Amira memandang Evan dan Michelle bergantian. Dia sudah ikut duduk bersama keduanya di teras warung.“Udah istirahatnya belum?” Tanya Amira. “Jalan lagi, yuk. Bentar lagi sampe.”Rumah Amira memang tidak jauh lagi, dan Amira merasa jika lebih baik mereka istirahat di rumahnya saja. “Sebentar lagi?” Wajah Michelle berubah cerah. Dia gegas berdiri menyusul Amira yang sudah bangkit. “Ayo cepet ke rumah lo. Di luar panas!”Amira terkekeh mendengar keluhan Michelle. Dia menggeleng kasihan pada sang teman.“Tapi di rumah gue juga enggak ada AC loh, tetep panas.”Michelle cemberut, tapi menggeleng kemudian. Dia tetap menggandeng tangan Amira, mengajak temannya itu lanjut berjalan. “Enggak apa-apa. Yang penting kepala gue enggak kebakar.”Mereka pun terus berjalan sampai ke rumah kecil yang ada di pojok. Amira meminta kedua temannya menunggu. Dia berniat meminjam kunci cadangan ke pemilik kontrakan sebentar.“Nah, ayo masuk,” ucap Amira sambil membuka pintu. Amira mendahului kedua temannya
Evan mendelik pada Amira. Dia yang harusnya bertanya kenapa. Amira malah melamun tak bergerak. Dipanggil pun tidak menoleh. “Lo yang kenapa. Kenapa diem?”Raga yang sebelumnya masih mengucek mata, mengumpulkan nyawa, seketika terduduk. “Kenapa?” Raga bertanya dengan suara yang masih serak. Cowok itu bersandar pada dinding di sebelah Leon. “Enggak apa-apa.” Amira menjawab singkat. “Cuma mau nyuruh lo pulang. Bentar lagi malem.”Amira menepuk lengan Raga lagi, meminta pacarnya itu cepat bangun. “Iya,” ucap Raga sambil menutup mulutnya yang masih menguap. Saat Raga hendak berdiri, Leon mendahului. Mana mungkin dia membiarkan tuan mudanya lebih sigap daripada dirinya sendiri. “Gue numpang ke kamar mandi dulu, boleh enggak?” Tanya Raga. Dia menunjuk pintu imut yang menuju ke kamar mandi Amira. Raga perlu mencuci wajahnya. Dia tidak mau terlihat mengerikan lebih lama di depan Amira. Setidaknya dia mau memastikan wajahnya layak diperlihatkan di depan sang pacar. “Ya udah sana!” Ami
Amira baru selesai mengganti baju saat seseorang mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Sedikit curiga, Amira tidak langsung membuka pintu. Apalagi hari sudah malam dan semua teman-temannya sudah pulang. Amira sendirian.“Siapa?” Tanya Amira tanpa membuka pintu. “Kurir pengantaran pesanan atas nama Amira,” sahut suara dari seberang.Amira mendelik. Dia menggeleng curiga. “Gue enggak pesen apa-apa!” Balas Amira, berteriak. Amira hendak menjauh dari pintu, sebelum ketukan kembali terdengar.“Nama pengirimnya Raga!”Seruan itu membuat Amira berhenti. Dia gegas mengambil handphone miliknya sendiri. Amira berniat memastikan. Dia langsung menghubungi nomor Raga. “Iya, itu dari gue,” sahut Raga dari seberang.Belum juga Amira mengucapkan apa pun, Raga sudah tahu apa yang hendak Amira tanyakan. Amira memasang senyum sekilas. Dia meledek Raga. “Mau nyogok ceritanya?” Pasti karena Amira bilang kalau dia kesal pada Raga. Pacarnya itu sedang bersikap manis padanya. “Iya, dong. Isinya makan
