"Kau tahu, Vania. Aku cemburu, aku sakit hati, dan aku juga membenci keadaan ini. Haruskah aku melakukan apa yang kau katakan? Menjadi seorang ratu drama dan berbuat hal yang buruk demi bisa mencelakaimu hanya agar kau terdepak dari sisi Rendi?" Lirih Karin hampir tak terdengar.***Vania menggigit kukunya sambil memandang lurus ke luar jendela. Sofa tunggal yang diletakkan dekat jendela kamarnya kini menjadi bagian favoritnya. Bulu mata lentiknya sesekali nampak mengipas wajah. Seakan mengekspresikan rasa bosan yang mendera.Awan mendung sudah menggelayut sejak pagi. Rasa malas begitu anggun menyelimutinya. bahkan untuk sekedar pergi ke minimarket yang ada di ujung kompleks pun kakinya terasa berat seperti di gantungi berkilo-kilo batu.Sudah hampir dua minggu sejak kepindahannya dari rumah Rendi dan menghuni rumah baru hadiah pernikahan yang diberikan ibu mertuanya. Rumah berlantai dua yang kini dihuni berdua dengan Bi Sumi, seorang asisten rumah tangga yang baru seminggu yang lal
"Kau tidak pulang ke rumahmu, mas?" Tanya Vania sedikit malas."Tidak, aku akan tidur disini malam ini." Mendengar jawaban Rendi, membuat gadis itu memutar bola mata malas, lalu melirik suaminya itu dengan pandangan bosan."Oh, Jangan bilang kalau kau terpaksa kemari karena disuruh Mbak Karin?" Sindir Vania.***Rendi menggeleng." Tidak. Karin tidak meminta. Aku sendiri yang memutuskan untuk tidur disini malam ini."Mendengar perkataan Rendi, segera Vania berpaling. Bola matanya kembali memutar malas ketika lelaki yang terpaut hampir tujuh tahun darinya itu sedang melepas sandalnya dan berniat untuk rebah di ranjangnya."Kau pakai kamar di lantai bawah saja, mas. Maaf, tapi aku ingin sendiri di kamarku." Tegas Vania sambil melempar tatapan tajam."Tak masalah." Mendengar jawaban Rendi yang tanpa perlawanan. Tentu saja membuat Vania sedikit kaget, karena tak biasanya lelaki itu bersikap ramah dan mengalah padanya. Sungguh, terkadang Vania tak bisa mengerti isi kepala lelaki ini."La
Wajah Rendi yang tadi mengulas senyum kini berubah dingin ketika membaca pesan Gio berikut pesan balasan yang ditulis Vania. Tak lama ia mengembalikan benda pipih itu ke tempatnya semula begitu terdengar langkah kaki seseorang mendekat. Dan Rendi meyakini pemilik langkah itu adalah Vania yang baru menyadari jika ponselnya masih tertinggal di kamar ini.***Keringat mengucur membasahi wajah Karin, begitu juga dengan mulutnya yang terus bergumam tidak jelas. Salah satu tangannya terangkat seakan ingin menggapai sesuatu, namun tak terjangkau.Cahaya lampu temaram yang berasal dari lampu tidur seakan mendukung. Rona ketegangan di wajah Karin seakan enggan berpindah. Begitupun dengan lehernya yang nampak kaku seakan ingin menjerit.Dengan nafas yang tersengal-sengal, Karin terbangun. Dahaga yang begitu kering seakan ikut mengkhianati dirinya. Tubuhnya begitu letih seperti kekurangan cairan.Tangan Karin menggapai di tengah temaramnya cahaya lampu, mencari segelas air yang biasanya diletakk
