hallo selamat membaca ya, jangan lupa tinggalkan komentar kalian
Suasana ruang makan para pelayan siang itu terasa lebih ramai dari biasanya. Aroma sup lobster kental, steak wagyu panggang, serta truffle pasta memenuhi udara, menciptakan kontras mencolok dengan makanan sederhana yang biasanya tersaji di meja mereka.Semua mata langsung tertuju pada satu orang—Elena, yang menatap hidangan mahal di hadapannya dengan ekspresi bingung."Silakan dinikmati," ucap Chef Matteo dengan senyum tipis sambil membawa menu makanan yang jauh lebih mahak dari sebelumnya.Elena benar-benar kebingungan, tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Kemarin dia seharian tidak makan tapi hari ini malah dapat makanan sebanyak ini?Apalagi keberadaan Chef Matteo di ruang makan maid adalah sebuah keajaiban. Chef Matteo adalah koki khusus untuk anggota keluarga inti Falcone tidak untuk memasak makanan pelayan tetapi dia ada disini sekarang hingga menimbulkan pertanyaan besar.Chef Matteo tersenyum manis menatap Elena sebelum akhirnya berucap, "Selamat menikmati Nona Elena,
Rico menatap Damian yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin. Tanpa menunggu perintah kedua, dia menunduk sedikit sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Pintu tertutup dengan suara berat, menyisakan hanya Damian dan Elena di dalam sana.Elena menelan ludah, jantungnya berdebar kencang saat tatapan tajam pria itu mengunci dirinya di tempat. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang gelap—sesuatu yang berbahaya."Ada masalah apa, hm?" Damian membuka suara, suaranya rendah dan penuh ketenangan yang justru semakin mengintimidasi.Elena menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ada banyak sekali yang ingin dia katakana sebelumnya di depan wajah Damian tetapi saat pria ini muncul nyalinya seketika menciut. "Aku... Aku hanya ingin tahu kenapa Tuan bertindak sejauh ini..."Elena memberanikan dirinya mengucapkan itu walau suaranya sepenuhnya bergetar, membuat Damian semakin gencar mengintimidasi Elena.Pria dengan tinggi hampir 190 cm itu menyipitkan matanya saat
“Ahhh Tuan!” Elena meringis dengan sangat keras ketika Damian melepas asal ikat pinggang yang mengikat tangannya dan langsung membalik tubuhnya cepat.Di depan meja kerja Damian yang bagian ujungnya ada kaca besar menjadi saksi perbuatan Damian. Pria itu langsung menyingkap rok Elena dan menggeser celana dalamnya dengan gerakan cepat dan langsung memasukkan pusakanya yang sudah mengeras sepenuhnya.Elena bahkan tidak mendapatkan kesempatan untuk menolak tetapi Damian, pria itu langsung melakukan permainannya dengan sangat kasar dan menuntut seakan semua kemarahannya tersalur disana.“T-tuan…aku…ahh…aku tidak kuat berdiri lagi,” lirih Elena dengan tangan yang sekuat tenaga memegang ujung meja kerja Damian karena pria itu memompa dari belakang dengan sangat perkasa.Plak!Elena menutup matanya rapat-rapat ketika Damian menampar pantat bulat sempurna yang selalu menguji gairah Damian itu. Pria itu sangat marah, kesal dan semuanya bercampur menjadi satu dan melihat seberapa seksi Elena di