Amira melepaskan pelukan Raga. Di dalam mobil, dia bergeser sedikit. Amira mencoba memasukkan handphone yang baru saja Raga berikan ke dalam saku celananya. “Gue maafin, tapi jangan kirim hadiah lagi.”Amira bersikap seolah tak ada yang terjadi. Dia harus mengatakan sesuatu untuk menutupi apa yang baru saja mereka lakukan. Pembahasan tentang hadiah adalah satu-satunya hal yang terlintas dalam otak Amira. “Pemborosan. Makanan yang lo kirim semalam juga enggak habis,” sambung Amira kemudian. Makanan yang Raga kirim memang sangat banyak, melebihi porsi Amira. Amira sampai menyimpannya di kulkas, lalu menghangatkannya lagi sebagian untuk sarapan pagi ini. “Harusnya lo habisin,” sahut Raga. “Nanti malam juga gue kirimin lagi.”Amira mendelik. Dia merasa pacarnya ini bebal. Padahal baru saja Amira menolak, tapi Raga malah abai. “Jangan nolak,” ucap Raga, mengingatkan. “Gue kan udah bilang mau tanggung jawab.”Raga memberikan senyum miring, dan Amira tidak suka itu. Dia merasa Raga mere
Amira menatap handphone kecil di tangan miliknya. Itu handphone yang diberikan oleh Raga diam-diam saat di mobil tadi. “Kenapa coba dia kasih ini?” Amira menyempatkan diri untuk melihat ke kanan kiri. Dia bahkan mengunci pintu rumahnya sebelum memeriksa handphone itu. “Nyalain dulu aja,” ucap Amira sambil berusaha menahan rasa penasarannya. Ponsel lipat yang memang berukuran lebih kecil dari tangan Amira, kini terbuka. Amira memperhatikan layarnya yang berpendar. “Ini handphone baru?”Amira hendak mencari tahu lebih banyak saat pintu rumahnya diketuk. “Pesanan atas nama Amira!”Amira pun membuka pintu. Dia mendapatkan sebuah paper bag besar dari sang kurir. “Makasih,” ucap Amira seraya menutup pintu kembali. Paper bag itu masih di tangan Amira ketika handphone miliknya berbunyi nyaring. Tangan Amira meraih handphone tersebut. Dia mendapati nama Raga tertera di layar. “Udah sampai makanannya?” Tanya Raga di nada sambung pertama.“Udah, kenapa?” Sambil menjawab, Amira membawa p
Meski hari sudah larut, rasa kantuk Amira hilang seketika. Sekarang dia sibuk berbalas pesan dengan Raga, sambil menelepon. “Udah ngantuk banget?” Tanya Raga dari seberang. Amira menggeleng. “Enggak. Udah enggak ngantuk lagi.” Amira mengucapkan jawaban jujur, tapi Raga malah terkekeh. “Udah enggak ngantuk … berarti sebelumnya ngantuk, dong.” Amira tidak mau mengakui. Dia diam saja. Tangannya masih sibuk mengetik balasan di handphone kecilnya. Mereka memang sedang melakukan pembicaraan dua jalur. Satu jalur panggilan lewat smartphone, sementara satu jalur yang lain lewat pesan singkat di handphone lipat baru milik Amira. [Udah cari tau tentang asisten baru lo?] Amira menunggu sebentar sebelum ada balasan lain yang masuk dalam handphone lipat kecil miliknya. [Udah. Enggak ada yang aneh. Leon udah kerja lama sama kakek. Emang lo liat apa?] Amira memang belum mengatakan apa yang dia lihat. Kecurigaan Amira membuat dia tidak mau bicara terlalu banyak di depan Leon. [Asiste
Semalam, Amira terlalu sibuk meladeni mulut manis Raga sampai dia tertidur. Amira benar-benar mengalami apa yang disebut sleep call untuk pertama kalinya. “Yah, baterainya habis,” ucap Amira sambil menatap handphone miliknya yang mati total saat dia terbangun di pagi hari. Entah sampai kapan handphone itu menyala. Amira tidak bisa mengingatnya. Apakah Raga yang memutuskan panggilan mereka atau handphone Amira yang terlanjur tewas. “Cas dulu.” Amira beranjak dari tempat tidur. Dia menghubungkan ponsel pintarnya dengan pengisi daya. Saat itu, tangannya tak sengaja menyenggol handphone yang lain. “Ah, gue lupa. Semalam enggak balas pesan yang di sini.” Amira mengecek ponsel lipat itu. Layarnya menyala menampilkan pesan di kotak masuk. [Nama keluarga gue Wijaya. W itu bukannya kakek gue? Nama kakek gue Heri Wijaya.] [Bisa aja Leon lagi ngabarin ke kakek.] Amira mendengus. Tentu saja dia sudah memikirkan kemungkinan itu. Masalahnya adalah, isi pesan itu tidak seperti
