Masakan sudah terhidang di meja, yaitu sepiring telur mata sapi dengan mayonaise dan wortel rebus sebagai pendamping. Satu lagi adalah seporsi udang saus asam manis."Wah banyak sekali makanan malam ini, ada daging, sayuran, telur dan makanan laut," ucap Arjuna yang tidak sabar untuk makan semua makanan yang terhidang dimeja."Walau tidak nyambung. Tidak apa-apa lah, semua pelayan juga boleh memakan ini semua. Daripada mubazir," balas Nadia bersemangat. Dia melepas celemeknya dan ikut duduk di bangku meja makan."Bolehkah aku segera mencoba semua makanan yang ada di meja ini?" tanya Arjuna."Makan saja, semua makanan ini enak," balas Bima.Nadia juga menyetujuinya. Dia tidak pernah bisa memasak sebelumnya tapi semenjak memiliki Bima dia belajar memasak agar Bima selalu merindukan masakan di rumah."Makanlah yang banyak, habiskan kalau mau," ucap Nadia. "Enak sekali," ucap Arjuna saat sudah merasakan daging yang dimasak oleh Nadia."Makan semua dagingnya jika kamu doyan, Arjuna," bala
Arjuna tertawa sejenak saat melihat wajah Nadia ketakutan. Dia memeluk Nadia erat sekali. Serasa tidak ingin melepaskan Nadia untuk selamanya. "Nadia, aku tidak akan melakukan itu jika kamu belum siap," ucap Arjuna. "Syukurlah," balas Nadia. Tapi saat Nadia lengah, Arjuna mencecap bibir Nadia pelan hingga dia merasa puas. Nadia yang awalnya berontak akhirnya memilih untuk menikmati ciuman itu toh dulu dia juga pernah melakukan itu dengan Arjuna. "Arjuna, hentikan," pinta Nadia saat Arjuna mulai memainkan tangannya di atas tubuh Nadia. "Aku tidak mau berhenti. Sebentar saja kok Naida," bisik Arjuna. "Bagaimana kalau Bima bangun," bisik Nadia. "Tidak akan, asal kamu tidak berteriak maka semua akan baik-baik saja," balas Arjuna. "Atau kita pindah tempat?" bisik Arjuna sembari menyeringai nakal. Nadia masih diam teringat malam itu saat mereka memadu kasih. Memang benar Arjuna sangat pandai bermain di ranjang panasnya. Nadia tidak mau melakukan ini lagi sebelum janur kuning meleng
Nadia menyeringai tipis dia melihat para bawahan yang dibentak dan terlihat tak nyaman di depan Pak Abraham itu. "Ada apa sebenarnya. Apa ada yang bisa menjelaskan padaku?" tanya Nadia. "Aku hanya meminta mereka melakukan tugas mereka saja," jawab Pak Abraham. "Mereka tidak mau menurut, padahal aku masih atasan mereka," imbuh Pak Abraham. ""Benarkah?" tanya Arjuna yang setia menemani Nadia. "Sebenarnya," ucap karyawan. "Katakanlah jangan takut," ucap Nadia. Pak Abraham ingin memakai bahan kualitas rendah tapi akan menjual dengan harga tinggi. Mereka menolaknya jadi Pak Abraham marah besar mengenai hal ini. Mungkin dia ingin mengantongi banyak keuntungan dari pembelian bahan baku yang murah. Pak Abraham tentu saja berkelit dan tidak mengakui itu. Dia menyalahkan semua karyawan itu sebagai pengarang cerita handal.“Jangan percaya mereka,” ucap Pak Abraham.“Kami tidak mengada-ngada, silahkan cek sendiri mengenai penawaran harga dari beberapa pabrik juga orang yang akan datang ha
