Hana terpaku menatap kertas di depannya, mendadak lemas dan tak percaya. Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian dan membentur tanah hingga tulang-tulangnya remuk. Oke, terlalu hiperbola. Tapi Hana sungguhan tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.
Nilai E? C saja Hana tak pernah mendapatkannya.
“Lin, tumben lo dapet E.”
Hana tersentak, langsung membereskan semua buku-bukunya dan langsung pergi. Entahlah siapa tadi yang ngomong, yang jelas Hana sedang butuh menyendiri. Justru karena itu bukan nilainya Hana jadi kecewa pada dirinya sendiri. Ya ampun, mendengar kata orang tadi berarti Hani tidak sebodoh apa yang dibilang Chiko.
Gadis itu berjalan tak tentu arah, lupa kalau dia harus ke mana-mana dengan Owen agar tak mengundang curiga. Akan tetapi, bersama lelaki itu hanya akan menambah buruk suasana hatinya. Entahlah mau ke mana di bawah terik matahari ini.
Makin bingung dengan tujuannya, akhirnya Hana duduk di halte bis. Dia sudah berjalan kurang lebih 700 meter. Ya cukup jauh sampai Hana belum melihat ada mahasiswa kampusnya. Hana memutuskan untuk bolos satu mata kuliah terakhir untuk menyegarkan otaknya yang tak bisa diajak berpikir. Kenapa dia sangat bodoh di IPS dulu? Jadinya soal ekonomi saja Hana tak sanggup menjawab benar banyak-banyak.
Sementara itu, sebuah mobil berhenti di pinggir jalan tak jauh dari halte bus. Pengemudinya menatap lurus ke Hana yang duduk sendirian di sana. Walau jauh, dia bisa melihat wajah gusar gadis itu. Tampak sedang ada pikiran, terbukti dengan pelipisnya yang berkali-kali dipijat.
Hana merogoh saku sebab ponselnya berdering. Dia berdecak malas sebelum mengangkatnya. [Ngapain lo di sana?] tanya si penelepon, Owen. Hana melirik ke kanan, mendapati sebuah mobil berhenti di depan parkiran sebuah restoran.
“Jangan ganggu gue dulu.”
[Kenapa?]
Gadis itu mendesah berat. “Gue dapet nilai E di evaluasi modul.”
[Terus kenapa lo sedih? Yang harusnya sedih itu Hani.]
“Bisa gak sih lo gak usah nyinggung nama dia? Gue gak minta lo ngerti perasaan gue, cukup jangan buat gue makin bersalah.”
Owen terkekeh sinis. [Bersalah lo bilang? Bukannya seneng kalau misi lo berhasil?]
Terlanjur kesal, Hana mematikan sambungan sepihak dan lekas memblok kontak tunangan kakaknya itu. Sempat melemparkan death glare-nya ke bagian pengemudi sebelum bergegas pergi ke arah berlawanan. Hana tahu itu malah makin jauh ke jalan pulang, tapi masa bodo. Siapa tahu menyiksa diri bisa membuatnya lebih baik.
Hana melirik ke belakang, sadar di belakangnya ada mobil yang mengikuti. Tentu saja dia langsung berasumsi kalau itu Owen. Dia berbalik marah. “Gak usah ngikutin gue.”
Si pengemudi bandel, tak menurut dan malah lanjut mengikuti Hana dari belakang. “Gue bilang gak usah ngikutin gue!” Hana makin kesal saat lampu sen mobil itu mati, menandakan si pengemudi hendak keluar. Dia mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menimpuknya.
“Auch!” Lelaki itu mengaduh terkena timpukan Hana, sedangkan Hana terkejut. Mampus, ternyata dia bukan Owen. “Kok gue ditimpuk, sih?” protes lelaki itu.
“Eh, sorry. Gue kira lo orang lain,” ringis Hana. Habis warna mobilnya sama, tentu saja Hana akan berpikir kalau itu Owen. Dia menyipit saat lelaki itu mendongak. “Lo ... yang waktu itu, ‘kan?”