Teriakan Raga membuat Leon mengetuk pintu rumah Amira dari luar. Raga menggerutu. Harusnya dia tidak berteriak sekeras itu. "Tuan Raga? Apa terjadi sesuatu?" Amira dan Raga saling memandang. Mereka sekarang bingung karena mendapatkan ketukan dari luar. Sepertinya, Leon curiga dengan teriakan Raga. “Tuan? Apa Tuan Raga baik-baik saja?” Leon berteriak lagi dari luar. Dia tampak tidak sabar. “Tuan! Saya buka pintunya sekarang!” Merasa tak ada waktu yang tersisa, Raga langsung membuka pintu. Dia terpaksa harus melakukannya, jika tak ingin pintu rumah Amira dijebol paksa oleh Leon. “Gue enggak apa-apa,” jawab Raga singkat. Raga memalingkan wajahnya cepat. Tak ada yang bisa Raga lakukan selain menghindar dari tatapan Leon. Dia tak mau membuat Leon curiga dengan ekspresi wajah yang belum bisa dia kendalikan saat ini. “Sorry.” Amira berinisiatif untuk mengalihkan perhatian. “Gue enggak sengaja nginjek kaki Raga,” ucap Amira pada Leon. Amira menambahkan sedikit bumbu agar Leon
“Takut?” Amira melanjutkan kalimat Roy dengan sebuah seringai. Roy mendecak pelan. “Enggak sama sekali.” Amira kembali memasang senyum di wajahnya. Kali ini, senyum itu jauh lebih lebar. “Inget ya, gue terpaksa ngelakuin ini. Karena lo keras kepala.” Ancaman Amira dianggap sebelah mata oleh Roy. Pria itu mencibir sambil mengejek. Roy tertawa dengan suara sumbang, meragukan apa yang bisa Amira lakukan. Amira menghela napas pelan, lalu menghunus pisaunya. Tapi bukan ke arah Roy. Dia menarik seseorang mendekat—John. John, tangan kanan Roy, yang sejak tadi hanya diam, kini berlutut di hadapan Amira dengan Alex yang menahannya. Roy sontak melangkah maju. “Lo ngapain?!” Amira tetap tenang. “Gue bakal ngasih lo alasan buat ngomong.” Jari Amira bermain-main di bilah pisaunya sendiri. Pandangannya tidak meninggalkan Roy. “Lo tau, jadi anak yatim piatu itu nyebelin banget. Nggak punya siapa-siapa … hidup sendirian.” Roy mulai gemetar. Amira pun tersenyum dingin. “Gue tahu John i
“Kita berangkat sekarang,” ucap Amira memberikan perintah. Perdebatan antara Raga dan Amira memang sudah jelas pemenangnya. “Lo yakin?” Raga bertanya sekali lagi. Saat itu, sekali lagi, Amira meraih tangan si supir. Supir penjahat itu menghindar, tapi Alex membuatnya tetap diam. “Yakin,” ucap Amira tiga detik kemudian. “Apa gue harus cek lo lagi?” tantang Amira. Tangan Amira terulur, menarik Raga, memeluknya singkat. “Ini masuknya ke modus, sih.” Amira tersenyum saat pelukan mereka terlepas. “Semuanya bakal aman. Tenang aja.”Tidak ada yang berubah. Amira sudah memastikannya beberapa kali. Raga akhirnya masuk ke mobil para penjahat. Dia duduk di kursi tengah dengan Alex di sampingnya. Di dalam, hanya sang supir yang benar-benar penjahat, sementara sisanya adalah pengawal Evan yang menyamar.Mobil pun melaju menuju sebuah gudang kecil di pinggiran kota, tempat markas para penjahat berada.