Pak Abraham menonjok Arjuna dengan tenaga kuat. Dia sangat kesal karena ada anak yang umurnya ada di bawanya tapi sudah berlagak jadi bos. Walau benar Arjuna adalah bos tapi setidaknya dia harus menghormati Pak Abraham. “Orang yang lebih muda sepertimu jika tidak lahir dari keluarga kaya memangnya bisa apa, hah!” seru Pak Abraham kesal dia menarik kerah kemeja Arjuna dan mendorongnya sampai tembok. "Kamu ini gila hormat sekali, ya," jawab Arjuna santai. "Bukan gila hormat, tapi kamu memang harus menghormatiku," balas Pak Abraham. Arjuna menyingkirkan tangan Pak Abraham dari kerah bajunya. Sambil tersenyum.dia berkata, *Aku akan menghormati orang yang lebih tua jika mencontohkan hal yang baik padaku," "Kurang ajar sekali," balas Pak Abraham ingin meninju Arjuna lagi. Tali ditepis oleh Arjuna. "Kamu sudah tua lebih baik menghemat tenaga saja. Aku takut kamu terkena serangan jantung," ucap Arjuna. Pak Abraham kesal bukan main. Jadi begini rasanya dihina orang lain. Dire
“Nadia, kali ini citramu sebagai orang yang menjaga kehormatan akan hilang!"Seorang perempuan muda terlihat menatap sengit ke arah Nadia yang terlihat kelelahan.Nadia Abraham yang baru pulang kerja, dipaksa mendatangi kencan buta yang diatur oleh istri baru sang ayah. Seharusnya yang akan menjalani kencan buta ini adalah saudara tirinya. Namun saudara tirinya tidak dapat dihubungi, jadilah dia yang menggantikan.Dia tahu ini hanya akal-akalan ibu tirinya. Akan tetapi, Nadia tidak punya pilihan selain menurut, sebab keberhasilan kencan ini menentukan nasib perusahaan ayahnya.Sambil menghela nafas kasar Nadia mendumal, “Dasar Ibu tiri licik!"Nadia menunggu dengan lelah. Dia terus melihat jam di tangan, tapi tidak ada tanda-tanda pria itu akan datang. Karena perutnya sudah keronconang, dia segera melahap makanan yang tersaji di meja.Di jarak yang tak terlihat oleh Nadia, seorang perempuan yang selalu memperhatikan gerak gerik Nadia merasa puas.Tak berselang lama usai melahap makana
“Orang tua?”Nadia memicing ke arah pria itu. Rasa panas yang menguasai tubuhnya serasa semakin membara ketika melihat tubuh tegap pria tampan itu.Dia menelan ludahnya, lalu berdiri mendekati sang arjuna. “Berarti kamu adalah orang yang dimaksud oleh Ayahku untuk menjalani kencan buta denganku?”Gejolak yang dia rasakan semakin menggila saat melihat sosok tampan di hadapannya. Nalurinya bergerak sendiri berdiri dan mencoba meraih pria tampan itu."A-aku bersedia menghabiskan malam denganmu, Tuan." Entah keberanian dari mana, Nadia berujar demikian sembari melingkarkan tangan ke leher pria yang baru dia temui itu."Lepas!" Dengan kasar, pria itu melepas rangkulan tangan Nadia.Dia selalu tidak suka dengan gadis yang sembarangan menyentuh tubuhnya. Orang tua pria itu memang baru saja membicarakan tentang pernikahan, tapi dia tidak tahu kalau mereka menjebaknya dengan kehadiran seorang wanita di kamarnya.Terlebih, baru kali ini wanita yang dikirimi orang tuanya terlihat begitu nakal, l
“A-aku juga tidak mengenalinya, aku datang ke hotel ini juga atas dasar permintaan Ayah untuk kencan buta,” jawab Nadia santai. Sebenarnya dia juga tidak tahu siapa pria yang berada di sampingnya kini.“Dia bukan orang yang Ayah pilih untuk kencan buta denganmu!” balas Pak Abraham kesal bukan main, wajahnya menunjukkan kalau sedang marah sekaligus kecewa karena gagal mendapatkan uang.Nadia terkejut mendengar ucapan Ayahnya, lalu dia melihat dengan seksama wajah pria yang kini duduk santai di ranjang.Wajah terkejut juga terlihat dari ekspresi Karina. Dia sedikit kesal, sebab Nadia masih diberi keberuntungan menghabiskan malam dengan pria tampan. Bukan dengan sosok gempal dan tua, seperti yang dia tahu.Namun, alih-alih menyuarakan kekesalannya, Karina lebih memilih fokus pada tujuannya kali ini. Membuat Nadia dan Langit putus.“Nadia, aku tidak menyangka kamu semunafik ini!" decih Karina. "Kamu selalu menunjukkan jika kamu wanita polos di depan umum, ternyata... kamu seliar ini,” uca
