"Kalau kamu benar benar tidak melakukan apa apa, maka dia tak akan jatuh pingsan!" pekik Dafa.Senja terdiam. Ia hanya bisa menangisi dirinya sendiri sekarang ini. Sebab sang suami tak mau mendengarkan ucapannya sedikitpun. Jangankan mendengar, sang suami bahkan tak mempercayai kata katanya."Senja kalau anakku sampai kenapa kenapa aku tak akan memaafkan kamu!" Dafa memperingatkan sembari menunjuk kasar ke arah Senja.Senja beringsut ke belakang. Lalu berlari ke kamarnya. Dafa membuang muka seolah tak peduli kepada Senja.Dafa memilih untuk masuk ke dalam kamar Lily. Ia benar benar mencemaskan Lily."Dokter! Bagaimana istri dan anak saya?" tanya Dafa."Barusan istri anda mengeluarkan isi perutnya lagi. Saya sudah memberikan dia obat. Anda tidak perlu cemas." "Baik Dok!" Dafa mengangguk pelan.Dokter meresepkan obat untuk Lily dan juga untuk kehamilannya. Setelah itu, ia pamit pulang dari sana.Lily juga berangsur angsur sadar. Tatapannya kosong terlihat seperti orang yang kelelahan.
Senja menenteng satu koper besar dan membawa satu tas lain di punggungnya. Suasana rumah terlihat sepi, sebab anggota keluarga suaminya masih sibuk mengurusi Lily.Senja berjalan ke teras rumah lalu ia menuju ke pos security. Dengan nada tegas, ia meminta security untuk membukakan pintu pagar."Buka pagarnya!" "Ya Non?" Security bingung."Buka pagarnya!" Senja berteriak."Tapi Non? Non mau kemana?" Security cemas melihat Senja."Pak, jangan banyak tanya. Tolong buka saja pagarnya. Kalau Bapak masih menganggap saya ini manusia, bukan hewan, tolong bantu saya sekali ini saja." Senja memohon.Security yang melihat air mata Senja menjadi iba. Ia lantas memencet remote pagar. Pagar rumah mewah tersebut terbuka lebar lebar. Senja berjalan kaki keluar dari sana. Setelah Senja keluar, security kembali menutup pintu gerbang.Ia terus berjalan sembari menenteng koper dan membawa satu tas di punggungnya. Senja berjalan hingga kakinya terasa pegal. Ia berhenti di dekat sebuah pohon. Terduduk de
"Tut! Tut!" Nada telepon membuat pria paruh baya itu merasa tidak sabaran."Kenapa nggak diangkat angkat?" batinnya.Hingga operator telepon mengatakan bahwa sang empunya tidak menjawab telepon, Pak Man baru mematikan sambungan telepon dan kemudian mencoba meneloponnya lagi.Telepon kedua berakhir sama. Tak ada yang menjawab sambungan telepon. Pak Man memutuskan untuk menelepon Senja secara langsung. "Pak Dafa kemana ini? Kenapa telepon nggak diangkat angkat!" Ia mulai menggerutu karena kesal."Oh iya, aku telepon Non Senja langsung saja!" ucap Pak Man sembari menggulir layar ponselnya dan mencari nomor telepon milik Senja."Ini dia nomornya!" Pria paruh baya itu dengan cepat menekan gambar telepon warna hijau yang ada di layar ponsel.Berharap mendengar nada sambung, namun yang ia dengar malah ucapan dari operator telepon."Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area!" Pada titik ini, Pak Man semakin yakin bahwa ada hal yang tidak beres sedang ter