"Amira!" Panggilan itu membuat Amira menolehm Dia mendapati sosok Raga berdiri di hadapannya. Napas cowok itu terengah. Wajah Raga dipenuhi kemarahan. “Lo gila ya?” Raga mengacak rambutnya kasar. "Lo ninggalin gue sendirian, ngunci pintunya, dan pergi gitu aja?!” Amira terdiam. Amukan Raga tentu saja membuat Amira meringis. Namun, ada satu hal yang mengalihkan perhatian Amira–baju Raga. Raga mengenakan pakaiannya. Pasti cowok itu mengambil asal dari dalam lemari Amira. Raga terlihat tidak pilih-pilih. Kaos Amira yang biasanya longgar, tampak terlalu kecil untuk Raga. Lengan bajunya tersingsing lebih tinggi dari yang seharusnya, bagian bawahnya bahkan tidak bisa menutupi perut Raga. Celana yang dipakai Raga pun sama saja. Amira bisa melihat jelas bagaimana celana panjangnya menggantung di kaki Raga. Cowok itu terlihat lucu meski dengan wajah memerah marah.
Amira menunjukkan sekilas layar handphone miliknya pada Alex. Dia sedang menghubungi Evan.“Udah sampai?” tanya Amira.Dengan sengaja, Amira menyalakan loudspeaker. Dia yakin Raga tidak akan mendengar. Bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi menunjukkan jika Raga sedang sibuk saat ini.“Kita udah di depan gang. Lagi jalan masuk.”Alex akhirnya mengangguk puas mendengar jawaban dari seberang sana. “Bagus. Jangan lupa satu orang jagain Raga di depan rumah gue.”Panggilan terputus. Amira tak mau membuang waktu lagi. Dia meminta Alex bersiap mengikuti.Pintu terkunci, dan Amira berdiri di samping Alex. Tangannya meraih sang pengawal, mencoba mencari sedikit petunjuk tentang masa depan. “Sama,” ucap Amira pelan. Tidak ada bayangan yang berubah. Para penjahat itu akan bergerak seperti yang Amira perkirakan.“Pak Alex,” panggil Amira dalam suara pelan. Saat itu, Alex menoleh. Dia mendapati Amira
“Mau ngomong apa?” Raga menatap curiga. Jelas saja, Raga tidak mungkin membiarkan Amira bicara berdua saja dengan Alex. Apa yang ingin Amira katakan tanpa dirinya tahu?“Minta cariin tissu basah. Gue mau ke toilet dulu. Emang lo mau beliin?” Ujar Amira seraya memicing. “Atau mau ikut?”Raga berdecak nyaring. Dia memilih menyingkir, membiarkan Alex membawakan apa yang Amira mau. Amira pun mencari toilet terdekat. Dia menunggu di sana sampai akhirnya pintu diketuk. Suara Alex terdengar kemudian. “Pak Alex.” Amira menarik Alex menjauh. Dia memastikan tidak ada yang menguping mereka. “Tolong bantu aku.” Alex mengernyit. “Ada apa, Nona?”Amira menarik Alex mendekat. Dia berbisik tepat di telinga sang pengawal. Kedua mata Alex membelalak sesaat, tapi dia tetap menutup mulutnya rapat. Amira menyelesaikan kalimatnya cepat sebelum Raga mencarinya. Benar saja, suara Raga terdengar kemudian. “Tolo
Heri melirik sebentar sebelum mengatakan pada Raga untuk menghampiri. Ada Ken di sisi Heri, seperti biasa. “Siang, Kek.” Amira berjalan mendekat. Dia menyerahkan sebuah buket bunga yang telah dibawanya dengan hati-hati. “Ini untuk Kakek,” kata Amira. Tangannya menyerahkan bunga peony putih. Amira tersenyum. “Aku harap Kakek cepat sembuh dan panjang umur.” Setelahnya, hanya ada hening. Amira tidak berharap Heri tersenyum atau mengucapkan terima kasih. Hanya saja, sunyi membuat dia tercekik. “Aku … tunggu di luar.” Amira menunjuk pintu keluar canggung. “Raga pasti mau bicara dengan Kakek.” Amira menghela. Dia melangkah cepat keluar ruangan. Namun, tangan Raga mencegahnya pergi sendirian. “Kita keluar bareng,” ucap Raga pelan. “Gue udah bilang ke Kakek semoga operasinya berjalan lancar.
