“Apalagi? Aku sudah katakan bahwa aku tidak mencintaimu lagi. Sudah tidak ada perasaan apa pun lagi padamu.”
“Kenapa harus mengatakan begitu?”
“Kamu ingin pulang bukan? Ya sudah, kapan kamu akan pulang? Aku akan antarkan. Mau sekarang, ayo!”
“Bukan itu yang aku mau, Karan. Tidak ada seorang wanita yang ingin menghancurkan pernikahannya sendiri. Sudah cukup bagiku orang tuaku gagal dalam pernikahan, aku tidak berharap itu terjadi juga padaku.”
“Kamu tahu, lalu kenapa kamu meminta pulang? Sudahlah, sekarang terserah kamu. Aku sudah sangat kecewa padamu, kalau sudah kecewa ya sudah.”
Reina terdiam, bukan hanya Karan yang kecewa padanya. Reina juga sangat kecewa kepada Karan yang tidak pernah berusaha untuk memahami semua perkataannya. Bukan memperjuangkan pernikahan, atau berpikir tentang pernikahan mereka. Karan justru mengambil garis besar hubungan mereka, sebuah pilihan yang akan menyakiti keduanya dan anak-anak mereka.
Namun, sepertinya Karan tidak peduli dengan hal tersebut. Dia hanya berpikir tentang perasaannya saat itu saja, tidak berpikir apa yang akan terjadi ke depannya. Mata hatinya sudah benar-benar tertutup untuk sebuah maaf.
Segala upaya dilakukan oleh Reina tidak ada harganya bagi Karan. Hati Karan sudah mati untuk Reina, atau mungkin hanya emosi semata yang kelak akan disesalinya seumur hidup. Sebuah hubungan yang pernah mereka jalani, perjuangan keduanya untuk sampai ke pernikahan seakan hilang begitu saja.
“Aku minta maaf atas apa yang terjadi, tapi bukan perpisahan yang aku harapkan dari pernikahan kita. Aku ingin kita perbaiki pernikahan ini, kita perbaiki bersama-sama. Kita punya anak-anak yang membutuhkan keutuhan orang tuanya.”
“Tidak ada yang perlu diperbaiki, sudah cukup saja sampai di sini. Mereka anak-anakku, tidak perlu lagi kamu memikirkannya. Mereka bukan anak-anakmu, aku masih bisa mengurusi semua pekerjaan rumah dan juga mengurusi anak-anak seorang diri,” sembur Karan dengan nada tingginya.
“Bukan begini caranya, masalah kita ini masih bisa diselesaikan.”
“Tidak ada lagi yang perlu kita selesaikan, jika adanya anak-anak membuatmu terganggu menulis. Ya, sudah silakan saja. Sejak awal aku sudah katakan bahwa aku akan membebanimu, kamu justru menyanggupinya dan dengan alasan anak juga kamu mau menikah denganku. Kalau sekarang itu memberatmu, lebih baik kita akhiri saja. Aku tidak ingin membuatmu menangis setiap hari, itu akan menyakitkanmu dan menjadi dosa bagiku. Daripada kita saling melukai, lebih baik kita berpisah saja.”
“Karan, tolong jangan lakukan ini. Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya, kita bisa memperbaiki ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapimu, tolong bertahan untuk pernikahan kita.”
Sesakit itu Reina melepaskan Karan dari hidupnya. Lelaki yang sebelumnya tidak dia cintai, tapi kini terasa sangat berat untuk dilepaskan begitu saja. Pernikahan yang baru berjalan empat puluh hari itu terasa berat untuk diakhiri sesingkat ini. Reina berusaha bicara agar pernikahannya bisa diselamatkan, tapi Karan tetap dengan egonya.
Mereka saling tatap, kedua mata itu bertemu dan semuanya masih tetap sama bagi Reina. Meskipun Karan begitu marah dan bicara dengan emosi, tapi dia tahu bahwa apa yang diucapkan itu tidak benar-benar keluar dari hatinya. Reina masih berharap Karan menarik kembali ucapannya dan mempertahankan pernikahan mereka.
“Kalau begitu, kasih aku waktu tiga puluh hari saja untuk bertahan di rumah ini. Aku ingin tiga puluh itu melakukan segala hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri serta seorang ibu untuk anak dan suamiku. Jangan seperti ini, kamu mencuci baju sendiri, makanan yang aku masak tidak kamu makan. Aku ingin melakukan bakti untuk yang terakhir kalinya.”
