Karan mengangkat semua barang-barang milik Reina dan memasukan ke bagasi mobilnya. Sudah tidak ada lagi toleransi untuk Reina, pernikahan ini harus benar-benar berakhir.
Meskipun berat hatinya meninggalkan rumah sang suami, terutama meninggalkan anak-anaknya. Akan tetapi, Reina juga tidak ingin memaksakan Karan untuk tetap menampungnya di rumah itu. Padahal sudah jelas, bahwa Karan tidak menginginkan lagi istrinya.
“Haruskah dengan cara begini hancurnya pernikahan kita, Karan? Apakah kita tidak bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?”
“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku ini seorang duda dua orang anak, kamu menyanggupinya untuk menerima anak-anakku. Jadi, untuk apa kamu bertahan jika tidak mau lagi mengurus anak-anak.”
“Apa selama ini aku tidak pernah mengurusi anak-anakmu, Karan?”
“Tapi kamu lebih sibuk dengan duniamu dan kamu lebih senang keluar bersama teman-temanmu daripada menemani anak-anak. Satu hal lagi, Reina. Aku tidak bisa bertahan dengan wanita yang jelas sudah tidak mau setia lagi kepadaku.”
Karan masih bersikeras dengan keputusannya. Hubungan pernikahan yang baru menginjak empat puluh hari itu harus berakhir tanpa tapi. Segala usaha dilakukan Reina untuk mempertahankan pernikahannya dengan Karan, tapi nahkodanya tetap saja memilih untuk berhenti di tengah lautan tak lagi melanjutkan perjalanan.
Reina masih berusaha mencegah Karan, dia ingin mempertahankan pernikahannya meskipun sudah diujung tanduk. Akan tetapi, semua hal yang dilakukan Reina tidak ada gunanya lagi sekarang.
Kini, tinggallah rasa sesal dalam hatinya. Sudah terlambat untuk Reina mengatakan penyesalannya kepada Karan. Semua barang sudah diangkut Karan hanya tinggal beberapa langkah lagi sebelum naik ke mobil.
“Sampai di sinikah perjuanganmu untuk mempertahankan pernikahan kita, Karan? Kenapa tidak ada cara lain selain perpisahan ini, Karan?”
Reina bertanya pada dirinya sendiri seraya melihat ke sekeliling isi kamar dan rumahnya. Lemari dan baju yang di dalamnya pernah dia sentuh dan dia cuci. Reina menyentuh salah satu baju milik Karan, baju yang pertama kali Karan pakai di rumahnya setelah pernikahan.
Bukan hanya sesak, tapi sakit begitu dalam dirasakan oleh Reina. Dia menangis seraya memeluk baju itu, berharap bahwa ada keajaiban Tuhan untuk pernikahannya.
“Setelah ini, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Mungkin hidupku tidak ada gunanya lagi tanpamu,” tangis Reina.
Farhan mengejutkan Reina dengan menarik ujung baju ibunya.
“Bunda, ayo kita pergi! Ayah menunggu di luar.”
Reina menyeka air matanya, “baik, Nak. Mari!” ajak Reina seraya meraih tangan anaknya.
Ibunya Karan sudah tiba sejak tadi, Karan sengaja meminta ibunya menjemput dengan menyewa mobil. Barang Reina juga cukup banyak, itulah sebabnya Karan memilih untuk menyewa mobil untuk mengantarkan Reina pulang. Kenyataan ini benar-benar harus diterimanya, tak ada lagi usaha Karan untuk bertahan.
“K-karan,” panggil Reina sebelum menaiki mobil seraya menyentuh ujung jari suaminya.
“Sudah siap? Ayo kita berangkat!” ajak Karan.
Namun, langkah Karan terhenti saat Reina berhasil menarik lengan Karan agar tidak segera masuk ke dalam mobil. Reina masih berharap bahwa Karan akan mengurungkan niatnya untuk berpisah.
“Apalagi yang akan kita bicarakan, Re? Sudah jelas bukan, kamu meminta pulang? Abang antarkan kamu pulang sesuai permintaanmu.”
