"Karma atau semesta hanya sekadar mengingatkan?"
***
Nindy menjadi lebih banyak diam setelah tragedi rusaknya kornea mata kirinya. Sepanjang malam dia selalu terjaga sembari bergumam memanggil nama putrinya.
Perawat yang bertugas terkadang merasa kasihan pada Nindy. Ibu beranak satu itu terlihat sangat menyayangi putrinya tapi mengapa saat Ratu menjenguknya dia tak sedikit pun meleburkan rasa rindunya.
Memeluk saja tidak. Nindy hanya menginginkan Ratu mati di tangannya. Dia merasa jika putri semata wayangnya tidak pantas berada di dunia yang membuatnya menderita.
Ratu terdiam di jendela kamarnya, memikirkan hidupnya yang penuh dengan misteri. Langit hitam berbintang menjadikan pemandangan yang dia sukai.
Masa lalu kelam yang terus saja berputar dalam pikirannya bagai menghantuinya dan menjadikan dirinya menjadi sosok gadis yang sangat tertutup dan terkesan sangat menyeramkan meski hanya dengan tatapannya.
Banyak lelaki yang menyukainya karena parasnya yang sangat cantik. Kulit putih bersih, kedua mata yang bulat, manik matanya hitam arang, hidung mancung, juga bibir tipis merah muda.
Tapi, kebanyakan dari lelaki itu menyerah lebih dulu sebelum mendapatkannya karena sosok Ratu sangat sulit untuk didekati oleh lelaki mana pun. Dia selalu menjauhi karena hatinya telah mati oleh cinta pertamanya sendiri, yaitu Ayahnya.
"Ratu!" panggilan samar itu membuyarkan lamunannya. Menilik ke arah luar mencari siapa orang yang berani masuk ke kawasan rumahnya.
Sosok lelaki berjaket hitam, topi hitam tengah mematung di depan rumahnya. Setangkai bunga yang dipetiknya di kebun orang dia genggam dengan kedua tangannya.
Dia Raja.
"Ngapain lo di sini?" tanya Ratu tanpa menemuinya. Gadis itu terdiam di dalam kamar, hanya saja jendelanya dia buka lebar.
"Gue ngikutin lo tadi. Barusan gue mau anterin lo pulang, tapi lo udah pulang duluan." Raja berterus terang dengan niatnya.
"Lo udah sehat?" tanya Raja akhirnya.
"Gue enggak sakit," jawab Ratu ketus.
"Tapi tadi lo keliatan pucet banget." Raja menunjuk wajahnya sembari menunjuk Ratu.
"Itu tadi, sekarang enggak."
Raja tersenyum. "Gue seneng kalau liat lo senyum."
Ratu terdiam beberapa saat. "Gue gak pernah senyum ke sembarang orang."
Kembali hening. Raja masih mengingat betul senyuman Ratu sewaktu pertemuannya pertama kali.
"Gue udah pernah liat lo tersenyum. Lo pasti lupa."
"Mending lo pulang!" Ratu menutup jendelanya dengan kasar. Tak mau lagi memperpanjang komunikasinya dengan Raja.
Raja menghela napasnya berat, kedatangannya seolah sia-sia. Tapi, bukanlah Raja namanya jika langsung menyerah begitu saja. Dia pikir, masih ada hari lain untuk mendekati Ratu dengan waktu yang lebih lama.
Suara dering ponselnya membuyarkan pikirannya. Nama Anggita tertera di layar ponselnya. Gadis manis yang baru saja menjadi kekasihnya pasti mencarinya karena menghilang tak memberikan kabar.
Raja tersenyum miris karena dia sangat hebat menaklukkan banyak gadis cantik mana pun, tapi hanya Ratu yang sangat sulit ditaklukkan. Mungkin, waktunya belum tepat.
Cepat, Raja menerima telpon itu meski rasanya malas. Saat menjawabnya dia hanya mengiyakan permintaan dari kekasihnya baru saja satu hari hubungan masa harus dibuatnya terluka.
Ratu yang penasaran dengan keberadaan Raja, dia kembali meniliknya lewat jendela. Lelaki itu tampak keluar dari kawasan rumahnya. Setelah kepergian Raja kian menjauh, gadis berambut panjang itu kembali merebahkan tubuhnya.
"Semua lelaki sama saja."
***
Asya tak mau pulang. Dia masih terus terdiam di sebuah toko yang menjual berbagai macam genre buku. Beberapa hari ini gadis itu memang menjadi banyak menghabiskan waktunya membaca buku di tempat tersebut hanya untuk bertemu lagi dengan sosok lelaki berkacamata yang membuatnya tak bisa tertidur nyenyak.
