga yang bingung. Dia mengulurkan tangan, mengambil garpu yang ada di atas mangkuk mi. Raga menggeleng saat Amira menunggu mulutnya terbuka untuk menyuapkan makanan. “Enggak,” tolak Raga. “Jawab dulu.”Amira bergeming. “Makan atau gue colok ke hidung lo.”Ancaman itu membuat Raga berdecak. Mau tak mau dia membuka mulutnya. Amira mengangguk puas saat Raga mulai mengunyah. “Gue enggak mau kalah sama lo.”“Masa pacar gue pewaris, gue cuma meringis? Enggak lucu, kan?” Amira meminta Raga untuk memahami keadaannya. “Gue enggak mau jadi orang enggak pantes berdiri di samping lo.”Mungkin Raga tidak merasa ada masalah, tapi Amira tak bisa begitu. Dia tidak mau malu dan memalukan. “Tapi gue–” Amira kembali menyuapkan ma
“Enggak,” jawab Raga. Tentu saja Amira bisa menebak jika itu adalah jawaban yang akan Raga berikan. “Kalau begitu … kasih tau gue batasnya.” Raga mencoba mengalah. Di saat kesabaran Amira hampir habis, akhirnya cowok itu sadar dan peka. Amira menjawab dengan sebuah tatapan lekat. “Sewajarnya, Raga. Mungkin kayak dulu ke mantan-mantan lo sebelumnya?”Pastinya Raga lebih tahu, karena cowok itu pernah punya pacar. Tidak seperti Amira. “Jangan terlalu deket pokoknya. Gue risih!” Tukas Amira. Amira memilih untuk menyudahi pembicaraan dan mulai menyiapkan makanan dari Raga. “Ayo makan dulu.” Dia mengucapkan terima kasih, lalu mulai melahap. Keduanya tidak bicara lagi setelahnya.Raga hanya menunggu Amira bersiap. Mereka kemudian berjalan ke kelas bersama-sama, sementara Alex menunggu di luar gedung utama.Peraturan Laveire tetap sama. Supir dan pengantar menunggu di tempat yang dite
“Bantu apa?” Tanya Dina penasaran. Dika pun ikut menyimak. “Isi acara. Gue yakin kalian pasti bisa ngelakuin itu.”Amira duduk mendekat. Dia membisikkan permintaannya pada kakak beradik itu. “Mulai besok bisa, kan?” Tanya Amira dengan kedua mata penuh pengharapan. Dika dan Dina saling pandang. Mereka tampak ragu. “Memangnya enggak apa-apa? Orang-orang kan enggak suka sama kita.” Dina tidak mau mempermalukan Amira, juga dirinya sendiri.“Ngomong apa sih? Gue minta karena gue suka,” sahut Amira. “Lagian juga beda bukan berarti benci, kan?”Amira mencoba meyakinkan keduanya, sampai mereka mengucapkan kata iya. Dika yang mengangguk pertama. “Kalau Kak Amira yang nyuruh, aku mau.”Amira tersenyum senang. “Bagus! Besok kalian ikut sama gue.”Ketiganya berbincang tentang kegiatan esok sampai akhirnya Amira berpamitan. Camilan mereka sudah habis, dan hari sudah malam.
“Mau apa?” Amira bertanya bingung. Dilihatnya Raga mengambil handphone dan malah sibuk sendiri. Tak lama, Amira merasakan getaran dari ponselnya. Dia mengeluarkan handphone dari saku dan melihat kontak yang menghubungi. “Ngapain lo nelpon gue?!” Amira menunjukkan layar handphone miliknya yang menyala. Tertulis kontak Raga di sana.Amira tak mengerti. Untuk apa Raga menghubungi dia? Mereka kan saling berhadapan begini. “Jangan tutup telepon dari gue,” ancam Raga saat cowok itu berpamitan. “Pokoknya jangan matiin sampai lo tidur.”“Hah?” Amira mengernyit bingung. Dia tidak mengerti. “Hari pertama lo di tempat baru. Gue enggak mau sampai terjadi apa-apa sama pacar gue.”Amira menilik wajah Raga. Dia menarik tangan cowok itu penasaran. Seketika, sekelebat bayangan masa depan terlihat dalam benaknya. “Lo cemburu?” Amira menghela. “Mau tau gue ngapain aja?” Raga cuma menunjukkan satu jari. “Ha
“Siapa?” Raga ikut melongok keluar, dan dia mendapati Dika dan Dina di pintu masuk. Seketika, tatapan Raga berubah tajam. Dia mendelik tidak suka. “Kalian ngapain di sini?” Tanya Raga, sinis. Dika dan Dina saling pandang. Mereka malah menunjuk kamar Amira. “Murid yang mau tinggal di sini itu kamu?” Tanya Dina tak percaya. Dina melihat kamar yang terbuka, dan dia langsung tahu jika dugaannya benar. “Wah, keren! Kak Amira tinggal sama kita!” Seru Dika, sangat bersemangat. Sebaliknya, Raga langsung menarik Amira. Dengan sengaja, Raga menyembunyikan Amira di balik badannya. “Enggak,” ucap Raga sambil menggeleng. “Kita mau pergi.”Namun, Amira tidak menurut. Dia dengan sengaja melepaskan tangannya dari Raga. “Gue tinggal di sini, kok.” Amira berdiri di samping Raga, membiarkan dirinya terlihat oleh Dika dan Dina. Raga tidak bisa membantah lagi. Dia membiarkan Amira bicara.