“Setelah ini, Re tidak tahu akan melanjutkan hidup seperti apa. Sebab, Reina tidak tahu akan mendapatkan ganti yang lebih baik dari Abang atau tidak. Tapi yang jelas, Reina sama sekali tidak berniat untuk menikah dengan lelaki lain lagi.”
“Jangan bicara seperti itu, kamu harus melanjutkan hidup. Jadikan pernikahan ini sebagai pelajaranmu, kelak jangan lakukan kesalahan yang sama saat memiliki suami lagi.”
“Tidak, Re tidak ingin mencari ganti yang lain. Namun, jika Abang merasa Reina tidak pantas menjadi istri Abang dan ibunya anak-anak, silakan Abang cari yang lebih baik dari Reina.”
“Tidak, saat ini Abang hanya memikirkan anak-anak, tidak akan mencari ibu pengganti untuk mereka. Sudahlah, ayo kita pergi!”
Sepasang mata itu tidak lagi menatap, Karan berusaha memalingkan wajah dari Reina. Begitu juga dengan Reina, dia tidak sanggup menatap wajah suaminya. Lelaki yang telah mengikat sebuah janji dengan orang tuanya kala itu.
Tidak dia percaya, bahwa pernikahan yang diidamkan oleh Reina harus sesingkat ini perjalanannya. Reina tidak menyangka, bahwa impiannya menikah sekali seumur hidupnya tidak dikabulkan Tuhan.
Terlebih, Reina berharap bahwa ia tidak mengalami kehancuran pernikahan seperti kedua orang tuanya. Akan tetapi takdir Tuhan memberikan dia kejuatan lain. Reina harus merasakan rasanya perpisahan kedua orang tuanya.
“Tuhan, tolong selamatkan pernikahan ini. Aku mohon, jangan biarkan ranjang kami benar-benar hancur begitu saja, tolong kembalikan hati suamiku dan kembalikan rasa cintanya untukku.”
Doa Reina dalam hatinya sepanjang jalan, dia hanya berharap bahwa ada keajaiban Tuhan serta kejutan lain untuk keutuhan pernikahannya. Hatinya hancur, tetapi tidak lebih hancur dari perasaan Karan saat ini.
Hati Karan sudah sangat kecewa, hingga dia tidak mau menatap kembali wanita yang pernah dia perjuangkan itu. Meskipun terdengar sederhana, tetapi memang tidak ada yang dapat memahami perasaan selain dirinya sendiri.
Kedatangan mobil mengejutkan Henny, sudah lama memang anak sulungnya ini tidak pulang setelah menikah. Kali ini, dia datang bersama suaminya. Karan segera memarkirkan mobilnya di halaman rumah, lalu keluar menyalami Henny sebentar.
Karan mengeluarkan semua barang milik Reina dari bagasi mobil dibantu oleh pemilik mobilnya. Henny sangat terkejut, tetapi tidak sanggup bertanya sebelum mereka sendiri yang menjelaskan segalanya. Meskipun sebelumnya Reina sudah mengabarkan bahwa dirinya dengan Karan akan pulang.
“Ibu, Karan tidak lama datang ke sini. Hanya ingin mengantarkan Reina pulang seperti yang dia inginkan. Selain itu, Karan juga ingin mengembalikan Reina. Kita sudah mengamil keputusan untuk berpisah,” tutur Karan setelah dipersilakan duduk oleh mertuanya.
“Nak, apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak bicara baik-baik saja dulu? Kenapa langsung mengambil keputusan seperti ini?”
“Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Bu. Memang jalan kita sudah berbeda arah, semua hal yang terjadi dalam pernikahan biarkan menjadi masalah kita dan hanya kita yang mengetahuinya. Sekarang, saya hanya ingin menjatuhkan talak satu kepada Reina dan Ibu saksinya.”
Bukan main terkejutnya Henny mendengar penjelasan Karan, sementara Reina tidak menanggapi hal apapun lagi. Dia hanya terdiam, berusaha tetap tegar menghadapi kehancuran pernikahannya.
Sebagai seorang ibu, Henny tidak bisa memaksa anaknya untuk bertahan. Akan tetapi, Henny berharap bahwa keduanya akan merubah keadaan dan mau memperbaiki segalanya.
