Jika Hana berpikir orang tuanya akan memperlakukan dia seperti Hani, jawabannya : salah besar.
Heh, apa yang dia harapkan? Disiapkan baju kuliah dan disuguhkan makanan mewah? Atau dibangunkan pagi-pagi dengan suara lembut mengingatkan bahwa ini sudah pagi?
Ironisnya, itu semua hanya sebatas mimpi.
Di kamarnya yang dulu, Hana mengenang kembali semua ingatannya di tempat ini. Dulu kalau Hani mengadukan yang tidak-tidak dan Hana dimarahi, dia pasti akan menangis di pojokan. Saat Hana dihukum tidak boleh ke mana-mana, balkonlah yang jadi tempat pelariannya. Atau saat Hana kesulitan tidur, dia akan menyeHanip ke bathup dan tidur di sana.
9 tahun sudah berlalu. Hana merindukannya setiap saat.
Di sela-sela mengenangnya itu, pintu dibuka tiba-tiba membuatnya terkejut.
Hani menatapnya dingin, tidak tampak seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu anaknya. “Cepet turun. Owen udah tunggu di bawah,” katanya langsung pergi lagi.
Hana menghela napas. Menggendong tasnya tanpa bicara, mengikuti Mamanya turun ke lantai bawah.
Sudah ada Papanya, Kakaknya, dan Owen sudah mulai sarapan di meja makan. Bi Lastri sibuk bolak-balik dapur dan meja makan menyajikan makanan. Hana menarik kursi di samping Reno—kakaknya. Reno mendelik, menggeser kursinya menjauh dari Hana.
Gadis itu tidak ambil pusing, sudah biasa diperlakukan begitu.
“Ayo, Ma. Kasian Hani sendirian dari tadi,” ujar Farhan mengelap sudut bibirnya pakai tisu, berdiri dari kursinya diikuti Hani.
Bagi orang-orang yang mengenal adanya Hana dan Hani, mereka biasa memanggil Hana dengan Han dan Hana dengan Hani. Tidak berlaku di sekolah masing-masing atau tempat Hana tinggal sebelumnya, mereka sama-sama dipanggil Han.
“Bi, mana bekalnya? Saya akan makan di rumah sakit aja.” Baru Hana sadari di samping kursi Hani terdapat sebuah koper dan tas cukup besar. Hani menggeretnya mengikuti Farhan keluar setelah menerima kotak makan dari Bi Lastri.
Saat Hana hendak menyendok nasi, Reno menyeletuk, “Gak malu lo bisa makan tenang-tenang sementara Hani lagi koma?” Sontak Hana mematung, perlahan mengembalikan sendok nasi dan membalik piring di depannya. Tak berniat sarapan.
“Terus selama enam tahun ini lo gimana? Dari dulu gue ngekos jauh dari kalian, sering kehabisan uang dan kadang cuma bisa makan seadanya. Sementara kalian semua makan enak di sini, gak usah mikir besok makan apa atau ngatur keuangan secukup mungkin. Apa lo gak malu adek lo gak jelas makannya apa sementara lo di sini makan enak?”
Reno mendengus. “Gak usah sok merasa jadi orang paling tersakiti.”
“Jadi berhenti perlakukan gue sebagai orang yang paling salah. Oke, gue salah gak bisa nolongin Hani yang tenggelam, tapi apa ada satu orang aja dari kalian yang mau denger penjelasan gue, hah?”
Sekuat mungkin Hana menahan air matanya agar tidak terlihat. Dia benci harus dipaksa kuat padahal sesungguhnya dia rapuh, benci dipaksa menerima akan hal yang tidak sepantasnya dia dapatkan. Hana sama seperti Hani, seharusnya mereka juga memperlakukannya sama seperti pada Hani.
Owen menaruh kasar alat makannya, menatap tajam Hana yang duduk tepat di depannya. “You two really piss of me,” umpatnya kasar, bangkit secara tiba-tiba sampai kursinya mundur cukup jauh.
Reno ikut-ikutan membanting alat makannya, berdecih pada Hana. “Lo pengacau tau gak sih? Males banget liat lo balik lagi,” katanya kemudian meninggalkan Hana.
“Jangan nangis,” cicit Hana. “That’s what they want, so don’t cry.”
Apalagi yang kurang? Hana sudah mengecat rambutnya menjadi kepirangan, memakai riasan wajah, berpakaian seperti Hani, tapi kenapa begitu sulit mereka menerimanya bahkan setelah Hana dan Hani sudah sama persis? She tried her best, but still not enough.
Bi Lastri melihatnya dari dapur, tapi dilarang mendekat oleh Hani. Sejak dulu, Hana memang sudah diperlakukan lain. Namun bertambah buruk saat SMP, Hana bahkan harus meninggalkan rumah dan sekolah berkota-kota jauhnya dari Jakarta. Jika Bi Lastri tidak bekerja sedari Reno kecil, dia akan menganggap Hana anak angkat atau semacamnya, tapi faktanya Hana anak kandung keluarga ini.
Entah kesalahan fatal apa yang dilakukan anak sekecil Hana dulu.
“Woy, buruan! Gak usah sok dramatis, kita bisa telat kalau lo mentingin ego lo.” Owen hanya masuk untuk memperingatkan Hana, kembali keluar dengan langkah kakinya yang mengentak-entak kesal.
Hana segera menghapus kasar jejak air matanya di pipi, menghela napas panjang untuk memperbaiki suasana hatinya. Cobaan yang sebenarnya akan dimulai, di mana Hana sama sekali tidak sesuai dengan jurusan Hani.
Hope everything goes well
Kelas berakhir sekitar 15 menit lebih lama dari jadwal seharusnya. Dosen memberikan sebuah kuis bagi mereka yang bisa menyelesaikan soal sepuluh orang paling cepat. Sayangnya Raline sama sekali belum mengerti tentang materinya, jadilah dia tidak termasuk ke dalam sepuluh orang itu. Padahal di kampusnya dulu, Raline termasuk murid pintar di jurusannya dan mendapatkan beasiswa.Mungkin karena Raline pintar di hitung-hitungan dan jurusan Ralina lebih ke soshum makanya gadis itu perlu lebih banyak waktu bersosialisasi.Raline yang duduk di jajaran bangku depan langsung membereskan buku-bukunya setelah dosen menutup kelas. Ingat dengan peringatan Muaz untuk langsung pergi saat kelas usai.Namun, baru saja Raline memasukkan sebagian bukunya, orang-orang yang tadi pagi menyapanya sudah berdiri di samping bangkunya. Raline mendesah pelan, malas juga direcoki orang-orang seperti mereka melulu.&
Ke mana perginya bintang di siang hari? Apakah tertutup dengan cahaya matahari yang begitu terang? Lalu ke mana perginya kebahagiaan yang pantas Hana dapatkan? Apakah mereka terkesima dengan Hani dan berbalik padanya? What can be asked? Hana is an ordinary person when compared to Hani. “Hush! Lagi-lagi mulai,” gerutu Hana menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tak baik menyalahkan takdir, tapi apa boleh buat? Hana tak ingin membenci dirinya sendiri yang bernasib sedemikian buruk. Dia kembali meneguk minuman kaleng sambil menatap lurus ke depan, di antara rintik hujan tatapan dan pikirannya berkelana. Apakah benar ada akhir bahagia yang menunggunya di ujung garis finis? Kapan garis itu terlihat? Hana mulai lelah terjebak dalam kubangan putus asa. Sebuah tangan mengagetkan Hana, tiba-tiba menepuk pundaknya. Gadis itu refleks menyentak tangan yang masih bertengger di bahu, mendelik pada si pelaku. “Hana?” Hana
Hana terpaku menatap kertas di depannya, mendadak lemas dan tak percaya. Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian dan membentur tanah hingga tulang-tulangnya remuk. Oke, terlalu hiperbola. Tapi Hana sungguhan tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Nilai E? C saja Hana tak pernah mendapatkannya. “Lin, tumben lo dapet E.” Hana tersentak, langsung membereskan semua buku-bukunya dan langsung pergi. Entahlah siapa tadi yang ngomong, yang jelas Hana sedang butuh menyendiri. Justru karena itu bukan nilainya Hana jadi kecewa pada dirinya sendiri. Ya ampun, mendengar kata orang tadi berarti Hani tidak sebodoh apa yang dibilang Chiko. Gadis itu berjalan tak tentu arah, lupa kalau dia harus ke mana-mana dengan Owen agar tak mengundang curiga. Akan tetapi, bersama lelaki itu hanya akan menambah buruk suasana hatinya. Entahlah mau ke mana di bawah terik matahari ini. Makin bingung dengan tujuannya, akhirnya Hana duduk di halte bis. Dia sudah berj
[Mau ke mana lo?] Mau tak mau Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe, memastikan bahwa orang yang meneleponnya itu tak ada di sana. Agak menyesal sih membuka blokiran nomor Owen kalau tidak dipaksa lelaki itu. “Gue ada urusan sama Chiko,” balas Hana. Kini dia dan Chiko sudah ada di salah satu kafe daerah Tanjung Duren Utara. Hana disuruh menunggu sementara Chiko ke belakang bersama teman yang katanya bekerja di sini juga, membantu Hana mendapatkan pekerjaan atas nama sohib antar lelaki Chiko dengan entah siapa itu. [Apa yang gue bilang soal selalu sama gue?] Hana berdecak. “Gue pake topi, gue pake kemeja, dan gue pake masker. No one will realize that i’m your fucking girlfriend. Puas lo?” [Sialan lo! Berani lo ngomong kasar tentang Hani gue hajar lo.] “Cari aja orang yang peduli. Yang jelas itu bukan gue.” Selalu, setiap Owen menelepon pastilah Hana yang pertama kali memutuskan sambungannya. Habisnya lelaki itu punya
HARI pertama Hana bekerja part-time terhitung menyenangkan, apalagi pengalamannya bisa bertemu dengan banyak orang. Tidak ada hambatan baik dari pekerjaannya atau pelanggan kafe. Dulu dia juga pernah bekerja via online dan tak bertahan lama karena neneknya tahu dan melarangnya melanjutkan, fokus saja pada sekolahnya. Ya, saat itu umurnya masih muda untuk mulai bekerja. Sekarang? Selain umurnya yang sudah beranjak dewasa, perbedaannya adalah dia tidak tinggal lagi bersama neneknya. Hanya ada keluarganya yang tak akan peduli. Dia baru selesai sekitar jam setengah 8 malam, itu juga tidak membantu menutup kafe karena para seniornya menyuruhnya pulang saja, hitung-hitung keringanan hari pertama. Sampai di depan rumah diantar Chiko, jujur saja Hana rada deg-degan masuk ke rumah. Ini kali pertamanya pulang larut dan mungkin akan begitu setiap hari. Memantapkan tekad, Hana masuk ke rumah dengan muka temboknya yang datar. Shit, keluarganya sedang berkumpul di ruang ke
Sesudah kelas selesai, Owen buru-buru ke ruang TBK kampus setelah salah satu temannya memberi tahu tentang Hana yang berulah sebagai Hani. Gadis itu dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling karena membuat keributan. Entahlah, Owen tidak ada waktu mendengarnya dan langsung berlari ke gedung inti kampus. Di depan ruangan TBK, beberapa mahasiswa curi dengar ada yang sedang terjadi di dalam dan mengintip melalui kaca. Owen merangsek di antara kerumunan dan masuk ke dalam ruangan. Hana dan seorang gadis yang Owen kenal sebagai Rachel duduk di kursi yang berjauhan. Rachel mendelik tajam pada Hana yang membalasnya dengan tatapan santai. “Pak, ada apa ini?” tanya Owen pada Pak Ridwan, dosen konselor yang membawa keduanya ke ruang itu. Pak Ridwan menggeleng-geleng. “Tanya saja pacar kamu,” jawabnya sarat akan kelelahan. Kelihatan sudah lelah dengan keduaya. “Ada apa?” tanya Owen menggeram kecil. Saudari tunangannya itu sangat mengetes kesabarannya be
Jam 4 sore Hana mondar-mandir di kamar, bergerak gelisah dengan ekor mata terus melirik jam dinding. Jarum panjang itu terus mendetik seolah mengejeknya yang tak bisa apa-apa. Meski terancam tak bisa pergi, Hana tetap bersiap untuk pergi kerja. Putus asa, tiba-tiba Hana dapat ide. Dia menyambar ponselnya, mencari nama Chiko di daftar kontak. [Halo.] “Chik, plis bilang lo ada di rumah.” [Kenapa emangnya?] “Aduhh, Chik, gue butuh banget bantuan lo.” [Iya, lo bilang dulu, ada apaan?] Gadis itu mengatur napasnya agar detak jantungnya ikut stabil. Terlalu gugup dan takut nantinya ditegur jika telat atau tidak bisa masuk kerja. “Jadi gue dihukum soal bogem kemarin, nah gue gak boleh keluar rumah. Plis, anterin gue kerja,” mohon Hana. [Lah, katanya gak boleh keluar rumah.] “I know, tapi masa baru kerja udah bolos sih? Plis, lo tunggu aja di deket rumah gue.” [Duh, gimana ya, Lin? Gue lagi gak di rumah. Ada acar
“Han, lo harus jelasin ke mereka yang sebenarnya terjadi,” lirih Hana. Dia ingin sekali mendampingi Hani di dalam sana, menguatkannya agar bertahan dalam masa koma. Namun, keluarganya melarang, bahkan Hana baru diberi izin menengok setelah dua hari Hani masuk rumah sakit. Ada begitu banyak alat yang menunjang kehidupan Hani, ada banyak cairan yang diatur untuk memenuhi kebutuhan tubuh gadis itu agar tetap stabil. Hana sebagai saudara kembarnya merasakan sedih yang luar biasa. Dia adalah orang terakhir yang bertemu Hani sebelum koma. Dan karena itu semua, keluarganya menyalahkan Hana sebagai penyebab Hani koma. “Han, tega banget lo gue jauh-jauh ke sini malah tidur.” Jika boleh, Hana juga ingin menangis. Akan tetapi, orang tuanya sedang rapuh. Kesedihan Hana tak akan ada apa-apanya dibandingkan kesedihan mereka. Hana mendengar ketukan langkah kaki mendekatinya, tapi dia tak mau menoleh. Tahu kalau orang itu akan menyuruh Hana pergi, selalu begi
Jam 4 sore Hana mondar-mandir di kamar, bergerak gelisah dengan ekor mata terus melirik jam dinding. Jarum panjang itu terus mendetik seolah mengejeknya yang tak bisa apa-apa. Meski terancam tak bisa pergi, Hana tetap bersiap untuk pergi kerja. Putus asa, tiba-tiba Hana dapat ide. Dia menyambar ponselnya, mencari nama Chiko di daftar kontak. [Halo.] “Chik, plis bilang lo ada di rumah.” [Kenapa emangnya?] “Aduhh, Chik, gue butuh banget bantuan lo.” [Iya, lo bilang dulu, ada apaan?] Gadis itu mengatur napasnya agar detak jantungnya ikut stabil. Terlalu gugup dan takut nantinya ditegur jika telat atau tidak bisa masuk kerja. “Jadi gue dihukum soal bogem kemarin, nah gue gak boleh keluar rumah. Plis, anterin gue kerja,” mohon Hana. [Lah, katanya gak boleh keluar rumah.] “I know, tapi masa baru kerja udah bolos sih? Plis, lo tunggu aja di deket rumah gue.” [Duh, gimana ya, Lin? Gue lagi gak di rumah. Ada acar
Sesudah kelas selesai, Owen buru-buru ke ruang TBK kampus setelah salah satu temannya memberi tahu tentang Hana yang berulah sebagai Hani. Gadis itu dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling karena membuat keributan. Entahlah, Owen tidak ada waktu mendengarnya dan langsung berlari ke gedung inti kampus. Di depan ruangan TBK, beberapa mahasiswa curi dengar ada yang sedang terjadi di dalam dan mengintip melalui kaca. Owen merangsek di antara kerumunan dan masuk ke dalam ruangan. Hana dan seorang gadis yang Owen kenal sebagai Rachel duduk di kursi yang berjauhan. Rachel mendelik tajam pada Hana yang membalasnya dengan tatapan santai. “Pak, ada apa ini?” tanya Owen pada Pak Ridwan, dosen konselor yang membawa keduanya ke ruang itu. Pak Ridwan menggeleng-geleng. “Tanya saja pacar kamu,” jawabnya sarat akan kelelahan. Kelihatan sudah lelah dengan keduaya. “Ada apa?” tanya Owen menggeram kecil. Saudari tunangannya itu sangat mengetes kesabarannya be
HARI pertama Hana bekerja part-time terhitung menyenangkan, apalagi pengalamannya bisa bertemu dengan banyak orang. Tidak ada hambatan baik dari pekerjaannya atau pelanggan kafe. Dulu dia juga pernah bekerja via online dan tak bertahan lama karena neneknya tahu dan melarangnya melanjutkan, fokus saja pada sekolahnya. Ya, saat itu umurnya masih muda untuk mulai bekerja. Sekarang? Selain umurnya yang sudah beranjak dewasa, perbedaannya adalah dia tidak tinggal lagi bersama neneknya. Hanya ada keluarganya yang tak akan peduli. Dia baru selesai sekitar jam setengah 8 malam, itu juga tidak membantu menutup kafe karena para seniornya menyuruhnya pulang saja, hitung-hitung keringanan hari pertama. Sampai di depan rumah diantar Chiko, jujur saja Hana rada deg-degan masuk ke rumah. Ini kali pertamanya pulang larut dan mungkin akan begitu setiap hari. Memantapkan tekad, Hana masuk ke rumah dengan muka temboknya yang datar. Shit, keluarganya sedang berkumpul di ruang ke
[Mau ke mana lo?] Mau tak mau Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe, memastikan bahwa orang yang meneleponnya itu tak ada di sana. Agak menyesal sih membuka blokiran nomor Owen kalau tidak dipaksa lelaki itu. “Gue ada urusan sama Chiko,” balas Hana. Kini dia dan Chiko sudah ada di salah satu kafe daerah Tanjung Duren Utara. Hana disuruh menunggu sementara Chiko ke belakang bersama teman yang katanya bekerja di sini juga, membantu Hana mendapatkan pekerjaan atas nama sohib antar lelaki Chiko dengan entah siapa itu. [Apa yang gue bilang soal selalu sama gue?] Hana berdecak. “Gue pake topi, gue pake kemeja, dan gue pake masker. No one will realize that i’m your fucking girlfriend. Puas lo?” [Sialan lo! Berani lo ngomong kasar tentang Hani gue hajar lo.] “Cari aja orang yang peduli. Yang jelas itu bukan gue.” Selalu, setiap Owen menelepon pastilah Hana yang pertama kali memutuskan sambungannya. Habisnya lelaki itu punya
Hana terpaku menatap kertas di depannya, mendadak lemas dan tak percaya. Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian dan membentur tanah hingga tulang-tulangnya remuk. Oke, terlalu hiperbola. Tapi Hana sungguhan tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Nilai E? C saja Hana tak pernah mendapatkannya. “Lin, tumben lo dapet E.” Hana tersentak, langsung membereskan semua buku-bukunya dan langsung pergi. Entahlah siapa tadi yang ngomong, yang jelas Hana sedang butuh menyendiri. Justru karena itu bukan nilainya Hana jadi kecewa pada dirinya sendiri. Ya ampun, mendengar kata orang tadi berarti Hani tidak sebodoh apa yang dibilang Chiko. Gadis itu berjalan tak tentu arah, lupa kalau dia harus ke mana-mana dengan Owen agar tak mengundang curiga. Akan tetapi, bersama lelaki itu hanya akan menambah buruk suasana hatinya. Entahlah mau ke mana di bawah terik matahari ini. Makin bingung dengan tujuannya, akhirnya Hana duduk di halte bis. Dia sudah berj