“Kamu mau bertahan selamanya pun tidak masalah, cuma kita akan tetap begini. Kamu tidak perlu melakukan segalanya, kita seperti biasa saja aku yang masak dan aku bisa mencuci pakaianku sendiri. Aku tinggal makan apa yang ada di rumah ini, tidak perlu kusuruh makan.”
“Bagaimana aku bisa makan dengan nikmat, sedangkan hubungan kita begini? Bahkan satu suap nasi saja tidak bisa masuk ke mulutku.”
“Ya, begitu juga denganku. Kamu masak, tapi aku tidak bisa memakannya.”
“Kalau begitu, kasih aku kesempatan tiga puluh hari saja sebelum aku pulang. Tapi, selama tiga puluh hari itu aku ingin kamu mengecup keningku sebelum aku tidur dan sebelum kamu berangkat kerja. Hanya tiga puluh hari saja sebelum perpisahan kita.”
“Tidak, aku tidak mau. Jangankan untuk menyentuhmu, bahkan untuk menatapmu saja aku sudah tidak mau. Saat ini saja, aku tidak mau bicara berdua denganmu.”
Seketikan Reina terdiam, air matanya mengalir sangat deras di hadapan Karan. Tak sanggup dia menerima semua keadaan ini, hatinya sangat hancur dan kini cintanya telah memaksanya pergi. Rasanya sangat sesak, di saat dia dipaksa melepaskan seseorang padahal hatinya masih tetap ingin bertahan dengan orang tersebut.
Namun, bagaimanapun juga Reina hanyalah seorang wanita. Di saat suaminya berkata bahwa dia tidak lagi diinginkan dalam hidup suaminya, saat itulah Reina tidak memiliki alasan untuk bertahan di sana. Dia seperti wanita yang hidup, tapi sudah tiada bagi suaminya.
Meskipun Karan tidak meminta Reina pergi, dia masih ingin istrinya bertahan. Hanya saja dia tidak mampu mengucapkan hal itu, Reina tidak memahami kalimat suaminya. Rasa sakit itu membuat Reina berhenti untuk meminta dan mempertahankan Karan di hidupnya.
“Kamu ingin aku pergi dari sini?”
“Bukankah kamu yang meminta untuk pergi? Ya, sudah kalau memang mau pergi. Aku akan antarkan kamu pulang.”
Sekali lagi, Reina mengajukan pertanyaan yang sama, “kamu menyuruhku untuk pergi dari ini?”
“Tidak, tapi kamu kamu yang meminta untuk pergi dariku.”
“Baik, terima kasih untuk waktu dan kesempatan yang pernah kamu berikan. Terima kasih sudah berjuang untukku hingga kita sampai pada pernikahan. Terima kasih hari itu kamu sudah datang memenuhi janjimu menikahiku, semua yang kamu berikan dan kamu usahakan untukku. Maafkan atas kekuranganku, hanya ini yang bisa aku berikan dan maaf sudah mengecewakanmu.”
Reina beranjak, dia mengambil kopernya. Lalu mengemasi semua barang-barang miliknya. Sakit, berat dan semua perasaan itu campur aduk. Hatinya berat untuk pergi meninggalkan anak-anaknya, sebuah janji yang pernah dia ucapakan kepada anak-anak harus dia ingkari. Bukan keinginkan Reina, dia berharap Karan mencegahnya untuk pergi.
Sayangnya, tidak. Karan membiarkan Reina pergi, mengemasi semua barang tanpa berusaha memintanya bertahan. Sementara Reina membereskan barangnya, Karan memandaikan anak bungsunya yang sudah terbangun. Lalu mengantarkannya ke rumah mertuanya. Reina menangis, dia berusaha mencegah suaminya pergi. Tapi Karan tidak menoleh lagi meski hanya sekadar mengizinkan Reina berpamitan kepada anak gadisnya.
Reina tidak berhenti menangis, ia tidak dapat membayangkan bagaimana harus menjelaskan ini kepada kedua orang tuanya. Hidup Reina hancur, dia menatap seisi rumah yang pernah disinggahinya. Semua akan dia tinggalkan berserta orang di dalamnya. Berat melepaskan semua itu, tangis Reina pecah seraya memeluk erat pakaian suaminya.