“Nak, apapun masalahnya. Ibu tidak berharap kalian harus berpisah secepat ini, terlalu singkat perjalanan kalian. Jika masih bisa diperbaiki, kenapa tidak kalian coba diperbaiki saja.”
“Tidak, Bu. Ini sudah keputusan akhir dan memang Reina yang memintanya. Jadi, saya tidak memiliki alasan untuk tetap mempertahankannya lagi. Saya permisi.”
Tidak menunggu lama lagi, Karan akhirnya pamit pulang. Tidak peduli mertuanya terus mempertanyakan apa yang terjadi kepada keduanya.
“Bunda, ayo ikut pulang!” ajak Farhan.
“Tidak, Nak. Bunda tidak ikut dengan kalian, pulanglah! Jaga dirimu baik-baik,” ujar Reina seraya mengecup lembut anak sulungnya untuk terakhir kali.
Malam itu, Reina masuk ke kamar tanpa ada seorang pun yang dapat menggangunya. Reina tidak ingin bicara dengan orang lain termasuk ibunya. Meskipun begitu, ibunya sangat khawatir, sebab Reina tidak mau makan atau melakukan apa pun setelah dikembalikan oleh suaminya.Kali ini Reina sudah hilang harapan untuk bertahan, suaminya sudah melepaskan dirinya dan tidak ada orang lain yang akan menerima dirinya terutama status Reina sebagai janda. Dia tidak akan seperti dulu lagi, akan benar-benar berubah setelahnya.Meminta kembali kepada Karan sudah tidak ada kesempatan lagi, melanjutkan hidup pun sangat sulit. Hatinya sedang benar-benar patah dan sakit menahan rindu dengan kedua anaknya.“Re, semua baik-baik saja ‘kan?” tanya Henny memberanikan diri bertanya.Reina mengangguk perlahan, “iya, Bu. Semuanya baik-baik saja, hanya hati Reina saja yang tidak baik-baik saja.”Reina kembali ke kamarnya, meninggalkan banyak tanya di hati ibunya. Henny bingung, entah harus bagaimana menghadapi anaknya
Dunia Reina benar-benar sudah berubah setelah kepergian Karan. Baru dua hari saja mereka berpisah, tapi semua itu berhasil membuat hati Reina hancur dan berantakan. Ada sesal yang menyelimuti hatinya, tetapi itu tidak membuat Karan kembali. Reina seperti orang pesakitan, tidak tahu arah hidupnya lagi.Reina masih berusaha menghubungi Karan, dia berharap bahwa Karan berubah pikiran dan memperbaiki semuanya. Sayang sekali, semua ini sudah menjadi keputusan final bagi Karan dan dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan pernah menarik kembali apa yang sudah dilepaskannya.Kapal yang sedang mereka tumpangi bukan hanya oleng, melainkan hancur. Awalnya, Reina hanya merusak bagian kecil dari kapal tersebut. Namun kini, Karan sendiri yang telah menghancukan kapalnya, sehingga keduanya tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan pernikahannya mereka.“Tidak ada yang patut disalahkan dalam pernikahan, baik aku ataupun dirinya memang sama-sama bersalah. Akan tetapi, roda utama dalam pernikahan ini adala
Selamat pagi, Bang!Di manapun Abang saat ini, Re berharap Abang dalam keadaan sehat. Re, rindu dengan Abang dan anak-anak. Re berharap Abang sudah baik-baik saja dan berdamai dengan keadaan. Mau sampai kapan Abang seperti ini? Tolong Abang berhenti menyakiti diri sendiri dengan terus meratapi kepergian mending istri Aban.Bagaimana istri Abang bisa bahagia di alam kuburnya, kalau melihat yang ditinggalkannya gak bahagia? Apa Abang tega membuat istri Abang tidak tenang di alam kubur kalau tahu suami dan anaknya masih berat melepaskan kepergiannya.Hidup Abang juga harus berjalan, bangun Bang dan terima semua yang terjadi. Re tidak meminta Abang melupakan begitu saja istri Abang. Tetapi, Abang juga harus melanjutkan hidup, ada anak-anak yang harus Abang besarkan. Abang masih memiliki masa depan dan tentu saja perusahaan Abang harus kembali maju.Kalau sampai hari ini Abang masih terus membuka kembali lembaran lama masa lalu, kesehatan mental Abang akan terganggu. Secara dzohir mungkin