"Mas, apa sebelum kesini, kau dan Vania ...?""Aku tidur di ranjang Vania." Sahut Rendi pelan dengan mata terpejam."Oh," jawab Karin pendek. Tanpa sadar tangannya kini mengepal erat.****Motor yang membawa Vania akhirnya berhenti di sebuah bangunan rumah mewah bertingkat tiga. Rumah dengan gaya Mediterania klasik itu terlihat begitu anggun dan mengesankan.Seorang satpam penjaga tampak bergegas membuka pintu ketika melihat Vania membuka helmnya. Sambil mengulas senyum tipis, Vania mendorong motornya memasukinya halaman rumah keluarga Atmadja, mertuanya.Setelah memarkir motornya di dekat jejeran mobil mewah mertuanya, Vania mengambil sebuah paper bag yang rencananya akan ia berikan pada Helena, ibu mertuanya. Vania melirik ke sisi kanannya, tampak mobil hitam milik suaminya telah terparkir manis di sana. Tatapan matanya datar, tak ada emosi yang terlihat. Tak berselang lama, ia berbalik menuju pintu utama rumah mertuanya.Seorang asisten rumah tangga langsung menyambut kedatanganny
"Kau tidak masalah kan, sayang jika membiarkan mereka pergi kedua saja ke Bali untuk beberapa hari?" Lanjut Helena kemudian.Mendengar perkataan Helena seketika Vania merasa kepalanya begitu berat serta lidahnya kelu untuk berkata-kata. Sedang Karin, wanita itu sempat terdiam sejenak, lalu beberapa saat kemudian, meremas ujung pakaiannya sambil mengulas senyum getir di wajahnya.***Tenggorokan Vania seketika tercekat. "Bu-bulan madu, ma? Ba-bali?" Gugup Vania memastikan kebenaran ucapan Helena, Ibu mertuanya tadi."Iya, sayang. Setelah menikah, kau dan Rendi belum menikmati masa bulan madu kalian, benar kan?" Jawab Helena.Vania mengangguk samar, seakan membenarkan ucapan Helena. Setelah pesta pernikahannya tiga bulan lalu, ia dan Rendi memang belum mengecap indahnya berbulan madu. Bukan karena Rendi tidak menawarkan, tapi, Vania menolak dengan alasan perkerjaan di kantor sedang menumpuk yang tidak bisa ia tinggalkan.Lagipula, untuk apa harus berbulan madu ketika Rendi sendiri suda
Vania menghela nafas panjang. Sepertinya akan sulit baginya untuk menghindar. Bukan saja pernikahannya yang telah diatur bahkan jadwal bulan madu pun sudah terencana dengan begitu rapi. Membuatnya seakan ingin menenggelamkan tubuhnya ke dasar lautan yang paling dalam.***"Rasanya aku seperti tidak memiliki hak atau pun privasi terhadap hidupku sendiri." Vania berbisik begitu pelan."See! Tak ada masalah lagi kan? Semua orang sudah setuju," Tanya Helena dengan rona wajah penuh kepuasan.Hening.Tak ada suara apapun yang terdengar untuk menolak keinginan Helena. Kelihatannya wanita berdarah Skotlandia itu benar-benar pintar mengatur semuanya. Setidaknya, Vania mengakui kelebihan ibu mertuanya yang satu ini. Yang sangat suka memaksakan kehendak.Karin masih nampak meremas ujung pakaiannya. Sesekali ekor matanya melirik Rendi yang duduk bersandar sambil menatap layar televisi. Berharap lelaki itu akan berusaha menolak keinginan ibunya di menit menit terakhir. sayang, sepertinya harapanny
Mobilnya kini berhenti di sebuah pemakaman. Nafasnya terdengar berat seakan menahan beban yang begitu berat di pundaknya. Tak lama langkah kakinya membawanya mendekat ke sebuah makam. Lalu berhenti mematung diam setelah sebelumnya meletakkan sebuket bunga di sana"Mengapa kau membiarkan aku menanggung semua ini sendiri. Tak tahukah kau jika itu membuat hidupku begitu sengsara?" Lirih Karin dengan ekor mata yang mulai basah.***"Mbak, nanti siang mau dimasakin apa?" Tanya Bi Sumi, asisten rumah tangganya."Apa saja bi," jawab Vania cepat."Hmm, kalau ayam kecap mau?""Iya, itu juga boleh." Jawab Vania pelan."Lemes amat mbak, kayak nggak makan seminggu," Sindir Bi Sumi.Vania tak menjawab, hanya mengendikkan bahu. Sesekali terdengar ia mendengkus. Kelihatannya rasa lapar tidak ada dalam daftar yang hendak dilakukannya sekarang.Acara reuni akan di gelar besok siang di sebuah restoran berkonsep outdoor. Sebenarnya hampir setiap tahun acara temu alumni ini digelar, namun, tak sekalipun
