"Aku tahu, kau menikahi seorang pria yang sudah menikah dan hanya dijadikan istri kedua. Pernikahanmu juga dilakukan diluar keinginanmu. Aku yakin suamimu tidak begitu peduli padamu, benar, kan?"***Mendengar tudingan Gio, seketika dada Vania terasa nyeri. Emosi yang tadi sempat mereda kini kembali terbakar. Meski ia mengetahui bahwa ucapan Gio benar adanya, tetap saja Vania tidak bisa menerima tudingan tersebut.Vania memalingkan wajahnya dari pandangan mata Gio yang sedari tadi begitu intens menatapnya, tak lama ia memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya membalas ucapan Gio dengan sebuah kalimat pedas yang menohok."Kau benar, aku memang dijadikan istri kedua dan pernikahanku juga terjadi di luar keinginanku sendiri. Tapi, setidaknya suamiku lebih baik darimu, ia memberikanku status dan hak."Lama Vania terdiam, tak lama ia kembali melanjutkan perkataannya."Kau meninggalkanku tanpa kabar, tanpa pamit dan tanpa keputusan. Kau membuatku menahan semua emosi sendiri. Kau menggantu
Keesokan harinya."Gaunmu yang merah itu cantik, Vania." Tunjuk Lila pada sebuah gaun satin dengan detail Lace di bagian ujung dad4. "Yang ini? Kau lupa dress code nya putih atau biru tua," desis Vania yang tak begitu bersemangat memilih gaun yang akan dikenakannya ke acara reuni nanti."Kau datang kerumahku pagi-pagi lalu memintaku segera memilih gaun dan berdandan. Apa kau tidak merasa sedang menganggu waktu istirahatku? Ini hari liburku, Aku bahkan memiliki rencana untuk tidur sampai sore." Keluh Vania melayangkan protes."Aku ingin kita terlihat menawan di acara reuni, makanya harus bersiap siap dari sekarang." Sahut Lila dengan senyum yang lebar."Kau sajalah yang datang, aku malas.""Tapi, kau kan sudah janji akan datang." Rengek Lila."Kapan aku pernah berjanji. Dari awal kau kan tahu aku tak mau datang," bola mata Vania membulat"Aku tahu, tapi apa salahnya sih menyenangkan teman."Mendengar perkataan Lila, sontak membuat Vania memutar bola mata dan melempar tatapan tajam pad
"Maaf, mas aku terpaksa mengajak Vania karena suamiku tak mau kuajak pergi." Terang Lila karena merasa tak enak."Oh, tak masalah." Jawab Rendi datar. Lalu memandang Vania yang hendak berdiri meninggalkan kursinya."Kau keberatan jika aku ikut menemanimu ke sana?" Ucapan Rendi membuat tubuh Vania seketika mematung. Lalu membalikkan badannya menatap Rendi dengan tatapan kesal.***Vania mendelik, memandang tubuh lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mata yang menyipit tajam. Dengan kasar ia meletakan sendok di tangannya dengan kasar hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras, membuat Lila yang duduk dihadapannya seketika menoleh padanya."Aku sudah selesai, sebaiknya kau selesaikan makanmu, Lila, jika tidak kita bisa terlambat. Aku tak mau kehilangan kalungku nanti," ketus Vania.Lila yang mendengarnya hanya bisa menggeleng, jujur saja wanita itu juga ingin segera menyelesaikan makan siangnya, dan segera menjauh dari mereka berdua. Entah mengapa, Lila merasa sebentar lagi a
Karin merasa jika ucapan ibu mertuanya bukanlah permohonan melainkan sebuah perintah. Sebuah keinginan agar ia tidak menjadi mengganggu kebahagiaan pasangan pengantin baru yang belum sempat mengecap manisnya kebahagiaan berbulan madu. Membuat hatinya seakan tercabut dari tempatnya.Apakah sekarang aku seperti benalu yang akan menyakiti seseorang hingga mama sampai memintaku menjauh dari suamiku sendiri? Batin Karin ingin berontak.***Haruskah ia melakukannya, mengikuti keinginan ibu mertuanya? Melihat Rendi yang duduk di dekat Vania saja ia sudah begitu cemburu. Apa mungkin ia bisa menekan semua perasaannya sementara kepalanya terus memikirkan kemesraan suami dan istri keduanya itu?"Tidak Karin, Jangan biarkan rasa cemburu menguasai dirimu. Vania tidak akan menggoda suamimu. Bukankah wanita itu ingin segera melepaskan diri dari pernikahan yang mengikatnya selama ini?" Bisik Karin menghibur diri."Bertahanlah sampai kau mendapatkan bayi dari rahim istri kedua suamimu. Bukankah sejak