Reina menuliskan sesuatu di dalam laptopnya, sebuah pesan berupa isi hati yang ingin disampaikan kepada Karan. sayang sekali, panjang lebar dia menuliskan pesan tersebut, tetapi dia tidak mengirimkan pesan itu kepada Karan. Dia mengurungkan diri menyampaikan hal tersebut.Namun, Reina menulis ulang kalimat yang lebih singkat, dia memberanikan diri mengirim pesan tersebut kepada Karan. Seperti biasanya, jiwa penulisnya memang tidak hilang. Reina mengirim pesan seperti menulis novel, panjang dan berjilid. Namun itu menjadi ciri khas-nya yang sewaktu-waktu akan dirindukan oleh seseorang.“Entah Karan akan membacanya atau tidak, setidaknya aku sudah menyampaikan maksudku padanya,” ucap Reina seraya menyimpan kembali ponselnya usai mengirimkan pesan.Seperti sebelumnya, pesan itu tidak lagi mendapatkan balasan dari Karan. Reina mengambil sebuah keputusan, bahwa itu akan menjadi pesan terakhir kalinya untuk Karan dan dia tidak akan mengganggu Karan lagi. Hatinya memang terluka, tapi Reina t
Ada kebahagian dibalik air mata Reina. Meskipun hatinya terluka karena Karan, tapi dia berusaha menguatkan diri dan tetap melanjutkan hidupnya. Reina menumpahkan kesedihannya lewat sebuah tulisan, dalam bukunya berjudul Ranjang Kehancuran di salah satu platform. Dia berpikir bahwa inilah cara satu-satu untuk menumpahkan semua patah hati dan isi hati yang tidak dapat disuarakannya.Saat tetangga di luar terus mengguncingkannya, mereka menyampaikan bahwa semua kesalahan dalam pernikahan ini disebabkan oleh Reina. Dia tidak pernah mengurusi anak-anak Karan, hanya sibuk menulis dan lebih senang berkumpul dengan teman sesame penulisnya. Tidak hanya itu, mereka juga mengguncingkan bahwa Reina tidak mau mengurusi pekerjaan rumah seperti ibu rumah tangga pada umumnya.Reina hanya diam, dia tidak mau menanggapi apa pun yang dilontarkan keluarga Karan. Dia meminta pihak keluarga agar tidak menjelaskan masalah utama dalam pernikahannya dengan Karan. Reina tetap berusaha menjaga kehormatan Karan,
Setelah kedatangan seorang wanita bernama Chika itu, Reina terus berpikir mengenai pernikahannya dengan Karan. Dia tidak tahu, mana yang harus dipertahankan. Jika Reina mengalah dan menurunkan ego, dia juga tidak tahu Karan akan berubah atau tetap pada egonnya saja.Namun, Reina juga tidak ingin dikalahkan oleh egonya. Rasa rindu yang kerap kali menyiksa dirinya dan perasaan ingin tetap bersama dengan Karan. Harapan dirinya agar rumah tangga yang di bangun akan utuh hingga maut memisahkan. Doa Reina agar dia menikah sekali seumur hidupnya.“Aku ingin jatuh cinta sekali seumur hidup. Jika pun aku harus jatuh cinta lagi, aku hanya akan jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama,” batin Reina.Reina terus bersiteru dengan isi kepalanya. Karan tidak pernah tahu, saat dirinya menghabiskan malam hanya untuk menangisi Karan dengan anak-anak berharap bahwa pernikahannya dapat diselamatkan. Reina seperti orang gila yang terus meminta kepada Tuhan agar suami dan anak-anaknya dikembalikan.
