“Sialan! Nicole Sialan!” Shania membanting pajangan yang ada di atas meja, hingga pecahannya berserakan di lantai. Tampak jelas raut wajah Shania menunjukkan kemarahan dalam dirinya. Hal yang membuat amarah Shania tersulut adalah perkataan Nicole. Sungguh, wanita itu menyesal mendatangi Nicole. Jika bukan karena mencari Oliver, maka dia tidak akan pernah mungkin mendatangi Nicole.“Berengsek!” Shania tak henti mengumpat kasar. Dia berada di dalam kamarnya yang berantakan akibat dirinya melampiaskan kemarahannya. Shania ingin sekali tadi menjambak rambut Nicole, namun dia berusaha menahan diri. Dia tidak mau sampai bertengkar hebat dengan Nicole, karena dia masih memikirkan ayahnya. Lepas dari apa pun yang terjadi, Shania memiliki ikatan darah dengan Nicole.“Ya Tuhan, Shania. Kenapa kamarmu berantakan seperti ini?” Erica masuk ke dalam kamar Shania, terkejut dengan kondisi kamar putrinya yang begitu berantakan. Pecahan beling berserakan di lantai. Padahal sebelumnya, Erica sangat yaki
Oliver melonggarkan dasinya dengan mata yang terpejam lelah. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Pria itu masih berada di ruang kerjanya. Pikirannya berkecamuk, memikirkan banyak hal yang mengusik ketenangan hidupnya.Seharusnya, setelah Oliver memutuskan menikah dengan Shania, hatinya merasakan sedikit tenang. Fakta tidak demikian. Pernikahan ini adalah kesepakatannya dengan Shania. Tidak ada paksaan sama sekali. Sayangnya, semua telah berubah.Pertemuan kembali dengan Nicole, membuat Oliver merasakan ragu untuk melanjutkan pernikahan dengan Shania. Ini memang sangat gila. Dia juga tak mengerti kenapa bisa seperti ini.Oliver kembali dipertemukan dengan sosok gadis polos yang pernah dia jadikan bahan taruhan. Sembilan tahun dia tak bertemu dengan Nicole, bahkan dirinya pun tak pernah tahu bagaimana kabar Nicole.Sekarang … kenyataan menampar Oliver dengan Nicoel yang merupakan kakak tiri dari Shania—wanita yang dia pilih menjadi istrinya.“Tuan Oliver?” panggil Vincent seraya mela
Mobil Oliver terparkir di halaman parkir hotel di mana Nicole menginap. Dia tak langsung turun dari mobil. Pria itu sedikit menoleh ke samping, menatap Nicole yang masih terlelap. Padahal dirinya sudah memindahkan tubuh Nicole dari tempat ke tempat, namun rupanya wanita itu tak kunjung membuka mata.Oliver membelai pipi Nicole, mengusap-usap begitu lembut dan penuh kehangatan. Detik selanjutnya, dia turun dari mobil seraya menggendong Nicole gaya bridal, masuk ke dalam lobby hotel. Lagi dan lagi, wanita itu masih belum bangun kala Oliver menggendongnya. Sepertinya wanita itu sangat lelah.Saat tiba di kamar hotel, Oliver membaringkan tubuh Nicole ke atas ranjang. Dress Nicole sedikit kotor harus diganti. Terlebih dress yang dipakai wanita itu sudah terkena gerimis hujan. Oliver pun memutuskan meminta bantuan staff hotel wanita, untuk membantu menggantikan dress yang dipakai Nicole.Namun, di kala Oliver ingin menghubungi staff hotel—gerak Oliver terhenti melihat Nicole mulai mengigau
Pagutan yang tercipta begitu panas dan liar. Lidah Oliver mendesak masuk, menyapu rongga mulut Nicole. Beberapa kali Nicole berusaha melepaskan diri tapi tak bisa, karena Oliver semakin membuat tubuh wanita itu terkunci tak bisa berkutik.Tangan Oliver tak hanya diam. Pria itu menyelinap masuk ke dalam dress piyama yang dipakai Nicole. Dengan sengaja, Oliver melepas kancing dress bagian atas Nicole, agar lebih leluasa memijat payudara wanita itu. Nicole meringis menahan desahan yang lolos di bibirnya di kala Oliver menyentuh payudaranya. Rasa marah dalam diri Nicole menyulut, tetapi sialnya tubuhnya merespon sentuhan Oliver. Bahkan puting payudaranya berdiri tegak di kala jemari Oliver memberikan usapan lembut.Nicole berjuang untuk berontak, tapi malah tangan Oliver semakin menjelajah bergantian ke dua payudara Nicole. Bibir Oliver terus mengulum bibir Nicole atas dan bawah bergantian.Rasa manis di bibir Nicole membuat Oliver benar-benar seakan lupa diri. Kenyal, lembut, dan manis