Suasana kelas dipenuhi dengusan napas lega dan keluhan kelelahan. Ujian semester baru saja berakhir, dan hampir semua siswa di Laveire terlihat kehabisan energi.Tak terkecuali keempat siswa di kelas XI. Amira, Raga, Evan, dan Michelle harus menikmati manisnya soal ujian tepat setelah proses pengambilan gambar selesai. “Gue harus lebih banyak belajar,” gumam Amira seraya meletakkan kepalanya di atas meja. Pelipisnya berdenyut nyeri. Evan yang duduk di belakangnya ikut mengangkat tangan, menyerah. “Setuju! Siapa sih yang bikin soal setega itu?”Michelle mengeluh sambil menatap kedua tangannya. “Gue bahkan enggak yakin tadi gue isi apa. Kayaknya tangan gue gerak sendiri.”Di sebelah Amira, Raga hanya duduk santai, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. “Lebay banget. Gue cuma butuh waktu lima belas menit,” katanya enteng.Amira menoleh tajam. “Beneran? Lo mikir enggak, sih?!” Tangannya merebut kertas soal dari R
"Amira!" Michelle melambai di kursinya. "Gimana, udah sembuh?"Amira balas melambai. Dia duduk di dalam kelas, tepat di depan Michelle. "Udah lumayan,” jawabnya. Michelle melihat ke kanan kiri sebelum lanjut bicara. Dia seperti takut ucapannya akan terdengar orang lain. “Kenapa?” Tanya Amira. Dia melihat tidak ada siapa-siapa di dekat mereka–cuma Amira, Michelle, dan Evan. “"Kemarin kita mau jagain lo di UKS, tapi Raga ngusir kita,” keluh Michelle. Evan ikut menanggapi. “Bener! Katanya nanti kita ganggu tidur lo. Padahal kita bersuara aja enggak.” Amira menghela. Pasti Raga uring-uringan dan memaki semua orang. “Sorry. Gue kabur dari rumah sakit kemaren,” sahut Amira.Evan langsung melengos. “Pantes!”Tidak heran Raga seperti singa lapar. Jangankan diajak bicara, didekati saja memaki.Evan dan Michelle baru mau bicara lagi ketika bayangan Raga muncul. Cowok itu masuk ke kelas dan duduk di
“Lo udah makan belum?” Raga mengecek suhu tubuh Amira. Normal. Amira menggeleng di atas ranjang di ruang kesehatan Laveire. Dia memang belum makan. Perutnya masih terasa tidak enak sejak kemarin, jadi pagi ini hanya segelas teh hangat yang bisa masuk. “Gue beliin makanan. Habis itu minum obatnya.”Amira tertegun mendapati Raga yang mengeluarkan bungkus obat dari saku. Hatinya mencelos sesaat. Pasti pagi tadi Raga datang ke rumah sakit dan mendapati dirinya tidak ada di sana. Tidak terbayang bagaimana murkanya Raga.“Tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana!” Raga memberikan peringatan sambil menunjuk. “Kalau lo kabur lagi, gue iket lo di kamar gue!”Seketika Amira mendelik. Ancaman Raga sukses membuat Amira meringis. Raga pun berlari keluar. Dia kembali tak lama kemudian dengan sekotak makanan di tangannya. “Duduk. Makan dulu.” Amira menurut. Dia tidak banyak membantah karena kepalanya terasa berat. Mencari masalah dengan Raga adalah hal terakhir yang terpikirkan oleh Amira. T