Lelaki itu tersenyum, mendekati Hana sambil mengelus dahinya yang kena kerikil. “Akhirnya lo inget gue. Oh iya, kita belum kenalan, ‘kan. Gue Irga.” Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Hana menyambut uluran tangan itu. “Gue Han.”
“Bukannya Hani?”
Shit! “Y-ya, Hani.”
[Mau ke mana lo?] Mau tak mau Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe, memastikan bahwa orang yang meneleponnya itu tak ada di sana. Agak menyesal sih membuka blokiran nomor Owen kalau tidak dipaksa lelaki itu. “Gue ada urusan sama Chiko,” balas Hana. Kini dia dan Chiko sudah ada di salah satu kafe daerah Tanjung Duren Utara. Hana disuruh menunggu sementara Chiko ke belakang bersama teman yang katanya bekerja di sini juga, membantu Hana mendapatkan pekerjaan atas nama sohib antar lelaki Chiko dengan entah siapa itu. [Apa yang gue bilang soal selalu sama gue?] Hana berdecak. “Gue pake topi, gue pake kemeja, dan gue pake masker. No one will realize that i’m your fucking girlfriend. Puas lo?” [Sialan lo! Berani lo ngomong kasar tentang Hani gue hajar lo.] “Cari aja orang yang peduli. Yang jelas itu bukan gue.” Selalu, setiap Owen menelepon pastilah Hana yang pertama kali memutuskan sambungannya. Habisnya lelaki itu punya
HARI pertama Hana bekerja part-time terhitung menyenangkan, apalagi pengalamannya bisa bertemu dengan banyak orang. Tidak ada hambatan baik dari pekerjaannya atau pelanggan kafe. Dulu dia juga pernah bekerja via online dan tak bertahan lama karena neneknya tahu dan melarangnya melanjutkan, fokus saja pada sekolahnya. Ya, saat itu umurnya masih muda untuk mulai bekerja. Sekarang? Selain umurnya yang sudah beranjak dewasa, perbedaannya adalah dia tidak tinggal lagi bersama neneknya. Hanya ada keluarganya yang tak akan peduli. Dia baru selesai sekitar jam setengah 8 malam, itu juga tidak membantu menutup kafe karena para seniornya menyuruhnya pulang saja, hitung-hitung keringanan hari pertama. Sampai di depan rumah diantar Chiko, jujur saja Hana rada deg-degan masuk ke rumah. Ini kali pertamanya pulang larut dan mungkin akan begitu setiap hari. Memantapkan tekad, Hana masuk ke rumah dengan muka temboknya yang datar. Shit, keluarganya sedang berkumpul di ruang ke
Sesudah kelas selesai, Owen buru-buru ke ruang TBK kampus setelah salah satu temannya memberi tahu tentang Hana yang berulah sebagai Hani. Gadis itu dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling karena membuat keributan. Entahlah, Owen tidak ada waktu mendengarnya dan langsung berlari ke gedung inti kampus. Di depan ruangan TBK, beberapa mahasiswa curi dengar ada yang sedang terjadi di dalam dan mengintip melalui kaca. Owen merangsek di antara kerumunan dan masuk ke dalam ruangan. Hana dan seorang gadis yang Owen kenal sebagai Rachel duduk di kursi yang berjauhan. Rachel mendelik tajam pada Hana yang membalasnya dengan tatapan santai. “Pak, ada apa ini?” tanya Owen pada Pak Ridwan, dosen konselor yang membawa keduanya ke ruang itu. Pak Ridwan menggeleng-geleng. “Tanya saja pacar kamu,” jawabnya sarat akan kelelahan. Kelihatan sudah lelah dengan keduaya. “Ada apa?” tanya Owen menggeram kecil. Saudari tunangannya itu sangat mengetes kesabarannya be