Tepat saat tengah malam, kereta yang ditumpangi oleh Senja dan kedua anaknya tiba di stasiun tujuan. Senja bersama kedua anaknya turun dari kereta. Suasana terlihat cukup ramai. Sebab banyak juga penumpang lain yang ikut turun bersama dengan mereka."Ma, kita mau kemana sekarang?" Salsa menarik tangan sang Ibu sembari bertanya.Senja terdiam, ia masih bingung akan pergi kemana. Sebab rumah masa kecil Ibunya, sudah terjual sejak lama. Sesaat setelah sang Ibunda meninggal dunia, rumah itu langsung diambil alih oleh kerabat jauh Ibunya dan tak lama rumah itu dijual kepada orang lain."Ma! Kita mau kemana Ma?" Shanum ikut bertanya."Kita menginap di penginapan dulu untuk malam ini. Besok pagi, baru kita jalan jalan." Mobil taksi terlihat berhenti di area stasiun. Senja mengajak kedua anaknya untuk masuk ke dalam taksi yang telah ia pilih."Mau kemana Bu?" Sang supir bertanya dengan ramah."Ke penginapan yang dekat dengan stasiun!" "Oh Hotel Mutiara. Baik Bu!" Driver dengan cepat meng
Senja menempelkan dahi dan pipinya secara bergantian di kening putrinya. Ia menatap wajah Salsa. Tampak wajah kecilnya yang memerah karena demam."Sayang, kau sakit. Ayo sarapan lalu kita pergi ke Dokter." Perlahan lahan gadis kecil itu membuka mata. Ia dengan enggan mengikuti ucapan sang Ibunda.Senja menyodorkan sesendok nasi dengan potongan daging sapi ke mulut Salsa. Bocah kecil itu membuka mulutnya dan berusaha mengunyah makanan yang masuk.Dengan susah payah, akhirnya ia bisa menelan makanan itu. Kemudian, Senja mulai menyuapinya lagi. Ia melakukan hal itu dengan baik. Makan sesuai keinginan sang Ibu.Namun ketika suapan ke lima, anak itu mulai menutup mulutnya rapat rapat."Ayo buka mulutmu lagi." "Nggak Ma. Aku nggak mau. Aku ingin muntah." Mendengar hal ini, tentu saja Senja segera mengembalikan sendok ke atas piring.Ia lantas mengeluarkan sepotong kain tebal dari tas nya dan mulai mengambil sedikit air panas dari alat pemanas air. Senja mengompres kening, anaknya."Sayan
"Permisi!" Johan mengetuk pintu sembari mengucap salam.Agak lama baginya untuk menunggu seseorang membukakan pintu."Lama amat. Apa semua orang di rumah ini masih tidur?" Johan menggerutu."Sudah siang Pak. Sudah jam sebelas siang. Sudah waktunya untuk manusia melakukan aktivitas seperti biasa!" sahut Deva."Permisi!" Deva ikut mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan suara agak kencang.Kali ini, seorang wanita berambut ikal dengan tatapan mata yang tajam datang menghampiri mereka berdua."Ada apa?" tanyanya dengan ketus."Kami detektif swasta. Saya Johan dan dia adalah Deva." Johan memperkenalkan dirinya."Lalu? Apa urusannya dengan saya? Kenapa kalian datang ke sini?""Kami ke sini untuk mencari Senja Malini!" sahut Johan dengan tegas.Wanita dengan banyak kerutan di wajah itu, tampak mengernyitkan keningnya."Untuk apa kalian mencari Senja? Senja tidak ada di sini. Dia sudah menikah!" Si wanita menjawab dengan ketus.Johan dan Deva terdiam mendengar ucapan si wanita tua."Ini
"Ya perebut suami orang!" celetuk istri dari si penjual kopi yang baru saja datang dari pasar.Semua orang melongo mendengar ucapan istri penjual kopi tersebut. "Ibu judes yang kalian temui, itu Ibu tirinya Senja. Saya tahu sendiri, bagaimana Senja diusir dari sana dengan alasan suruh menikah cepat cepat!" celetuknya lagi.Mendengar hal ini, Johan jadi lebih penasaran. "Lalu Senja sendiri, apakah memiliki rumah lain selain rumah ini?""Ada Pak! Di daerah Salangan. Di sana tempat Ibu kandungnya berasal.""Hmm. Ibu tahu dari siapa soal Kota itu?" "Ya Senja sering cerita sama saya. Dia di sini kan setelah Ibu kandungnya meninggal. Ikut Ayah dan Ibu tirinya. Tapi ya seperti itu lah namanya juga Ibu tiri."Berbekal informasi ini, Johan dan Deva lantas memutuskan untuk mencari Senja ke Kota Salangan."Berapa harga kopinya Pak?" tanya Deva sembari mengeluarkan dompet."Sepuluh ribu saja." Deva membayar dua gelas kopi yang air nya masih berisi setengah gelas. Keduanya keluar dari warung k