Tubuh Nicole terpaku melihat Marsha ada di hadapan Nicole. Benak wanita itu memikirkan bagaimana bisa Marsha mengetahui di mana dirinya tinggal. Dia sangat ingat dirinya tak merasa telah memberikan alamat tinggalnya di London.Lalu kenapa sekarang malah nenek Oliver dan Shawn ini ada di hadapannya? Pun rasanya tak mungkin kalau Marsha bertanya pada adik tirinya. Tunggu! Apa mungkin dari Shawn? Benak Nicole kini penuh dengan terkaan-terkaan.“Apa kabar, Nicole? Apa aku mengganggumu?” Marsha mulai lebih dulu menegur, di kala Nicole nampak kebingungan.Nicole membuyarkan semua pikiran yang muncul di dalam otaknya, saat Marsha sudah menyapa dirinya. “A-aku baik, Grandma. S-silakan masuk, Grandma.” Buru-buru, Nicole mempersilakan Marsha untuk masuk ke dalam.Marsha tersenyum hangat, lalu masuk ke dalam kamar hotel Nicole. Meski tak lagi muda, tapi nenek Oliver dan Shawn itu masih teramat sehat. Marsha hanya memiliki keriput tipis di wajah. Rambutnya pun telah diwarnai menjadi warna cokelat
Nicole seperti berada di persimpangan jalan, yang memaksanya untuk ke arah kanan. Padahal dia ingin menuju ke arah kiri. Kali ini, Nicole tidak bisa mengikuti ego dalam dirinya. Hari ini adalah hari di mana, Nicole akan menghadiri undangan Marsha.Nicole sebenarnya tak ingin datang, tapi hati dia merasa tidak enak jika menolak Marsha. Terlebih nenek Oliver dan Shawn itu sangatlah baik. Sebenarnya, alasan Nicole ragu hadir diundangan Marsha, karena Nicole malas akan Shania berpikiran buruk padanya.Terakhir, Shania menuduhnya mencari muka di depan kakek dan nenek Oliver. Tuduhan yang memang sudah gila, dan tak masuk akal sehatnya lagi. Nicole bukan takut pada Shania, tapi Nicole malas berdebat dengan orang gila. Selain itu, ayahnya pun kerap membela Shania.Nicole mengatur napasnya, dan berusaha menepis pikiran yang muncul. Nicole hanya menuruti keinginan Marsha. Tidak lebih dari itu. Dia kini menatap cermin dan memoles wajahnya dengan riasan tipis. Dia tak mau berias berlebihan.Saat
Nicole menatap dalam sang pemilik manik mata cokelat gelap di hadapannya. Dia masih belum mengatakan sepatah kata pun. Hanya saja tatapannya tersirat memiliki jutaan arti yang begitu dalam. Tatapan yang tersirat memiliki percikan-percikan api yang membakar. Di ruangan itu, tak hanya Nicole dengan Oliver saja, namun mereka sepertinya lupa. Tatapan mereka sangat teramat dalam, sampai membuat mereka lupa diri. Oliver tetap bergeming di tempatnya, dengan tangan yang masih menahan pajangan besar agar tak terkena Nicole.Hingga kemudian, Nicole dan Oliver sama-sama menyadari bahwa mereka terlalu lama saling bertatapan. Oliver segera menarik tubuh Nicole dan Marsha menjauh dari pajangan itu. Tepat di kala Nicole dan Marsha sudah menjauh—pria itu segera membenarkan posisi pajangan besar tersebut bersama dua penjaga.“Tuan Oliver, maafkan kami.” Dua penjaga itu menundulkan kepala, di hadapan Oliver. Terlihat jelas, dua penjaga tersebut sangat ketakutan di hadapan Oliver.Kilat mata Oliver m
“Oliver, tolong kau temani Nicole dulu. Grandma ingin menghubungi Grandpa. Sampai jam segini Grandpa-mu belum pulang. Jangan-jangan dia tergoda wanita muda. Awas saja macam-macam—Grandma akan mengusirnya dari rumah. Harta dia akan Grandma ambil semuanya,” tukas Marsha mengomel kala sang suami belum juga pulang. Padahal sebelumnya, suaminya itu bilang, tidak akan pulang lama, tapi sudah sampai jam lima sore seperti ini—suaminya tak kunjung pulang. Oliver mengembuskan napas pelan mendengar omelan neneknya. “Grandma, Grandpa hanya mencintaimu. Dia tidak mungkin mengkhianatimu. Jangan berpikiran konyol.”“Iya-iya. Ya sudah, kau temani Nicole. Grandma tidak tenang, kalau belum menghubungi Grandpa-mu,” ucap Marsha pelan tapi tetap tersirat kesal.Oliver mengangguk, dan memberikan kecupan di kening Marsha.Marsha menatap hangat dan lembut Nicole. “Nicole, kau jangan pulang dulu, yaa. Kau harus makan malam bersama denganku dan Grandpa.”Nicole tersenyum dan memberikan anggukan sopan. Sebenar