Karina mengucek matanya untuk memperjelas apakah benar Arjuna Anwar yang merupakan putra pertama dari pemilik perusahaan besar bergerak di bidang real estate itu?“Banyak yang mengaku sebagai Arjuna Anwar di kota ini, apa mungkin kamu salah satunya?” tanya Karina sembari membuang kartu nama itu.“Jadi lelaki ini mengaku sebagai Arjuna Anwar? Cih pantas saja Nadia sampai tertipu!” cibir Langit.“Kalian bisa berkata seperti itu karena belum pernah bertatap muka dengan seorang Arjuna Anwar, ‘kan?” tanya Arjuna dengan penuh tekanan. Karena memang dia selalu menggunakan perantara asisten untuk bertemu dengan tamu yang menurutnya tidak penting.Langit maupun Karina menggertakan giginya mendengar ucapan itu. Memang benar mereka tidak pernah bertatap muka langsung, tapi tidak seharusnya lelaki di hadapannya bertingkah sombong seperti itu.“Walau begitu aku adalah mitra bisnis dari perusahaan besar milik Arjuna,” jawab Langit.“Aku sampai lupa kalau memiliki hubungan bisnis dengan pemilik peru
Pak Abraham menonjok Arjuna dengan tenaga kuat. Dia sangat kesal karena ada anak yang umurnya ada di bawanya tapi sudah berlagak jadi bos. Walau benar Arjuna adalah bos tapi setidaknya dia harus menghormati Pak Abraham. “Orang yang lebih muda sepertimu jika tidak lahir dari keluarga kaya memangnya bisa apa, hah!” seru Pak Abraham kesal dia menarik kerah kemeja Arjuna dan mendorongnya sampai tembok. "Kamu ini gila hormat sekali, ya," jawab Arjuna santai. "Bukan gila hormat, tapi kamu memang harus menghormatiku," balas Pak Abraham. Arjuna menyingkirkan tangan Pak Abraham dari kerah bajunya. Sambil tersenyum.dia berkata, *Aku akan menghormati orang yang lebih tua jika mencontohkan hal yang baik padaku," "Kurang ajar sekali," balas Pak Abraham ingin meninju Arjuna lagi. Tali ditepis oleh Arjuna. "Kamu sudah tua lebih baik menghemat tenaga saja. Aku takut kamu terkena serangan jantung," ucap Arjuna. Pak Abraham kesal bukan main. Jadi begini rasanya dihina orang lain. Dire
Nadia menyeringai tipis dia melihat para bawahan yang dibentak dan terlihat tak nyaman di depan Pak Abraham itu. "Ada apa sebenarnya. Apa ada yang bisa menjelaskan padaku?" tanya Nadia. "Aku hanya meminta mereka melakukan tugas mereka saja," jawab Pak Abraham. "Mereka tidak mau menurut, padahal aku masih atasan mereka," imbuh Pak Abraham. ""Benarkah?" tanya Arjuna yang setia menemani Nadia. "Sebenarnya," ucap karyawan. "Katakanlah jangan takut," ucap Nadia. Pak Abraham ingin memakai bahan kualitas rendah tapi akan menjual dengan harga tinggi. Mereka menolaknya jadi Pak Abraham marah besar mengenai hal ini. Mungkin dia ingin mengantongi banyak keuntungan dari pembelian bahan baku yang murah. Pak Abraham tentu saja berkelit dan tidak mengakui itu. Dia menyalahkan semua karyawan itu sebagai pengarang cerita handal.“Jangan percaya mereka,” ucap Pak Abraham.“Kami tidak mengada-ngada, silahkan cek sendiri mengenai penawaran harga dari beberapa pabrik juga orang yang akan datang ha