“Mau nyaingin lo,” jawab Amira. Raga memasang wajah bingung. Dia tidak mengerti. Menyaingi apa? Kenapa mereka harus bersaing?Amira tidak sabar melihat ekspresi Raga yang bingung. Dia mengulurkan tangan, mengambil garpu yang ada di atas mangkuk mi. Raga menggeleng saat Amira menunggu mulutnya terbuka untuk menyuapkan makanan. “Enggak,” tolak Raga. “Jawab dulu.”Amira bergeming. “Makan atau gue colok ke hidung lo.”Ancaman itu membuat Raga berdecak. Mau tak mau dia membuka mulutnya. Amira mengangguk puas saat Raga mulai mengunyah. “Gue enggak mau kalah sama lo.”“Masa pacar gue pewaris, gue cuma meringis? Enggak lucu, kan?” Amira meminta Raga untuk memahami keadaannya. “Gue enggak mau jadi orang enggak pantes berdiri di samping lo.”Mungkin Raga tidak merasa ada masalah, tapi Amira tak bisa begitu. Dia tidak mau malu dan memalukan. “Tapi gue–” Amira kembali menyuapkan ma
“Lo gila?!” Raga terkejut saat Amira menampar pipinya. Tangan Amira membuat bekas merah berdenyut. “Astaga!” Raga mengaduh sambil mengusap pipi yang terasa perih. “Sakit tau!”Amira tidak merasa bersalah. Dia malah balas melotot. “Habisnya lo ngajak gue check in!”Seruan Amira membuat Raga tersadar kemudian. Dia tertawa keras. “Apaan? Kenapa malah ketawa?” Amira memicing sinis. Bukannya minta maaf, Raga malah menertawakan dirinya. Apa yang lucu, coba? “Lo mikir apaan?” Raga menyindir Amira dengan tatapan. “Mikir jorok, ya?”Seketika wajah Amira memerah. Dia langsung sadar jika dirinya pasti sudah salah paham. “Terus ngapain lo ngajak gue ke hotel? Mau ngapain di sana?”Raga terkekeh sesaat. “Sekarang gue sama keluarga sementara tinggal di sana.”“Jadi gue pikir lo mau mampir. Hotel tempat gue tinggal juga deket sama mal,” sambung Raga. Amira berdecak kesal. Harusnya Rag
“Lo nanti bakal capek banget kalau harus tampil lima kali. Latihannya juga pasti lama.”Ternyata Raga memikirkan posisi Amira yang nantinya akan menjadi vokalis. Amira jadi tidak bisa kesal lagi pada Raga. Cowoknya itu hanya membelanya. “Ya tapi ngomongnya biasa aja ke Evan, enggak usah ngegas,” tuduh Amira. Seketika, Raga berpaling–menunjukkan jika apa yang Amira tuduhkan benar. Rupanya kedua cowok itu memang bertengkar karena Raga yang mulai duluan. “Kita omongin lagi baik-baik pas mereka balik,” sambung Amira. Seolah tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja Evan dan Michelle kembali masuk ke ruang OSIS. “Nah, pas banget,” ucap Amira. Amira mengamati Evan yang masih merengut di kursinya. Meski cemberut, cowok itu tidak pergi dan tetap mendengarkan. “Gue udah ngomong sama Raga.” Amira memulai pembicaraan. Dia langsung mendapatkan perhatian dari Evan dan Michelle. “Gue setuju sama dia.”Evan menghel
Reynald mengangguk, seolah sudah menduganya. “Duduk dulu, Amira.” Sepertinya mereka perlu berbicara lebih banyak kali ini. “Saya senang memberikan beasiswa untuk siswa seperti kamu.”Amira memang sudah mendapatkan beasiswa sejak pertama masuk ke Laveire. Tapi semenjak kepengurusan berpindah tangan, dia harus memastikan beberapa hal. “Beasiswa kamu akan tetap sama seperti yang sebelumnya kamu dapatkan. Saya berjanji akan membebaskan kamu dari biaya apa pun selama kamu bersekolah di Laveire.”Amira mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. “Saya juga sudah menawarkan pekerjaan yang mungkin untuk kamu kerjakan.”Memang, Amira jujur semalam jika dia mungkin membutuhkan uang tambahan. Dia tak malu-malu pada Reynald. Terlebih, dia memang butuh izin dari pihak sekolah jika ingin melakukan pekerjaan sambilan. “Apa masih kurang? Kenapa kamu ingin tinggal di asrama? Kamu kan sudah punya tempat tinggal.”Reynald ingin tahu alasan Amira. Apa benar semua ini dilakukan hanya demi bisa lanjut b
“Berapa nomor rekening lo?”Raga tertegun. Dia sangat bingung dengan pertanyaan Amira. Amira baru saja bangun tidur di kamarnya sendiri. Namun, tak ada angin tak ada hujan, Amira langsung menanyakan nomor rekening. Padahal mereka tidak membicarakan tentang uang tadi. “Buat apa? Mau ngapain?” Terdengar jelas kebingungan Raga, tapi Amira mengabaikannya. Raga terus bertanya sampai akhirnya Amira lelah, lalu membuka mulutnya sendiri. “Gue mau ngembaliin uang yang dikasih Kakek.” Amira pun jujur. Dia terus-menerus merasa tidak enak sejak Heri menyebut-nyebut masalah bayaran sebelum ini. “Gue enggak mau jadi pegawai yang makan gaji buta.” Amira menggeleng kemudian. “Salah. Gue enggak mau jadi pegawai. Gue kan pacar lo. Gue enggak mau terima bayaran buat ngelindungin orang yang gue sayang.”Raga menoleh sebentar. Dia harus mengalihkan pandangan dari Amira sampai wajahnya tidak terasa panas.Setiap kali Amira mengucapkan kata sayang, Raga selalu salah tingkah. Dia masih belum terbiasa