Jam 4 sore Hana mondar-mandir di kamar, bergerak gelisah dengan ekor mata terus melirik jam dinding. Jarum panjang itu terus mendetik seolah mengejeknya yang tak bisa apa-apa. Meski terancam tak bisa pergi, Hana tetap bersiap untuk pergi kerja. Putus asa, tiba-tiba Hana dapat ide. Dia menyambar ponselnya, mencari nama Chiko di daftar kontak. [Halo.] “Chik, plis bilang lo ada di rumah.” [Kenapa emangnya?] “Aduhh, Chik, gue butuh banget bantuan lo.” [Iya, lo bilang dulu, ada apaan?] Gadis itu mengatur napasnya agar detak jantungnya ikut stabil. Terlalu gugup dan takut nantinya ditegur jika telat atau tidak bisa masuk kerja. “Jadi gue dihukum soal bogem kemarin, nah gue gak boleh keluar rumah. Plis, anterin gue kerja,” mohon Hana. [Lah, katanya gak boleh keluar rumah.] “I know, tapi masa baru kerja udah bolos sih? Plis, lo tunggu aja di deket rumah gue.” [Duh, gimana ya, Lin? Gue lagi gak di rumah. Ada acar
“Han, lo harus jelasin ke mereka yang sebenarnya terjadi,” lirih Hana. Dia ingin sekali mendampingi Hani di dalam sana, menguatkannya agar bertahan dalam masa koma. Namun, keluarganya melarang, bahkan Hana baru diberi izin menengok setelah dua hari Hani masuk rumah sakit. Ada begitu banyak alat yang menunjang kehidupan Hani, ada banyak cairan yang diatur untuk memenuhi kebutuhan tubuh gadis itu agar tetap stabil. Hana sebagai saudara kembarnya merasakan sedih yang luar biasa. Dia adalah orang terakhir yang bertemu Hani sebelum koma. Dan karena itu semua, keluarganya menyalahkan Hana sebagai penyebab Hani koma. “Han, tega banget lo gue jauh-jauh ke sini malah tidur.” Jika boleh, Hana juga ingin menangis. Akan tetapi, orang tuanya sedang rapuh. Kesedihan Hana tak akan ada apa-apanya dibandingkan kesedihan mereka. Hana mendengar ketukan langkah kaki mendekatinya, tapi dia tak mau menoleh. Tahu kalau orang itu akan menyuruh Hana pergi, selalu begi
Jika Hana berpikir orang tuanya akan memperlakukan dia seperti Hani, jawabannya : salah besar. Heh, apa yang dia harapkan? Disiapkan baju kuliah dan disuguhkan makanan mewah? Atau dibangunkan pagi-pagi dengan suara lembut mengingatkan bahwa ini sudah pagi? Ironisnya, itu semua hanya sebatas mimpi. Di kamarnya yang dulu, Hana mengenang kembali semua ingatannya di tempat ini. Dulu kalau Hani mengadukan yang tidak-tidak dan Hana dimarahi, dia pasti akan menangis di pojokan. Saat Hana dihukum tidak boleh ke mana-mana, balkonlah yang jadi tempat pelariannya. Atau saat Hana kesulitan tidur, dia akan menyeHanip ke bathup dan tidur di sana. 9 tahun sudah berlalu. Hana merindukannya setiap saat. Di sela-sela mengenangnya itu, pintu dibuka tiba-tiba membuatnya terkejut. Hani menatapnya dingin, tidak tampak seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu anaknya. “Cepet turun. Owen udah tunggu di bawah,” katanya langsung pergi lagi. Han
Kelas berakhir sekitar 15 menit lebih lama dari jadwal seharusnya. Dosen memberikan sebuah kuis bagi mereka yang bisa menyelesaikan soal sepuluh orang paling cepat. Sayangnya Raline sama sekali belum mengerti tentang materinya, jadilah dia tidak termasuk ke dalam sepuluh orang itu. Padahal di kampusnya dulu, Raline termasuk murid pintar di jurusannya dan mendapatkan beasiswa.Mungkin karena Raline pintar di hitung-hitungan dan jurusan Ralina lebih ke soshum makanya gadis itu perlu lebih banyak waktu bersosialisasi.Raline yang duduk di jajaran bangku depan langsung membereskan buku-bukunya setelah dosen menutup kelas. Ingat dengan peringatan Muaz untuk langsung pergi saat kelas usai.Namun, baru saja Raline memasukkan sebagian bukunya, orang-orang yang tadi pagi menyapanya sudah berdiri di samping bangkunya. Raline mendesah pelan, malas juga direcoki orang-orang seperti mereka melulu.&