“Maafkan Bunda, Nak. Maafkan Bunda karena mengingkari janji untuk bertahan dengan kalian. Maafkan Bunda karena tidak bisa menjaga dan menemani kalian lagi, maafkan Bunda karena tidak bisa memenuhi janji untuk terus membersamai kalian. Bahkan, ayah kalian tidak berusaha mencegah Bunda untuk pergi,” batin Reina seraya menyeka air matanya.
Bukan lagi hancur yang dirasakan Reina, pedih dan berantakan. Tidak ada sisa rasa Karan untuknya dan tidak ada usaha Karan untuk mempertahankan lagi pernikahan mereka. Semua yang terjadi seolah tidak berarti apapun lagi. Perjuangan Karan saat pertama kali datang ke rumah Reina dan perjuangan mereka untuk sampai ke hari pernikahan seolah tidak ada gunanya lagi saat ini.
“Bunda, Bunda mau ke mana?” Suara anak sulungnya mengejutkan Reina.
BERSAMBUNG...
Reina segera menghapus air matanya, dia memeluk Farhan dengan erat. Air matanya tidak mampu terbendung lagi, dia tidak sanggup membayangkan bahwa ini akan menjadi perjumpaan yang terakhir kali. Kebersamaan ini akan sirna dalam beberapa waktu lagi, dia akan kehilangan keluarga kecilnya.Reina telah menghancurkan pernikahan impiannya sendiri. Pernikahan yang dia harapkan sekali seumur hidup, lelaki yang dipilihnya dari banyaknya lelaki datang menawarkan hubungan dengannya. Namun, kini lelaki itu pula yang berhasil merenggut harapan dan juga kepercayaannya kepada seorang lelaki.Setelah hatinya dipatahkan oleh Karan, tidak tahu lagi kepada lelaki mana Reina akan percaya. Hatinya telah dipatahkan oleh sosok lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertama anak perempuannya. Akan tetapi, Reina justru mendapat sebuah ketidakadilan darinya dan kini, dia juga dikecewakan oleh lelaki pilihannya.“Siapa lagi lelaki yang harus kupercaya setelah ini? Hatiku hancur kehilangan ayahku, kini hatiku kemba
Karan mengangkat semua barang-barang milik Reina dan memasukan ke bagasi mobilnya. Sudah tidak ada lagi toleransi untuk Reina, pernikahan ini harus benar-benar berakhir.Meskipun berat hatinya meninggalkan rumah sang suami, terutama meninggalkan anak-anaknya. Akan tetapi, Reina juga tidak ingin memaksakan Karan untuk tetap menampungnya di rumah itu. Padahal sudah jelas, bahwa Karan tidak menginginkan lagi istrinya.“Haruskah dengan cara begini hancurnya pernikahan kita, Karan? Apakah kita tidak bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?”“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku ini seorang duda dua orang anak, kamu menyanggupinya untuk menerima anak-anakku. Jadi, untuk apa kamu bertahan jika tidak mau lagi mengurus anak-anak.”“Apa selama ini aku tidak pernah mengurusi anak-anakmu, Karan?”“Tapi kamu lebih sibuk dengan duniamu dan kamu lebih senang keluar bersama teman-temanmu daripada menemani anak-anak. Satu hal lagi, Reina. Aku tidak bisa bertahan dengan wanita yang jelas sudah tidak mau