Kedatangan Reina memang sangat mengejutkan Karan, tapi dia tetap mempersilakan wanita itu masuk rumahnya. Reina menatap sekilas isi rumah yang pernah ditinggalinya bersama Karan di awal pernikahan. Rumah yang selalu dia rapikan setiap hari, terlihat berantakan dan tidak terurus. Benar, Karan memang bisa melakukan pekerjaan rumah, tapi belum tentu serapi perempuan yang membereskannya.Keduanya terpaku dalam diam, tidak ada yang memulai percakapan. Reina mendadak bingung harus memulai dari mana bicara dengan Karan. Padahal dia sudah mempersiapkan kalimat yang akan diucapkannya kepada Karan. Saat bertemu, seolah semua tampak nanar dan kaku.Reina senang melihat Karan kembali, melepas rasa rindunya. Akan tetapi, seketika hatinya bergemuruh dan canggung. Lelaki yang dia temui ini memanglah pernah menjadi bagian dari hidupnya, tapi saat ini semuanya telah berubah. Hubungan itu sudah hancur seketika hanya karena ego masing-masing, entah masih ada harapan untuk kembali atau Karan benar-benar
Lembaran hidup Reina kembali dibukanya. Bulan-bulan yang telah dia lewati tanpa Karan benar-benar membuatnya sakit dan terpuruk. Reina berusaha bertahan dan melanjutkan hidupnya. Dia juga terus melanjutkan menulis di tengah rasa sakit dan kekecewaan atas hancurnya pernikahan Karan.Setelah hari ini, saat dirinya terakhir kali menemui Karan di kota dan berakhir dengan rasa sakit. Reina memutuskan untuk tidak lagi menghubungi Karan dan mengusik kehidupannya. Reina tidak ingin hatinya semakin hancur setelah kepergian Karan, dia terus berusaha bangkit mengemasi hatinya serta memunguti kepingan hatinya yang berserakan.Reina berhasil mendapatkan ratusan dollar dari hasil menulisnya, hal itu yang memicu semangat Reina di tengah patah hatinya. Meski dia tidak dapat memaksa hatinya untuk melupakan Karan begitu saja. Dia terus mencoba menata kembali hatinya, mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyerahkan seluruh hidupnya.“Apa jadinya aku jika berada di posisimu, Re? aku rasanya, kamu gadis yan
Hari-hari dilewati Reina menjalani aktivitas sebagai seorang baby sitter sekaligus asisten rumah tangga. Hidup di tengah ibu kota tak seindah dalam bayangannya, semua pekerjaan dia lakukan agar bisa bertahan hidup. Meskipun orang lain akan menertawakan dirinya, lulusan sarjana tapi kerja seperti ini. Sebab mereka tidak pernah tahu, betapa sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta.Setelah hampir 6 bulan, di bulan ke-6 Reina memutuskan resign dari kerjaan saat ini. Dia ingin mencoba peruntungan baru dari ijazah yang dimilikinya. Namun takdir baik belum berpihak padanya, dua bulan mencari pekerjaan ternyata tidak mudah bertahan. Hingga dia memutuskan pindah ke kosan yang lebih murah dan mendapat pekerjaan membantu jualan di Kedai Coto Makkasar. Satu bulan dia jalani pekerjaan di sana dengan gaji 1,7 juta dipertahankan. Beruntung tempat kerja dekat kosan, jadi tidak membutuhkan ongkos. Namun, di bulan kedua kejutan baru datang. Reina mendapatkan pesan dari adik iparnya.“Teh, minta doanya.