Arjuna tertawa sejenak saat melihat wajah Nadia ketakutan. Dia memeluk Nadia erat sekali. Serasa tidak ingin melepaskan Nadia untuk selamanya. "Nadia, aku tidak akan melakukan itu jika kamu belum siap," ucap Arjuna. "Syukurlah," balas Nadia. Tapi saat Nadia lengah, Arjuna mencecap bibir Nadia pelan hingga dia merasa puas. Nadia yang awalnya berontak akhirnya memilih untuk menikmati ciuman itu toh dulu dia juga pernah melakukan itu dengan Arjuna. "Arjuna, hentikan," pinta Nadia saat Arjuna mulai memainkan tangannya di atas tubuh Nadia. "Aku tidak mau berhenti. Sebentar saja kok Naida," bisik Arjuna. "Bagaimana kalau Bima bangun," bisik Nadia. "Tidak akan, asal kamu tidak berteriak maka semua akan baik-baik saja," balas Arjuna. "Atau kita pindah tempat?" bisik Arjuna sembari menyeringai nakal. Nadia masih diam teringat malam itu saat mereka memadu kasih. Memang benar Arjuna sangat pandai bermain di ranjang panasnya. Nadia tidak mau melakukan ini lagi sebelum janur kuning meleng
Masakan sudah terhidang di meja, yaitu sepiring telur mata sapi dengan mayonaise dan wortel rebus sebagai pendamping. Satu lagi adalah seporsi udang saus asam manis."Wah banyak sekali makanan malam ini, ada daging, sayuran, telur dan makanan laut," ucap Arjuna yang tidak sabar untuk makan semua makanan yang terhidang dimeja."Walau tidak nyambung. Tidak apa-apa lah, semua pelayan juga boleh memakan ini semua. Daripada mubazir," balas Nadia bersemangat. Dia melepas celemeknya dan ikut duduk di bangku meja makan."Bolehkah aku segera mencoba semua makanan yang ada di meja ini?" tanya Arjuna."Makan saja, semua makanan ini enak," balas Bima.Nadia juga menyetujuinya. Dia tidak pernah bisa memasak sebelumnya tapi semenjak memiliki Bima dia belajar memasak agar Bima selalu merindukan masakan di rumah."Makanlah yang banyak, habiskan kalau mau," ucap Nadia. "Enak sekali," ucap Arjuna saat sudah merasakan daging yang dimasak oleh Nadia."Makan semua dagingnya jika kamu doyan, Arjuna," bala
Bima menatap Arjuna sebelum mengatakan sesuatu, "Jangan pernah sakiti ibu," "Pasti," jawab Arjuna singkat. Memang itu tujuannya tidak akan pernah menyakiti Nadia karena tahu pasti sudah banyak Nadia menderita selama tidak ada di sisinya. Ibunya memang mempunyai hutan sawit yang luas tapi itu ibunya bukan Nadia seutuhnya. KalI tidak ada support dari keluarga pastilah dia depresi. Sebelum kembali ke rumah Ibu Sonia mungkin Nadia sudah depresi duluan akibat ayah dan keluarga tirinya "Sudah banyak dia menderita enam tahun ini," balas Bima. Bima mengenang bagaimana ibunya jungkir balik menafkahinya. Bagaimana Nadia gagal dalam bisnisnya berkali-kali. Hingga pernah menyerah dan hampir putus asa. "Maafkan Ayah yang tidak becus menemukan kalian lebih cepat, ya, Nak," ucap Arjuna lirih dia merasa tidak berguna menjadi seorang pendamping sekaligus ayah bagi Bima dan Nadia. "Ayah tidak salah, hanya saja Tuhan sedang menguji apakah cinta Ayah sungguhan atau main-main," balas Bima."Apakah
Bima menyeringai tipis, dia tahu kalau Nyonya Rana sudah ketakutan. Bocah lima tahun itu sedikit cerdas dan gemar meniru kelicikan sang Nenek Sonia dalam menjauhkan lawannya. "Ibuku mungkin tidak akan mau mempunyai mertua seperti nenek. Aku juga tidak butuh Nenek jahat dan tidak mampu bekerja seperti Nenek," balas Bima. "Lancang sekali, apa yang kamu katakan itu?" tanya Nyonya Rana. "Kebenaran, aku menyukai Nenek yang cerdas seperti Nenek Sonia. Dia pintar mencari uang dan bisa membelikan aku apa saja. Tidak seperti Nenek yang hanya bisa meminta uang pada Kakek atau Ayah saja. Membosankan," jawab Bima. Pak Anwar dan Arjuna menertawakan Nyonya Rana. Masa iya dia bisa kalah dengan anak usia lima tahun. Padahal dia jago sekali membuat orang dwon dengan ucapannya yang mengintimidasi. "Itu karena aku adalah istri yang diratukan oleh Suami. Tidak seperti nenekmu yang dicampakan oleh Kakekmu yang miskin itu," balas Nyonya Rana. "Bima jangan dengarkan nenekmu. Semua itu karena Kakek s