Malam itu, Reina masuk ke kamar tanpa ada seorang pun yang dapat menggangunya. Reina tidak ingin bicara dengan orang lain termasuk ibunya. Meskipun begitu, ibunya sangat khawatir, sebab Reina tidak mau makan atau melakukan apa pun setelah dikembalikan oleh suaminya.Kali ini Reina sudah hilang harapan untuk bertahan, suaminya sudah melepaskan dirinya dan tidak ada orang lain yang akan menerima dirinya terutama status Reina sebagai janda. Dia tidak akan seperti dulu lagi, akan benar-benar berubah setelahnya.Meminta kembali kepada Karan sudah tidak ada kesempatan lagi, melanjutkan hidup pun sangat sulit. Hatinya sedang benar-benar patah dan sakit menahan rindu dengan kedua anaknya.“Re, semua baik-baik saja ‘kan?” tanya Henny memberanikan diri bertanya.Reina mengangguk perlahan, “iya, Bu. Semuanya baik-baik saja, hanya hati Reina saja yang tidak baik-baik saja.”Reina kembali ke kamarnya, meninggalkan banyak tanya di hati ibunya. Henny bingung, entah harus bagaimana menghadapi anaknya
Dunia Reina benar-benar sudah berubah setelah kepergian Karan. Baru dua hari saja mereka berpisah, tapi semua itu berhasil membuat hati Reina hancur dan berantakan. Ada sesal yang menyelimuti hatinya, tetapi itu tidak membuat Karan kembali. Reina seperti orang pesakitan, tidak tahu arah hidupnya lagi.Reina masih berusaha menghubungi Karan, dia berharap bahwa Karan berubah pikiran dan memperbaiki semuanya. Sayang sekali, semua ini sudah menjadi keputusan final bagi Karan dan dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah menarik kembali apa yang sudah dilepaskannya.Kapal yang sedang mereka tumpangi bukan hanya oleng, melainkan hancur. Awalnya, Reina hanya merusak bagian kecil dari kapal tersebut. Namun kini, Karan sendiri yang telah menghancukan kapalnya, sehingga keduanya tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan pernikahannya mereka.“Tidak ada yang patut disalahkan dalam pernikahan, baik aku ataupun dirinya memang sama-sama bersalah. Akan tetapi, roda utama dalam pernikahan ini adala
Selamat pagi, Bang!Di manapun Abang saat ini, Re berharap Abang dalam keadaan sehat. Re, rindu dengan Abang dan anak-anak. Re berharap Abang sudah baik-baik saja dan berdamai dengan keadaan. Mau sampai kapan Abang seperti ini? Tolong Abang berhenti menyakiti diri sendiri dengan terus meratapi kepergian mending istri Aban.Bagaimana istri Abang bisa bahagia di alam kuburnya, kalau melihat yang ditinggalkannya gak bahagia? Apa Abang tega membuat istri Abang tidak tenang di alam kubur kalau tahu suami dan anaknya masih berat melepaskan kepergiannya.Hidup Abang juga harus berjalan, bangun Bang dan terima semua yang terjadi. Re tidak meminta Abang melupakan begitu saja istri Abang. Tetapi, Abang juga harus melanjutkan hidup, ada anak-anak yang harus Abang besarkan. Abang masih memiliki masa depan dan tentu saja perusahaan Abang harus kembali maju.Kalau sampai hari ini Abang masih terus membuka kembali lembaran lama masa lalu, kesehatan mental Abang akan terganggu. Secara dzohir mungkin
Reina menuliskan sesuatu di dalam laptopnya, sebuah pesan berupa isi hati yang ingin disampaikan kepada Karan. sayang sekali, panjang lebar dia menuliskan pesan tersebut, tetapi dia tidak mengirimkan pesan itu kepada Karan. Dia mengurungkan diri menyampaikan hal tersebut.Namun, Reina menulis ulang kalimat yang lebih singkat, dia memberanikan diri mengirim pesan tersebut kepada Karan. Seperti biasanya, jiwa penulisnya memang tidak hilang. Reina mengirim pesan seperti menulis novel, panjang dan berjilid. Namun itu menjadi ciri khas-nya yang sewaktu-waktu akan dirindukan oleh seseorang.“Entah Karan akan membacanya atau tidak, setidaknya aku sudah menyampaikan maksudku padanya,” ucap Reina seraya menyimpan kembali ponselnya usai mengirimkan pesan.Seperti sebelumnya, pesan itu tidak lagi mendapatkan balasan dari Karan. Reina mengambil sebuah keputusan, bahwa itu akan menjadi pesan terakhir kalinya untuk Karan dan dia tidak akan mengganggu Karan lagi. Hatinya memang terluka, tapi Reina t