“Nona, apa ada yang perlu dibeli lagi? Mumpung kita masih di area kota?” suara berat Pak Karno—supir setia keluarga Falcone—mengisi kabin sunyi mobil hitam itu.Lelaki paruh baya itu melirik Elena lewat cermin spion, menyadari nona muda yang duduk di belakang sejak tadi hanya diam membisu sambil memandangi ponselnya. Suaranya membuyarkan lamunan panjang Elena yang tak henti berputar soal seseorang yang tak kunjung pulang.“Tidak, Pak Karno. Semua sudah lengkap, tinggal dicek kepala maid saja nanti di mansion,” sahut Elena pelan, suaranya nyaris tak terdengar, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.Mobil meluncur perlahan melewati jalanan kota yang mulai redup, menyisakan bayang-bayang lampu pertokoan yang memantul samar di jendela. Sinar oranye senja menggurat langit, memberi warna hangat yang kontras dengan dinginnya hati Elena.AC yang terus mengalir pelan, suara mesin yang stabil, dan suasana hening membuat pikirannya melayang jauh… menuju tempat yang bahkan tak bisa ia dat
Taksi melaju di jalanan kota yang perlahan mulai lengang, membawa Elena dan Evan menuju tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Di dalam sebuab taksi, Elena menggenggam tas besar berisi uang tunai lima puluh juta yang baru saja ia tarik dari bank terdekat. Detak jantungnya berdebar tak karuan, lebih karena rasa takut daripada perjalanan itu sendiri. Evan duduk di sampingnya dalam diam, sesekali meringis seperti menahan sakit pada tubuhnya yang lebam-lebam. Elena terus meliriknya dengan khawatir, merasa bersalah karena telah menyebabkan pria itu kehilangan pekerjaan. Andai saja ia tak membela Evan tidak berbaik hati membawakan makan malam padanya waktu itu semua ini tidak akan terjadi. Oh! Tidak pernah Elena bayangkan semuanya akan menjadi runyam seperti ini. Hingga nyawa seseroang menjadi taruhannya. “Berapa lama lagi kita akan sampai?” tanya Elena, suaranya parau karena cemas. Evan melirik menimang-nimang sebentar menjawab, “Sekitar satu jam dari pusat kota, tempatnya agak
Kesadaran Elena perlahan kembali, tubuhnya terasa remuk dan nyeri ketika digerakkan. Kelopak matanya berat, dan begitu terbuka, ia melihat langit-langit kusam dengan bau lembap menusuk hidung.Matanya mulai menyesuaikan, dan saat itu, matanya membelalak sempurna saking terekejutnya melihat keadaan sekitarnya, tempat dimana dia berada.Bagaimana tidak?Dinding ruangan itu penuh dengan foto dirinya. Ada yang saat remaja, saat sekolah, bahkan ada yang diambil diam-diam saat ia berada di mansion—di dapur, taman, bahkan di kamarnya. Lebih mengerikan lagi, beberapa foto menunjukkan dirinya saat tidur dengan baju tidur yang terangkat, atau saat mandi dengan pantulan samar di cermin.Tubuhnya gemetar. Elena sadar kedua tangan dan kakinya terikat erat pada kursi dengan tali kasar, dan mulutnya dibekap kain kotor yang membuatnya nyaris muntah. Ia mengerang, mencoba berteriak, tapi hanya suara kecil yang keluar dari tenggorokannya.Matanya mulai berkaca-kaca saat rasa takut menggerogoti kewarasa
Cahaya lembut menembus tirai apartemen saat kelopak mata Elena perlahan terbuka. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa sangat lemas.Begitu pandangannya mulai jelas, ia melihat langit-langit serba putih. Elena belum bisa mengingat apapun kecuali fakta bahwa dia hampir diperkosa oleh Evan.Tapi dimana dia sedang berada sekarang?Matanya sayunya perlahan turun untuk melihat sekelilingnya dimana ada infus yang terpasang dari telapak tangannya. Ketika Elena melihat ke arah lain, dia melihat seseorang. Damian duduk di sofa panjang dengan kaki bersilang, kacamata tipis bertengger di batang hidungnya, dan sebuah tablet menyala di tangannya. Tatapannya fokus, tapi bahunya sedikit tegang, seolah dia sudah duduk di sana sejak semalam.Elena mengerjapkan mata, mencoba duduk tapi meringis karena perih di pinggangnya. Ia menahan napas, menatap Damian dari tempat tidur, lalu memberanikan diri bersuara. “Tuan…”Damian menoleh perlahan, tatapannya tajam namun tetap tenan