Sekali lagi, air itu kembali tumpah mengingat semuanya. Kegagalan pernikahan, masalah dan kepelikan dalam hidup, orang tua dan segala hal yang menjadi beban pikiran Reina selama ini. Tidak peduli seberapa hancur dirinya, bagi keluarga Reina sangat egois dan keras kepala.“Sudah sangat jauh perjalananmu, Re. Kapan akan menemui orang tuamu?”“When? Entahlah, aku masih belum siap menemui mereka. Aku hanya takut, jika menemui mereka dalam keadaan hati yang tidak stabil dapat memperkeruh keadaan. Kawatir emosiku tidak bisa dikendalikan seperti saat itu.”“Itu pilihanmu, tapi kamu harus ingat akan sejauh apapun langkahmu tentu saja keluarga tempat pulang sesungguhnya.”Reina hanya mengangguk ringan, dia membenarkan perkataan sahabatnya. Hanya saja, dia tidak bisa memilih untuk pulang dalam waktu dekat. Akan ada waktu yang tepat untuk pulang, meski itu tidak saat ini.Satu bulan sudah Reina bekerja dengan Winda dan Enggal, rasanya sangat baik dan nyaman. Mereka juga tidak pernah memaki Reina
Reina menjalani rutinitas dan aktivitasnya dalam keluarga Winda dan Enggal, ayah dari Tacha. Keduanya sangat baik, memberikan tempat yang nyaman untuk Reina. Rasa syukur yang tidak hentinya Reina panjatkan kepada Tuhan. Keluar dari rumah Danny ternyata sebuah pilihan terbaik, bahkan sekalipun dia memintanya untuk kembali tentu saja Reina memilih tetap berada di sini.Hari pertama, Reina diminta untuk masak oleh Winda karena hari itu suaminya, Enggal pulang dari Solo. Dia seorang engginer di sebuah perusahaan pemberdayaan satwa yang cukup terkenal di Indonesia. Sedangkan Winda sendiri bekerja sebagai supervisor di salah perusahaan telekomunikasi.“Mbak, ada ayam dan bayam di dalam kulkas. Terserah Mbak mau masak apa, yang penting ada sambalnya. Nanti minta tolong ayamnya dibuat kaldu dulu ya, Mbak untuk masak makanan Tacha.”“Baik, Bu.” Reina kembali melanjutkan masak, entah mengapa rasanya menyenangkan melakukan pekerjaan ini. Dia membuktikan kepada dirin
Dalam lapis-lapis keberkahan, ranumnya bermandikan bunga dan baunya beraroma surga. Cahayanya ibarat cakrawala, pancarannnya bak mentari di pagi hari. Manusia, selalu tidak merasa cukup atas sesuatu yang didapatkan dan dimiliki. Tidak merasa puas atas pencapaian yang diperoleh. Padahal, kita tahu bahwa tidak semua orang mendapatkan yang diinginkan dan didapatkan.Perlu sesekali, kita menoleh pada sebuah negeri. Di mana mereka tidak mendapatkan hak dan kehidupan layak. Mereka seringkali ditindas dan diperbudak. Setiap hari hanya bergelimang air mata dan rasa takut. Meskipun tidak ada yang mampu memadamkan kobaran api semangat untuk mempertaruhkan harta bahkan nyawa hanya demi tegaknya agama. Menjadikan syahid sebagai tujuan akhir dari hidupnya.Negeri Syam, Gaza, Palestina, Suriyah, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak kita ketahui kisruhnya. Mereka yang ditindas dan diperbudak di negeri sendiri. Tidak diberikan tempat layak, kehidupan yang nyaman. Tetapi, betapa malunya kita hidup
“Bismillah…” Kalimat itu yang terucap pertama kali saat Reina melangkah meninggalkan kota Sukabumi menuju Tangerang. Memang tidak mudah mengambil keputusan, akan tetapi semua itu sudah menjadi pertimbangan serta pergulatan cukup panjang dalam munajah Reina selama dua pekan terakhir. Setelah drama semalaman di perjalanan dengan sopir travel, hari minggu pagi Reina tiba di yayasan. Langsung saja Reina diminta untuk membersihkan diri, kemudian diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Usai mengerjakan rangkain test, tiba saatnya Reina mengisi data diri serta surat perjanjian dengan pihak yayasan untuk di proses mencari calon majikan. Awalnya Reina merasa minder, sebab tidak memiliki pengalaman bekerja seperti ini sebelumnya. Sementara rekan lainnya memiliki jam terbang lebih banyak, terutama beberapa diantara mereka sudah ada yang bekerja di luar negeri. Sebuah keajaiban tiba, Reina mendapatkan panggilan untuk wawancara dengan calon majikan. “Kamu bagaimana sih, masa wawancarany