Ada kebahagian dibalik air mata Reina. Meskipun hatinya terluka karena Karan, tapi dia berusaha menguatkan diri dan tetap melanjutkan hidupnya. Reina menumpahkan kesedihannya lewat sebuah tulisan, dalam bukunya berjudul Ranjang Kehancuran di salah satu platform. Dia berpikir bahwa inilah cara satu-satu untuk menumpahkan semua patah hati dan isi hati yang tidak dapat disuarakannya.Saat tetangga di luar terus mengguncingkannya, mereka menyampaikan bahwa semua kesalahan dalam pernikahan ini disebabkan oleh Reina. Dia tidak pernah mengurusi anak-anak Karan, hanya sibuk menulis dan lebih senang berkumpul dengan teman sesame penulisnya. Tidak hanya itu, mereka juga mengguncingkan bahwa Reina tidak mau mengurusi pekerjaan rumah seperti ibu rumah tangga pada umumnya.Reina hanya diam, dia tidak mau menanggapi apa pun yang dilontarkan keluarga Karan. Dia meminta pihak keluarga agar tidak menjelaskan masalah utama dalam pernikahannya dengan Karan. Reina tetap berusaha menjaga kehormatan Karan,
Setelah kedatangan seorang wanita bernama Chika itu, Reina terus berpikir mengenai pernikahannya dengan Karan. Dia tidak tahu, mana yang harus dipertahankan. Jika Reina mengalah dan menurunkan ego, dia juga tidak tahu Karan akan berubah atau tetap pada egonnya saja.Namun, Reina juga tidak ingin dikalahkan oleh egonya. Rasa rindu yang kerap kali menyiksa dirinya dan perasaan ingin tetap bersama dengan Karan. Harapan dirinya agar rumah tangga yang di bangun akan utuh hingga maut memisahkan. Doa Reina agar dia menikah sekali seumur hidupnya.“Aku ingin jatuh cinta sekali seumur hidup. Jika pun aku harus jatuh cinta lagi, aku hanya akan jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama,” batin Reina.Reina terus bersiteru dengan isi kepalanya. Karan tidak pernah tahu, saat dirinya menghabiskan malam hanya untuk menangisi Karan dengan anak-anak berharap bahwa pernikahannya dapat diselamatkan. Reina seperti orang gila yang terus meminta kepada Tuhan agar suami dan anak-anaknya dikembalikan.
Hari-hari dilewati Reina menjalani aktivitas sebagai seorang baby sitter sekaligus asisten rumah tangga. Hidup di tengah ibu kota tak seindah dalam bayangannya, semua pekerjaan dia lakukan agar bisa bertahan hidup. Meskipun orang lain akan menertawakan dirinya, lulusan sarjana tapi kerja seperti ini. Sebab mereka tidak pernah tahu, betapa sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta.Setelah hampir 6 bulan, di bulan ke-6 Reina memutuskan resign dari kerjaan saat ini. Dia ingin mencoba peruntungan baru dari ijazah yang dimilikinya. Namun takdir baik belum berpihak padanya, dua bulan mencari pekerjaan ternyata tidak mudah bertahan. Hingga dia memutuskan pindah ke kosan yang lebih murah dan mendapat pekerjaan membantu jualan di Kedai Coto Makkasar. Satu bulan dia jalani pekerjaan di sana dengan gaji 1,7 juta dipertahankan. Beruntung tempat kerja dekat kosan, jadi tidak membutuhkan ongkos. Namun, di bulan kedua kejutan baru datang. Reina mendapatkan pesan dari adik iparnya.“Teh, minta doanya.