Karena apa?" Fokus Vania pada wajah Lila yang seketika mengeras."Karena mantan kekasihmu juga akan hadir di sana nanti. Aku yakin suamimu itu tahu jika Gio juga akan ada di acara reuni sekolah kita.""Tentu saja Gio akan hadir, karena dia juga alumni, lalu apa masalahnya?" Tanya Vania cuek. Membuat Lila menggeleng dan membuang nafas panjang."Kau bodoh atau memang sengaja ingin membuat mereka bertemu, hah?" Ketus Lila yang gemas melihat Vania yang masih terlihat santai.***"Hah!" Vania mendelik ke arah Lila. Dengan wajah polosnya."Kau bilang apa sih?" "Astaga Vania! Kau benar-benar menyebalkan." Sungut Lila sambil memonyongkan bibirnya."Aku gemas melihat sikapmu yang terlalu cuek seperti ini!"Vania melengos, ucapan Lila tak membuatnya terpengaruh, wanita berlesung pipi di kiri itu tampak asyik berselancar di akun sosial media miliknya."Aku tidak mau tahu Jika ada pertumpahan darah di sana nanti," sindir Lila karena merasa Vania tak mendengarkannya bicara."Biarkan saja kalau me
Suara bening Rossa yang mendendangkan nyanyiannya di radio sedikit mengubah suasana hati Vania. Setidaknya, kini pikirannya sedikit teralihkan dari pembicaraan dua lelaki yang ada dalam lembaran hidupnya. Jujur saja, bila mengingat bagaimana cara kedua lelaki itu memperlakukan perasaannya. Selalu saja membuat moodnya seketika buruk.Mobil yang dikemudikan Lila terus bergerak memasuki kawasan bisnis elite di ibukota ini, membuat Lila menurunkan sedikit kecepatan mobilnya karena jalanan yang sempit."Kita hampir tiba. Kuharap kau bisa menjaga sikap di acara nanti. Aku tak ingin melihat kau terjebak ucapanmu sendiri jika suamimu benar benar datang," Lila berpesan yang hanya dijawab Vania dengan mengendikkan bahu.****Sepasang mata terus mengawasi Vania dan Lila sejak mobil ini melintas di area parkiran. Tatapan mata lembut yang terarah pada Vania membuat siapapun yang melihat akan berpikir jika itu adalah tatapan romantis seorang kekasih.Mereka tiba sudah hampir menjelang dibukanya aca
"Apa dia temanmu? Kau tidak ingin memperkenalkanku padanya?""Ah, anu itu ...." ah, rasanya Vania ingin memaki dirinya sendiri yang gugup akibat kedatangan Rendi yang tiba-tiba."Hai, apa kabar, brother? Kenalkan Rendi, suaminya Vania." Ucap Rendi memperkenalkan dirinya, entahlah mengapa kalimat perkenalan itu membuat tubuh Vania seketika membeku.***Rendi mengulurkan tangannya pada Gio dengan pandangan mata datar, meski salah satu sudut bibirnya melengkung, tetap saja cukup sulit untuk mengetahui isi pikirannya. Lelaki itu memang sungguh pandai menyembunyikan emosinya.Pandangan mata kedua pria itu kini saling mengunci, membuat Vania gelisah, hingga akhirnya, kelopak mata Gio mengedip memutus kontak mata mereka lalu mengulas senyum."Senang bertemu denganmu, Pak!" Jawab Gio sopan sembari menerima uluran tangan Rendi."Tak perlu sungkan, panggil saja Rendi. Teman Vania adalah temanku juga, bukan begitu sayang?" Balas Rendi kembali melingkarkan tangannya yang di pinggang Vania.Vania
"Tak masalah, berarti dia akan menjadi istri ketiga. Siapa tahu saja dengan begitu Mas Rendi bisa menceraikanku karena sudah ada wanita yang mau mengandung anaknya," jawab Vania diplomatis, membuat Lila seketika langsung memutar bola mata."Kelihatannya kalian berdua membicarakan sesuatu yang menarik." Ucapan Rendi membuat Vania spontan mendelik."Ah, anu itu kami sedang membicarakan ..." Belum selesai Lila mengatakannya, Vania segera menyela."Iya, aku dan Lila sedang membahas sebuah novel yang bercerita tentang penderitaan seorang gadis yang terpaksa menikahi pria beristri," sindir Vania sambil menatap suaminya dengan tatapan bosan.***Tak ada kekesalan di wajah Rendi ketika mendengar ucapan istri keduanya itu, bibirnya melengkung tipis seakan mengerti apa yang di sampaikan Vania. Membuat wanita itu akhirnya melengos acuh."Benarkah, bisakah novelnya kupinjam?""Tidak, novelnya sudah dipinjam temen, dan aku malas menagihnya."Perkataan Vania membuat Rendi menahan tawa. Seolah apa y
Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan
Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku
""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang
"Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung
"Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini
"Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny
Pernyataan Vania sontak membuat Lelaki itu memandangnya tanpa berkedip. "Iya, aku masih ingat, kenapa?" Balasnya bertanya."Talak aku mas," ujar Vania dengan suaranya yang bergetar.***Untuk beberapa saat Rendi tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Vania katakan. Matanya tampak mendelik marah karena tak suka dengan permintaan istri keduanya itu.Tangan Rendi mengepal, seolah menahan emosinya. Lelaki itu tak menduga jika Vania berniat untuk berpisah darinya."Apa kau sedang bercanda?" Tanya Rendi sambil menatap tajam pada istri keduanya itu. Sungguh ia tak suka dengan permintaan Vania kali ini.Vania menggeleng. "Tidak mas, aku serius. Tolong segera urus perceraian kita.""Kenapa? Apa ada kesalahan yang kubuat? Ataukah ada hal lain yang membuatmu ingin berpisah dariku?" Cecar Rendi.Vania menggeleng." Tidak mas, kau tidak berbuat kesalahan apapun. Hanya saja aku sudah tak ingin lagi menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu dan Mbak Karin," jawab Vania menunduk. Bahunya tampak se
"Lalu Gio, di mana dia? Apakah dia juga pergi setelah mengantarku ke rumah sakit, sama seperti Karin?" Bisik Vania teramat pelan, karena tak mungkin baginya untuk bertanya tentang lelaki itu pada ibu mertuanya.***Gio menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, lelaki itu tampak murung, sambil sesekali berdecak kesal.Setelah memastikan Vania ada yang menjaga, tepatnya setelah ia melihat kedatangan Rendi ke rumah sakit, lelaki itu perlahan mundur dan memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Tak hanya dirinya, karena beberapa saat kemudian, ia juga melihat Karin pergi meninggalkan rumah sakit, setelah berbicara sebentar dengan Rendi."Apa yang sebenarnya terjadi, Vania? Mengapa aku merasa sangat cemas seperti ini?" Lirih Gio tertahan.Dari kejauhan, ekor mata Gio menangkap mobil berwarna silver metalik yang dikendarai Karin. Entah mengapa mendadak ia memutuskan untuk mengikuti mobil Karin dan ingin mengajaknya bicara.Setengah jam telah berlalu, namun Gio masih belum melepaskan
Ujar Gio sambil menatap Karin, seakan meminta izin pada wanita itu agar bisa membantu, begitu melihat Karin menganggukkan kepalanya, dengan cepat tangan kekar Gio meraih tubuh Vania dan menggendongnya keluar dari cafe.***Wajah Karin terlihat begitu cemas sambil mengikuti langkah Gio yang menggendong tubuh Vania dari belakang. Meskipun tak mengerti mengapa laki laki itu bisa ada di tempat yang sama dengan mereka, namun ia bersyukur dengan kebetulan ini.Erangan halus Vania terdengar saat tubuhnya diletakan dengan sangat hati-hati di jok depan mobil Karin, setelah memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang dengan baik, Gio pun menutup pintu mobil Karin."Tolong hati hati bawa mobilnya, Mbak. Jika kau berkenan biar aku saja yang menyetir," cemas Gio sambil melirik Vania yang mengerang."Terima kasih, tapi aku bisa menyetir sendiri. Aku akan berhati-hati," tolak Karin."Baiklah," ujar Gio menyerah. lalu menggeser tubuhnya agar Karin bisa lewat.Selagi Karin sibuk mengeluarkan mobilnya