"Aku tahu, kau menikahi seorang pria yang sudah menikah dan hanya dijadikan istri kedua. Pernikahanmu juga dilakukan diluar keinginanmu. Aku yakin suamimu tidak begitu peduli padamu, benar, kan?"***Mendengar tudingan Gio, seketika dada Vania terasa nyeri. Emosi yang tadi sempat mereda kini kembali terbakar. Meski ia mengetahui bahwa ucapan Gio benar adanya, tetap saja Vania tidak bisa menerima tudingan tersebut.Vania memalingkan wajahnya dari pandangan mata Gio yang sedari tadi begitu intens menatapnya, tak lama ia memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya membalas ucapan Gio dengan sebuah kalimat pedas yang menohok."Kau benar, aku memang dijadikan istri kedua dan pernikahanku juga terjadi di luar keinginanku sendiri. Tapi, setidaknya suamiku lebih baik darimu, ia memberikanku status dan hak."Lama Vania terdiam, tak lama ia kembali melanjutkan perkataannya."Kau meninggalkanku tanpa kabar, tanpa pamit dan tanpa keputusan. Kau membuatku menahan semua emosi sendiri. Kau menggantu
Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan
Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku
""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang
"Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung
"Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini
"Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny
Pernyataan Vania sontak membuat Lelaki itu memandangnya tanpa berkedip. "Iya, aku masih ingat, kenapa?" Balasnya bertanya."Talak aku mas," ujar Vania dengan suaranya yang bergetar.***Untuk beberapa saat Rendi tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Vania katakan. Matanya tampak mendelik marah karena tak suka dengan permintaan istri keduanya itu.Tangan Rendi mengepal, seolah menahan emosinya. Lelaki itu tak menduga jika Vania berniat untuk berpisah darinya."Apa kau sedang bercanda?" Tanya Rendi sambil menatap tajam pada istri keduanya itu. Sungguh ia tak suka dengan permintaan Vania kali ini.Vania menggeleng. "Tidak mas, aku serius. Tolong segera urus perceraian kita.""Kenapa? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ataukah ada hal lain yang membuatmu ingin berpisah dariku?" Cecar Rendi.Vania menggeleng." Tidak mas, kau tidak berbuat kesalahan apapun. Hanya saja aku sudah tak ingin lagi menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Mbak Karin," jawab Vania menunduk. Bahunya tampak se
"Lalu Gio, di mana dia? Apakah dia juga pergi setelah mengantarku ke rumah sakit, sama seperti Karin?" Bisik Vania teramat pelan, karena tak mungkin baginya untuk bertanya tentang lelaki itu pada ibu mertuanya.***Gio menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, lelaki itu tampak murung, sambil sesekali berdecak kesal.Setelah memastikan Vania ada yang menjaga, tepatnya setelah ia melihat kedatangan Rendi ke rumah sakit, lelaki itu perlahan mundur dan memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Tak hanya dirinya, karena beberapa saat kemudian, ia juga melihat Karin pergi meninggalkan rumah sakit, setelah berbicara sebentar dengan Rendi."Apa yang sebenarnya terjadi, Vania? Mengapa aku merasa sangat cemas seperti ini?" Lirih Gio tertahan.Dari kejauhan, ekor mata Gio menangkap mobil berwarna silver metalik yang dikendarai Karin. Entah mengapa mendadak ia memutuskan untuk mengikuti mobil Karin dan ingin mengajaknya bicara.Setengah jam telah berlalu, namun Gio masih belum melepaskan
Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya