“Tidurlah, Zhao Ming Lan. Tidurlah dengan nyenyak, lupakan semua hal yang membuatmu bimbang. Hanya kau satu-satunya alatku untuk membalaskan dendam nenek.”
Xiao You mengusap puncak kepala Ming Lan sambil merapalkan mantra yang sudah lama dipelajarinya dan baru sekarang berkesempatan mempraktikannya.
“Tidurlah, Anakku. Setelah bangun, kau akan punya tekad kuat untuk merawat bayi dalam perutmu dan menjadikannya satu-satunya penguasa yang tunduk pada perkataanku. Kau dengar itu, Nak?” bisik Xiao You tepat di telinga Ming Lan.
Ming Lan yang sedang tertidur lelap, perlahan menganggukkan kepala dengan patuh.
“Bagus. Aku akan membalas semua yang ayahmu lakukan pada keluargaku. Apa kau keberatan membantuku?” tanya Xiao You lagi.
Aneh, kepala Ming Lan menggeleng menanggapi pertanyaan pelayannya.
“Anak baik. Zhao Ming Lan yang patuh dan baik hati.”
Xiao You terus mengusap kepala Ming Lan lembut. Bibirnya menyungging senyuman penuh arti m
“Bukan perkataan dari orang lain, tapi aku mendengarnya sendiri dari keponakanmu, Wang Yang.”Kedua mata Gao Ping menyipit, dahinya berkerut mencoba mengingat obrolan apa yang mungkin Ming Lan dengar.Beberapa saat lamanya mereka berdua hanya diam dan saling memandang, hingga Gao Ping yang menyerah lebih dulu.“Sudahlah, kita tidak perlu membahas hal ini lagi. Aku tahu kau hanya mencari-cari perkara denganku karena tersinggung dengan sikapku pada pelayanmu.” Gao Ping mengangkat kedua tangannya ke atas kepala, tanda mengalah. “Aku minta maaf. Kembalilah ke ranjang dan cobalah untuk tidur. Aku akan menyuruh pelayan dapur menyiapkan makanan untukmu.”Sebelum berbalik, Gao Ping mengelus pipi kiri Ming Lan dengan punggung tangannya. “Percayalah, hanya kau wanita yang aku cintai.”Tak tahan dengan gemuruh di dalam dadanya, Ming Lan menepis tangan suaminya, menolak kehangatan yang membungkus nyaman pipinya.
Gao Ping tersentak manakala istrinya bergerak meraih pisau buah dari atas meja. “Apa maksudnya ini?!” panik Gao Ping mewaspadai gerakan Ming Lan. “Aku mau kau berjanji dengan darahmu!” tegas Ming Lan sambil menyodorkan pisau buah yang di tangannya. “Lakukanlah,” imbuh Ming Lan tak sabar. Ragu, Gao Ping menerima pisau itu sambil terus menatap Ming Lan. “Apa yang kau mau aku lakukan?” Dibentangkannya saputangan sutra miliknya di atas ranjang. “Tuliskanlah janji yang barusan kau ucapkan menggunakan darahmu,” ujar Ming Lan penuh keteguhan. “Aku akan memberikan hidupku padamu.” Senyum getir menggantung di bibir Gao Ping. “Apa itu berarti kau tidak cukup percaya pada ucapanku?” “Mengertilah, ini tidak ada hubungannya dengan rasa percaya. Aku adalah orang yang sudah menghabiskan separuh hidupku sebagai alat pemuas ambisi orang lain. Kali ini, aku tidak keberatan melakukannya sekali lagi untukmu, hanya jika kau menuliskan janjimu di atas saput
“Ada apa?” tanya Ming Lan lembut.“Tentang Xiao You.”Gerakan Ming Lan terhenti. “Kita bicarakan lain waktu saja. Aku tidak ingin merusak—.” Kalimat Ming Lan terjeda, manakala tangan Gao Ping menumpangi tangannya.“Dengarkan aku. Aku ingin bicara jujur padamu. Aku menaruh kecurigaan pada pelayanmu itu. Kadang, aku merasa dia sedang mengawasiku dan menunggu waktu yang tepat menjatuhkanku.”Senyum Ming Lan merekah menanggapi protes suaminya. “Tidakkah itu terlalu berlebihan, Yang Mulia?”“Ming’er, kali ini, dengarkan aku. Aku tidak menganggap ini sebagai candaan. Beberapa kali aku melihatnya sedang … entahlah, seperti melakukan ritual aneh dan merapalkan sesuatu.” Gao Ping bingung menggambarkan tindakan Xiao You yang pernah dipergokinya beberapa kali di dalam kamar istrinya.Dahi Ming Lan mengernyit. “Benarkah?”Ming Lan mulai bergerak