Ruang interogasi di basecamp Raven Security dipenuhi dengan atmosfer dingin dan mematikan. Cahaya lampu putih menyinari meja baja tempat Evan duduk terikat, wajahnya babak belur dan tubuhnya penuh memar. Namun tatapannya masih menyimpan sisa kesombongan, sampai langkah sepatu Damian terdengar memasuki ruangan.Pintu dibuka dengan satu hentakan, dan Damian masuk dengan pakaian serba hitam serta ekspresi dingin. Anggota pasukan khusus itu menunduk sebagai tanda hormat, mereka memang sudah menunggu Damian sejak tadi.Tanpa sepatah kata, Damian melepas sarung tangannya, meletakkan jam tangan di atas meja logam, dan duduk di seberang Evan. Pria itu tersenyum sinis dengan wajah babak belur itu seakan tatapannya bisa menguliti Damian hidup-hidup.Tetapi Damian tetap tenang. Dia mendorong salah satu kursi disana untuk bisa duduk di depan Evan dan menatapnya nyalang. Darah Damian spontan langsung mendidih saat melihat wajah Evan, membayangkan saja apa yang bisa dia lakukan pada Elena sudah mem
Falcone Corp, Lantai 10Ruangan itu sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan terdengar. Damian duduk di belakang meja kerjanya yang megah, namun wajahnya penuh tekanan. Di hadapannya, tumpukan berkas dan puluhan email masuk belum sempat ia buka.Direktur Utama perusahaannya, Nara, mengetuk pintu pelan lalu masuk sambil membawa tablet. "Tuan Damian, ini pembatalan kontrak dari Biancci Group. Mereka kecewa Anda tak hadir dalam pertemuan hari ini." Wanita dengan pakaian rapi itu menunduk setelah mengucapkannya karena melihat tatapan tajam bosnya. "J-juga, dua investor dari Zurich menunda suntikan dana karena absennya Anda di agenda konferensi."Damian akhirnya menghela napas berat, menautkan jemari ke pelipisnya yang berdenyut. Dia memang membatalkan dinas mendadak—tanpa penjelasan, tanpa koordinasi. Dan kini, imbasnya datang seperti gelombang: investor kecewa, kontrak batal, dan reputasi terguncang.Pintu kembali dibuka, kali ini Rico masuk dengan wajah yang jauh lebih frusta
Elena menggigit bibirnya saat Damian membanting pintu apartemen itu dari dalam. Langkah kaki pria itu terdengar berat dan cepat, seperti bom yang siap meledak. Tubuhnya berdiri tegap di hadapan Elena yang masih memegangi pipinya yang memar.Meskipun merasakan nyeri karena bekas tamparan itu, tapi ada hal lain yang membuat Elena seakan melupakan rasa sakitnya seketika.Tatapan mata Damian.Ada kilatan aneh di mata pria itu, sama seperti saat Elena diculik waktu itu."Apa yang kau pikirkan, hah?" suara pria itu tajam, matanya berkilat marah. "Pergi tanpa kabar, tak menjawab telepon, dan kau membiarkan dirimu diperlakukan seperti itu?" Damian berjalan mendekat, sorot matanya tak melepaskan Elena barang sedetik pun.Elena menelan ludahnya susah payah. Entah kenapa suasana ruangan berubah menjadi lebih mencekam hingga tanpa sadar dia memundurkan langkahnya seiring langkah Damian mendekat."T-tuan aku hanya ingin menjenguk papaku..."Suara Elena nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat
Elena masih terduduk di lantai lorong rumah sakit, pipinya berdenyut hebat dan kepalanya pusing karena terbentur lantai saat terjatuh karena ditampar kakaknya dengan sangat keras.Matanya seketika memerah menahan air matanya yang hendak turun. Selama ini dia sudah terbiasa dengan sikap kasar kakaknya ini tetapi kenapa sekarang Elena sangat cengeng?Apakah ini salah kakaknya atau harapan Elena yang terlalu tinggi? Dia sudah berusaha sekuat tenaganya menggunakan seluruh tenaga bahkan fisiknya untuk mencari uang kesana kemari selama ini sebelum akhirnya menetap di mansion Falcone.Lalu apa?Apakah hanya tamparan dingin dan perih ini yang Elena pantas dapatkan sebagai balasannya? Tidakkah ada yang mengapresiasi Elena dan menenangkannya, menjadi sandaran untuknya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.Tidak…Tidak ada. Elena selalu sendiri, dan sepertinya memang akan tetap seperti itu. “Sudah puas bermain-main menjadi gundik orang kaya, sekarang sok-sokan datang menjenguk papa?” cibir
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari wajah Elena yang masih terbaring di tempat tidur. Ia mengerjapkan mata dengan panik begitu sadar dirinya benar-benar tertidur semalaman di kamarnya bersama Damian.Pikirannya langsung kacau—niat awalnya setelah melayani pria itu adalah segera pulang ke rumah sakit, bukan tertidur di pelukannya. Elena benar-benar merutuki dirinya sendiri karena hal ini, setelah ketahua kemarin Elena langsung menutup matanya dan hal terakhir yang dia ingat adalah Damian yang memeluknya dari belakang dan menyuruh Elena untuk menutup matanya.Elena seakan terhipnotis, tidak bisa melawan dan mengatakan apapun selain menuruti titah Damian. Akan tetapi, fakta bahwa dia terlelap dalam pelukan tuannya itu samasekali bukan dalam rencanya.Bagaimana bisa? Elena pasti sudah gila karena kelelahan. Damian adalah orang yang paling Elena benci sejak awal karena keegoisannya tapi apa yang terjadi sekarang?Elena duduk terburu-buru, lelah memirkan hal itu. Perempuan
Sudah pukul sembilan malam saat Elena menyelesaikan tugas-tugas terakhirnya hari ini. Aroma lembut dari detergen bersih masih melekat di tangannya, membaur dengan semilir angin malam yang masuk dari jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Ia membuka koper kecil dan mulai melipat pakaian satu per satu dengan hati-hati.Hari ini adalah akhir bulan, dan itu berarti Elena mendapatkan cuti bulanan selama empat hari penuh. Ia bersyukur bisa menjenguk papanya yang masih dirawat karena luka-luka akibat utang sialan itu. Terakhir kali Elena mendapatkan kabar dari adiknya kalau papanya masih dalam pemulihan. Sementara adik dan papanya sangat senang ketika tahu Elena mendapatkan pekerjaan di mansion utama Keluarga Falcone yang artinya elena kini adalah harapan satu-satunya keluarganya tanpa tahu pekerjaan jenis apa yang Elena kerjakan di mansion ini. Di luar, taksi yang ia pesan sudah menunggu dengan sabar karena dari dalam kamarnya Elena dapat melihat dari kejauhan taxi itu menunggu dengan lamp
Ruang interogasi di basecamp Raven Security dipenuhi dengan atmosfer dingin dan mematikan. Cahaya lampu putih menyinari meja baja tempat Evan duduk terikat, wajahnya babak belur dan tubuhnya penuh memar. Namun tatapannya masih menyimpan sisa kesombongan, sampai langkah sepatu Damian terdengar memasuki ruangan.Pintu dibuka dengan satu hentakan, dan Damian masuk dengan pakaian serba hitam serta ekspresi dingin. Anggota pasukan khusus itu menunduk sebagai tanda hormat, mereka memang sudah menunggu Damian sejak tadi.Tanpa sepatah kata, Damian melepas sarung tangannya, meletakkan jam tangan di atas meja logam, dan duduk di seberang Evan. Pria itu tersenyum sinis dengan wajah babak belur itu seakan tatapannya bisa menguliti Damian hidup-hidup.Tetapi Damian tetap tenang. Dia mendorong salah satu kursi disana untuk bisa duduk di depan Evan dan menatapnya nyalang. Darah Damian spontan langsung mendidih saat melihat wajah Evan, membayangkan saja apa yang bisa dia lakukan pada Elena sudah mem