Ke mana perginya bintang di siang hari? Apakah tertutup dengan cahaya matahari yang begitu terang? Lalu ke mana perginya kebahagiaan yang pantas Hana dapatkan? Apakah mereka terkesima dengan Hani dan berbalik padanya? What can be asked? Hana is an ordinary person when compared to Hani. “Hush! Lagi-lagi mulai,” gerutu Hana menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tak baik menyalahkan takdir, tapi apa boleh buat? Hana tak ingin membenci dirinya sendiri yang bernasib sedemikian buruk. Dia kembali meneguk minuman kaleng sambil menatap lurus ke depan, di antara rintik hujan tatapan dan pikirannya berkelana. Apakah benar ada akhir bahagia yang menunggunya di ujung garis finis? Kapan garis itu terlihat? Hana mulai lelah terjebak dalam kubangan putus asa. Sebuah tangan mengagetkan Hana, tiba-tiba menepuk pundaknya. Gadis itu refleks menyentak tangan yang masih bertengger di bahu, mendelik pada si pelaku. “Hana?” Hana
Jam 4 sore Hana mondar-mandir di kamar, bergerak gelisah dengan ekor mata terus melirik jam dinding. Jarum panjang itu terus mendetik seolah mengejeknya yang tak bisa apa-apa. Meski terancam tak bisa pergi, Hana tetap bersiap untuk pergi kerja. Putus asa, tiba-tiba Hana dapat ide. Dia menyambar ponselnya, mencari nama Chiko di daftar kontak. [Halo.] “Chik, plis bilang lo ada di rumah.” [Kenapa emangnya?] “Aduhh, Chik, gue butuh banget bantuan lo.” [Iya, lo bilang dulu, ada apaan?] Gadis itu mengatur napasnya agar detak jantungnya ikut stabil. Terlalu gugup dan takut nantinya ditegur jika telat atau tidak bisa masuk kerja. “Jadi gue dihukum soal bogem kemarin, nah gue gak boleh keluar rumah. Plis, anterin gue kerja,” mohon Hana. [Lah, katanya gak boleh keluar rumah.] “I know, tapi masa baru kerja udah bolos sih? Plis, lo tunggu aja di deket rumah gue.” [Duh, gimana ya, Lin? Gue lagi gak di rumah. Ada acar
Sesudah kelas selesai, Owen buru-buru ke ruang TBK kampus setelah salah satu temannya memberi tahu tentang Hana yang berulah sebagai Hani. Gadis itu dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling karena membuat keributan. Entahlah, Owen tidak ada waktu mendengarnya dan langsung berlari ke gedung inti kampus. Di depan ruangan TBK, beberapa mahasiswa curi dengar ada yang sedang terjadi di dalam dan mengintip melalui kaca. Owen merangsek di antara kerumunan dan masuk ke dalam ruangan. Hana dan seorang gadis yang Owen kenal sebagai Rachel duduk di kursi yang berjauhan. Rachel mendelik tajam pada Hana yang membalasnya dengan tatapan santai. “Pak, ada apa ini?” tanya Owen pada Pak Ridwan, dosen konselor yang membawa keduanya ke ruang itu. Pak Ridwan menggeleng-geleng. “Tanya saja pacar kamu,” jawabnya sarat akan kelelahan. Kelihatan sudah lelah dengan keduaya. “Ada apa?” tanya Owen menggeram kecil. Saudari tunangannya itu sangat mengetes kesabarannya be