Sekali lagi, air itu kembali tumpah mengingat semuanya. Kegagalan pernikahan, masalah dan kepelikan dalam hidup, orang tua dan segala hal yang menjadi beban pikiran Reina selama ini. Tidak peduli seberapa hancur dirinya, bagi keluarga Reina sangat egois dan keras kepala.“Sudah sangat jauh perjalananmu, Re. Kapan akan menemui orang tuamu?”“When? Entahlah, aku masih belum siap menemui mereka. Aku hanya takut, jika menemui mereka dalam keadaan hati yang tidak stabil dapat memperkeruh keadaan. Kawatir emosiku tidak bisa dikendalikan seperti saat itu.”“Itu pilihanmu, tapi kamu harus ingat akan sejauh apapun langkahmu tentu saja keluarga tempat pulang sesungguhnya.”Reina hanya mengangguk ringan, dia membenarkan perkataan sahabatnya. Hanya saja, dia tidak bisa memilih untuk pulang dalam waktu dekat. Akan ada waktu yang tepat untuk pulang, meski itu tidak saat ini.Satu bulan sudah Reina bekerja dengan Winda dan Enggal, rasanya sangat baik dan nyaman. Mereka juga tidak pernah memaki Reina
Reina menjalani rutinitas dan aktivitasnya dalam keluarga Winda dan Enggal, ayah dari Tacha. Keduanya sangat baik, memberikan tempat yang nyaman untuk Reina. Rasa syukur yang tidak hentinya Reina panjatkan kepada Tuhan. Keluar dari rumah Danny ternyata sebuah pilihan terbaik, bahkan sekalipun dia memintanya untuk kembali tentu saja Reina memilih tetap berada di sini.Hari pertama, Reina diminta untuk masak oleh Winda karena hari itu suaminya, Enggal pulang dari Solo. Dia seorang engginer di sebuah perusahaan pemberdayaan satwa yang cukup terkenal di Indonesia. Sedangkan Winda sendiri bekerja sebagai supervisor di salah perusahaan telekomunikasi.“Mbak, ada ayam dan bayam di dalam kulkas. Terserah Mbak mau masak apa, yang penting ada sambalnya. Nanti minta tolong ayamnya dibuat kaldu dulu ya, Mbak untuk masak makanan Tacha.”“Baik, Bu.” Reina kembali melanjutkan masak, entah mengapa rasanya menyenangkan melakukan pekerjaan ini. Dia membuktikan kepada dirin
Dalam lapis-lapis keberkahan, ranumnya bermandikan bunga dan baunya beraroma surga. Cahayanya ibarat cakrawala, pancarannnya bak mentari di pagi hari. Manusia, selalu tidak merasa cukup atas sesuatu yang didapatkan dan dimiliki. Tidak merasa puas atas pencapaian yang diperoleh. Padahal, kita tahu bahwa tidak semua orang mendapatkan yang diinginkan dan didapatkan.Perlu sesekali, kita menoleh pada sebuah negeri. Di mana mereka tidak mendapatkan hak dan kehidupan layak. Mereka seringkali ditindas dan diperbudak. Setiap hari hanya bergelimang air mata dan rasa takut. Meskipun tidak ada yang mampu memadamkan kobaran api semangat untuk mempertaruhkan harta bahkan nyawa hanya demi tegaknya agama. Menjadikan syahid sebagai tujuan akhir dari hidupnya.Negeri Syam, Gaza, Palestina, Suriyah, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak kita ketahui kisruhnya. Mereka yang ditindas dan diperbudak di negeri sendiri. Tidak diberikan tempat layak, kehidupan yang nyaman. Tetapi, betapa malunya kita hidup
“Bismillah…” Kalimat itu yang terucap pertama kali saat Reina melangkah meninggalkan kota Sukabumi menuju Tangerang. Memang tidak mudah mengambil keputusan, akan tetapi semua itu sudah menjadi pertimbangan serta pergulatan cukup panjang dalam munajah Reina selama dua pekan terakhir. Setelah drama semalaman di perjalanan dengan sopir travel, hari minggu pagi Reina tiba di yayasan. Langsung saja Reina diminta untuk membersihkan diri, kemudian diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Usai mengerjakan rangkain test, tiba saatnya Reina mengisi data diri serta surat perjanjian dengan pihak yayasan untuk di proses mencari calon majikan. Awalnya Reina merasa minder, sebab tidak memiliki pengalaman bekerja seperti ini sebelumnya. Sementara rekan lainnya memiliki jam terbang lebih banyak, terutama beberapa diantara mereka sudah ada yang bekerja di luar negeri. Sebuah keajaiban tiba, Reina mendapatkan panggilan untuk wawancara dengan calon majikan. “Kamu bagaimana sih, masa wawancarany