Karan yang sedang berjuang untuk kedua anaknya, sedangkan Reina juga harus berjuang untuk menyembuhkan luka dan patah hatinya usai berpisah dari Karan. Entah mengapa, bahkan hingga saat ini pun luka itu masih terasa perih untuk dikenangkan. Reina menangis setiap kali melihat akta cerainya. Sore itu, Reina mengetuk pintu rumah salah seorang temannya. Wina, membukakan pintu dan meminta Reina masuk sebelum akhirnya dia bercerita apa yang terjadi. Tidak menyangka, bahwa sosok Reina bisa melakukan hal tak terduga seperti ini. “Ada apa, Re?” “Aku kabur dari rumah.” “Astaghfirullah, kamu kenapa?” “Aku habis bertengkar dengan keluargaku, aku capek Kak Win. Selama ini aku berjuang untuk keluarga, mencoba membantu mereka, tapi apa yang mereka katakan bahwa aku tidak pernah memberikan apapun untuk keluarga. Selama ini aku mencoba tertawa, bahagia di hadapan keluarga padahal aku diam-diam menangis di dalam kamar mengingat gagalnya pernikahanku. Aku harus pergi dari sini agar hidupku lebih bai
Karan masih menjalankan aktivitas seperti biasanya, mengajar maupun mengurus anak-anak. Hanya saja, sejak Reina meninggalkan rumah itu, ibu mertua Karan membawa kembali anak bungsunya. Namun, rutinitas Karan tidak sepadat dulu sebelum menikah dengan Reina. Dia yang biasa sebelum berangkat kerja harus mengurus anak-anak di rumah ibu mertuanya, kini tak lagi sebab anak sulungnya tinggal bersama di rumah baru.Bukan hal mudah memang menjadi Karan, dia harus dipukul oleh kenyataan atas kehilangan sang istri dengan meninggalkan dua orang anak, terutama anak bungsu yang saat itu masih berusia dua bulan.Namun, Karan berhasil survive dan melewati itu dalam waktu hampir satu tahun. Meskipun pernah menikah dengan Reina yang hanya berjalan satu bulan saja, tetapi peran Karan sebagai ayah sekaligus ibu bagi kedua orang anaknya sangat luar biasa.Siapa yang ingin ditinggalkan oleh seorang istri? Semua suami juga tidak mengharapkan itu terjadi.Kalimat itu kerap kali diucapkan Karan setiap kali ad
Satu bulan setelah hari itu, tepat pada tanggal 31 Oktober akhirnya Reina dan Karan resmi berpisah. Tercatat dari tanggal tersebut masa iddah Reina dimulai kembali. Betapa tak adilnya Tuhan memperlakukan dirinya, begitu Reina memaki diri usai menerima akta cerai tersebut. Senyum kepalsuan itu mengembang, di belakang ibunya dia menangisi perpisahannya dengan Karan yang sudah resmi tercatat secara hukum agama dan negara.Harapan itu telah sirna, Karan tidak ingin lagi mencabut keputusannya. Dia sudah benar-benar telanjur mengubur rasa sakit dan kecewanya lewat perpisahan ini. Selembar kertas itu bisa saja disobek oleh Reina, tetapi itu tidak bisa merubah kenyataan pahit bahwa Karan dengan dirinya sudah tidak bisa lagi bersama.“Neng, jangan khawatir, meskipun sudah mendapatkan akta sekalipun kalau memang takdir Allah harus kembali, tidak ada yang mustahil. Bapak bicara begitu, sebab sudah mendapati banyak kasus suami istri yang menikah dan berpisah lalu mereka kembali,” ucap Pak Komar s
“Re, sudah hampir satu bulan lebih kamu tidak pulang. Kapan pulang? Pekerjaanmu kemarin bagaimana?” suara sang ibu dari seberang sana menyapa Reina dengan pertanyaan.“Iya, Bu. Reina belum bisa pulang, kemarin tidak lolos ke tahap berikutnya. Nanti, Reina pikirkan kapan akan pulang.”Obrolan singkat itu tidak begitu lama, Reina akhirnya menutup panggilan setelah bertukar kabar dengan ibunya di kampung. Ah, benar. Memang sudah cukup lama, banyak hal yang belum Reina selesaikan di kampung termasuk perihal urusan pernikahannya dengan Karan. meskipun secara agama sudah sah berpisah, tapi mereka belum mengurusinya secara hukum.“Uruslah perceraianmu itu ke pengadilan, Re. Kamu masih muda, jalan hidupmu masih panjang. Kalau kamu tidak mengurusnya, akan sulit menikah lagi nantinya,” desak seseorang pada Reina.“Aku belum membutuhkannya, lagi pula kalau harus mengurus itu butuh banyak uang.” “Begini saja, kamu temui mantan suamimu itu dan ajak diskusi bagaimana perihal perceraian kalian. Dibu