HARI pertama Hana bekerja part-time terhitung menyenangkan, apalagi pengalamannya bisa bertemu dengan banyak orang. Tidak ada hambatan baik dari pekerjaannya atau pelanggan kafe. Dulu dia juga pernah bekerja via online dan tak bertahan lama karena neneknya tahu dan melarangnya melanjutkan, fokus saja pada sekolahnya. Ya, saat itu umurnya masih muda untuk mulai bekerja. Sekarang? Selain umurnya yang sudah beranjak dewasa, perbedaannya adalah dia tidak tinggal lagi bersama neneknya. Hanya ada keluarganya yang tak akan peduli. Dia baru selesai sekitar jam setengah 8 malam, itu juga tidak membantu menutup kafe karena para seniornya menyuruhnya pulang saja, hitung-hitung keringanan hari pertama. Sampai di depan rumah diantar Chiko, jujur saja Hana rada deg-degan masuk ke rumah. Ini kali pertamanya pulang larut dan mungkin akan begitu setiap hari. Memantapkan tekad, Hana masuk ke rumah dengan muka temboknya yang datar. Shit, keluarganya sedang berkumpul di ruang ke
[Mau ke mana lo?] Mau tak mau Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe, memastikan bahwa orang yang meneleponnya itu tak ada di sana. Agak menyesal sih membuka blokiran nomor Owen kalau tidak dipaksa lelaki itu. “Gue ada urusan sama Chiko,” balas Hana. Kini dia dan Chiko sudah ada di salah satu kafe daerah Tanjung Duren Utara. Hana disuruh menunggu sementara Chiko ke belakang bersama teman yang katanya bekerja di sini juga, membantu Hana mendapatkan pekerjaan atas nama sohib antar lelaki Chiko dengan entah siapa itu. [Apa yang gue bilang soal selalu sama gue?] Hana berdecak. “Gue pake topi, gue pake kemeja, dan gue pake masker. No one will realize that i’m your fucking girlfriend. Puas lo?” [Sialan lo! Berani lo ngomong kasar tentang Hani gue hajar lo.] “Cari aja orang yang peduli. Yang jelas itu bukan gue.” Selalu, setiap Owen menelepon pastilah Hana yang pertama kali memutuskan sambungannya. Habisnya lelaki itu punya
Hana terpaku menatap kertas di depannya, mendadak lemas dan tak percaya. Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian dan membentur tanah hingga tulang-tulangnya remuk. Oke, terlalu hiperbola. Tapi Hana sungguhan tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Nilai E? C saja Hana tak pernah mendapatkannya. “Lin, tumben lo dapet E.” Hana tersentak, langsung membereskan semua buku-bukunya dan langsung pergi. Entahlah siapa tadi yang ngomong, yang jelas Hana sedang butuh menyendiri. Justru karena itu bukan nilainya Hana jadi kecewa pada dirinya sendiri. Ya ampun, mendengar kata orang tadi berarti Hani tidak sebodoh apa yang dibilang Chiko. Gadis itu berjalan tak tentu arah, lupa kalau dia harus ke mana-mana dengan Owen agar tak mengundang curiga. Akan tetapi, bersama lelaki itu hanya akan menambah buruk suasana hatinya. Entahlah mau ke mana di bawah terik matahari ini. Makin bingung dengan tujuannya, akhirnya Hana duduk di halte bis. Dia sudah berj