“Aku yang membunuh mendiang raja Wang Li. Bahkan, tidak hanya mendiang raja Wang Li, aku juga membunuh Wang Su.” Mulut Gao Ping ternganga mendengar pengakuan Ming Lan. Tangan yang merangkul bahu Ming Lan merosot perlahan. Keheningan melingkupi ruang kamar itu beberapa saat lamanya hingga Ming Lan kembali angkat suara. “Apa kau masih akan tetap berada di sisiku setelah tahu kebenarannya?” tanya Ming Lan membuat Gao Ping tersadar dan mengatupkan bibirnya gugup. Gao Ping berdehem sangat keras sampai Ming Lan berpikir, mungkin leher pria itu terluka. “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.” Gao Ping beringsut menjauh mengikuti nalurinya. Ming Lan tersenyum masam, dia sudah membayangkan reaksi suaminya. Beringsut menjauh adalah reaksi yang paling sopan dan sederhana dalam bayangannya. “Aku tahu. Kau bukan tidak mengerti, hanya menolak untuk mengerti,” desah Ming Lan pasrah. Buru-buru, Gao Ping meraih Ming Lan lagi. Merangkum kedua sisi wa
“Hentikan!” teriak Suying dengan wajah merah padam. “Lancang!”Suying bergegas melintasi ruangan menghampiri dua prajurit yang berdiri kaku di tempatnya. Di tangan mereka masing-masing, sedang memegang kotak pribadi Suying yang rencananya akan mereka serahkan pada Li Deyun.Plak. Plak.Masing-masing pipi mendapat satu tamparan keras dari tangan mungil Lan Suying.“Lancang!” teriak Suying lagi. “Pengawal!”“Hadir!” jawab dua pria berseragam berbeda dari dua prajurit istana.Telunjuk Suying yang bergetar karena murka, menunjuk lurus. “Tangkap dan penggal mereka!” titahnya dengan geram. “Gantung kepala mereka di gerbang kota!”Dua pengawal Suying menghormat sebelum bergerak menjalankan perintah.Tidak tinggal diam, dua prajurit utusan Wang Yang menggamit kotak dengan lengan kiri dan menghunus pedang yang tergantung di pinggang dengan tangan kanan.
“Bu, katakan padaku yang sebenarnya. Siapa yang datang ke sini? Apa ada yang mengancammu?” Zihao mengguncang bahu Ye Rong lembut. “Bu, katakan.” Alih-alih menjawab, Ye Rong hanya diam menatap Zihao. “Bu, atau aku akan membakar istana ini!” Zihao marah melihat reaksi ibunya. Ye Rong menundukkan pandangannya seraya menghela napas panjang. Samar, kepalanya menggeleng. “Tidak ada yang menyelinap masuk. Aku yang menyelinap keluar,” akunya. Raut wajah Zihao melunak, tangannya turun perlahan dari bahu Ye Rong. “Benarkah?” tanya Zihao menyisakan sedikit keraguan. “Ada hal penting yang harus aku katakan padamu.” Seketika, Zihao sadar ke mana arah pembicaraan itu. Pemuda itu berdiri dengan kasar, menjauhi ibunya. “Kalau yang ibu ingin katakan adalah pergi meninggalkan istana, tidak perlu kita bicarakan. Aku tidak akan pergi dari sini sebelum mendapatkan apa yang aku mau. Keadilan!” tegas Zihao membelakangi ibunya. “Hao’er, dengar
Taman KebahagiaanZihao berjalan tanpa tujuan sejak keluar dari kediaman. Ia melangkah terseok dan kadang limbung seperti prajurit yang berhasil lolos dari medan perang dengan penuh luka di badan, sampai tanpa sengaja kaki kirinya tersangkut tumit kanannya dan Zihao tersungkur ke tanah.Zening sudah lama berdiri termenung di pinggir danau memikirkan mendiang ayahnya dan hari pernikahannya yang semakin dekat, ditemani Yuru—dayang pengganti Ru Lan, hingga suara berdebum menyadarkannya.“Suara apa itu?” gumam Zening seraya mengedarkan pandangan ke sekitar danau yang gelap. Kakinya spontan berjalan menuju pusat suara.“Nona,” tegur Yuru. “Sebaiknya kita kembali saja. Kita sudah lama berada di luar,” ujarnya memperingatkan seraya menghadang Zening dengan tubuhnya.“Apa kau mendengarnya? Ada suara seperti orang jatuh.” Zening bergerak ke kanan menghindari tubuh Yuru. “Ayo, kita harus melihatnya!
“Nona! Nona!” teriak Yuru sambil mengejar Zening yang berlari dua kali lebih cepat darinya. “Nona, sebaiknya kita kembali! Nona!”“Astaga!” Zening mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik, mendelik ke arah Yuru yang menyusulnya. “Kenapa kau berisik sekali?!”Yuru segera berlutut begitu berhadapan dengan Zening. “Ampun, Nona. Jangan marah, Nona. Hamba tidak ingin Nona dihukum karena melanggar titah raja!” papar Yuru dengan tegas. “Yang Mulia berpesan agar—.”“Hentikan ocehanmu!” potong Zening. “Aku hanya ingin memastikan apa yang sedang terjadi. Apa kau juga akan melarangku?!”“Ampun, Nona. Hamba tidak berani.” Yuru tertunduk dalam.“Bagus.” Zening berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya, kali ini lebih tenang dari sebelumnya.***Penjara Istana Yongjin“Yang Mulia!” sapa dua pengawal ya