"Maaf Sus. Sepertinya dompet saya yang berisi id card tertinggal.""Silahkan diambil Ibu. Saya tunggu." Suster mengizinkan Senja untuk pergi mencari dompetnya.Senja yang kebingungan hanya bisa keluar dari rumah sakit dan berjalan di sekitar halaman rumah sakit. "Kemana dompetku? Dimana aku meninggalkan dompetku?" Senja berpikir keras.Setelah beberapa saat ia berpikir, ia baru ingat jika dompet miliknya mungkin tertinggal di dalam taksi yang mengantarkannya ke rumah sakit."Terakhir kali aku mengeluarkan dompet untuk membayar ongkos taksi. Lalu aku masukkan ke dalam tas lagi. Mungkinkah jika dompetku terjatuh di dalam taksi tadi? Oh Tuhan bagaimana ini?" Senja memejamkan kedua matanya sambil menatap langit. Hujan mulai turun dengan lebatnya. Seorang pria tua dengan kumis putih datang ke arah Senja.Ia berjalan menggunakan payung dan saat pria itu sudah ada di dekat Senja, pria itu memayungi Senja. Tentu saja, hal ini membuat Senja kaget. "Si siapa anda?" Senja bertanya dengan kali
Bagas menyodorkan selembar tissue ke arah Senja. Senja pun lantas melihat ke arah Bagas."Jangan menangis. Aku ada di sini. Entah kau mau menerimanya atau tidak, tapi aku akan tetap ada di dekatmu." Bagas bicara sembari menatap Senja, lekat lekat.Senja melihat ke arah Ethan yang tertidur lelap dalam dekapan Bagas."Dia sudah tertidur, kau juga sebaiknya pergi tidur. Jaga kesehatanmu. Anak anak membutuhkan dirimu. Aku pun sama!" seru Bagas.Mendengar hal ini, perasaan Senja jadi tak karuan. Antara senang dan juga ragu, bercampur jadi satu dalam benaknya.Senja pergi keluar dari kamar anaknya. Ia tidur di kamarnya sendiri.*****Malam ini, Lily duduk terdiam menatap ke arah pintu keluar penjara. Ia sedang meratapi nasibnya.Suasana terasa begitu sepi. Tak ada suara yang terdengar. Polisi yang bertugas untuk menjaga penjara, semuanya sedang tertidur pulas. Narapidana lain juga tampak tertidur pulas."Bisa bisanya mereka tidur senyenyak itu!" Lily menatap benci ke arah para Polisi. Wani
Setelah hampir tiga jam mereka menunggu di depan ruangan operasi, akhirnya Dokter keluar."Bagaimana keadaan Dafa?" Ayu bertanya dengan wajah panik."Kami minta maaf. Kami telah melakukan yang terbaik untuk pasien. Tapi kondisi pasien, masih tak ada perubahan dan semakin memburuk."Senja melongo hingga terjatuh ke lantai. Ayu pun sama kagetnya dengan Senja. Dunianya seakan berhenti ketika mendengar penjelasan dari Dokter."Mama. Senja. Kalian harus kuat!" Bagas mencoba untuk menenangkan mereka berdua."Pak Bagas, harapan hidup pasien sangat tipis. Alat bantu bernafas, jika tidak begitu membantu. Jadi semua peralatan medis yang menunjang kehidupan pasien, akan kami lepas.""Tidak!" Ayu berteriak."Jangan! Berapapun biayanya akan aku bayar! Jangan lepas selang infus atau apapun dari tubuh Dafa. Aku yakin, Dafa akan sehat! Dia akan kembali pulih!" Ayu melanjutkan ucapannya."Baik Bu. Tenanglah. Anda harus kuat dan tabah. Semuanya hanya bisa kita pasrahkan kepada sang pemberi kehidupan."