Ke mana perginya bintang di siang hari? Apakah tertutup dengan cahaya matahari yang begitu terang? Lalu ke mana perginya kebahagiaan yang pantas Hana dapatkan? Apakah mereka terkesima dengan Hani dan berbalik padanya? What can be asked? Hana is an ordinary person when compared to Hani. “Hush! Lagi-lagi mulai,” gerutu Hana menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tak baik menyalahkan takdir, tapi apa boleh buat? Hana tak ingin membenci dirinya sendiri yang bernasib sedemikian buruk. Dia kembali meneguk minuman kaleng sambil menatap lurus ke depan, di antara rintik hujan tatapan dan pikirannya berkelana. Apakah benar ada akhir bahagia yang menunggunya di ujung garis finis? Kapan garis itu terlihat? Hana mulai lelah terjebak dalam kubangan putus asa. Sebuah tangan mengagetkan Hana, tiba-tiba menepuk pundaknya. Gadis itu refleks menyentak tangan yang masih bertengger di bahu, mendelik pada si pelaku. “Hana?” Hana
Kelas berakhir sekitar 15 menit lebih lama dari jadwal seharusnya. Dosen memberikan sebuah kuis bagi mereka yang bisa menyelesaikan soal sepuluh orang paling cepat. Sayangnya Raline sama sekali belum mengerti tentang materinya, jadilah dia tidak termasuk ke dalam sepuluh orang itu. Padahal di kampusnya dulu, Raline termasuk murid pintar di jurusannya dan mendapatkan beasiswa.Mungkin karena Raline pintar di hitung-hitungan dan jurusan Ralina lebih ke soshum makanya gadis itu perlu lebih banyak waktu bersosialisasi.Raline yang duduk di jajaran bangku depan langsung membereskan buku-bukunya setelah dosen menutup kelas. Ingat dengan peringatan Muaz untuk langsung pergi saat kelas usai.Namun, baru saja Raline memasukkan sebagian bukunya, orang-orang yang tadi pagi menyapanya sudah berdiri di samping bangkunya. Raline mendesah pelan, malas juga direcoki orang-orang seperti mereka melulu.&
Jika Hana berpikir orang tuanya akan memperlakukan dia seperti Hani, jawabannya : salah besar. Heh, apa yang dia harapkan? Disiapkan baju kuliah dan disuguhkan makanan mewah? Atau dibangunkan pagi-pagi dengan suara lembut mengingatkan bahwa ini sudah pagi? Ironisnya, itu semua hanya sebatas mimpi. Di kamarnya yang dulu, Hana mengenang kembali semua ingatannya di tempat ini. Dulu kalau Hani mengadukan yang tidak-tidak dan Hana dimarahi, dia pasti akan menangis di pojokan. Saat Hana dihukum tidak boleh ke mana-mana, balkonlah yang jadi tempat pelariannya. Atau saat Hana kesulitan tidur, dia akan menyeHanip ke bathup dan tidur di sana. 9 tahun sudah berlalu. Hana merindukannya setiap saat. Di sela-sela mengenangnya itu, pintu dibuka tiba-tiba membuatnya terkejut. Hani menatapnya dingin, tidak tampak seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu anaknya. “Cepet turun. Owen udah tunggu di bawah,” katanya langsung pergi lagi. Han
“Han, lo harus jelasin ke mereka yang sebenarnya terjadi,” lirih Hana. Dia ingin sekali mendampingi Hani di dalam sana, menguatkannya agar bertahan dalam masa koma. Namun, keluarganya melarang, bahkan Hana baru diberi izin menengok setelah dua hari Hani masuk rumah sakit. Ada begitu banyak alat yang menunjang kehidupan Hani, ada banyak cairan yang diatur untuk memenuhi kebutuhan tubuh gadis itu agar tetap stabil. Hana sebagai saudara kembarnya merasakan sedih yang luar biasa. Dia adalah orang terakhir yang bertemu Hani sebelum koma. Dan karena itu semua, keluarganya menyalahkan Hana sebagai penyebab Hani koma. “Han, tega banget lo gue jauh-jauh ke sini malah tidur.” Jika boleh, Hana juga ingin menangis. Akan tetapi, orang tuanya sedang rapuh. Kesedihan Hana tak akan ada apa-apanya dibandingkan kesedihan mereka. Hana mendengar ketukan langkah kaki mendekatinya, tapi dia tak mau menoleh. Tahu kalau orang itu akan menyuruh Hana pergi, selalu begi