Pak Anwar dan Arjuna saling pandang, mereka bingung mau mengantar Bima menemui Nyonya Rana seperti apa. Pasalnya saat ini Nyonya Rana ada di ruang bawah tanah. "Tenang Ayah, aku akan menelpon kepala pelayan untuk memindahkan Ibu ke kamar," bisik Arjuna."Jangan ditelpon kirim pesan saja. Takut Bima mendengarnya," balas Pak Anwar. Kemudian Pak Anwar melihat Bima yang penasaran dimana Nyonya Rana saat ini. "Nenek ada di kamar, ayo kita kesana," ucap Pak Anwar lalu menggandeng Bima ke arah kamarnya tapi berjalan memutar dulu menikmati taman belakang."Indah sekali," ucap Bima sambil menikmati indahnya taman bunga anggrek di sebuah rumah kaca."Ayahmu menyukai bunga anggrek," balas Pak Anwar "Jadi Ayah yang menanam semua ini?" tanya Bima."Iya, dia bahkan mengimpor berbagai bunga anggrek dari berbagai negara," jawab Pak Anwar.Bima begitu senang melihat tanaman bunga Anggrek. Dia jadi teringat kalau Ibunya juga menyukai bunga anggrek yang berwarna ungu. "Kek, boleh Bima membawakan sat
Pak Anwar menatap wajah polos itu. Mulutnya sudah gatal ingin menunjukkan siapa dia sebenarnya. Tapi dia meminta persetujuan Arjuna dulu. "Bima, Ayah akan menunjukkan sesuatu padamu," ucap Arjuna."Jawab dulu pertanyaanku tadi," ucap Bima. "Ayah tahu selama di desa aku selalu diejek tidak punya Ayah, anak haram, anak liar seperti yang dikatakan oleh nenek sihir tadi. Aku tidak menangis karena sudah biasa," imbuh Bima.Anak sekecil itu menceritakan sakit hatinya. Bagaimana dia dipandang setengah mata oleh orang-orang hanya karena terlahir tanpa Ayah. Walau di desa tempat ia tinggal sebagian besar adalah milik neneknya. Saat bermain di lapangan atau bersama teman-teman pasti dia mendengar orang dewasa menceritakan hal itu. Apalagi anak-anak mereka akan mengejek kalau tidak ada neneknya."Maafkan Ayah yang terlambat menemukanmu," ucap Arjuna lalu memeluk Bima. Hatinya teriris mendengar cerita Bima. "Terlambat?" tanya Bima. "Memangnya Ayah benar Ayah kandungku?" imbuh Bima dengan wajah
Arjuna agak geram mendengar ucapan itu. Pak Anwar juga sangat terkejut dengan pertanyaan istrinya. Bisa-bisanya dia mengatakan hal yang tak patut seperti itu di depan anak kecil. "Rana!" bentak Pak Anwar. "Kakek, aku sudah biasa mendapatkan penghinaan seperti ini," ucap Bima. "Berarti memang kamu anak liar sungguhan yang dipungut Arjuna entah dari mana," balas Nyonya Rana tersenyum. Brak! Pak Anwar menggebrak mejanya lalu berkata, "Ternyata kamu tidak instrospeksi diri di dalam penjara yang pengap itu. Aku akan menambah hukuman untukmu," Wajah Nyonya Rana tampak pucat tapi baginya sebelum mengolok anak yang dibawa Arjuna pulang ke rumahnya adalah sebuah penyesalan. Walau dia harus dihukum oleh suaminya. Dia sangat lega jika sudah melontarkan kalimat menohok untuk Bima. "Aku tidak salah, memangnya anak itu siapa aku harus bersikap baik padanya. Bahkan dia sendiri mengakui bahwa dia sudah biasa disepelekan," ucap Nyonya Rana. "Dia anakku, dan aku tidak akan tinggal diam j