Cahaya lembut menembus tirai apartemen saat kelopak mata Elena perlahan terbuka. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa sangat lemas.Begitu pandangannya mulai jelas, ia melihat langit-langit serba putih. Elena belum bisa mengingat apapun kecuali fakta bahwa dia hampir diperkosa oleh Evan.Tapi dimana dia sedang berada sekarang?Matanya sayunya perlahan turun untuk melihat sekelilingnya dimana ada infus yang terpasang dari telapak tangannya. Ketika Elena melihat ke arah lain, dia melihat seseorang. Damian duduk di sofa panjang dengan kaki bersilang, kacamata tipis bertengger di batang hidungnya, dan sebuah tablet menyala di tangannya. Tatapannya fokus, tapi bahunya sedikit tegang, seolah dia sudah duduk di sana sejak semalam.Elena mengerjapkan mata, mencoba duduk tapi meringis karena perih di pinggangnya. Ia menahan napas, menatap Damian dari tempat tidur, lalu memberanikan diri bersuara. “Tuan…”Damian menoleh perlahan, tatapannya tajam namun tetap tenan
Kesadaran Elena perlahan kembali, tubuhnya terasa remuk dan nyeri ketika digerakkan. Kelopak matanya berat, dan begitu terbuka, ia melihat langit-langit kusam dengan bau lembap menusuk hidung.Matanya mulai menyesuaikan, dan saat itu, matanya membelalak sempurna saking terekejutnya melihat keadaan sekitarnya, tempat dimana dia berada.Bagaimana tidak?Dinding ruangan itu penuh dengan foto dirinya. Ada yang saat remaja, saat sekolah, bahkan ada yang diambil diam-diam saat ia berada di mansion—di dapur, taman, bahkan di kamarnya. Lebih mengerikan lagi, beberapa foto menunjukkan dirinya saat tidur dengan baju tidur yang terangkat, atau saat mandi dengan pantulan samar di cermin.Tubuhnya gemetar. Elena sadar kedua tangan dan kakinya terikat erat pada kursi dengan tali kasar, dan mulutnya dibekap kain kotor yang membuatnya nyaris muntah. Ia mengerang, mencoba berteriak, tapi hanya suara kecil yang keluar dari tenggorokannya.Matanya mulai berkaca-kaca saat rasa takut menggerogoti kewarasa
Taksi melaju di jalanan kota yang perlahan mulai lengang, membawa Elena dan Evan menuju tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Di dalam sebuab taksi, Elena menggenggam tas besar berisi uang tunai lima puluh juta yang baru saja ia tarik dari bank terdekat. Detak jantungnya berdebar tak karuan, lebih karena rasa takut daripada perjalanan itu sendiri. Evan duduk di sampingnya dalam diam, sesekali meringis seperti menahan sakit pada tubuhnya yang lebam-lebam. Elena terus meliriknya dengan khawatir, merasa bersalah karena telah menyebabkan pria itu kehilangan pekerjaan. Andai saja ia tak membela Evan tidak berbaik hati membawakan makan malam padanya waktu itu semua ini tidak akan terjadi. Oh! Tidak pernah Elena bayangkan semuanya akan menjadi runyam seperti ini. Hingga nyawa seseroang menjadi taruhannya. “Berapa lama lagi kita akan sampai?” tanya Elena, suaranya parau karena cemas. Evan melirik menimang-nimang sebentar menjawab, “Sekitar satu jam dari pusat kota, tempatnya agak