Willy baru saja sampai di kantor polisi. Ia bahkan belum memarkirkan mobilnya, tapi seorang kawannya yang berprofesi sebagai seorang Polisi sudah mendatangi dirinya."Pak! Lily ditangkap!""Saya tahu itu! Makanya saya datang ke sini. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apa kamu nggak bisa mengatur bawahan kamu?" Willy bicara sembari menyetir pelan dan memarkirkan mobil miliknya.Willy keluar dari mobil. "Saya bisa apa Pak? Mereka mengikuti Lily dan menangkap basah Lily melakukan tindakan pidana." Willy tak banyak bicara. Ia menyerahkan sejumlah uang kepada teman Polisinya tersebut."Ambil uang itu. Mintalah berapapun yang kamu inginkan. Tapi pastikan Lily lolos dari kasus hukum!" "Saya tidak berani berjanji. Tapi saya akan mengusahakannya.""Ingat! Awak media jangan sampai memberitakan mengenai masalah ini!""Sampai sekarang, kami tak mengizinkan awak media masuk ke sini.""Kalau kamu gagal membela anak saya, maka saya akan temui kolega saya yang jabatannya jauh di atas kamu! Dan saya aka
Bagas akhirnya melepaskan Lily. Ia berjalan menjauh. Sementara itu, Irwan sudah memanggil ambulans.Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menunggu, mobil ambulans sudah terdengar. Dafa dan Senja masuk ke dalam mobil ambulans. Begitu juga dengan Bagas. Tangan Bagas terus mengeluarkan darah. Darah juga merembes dari dada Dafa."Maafkan aku. Gara gara aku, kalian berdua jadi terluka." "Tidak ini bukanlah salahmu!" sahut Dafa.Setelah mengatakan hal ini, Dafa pingsan tak sadarkan diri.****Mobil ambulans akhirnya sampai di rumah sakit. Dafa dibawa ke ruangan ICU. Bagas dibawa ke UGD. Semuanya sedang mendapatkan perawatan medis.Sementara itu, Irwan menghubungi rekan kerjanya yang lain untuk membantunya mengamankan lokasi serta membantunya membawa mobil milik para korban dan tersangka.Irwan tak lupa menghubungi Ayu dan mengabarkan kejadian buruk ini."Apa! Dimana? Kenapa bisa seperti itu!" Ayu berteriak karena kaget ketika Irwan menceritakan kronologi yang terjadi."Mereka sudah dibaw
Kelima lelaki yang berdiri di hadapan Senja, mulai melepas pakaian mereka lalu disusul dengan celana yang mereka kenakan. Kelimanya menyeringai dan tertawa tak jelas melihat Senja yang ketakutan.Sementara itu, Bagas masih ada di luar. Saat ia mengendap masuk ke dalam, seseorang berdiri di belakangnya."PRak!" Lelaki asing itu memukul Bagas menggunakan kayu.Bagas memegangi kepalanya. Ia meringis kesakitan sembari menoleh ke belakang dan menatap wajah si pria."Siapa kau!" si pria berteriak dengan marah."Hai ada penyusup di sini!" si pria memanggil teman temannya yang ada di dalam gudang.Lily yang ada di dalam gudang dan mendengar teriakan si pria, segera keluar dari gudang, untuk memeriksa apa yang terjadi.Namun Bagas tak kalah cekatan dengan si pria. Belum satu orang pun datang ke tempat itu, Bagas meraih balik kayu dari tangan si pria. Ia mengayunkan balik kayu ke kepala si pria."BRak! PRak!" Si pria mengaduh kesakitan. Bagas mengambil pisau kecil yang menyembul di dekat saku