Ke mana perginya bintang di siang hari? Apakah tertutup dengan cahaya matahari yang begitu terang? Lalu ke mana perginya kebahagiaan yang pantas Hana dapatkan? Apakah mereka terkesima dengan Hani dan berbalik padanya? What can be asked? Hana is an ordinary person when compared to Hani. “Hush! Lagi-lagi mulai,” gerutu Hana menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tak baik menyalahkan takdir, tapi apa boleh buat? Hana tak ingin membenci dirinya sendiri yang bernasib sedemikian buruk. Dia kembali meneguk minuman kaleng sambil menatap lurus ke depan, di antara rintik hujan tatapan dan pikirannya berkelana. Apakah benar ada akhir bahagia yang menunggunya di ujung garis finis? Kapan garis itu terlihat? Hana mulai lelah terjebak dalam kubangan putus asa. Sebuah tangan mengagetkan Hana, tiba-tiba menepuk pundaknya. Gadis itu refleks menyentak tangan yang masih bertengger di bahu, mendelik pada si pelaku. “Hana?” Hana
Kelas berakhir sekitar 15 menit lebih lama dari jadwal seharusnya. Dosen memberikan sebuah kuis bagi mereka yang bisa menyelesaikan soal sepuluh orang paling cepat. Sayangnya Raline sama sekali belum mengerti tentang materinya, jadilah dia tidak termasuk ke dalam sepuluh orang itu. Padahal di kampusnya dulu, Raline termasuk murid pintar di jurusannya dan mendapatkan beasiswa.Mungkin karena Raline pintar di hitung-hitungan dan jurusan Ralina lebih ke soshum makanya gadis itu perlu lebih banyak waktu bersosialisasi.Raline yang duduk di jajaran bangku depan langsung membereskan buku-bukunya setelah dosen menutup kelas. Ingat dengan peringatan Muaz untuk langsung pergi saat kelas usai.Namun, baru saja Raline memasukkan sebagian bukunya, orang-orang yang tadi pagi menyapanya sudah berdiri di samping bangkunya. Raline mendesah pelan, malas juga direcoki orang-orang seperti mereka melulu.&
Jika Hana berpikir orang tuanya akan memperlakukan dia seperti Hani, jawabannya : salah besar. Heh, apa yang dia harapkan? Disiapkan baju kuliah dan disuguhkan makanan mewah? Atau dibangunkan pagi-pagi dengan suara lembut mengingatkan bahwa ini sudah pagi? Ironisnya, itu semua hanya sebatas mimpi. Di kamarnya yang dulu, Hana mengenang kembali semua ingatannya di tempat ini. Dulu kalau Hani mengadukan yang tidak-tidak dan Hana dimarahi, dia pasti akan menangis di pojokan. Saat Hana dihukum tidak boleh ke mana-mana, balkonlah yang jadi tempat pelariannya. Atau saat Hana kesulitan tidur, dia akan menyeHanip ke bathup dan tidur di sana. 9 tahun sudah berlalu. Hana merindukannya setiap saat. Di sela-sela mengenangnya itu, pintu dibuka tiba-tiba membuatnya terkejut. Hani menatapnya dingin, tidak tampak seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu anaknya. “Cepet turun. Owen udah tunggu di bawah,” katanya langsung pergi lagi. Han
“Han, lo harus jelasin ke mereka yang sebenarnya terjadi,” lirih Hana. Dia ingin sekali mendampingi Hani di dalam sana, menguatkannya agar bertahan dalam masa koma. Namun, keluarganya melarang, bahkan Hana baru diberi izin menengok setelah dua hari Hani masuk rumah sakit. Ada begitu banyak alat yang menunjang kehidupan Hani, ada banyak cairan yang diatur untuk memenuhi kebutuhan tubuh gadis itu agar tetap stabil. Hana sebagai saudara kembarnya merasakan sedih yang luar biasa. Dia adalah orang terakhir yang bertemu Hani sebelum koma. Dan karena itu semua, keluarganya menyalahkan Hana sebagai penyebab Hani koma. “Han, tega banget lo gue jauh-jauh ke sini malah tidur.” Jika boleh, Hana juga ingin menangis. Akan tetapi, orang tuanya sedang rapuh. Kesedihan Hana tak akan ada apa-apanya dibandingkan kesedihan mereka. Hana mendengar ketukan langkah kaki mendekatinya, tapi dia tak mau menoleh. Tahu kalau orang itu akan menyuruh Hana pergi, selalu begi