Karan yang sedang berjuang untuk kedua anaknya, sedangkan Reina juga harus berjuang untuk menyembuhkan luka dan patah hatinya usai berpisah dari Karan. Entah mengapa, bahkan hingga saat ini pun luka itu masih terasa perih untuk dikenangkan. Reina menangis setiap kali melihat akta cerainya. Sore itu, Reina mengetuk pintu rumah salah seorang temannya. Wina, membukakan pintu dan meminta Reina masuk sebelum akhirnya dia bercerita apa yang terjadi. Tidak menyangka, bahwa sosok Reina bisa melakukan hal tak terduga seperti ini. “Ada apa, Re?” “Aku kabur dari rumah.” “Astaghfirullah, kamu kenapa?” “Aku habis bertengkar dengan keluargaku, aku capek Kak Win. Selama ini aku berjuang untuk keluarga, mencoba membantu mereka, tapi apa yang mereka katakan bahwa aku tidak pernah memberikan apapun untuk keluarga. Selama ini aku mencoba tertawa, bahagia di hadapan keluarga padahal aku diam-diam menangis di dalam kamar mengingat gagalnya pernikahanku. Aku harus pergi dari sini agar hidupku lebih bai
Karan masih menjalankan aktivitas seperti biasanya, mengajar maupun mengurus anak-anak. Hanya saja, sejak Reina meninggalkan rumah itu, ibu mertua Karan membawa kembali anak bungsunya. Namun, rutinitas Karan tidak sepadat dulu sebelum menikah dengan Reina. Dia yang biasa sebelum berangkat kerja harus mengurus anak-anak di rumah ibu mertuanya, kini tak lagi sebab anak sulungnya tinggal bersama di rumah baru.Bukan hal mudah memang menjadi Karan, dia harus dipukul oleh kenyataan atas kehilangan sang istri dengan meninggalkan dua orang anak, terutama anak bungsu yang saat itu masih berusia dua bulan.Namun, Karan berhasil survive dan melewati itu dalam waktu hampir satu tahun. Meskipun pernah menikah dengan Reina yang hanya berjalan satu bulan saja, tetapi peran Karan sebagai ayah sekaligus ibu bagi kedua orang anaknya sangat luar biasa.Siapa yang ingin ditinggalkan oleh seorang istri? Semua suami juga tidak mengharapkan itu terjadi.Kalimat itu kerap kali diucapkan Karan setiap kali ad
Satu bulan setelah hari itu, tepat pada tanggal 31 Oktober akhirnya Reina dan Karan resmi berpisah. Tercatat dari tanggal tersebut masa iddah Reina dimulai kembali. Betapa tak adilnya Tuhan memperlakukan dirinya, begitu Reina memaki diri usai menerima akta cerai tersebut. Senyum kepalsuan itu mengembang, di belakang ibunya dia menangisi perpisahannya dengan Karan yang sudah resmi tercatat secara hukum agama dan negara.Harapan itu telah sirna, Karan tidak ingin lagi mencabut keputusannya. Dia sudah benar-benar telanjur mengubur rasa sakit dan kecewanya lewat perpisahan ini. Selembar kertas itu bisa saja disobek oleh Reina, tetapi itu tidak bisa merubah kenyataan pahit bahwa Karan dengan dirinya sudah tidak bisa lagi bersama.“Neng, jangan khawatir, meskipun sudah mendapatkan akta sekalipun kalau memang takdir Allah harus kembali, tidak ada yang mustahil. Bapak bicara begitu, sebab sudah mendapati banyak kasus suami istri yang menikah dan berpisah lalu mereka kembali,” ucap Pak Komar s
“Re, sudah hampir satu bulan lebih kamu tidak pulang. Kapan pulang? Pekerjaanmu kemarin bagaimana?” suara sang ibu dari seberang sana menyapa Reina dengan pertanyaan.“Iya, Bu. Reina belum bisa pulang, kemarin tidak lolos ke tahap berikutnya. Nanti, Reina pikirkan kapan akan pulang.”Obrolan singkat itu tidak begitu lama, Reina akhirnya menutup panggilan setelah bertukar kabar dengan ibunya di kampung. Ah, benar. Memang sudah cukup lama, banyak hal yang belum Reina selesaikan di kampung termasuk perihal urusan pernikahannya dengan Karan. meskipun secara agama sudah sah berpisah, tapi mereka belum mengurusinya secara hukum.“Uruslah perceraianmu itu ke pengadilan, Re. Kamu masih muda, jalan hidupmu masih panjang. Kalau kamu tidak mengurusnya, akan sulit menikah lagi nantinya,” desak seseorang pada Reina.“Aku belum membutuhkannya, lagi pula kalau harus mengurus itu butuh banyak uang.” “Begini saja, kamu temui mantan suamimu itu dan ajak diskusi bagaimana perihal perceraian kalian. Dibu