Dari kejauhan, Bagas yang baru saja keluar dari rumah sakit sesuai menjenguk temannya, terperanjat melihat Lily dan beberapa laki laki yang berdiri menghadap ke arah sebuah mobil."Apa yang mereka lakukan? Kenapa Lily ada di sini? Pasti ada yang tidak beres!" Bagas bicara dalam hati. Ia bersembunyi di balik dinding dan mengamati pembicaraan mereka dengan seksama."Cepat bawa dia ke gudang tembakau kita yang ada di perbatasan kota!" Lily memerintahkan anak buahnya."Siapa yang akan dia bawa ke sana?" Bagas bicara dalam hati.Dua orang lelaki masuk ke dalam mobil. Mereka memindahkan tubuh Senja ke kursi belakang kemudi. "Kami berangkat sekarang!" Dua anak buahnya pamit."Aku akan menyusul!" Lily menjawab.Mobil hitam melaju tepat di hadapan Bagas. Bagas melongo kaget karena ia tersadar jika mobil yang baru saja lewat adalah milik Dafa."Apakah yang di dalam mobil adalah Senja?" Bagas pun berinisiatif untuk mengikuti mobil itu.Ia masuk ke dalam mobil dan dengan lihai mengikuti mobil
"Kualitas sperma pasien, sangat buruk. Hal ini akan menyebabkan, pasien mengalami kesulitan untuk memiliki momongan.""Apa?" Ayu melongo mendengar penjelasan Dokter."Nggak mungkin Dok. Saya pernah cek kesuburan, aman kok! Nggak ada masalah! Sekarang kenapa bisa bermasalah!" Dafa protes."Bisa anda katakan dimana anda melakukan tes itu?""Di Rumah Sakit Goldy Health. Waktu itu saya dan mantan istri saya melakukan tes bersama."Dokter hanya menggelengkan kepalanya sembari menyodorkan selembar kertas berisi catatan medis."Dafa, menurut Mama, Dokter Alin ini lebih bisa dipercaya. Sebab, dulu kamu tes. Katanya Lily yang susah punya anak. Divonis mandul segala macam. Nyatanya? Dia bisa hamil!" seru Ayu."Iya ya." "Sudahlah Mas. Nggak perlu bahas soal anak lagi. Kalau memang tiba waktunya, kita punya momongan, kita pasti akan punya!" seru Senja."Kemungkinannya sangat tipis sekali untuk bisa memiliki momongan." Dokter menyahut.Dafa tampak shock dengan ucapan Dokter. Ia menundukkan wajahn
Bangkai tikus itu telah dimasukkan oleh security rumah, ke dalam kantong plastik. Namun meskipun begitu, bau busuknya masih tercium oleh semua orang."Siapa yang berani membuang bangkai ke sini Pak? Perumahan ini dijaga ketat. Kenapa sampai ada orang yang berani keliaran di sini dengan tujuan yang tak baik." Dafa mulai emosi."Setahu saya semenjak Pak Mulyo sudah pensiun dari security perumahan, mereka membebaskan orang orang untuk keluar masuk wilayah ini.""Nggak beres ini! Lama lama perumahan kita akan jadi kumuh." Suara keributan yang terjadi, membuat Ayu ikut keluar dari rumah."Ada apa? Kenapa semuanya berkumpul di sini?""Ada yang melemparkan bangkai tikus ke sini, Ma." Dafa menjawab."Jorok! Itu paling kerjaan orang iseng. Pengangguran yang iri dengan kehidupan orang lain. Sudahlah abaikan saja!" seru Ayu.Ayu melenggang masuk lagi ke dalam rumah. Pak Man mengantarkan Bi Sari berbelanja.Dafa dan Senja juga masuk ke dalam rumah. "Ada apa Ma?" tanya Ethan yang ikut penasaran.
Sembari fokus menyetir, Senja meraih ponselnya dan menelepon Dafa."Mas!" Terdengar suara istrinya yang sedang gemetar karena panik."Ada apa sayang? Kenapa suaramu berubah menjadi seperti orang yang sedang panik?""Mas, aku takut! Ada orang yang sejak tadi mengikuti aku!""Mengikuti? Maksudnya?""Di belakang mobilku, ada orang yang menggunakan sepeda motor. Dia mengejar mobilku. Aku belok ke kanan, dia juga ikut belok ke kanan.""Tenang! Jangan takut dan jangan panik! Kamu fokus melihat ke arah depan saja. Jangan pikirkan orang itu. Dan jangan menyetir ke tempat sepi. Aku akan menyusulmu sekarang. Katakan dimana posisimu!" seru Dafa."Jembatan Helly!" sahut Senja."Baiklah! Di dekat Jembatan Helly ada sebuah pasar yang cukup besar. Menyetir lah ke arah pasar itu. Lalu minta bantuan pada orang orang yang ada di pasar. Penjahat seperti mereka akan berpikir ulang, jika kau sudah ada di dalam pasar.""Baiklah!" Senja menutup ponselnya.Dafa segera masuk ke dalam mobil dan menyusul istrin