Namun, lelaki yang ditunggunya tak lagi datang untuk membeli buku di sana. Asya meyakini dirinya bahwa dia menyukai lelaki pendiam itu.
Buku bersampul merah muda yang menjadi pilihannya hari ini. Dia membacanya dengan saksama kisah awal mula percintaan dari sebuah pertemuan. Gadis itu berandai jika kisah cintanya dengan lelaki berkacamata itu akan kembali berlanjut dengan pertemuan yang lebih mengesankan.
"Hai!" sapa seseorang. Asya menoleh ke samping kirinya, sosok lelaki yang tengah dipikirkannya muncul tepat di depan matanya.
Kedua mata gadis itu terbelalak sempurna. Rasa bahagia tercampur dengan kaget.
"Hai." Asya kembali menyapa. "Sini duduk."
Hito pun mendudukkan pantatnya di di sebelah Asya. Dengan sikapnya yang kikuk karena gadis itu terus saja memandangnya tanpa berkedip.
"Mata kamu enggak perih?" tanya Hito polos seraya menunjuk ke arah mata sang gadis.
"Hah? Perih?" Asya bingung dengan pertanyaan bodoh itu. Lalu dia menyadari jika kedua matanya memang kelelahan karena terlalu banyak membaca buku, pandangannya beralih pada buku yang berada di kedua tangannya.
"Oh ini? Lumayan." Gadis itu mengacungkan buku tersebut seraya mengucek matanya.
Hito memegang pergelangan tangan Asya mencegahnya untuk mengucek matanya. "Nanti malah merah."
Asya tersenyum. Dia menyukai cara Hito yang begitu perhatian padanya. Gadis itu menjadi semakin menaruh harap pada Hito, dia memang benar telah jatuh cinta padanya.
"Katanya, lo suka baca genre fantasi juga?" tanya Hito.
"Iya. Suka banget," jawabnya, pandangannya terus saja menatap Hito.
"Terus kenapa masih baca genre teenlit lagi?" tanya Hito membuat Asya gugup.
"Beberapa hari ini aku emang lagi suka baca genre ini," jawabnya sembari tersenyum semanis mungkin.
Hito hendak bangkit dari duduknya, tapi lengannya dicekal oleh Asya membuatnya kaku. Lelaki itu tak bisa berkutik karena bersamaan jantungnya kembali kambuh oleh serangan yang seringkali dirasakannya tiba-tiba jika saat berada di dekat Asya.
"Mau kemana?" tanya Asya.
"Ke sana." Hito menunjuk rak di ujung ruangan, khusus genre fantasi semua.
"Ikut."
Hito tak mempermasalahkan hal itu. Dia mengangguk dan mulai memilah-milah buku mana yang akan dibelinya.
Bersamaan tangan mereka saling bersentuhan kala keduanya hendak mengambil buku bersampul hitam merah yang menjadi pusat perhatiannya.
Beberapa menit keduanya saling pandang, tapi Hito yang pertama memutuskan pandangannya dan juga menjauhkan tangannya.
"Kayaknya gue bakal beli ini deh." Hito langsung mengambil buku lain bersampul hijau tua.
Dalam hatinya, Asya berteriak karena senang. Dia yakin, kisahnya akan berlanjut malalui pertemuan selanjutnya.
***
Anggita menunggu Raja di rumahnya. Dia mengajak lelaki itu untuk makan malam bersama keluarganya. Motif ajakannya selain dinner bersama, dia juga ingin memperkenalkan kepada keluarganya.
Raja sendiri tidak tahu niat kekasihnya. Dia terkejut saat mendapati banyak orang kala kedua kakinya melangkah masuk ke dalam rumah Anggita.
"Lo ngapain ajak gue makan malam bareng keluarga lo pula," tanya Raja sedikit jengkel.
"Aku mau, kamu kenal sama keluarga aku, begitu juga sebaliknya."
"Kalau gini urusannya. Gue enggak bakalan pernah mau jadi pacar lo, Git!" ucap Raja.
"Kenapa?" tanya Anggita, kedua matanya mulai panas.
"Karena gue enggak pernah ada niat sedikit pun buat serius sama lo!" serah Raja. Setelah mengucapkan hal itu dia pergi begitu saja keluar dari rumah Anggita.
Bagaikan serangan petir yang menyambar hatinya, dia terduduk lemas di lantai. Air matanya keluar deras begitu saja.
"Git ... kamu kenapa, Nak?" tanya Mamanya yang melihat anaknya terduduk di ambang pintu.
Anggita tak bisa menjelaskan apa pun pada sang mamanya. Dia hanya bisa menangis dan mendekap tubuh Gracia untuk menenangkan rasa sakitnya.
"Dia bukan lelaki yang terbaik buat Gita, Mah."
***
Putri terduduk menangis di ujung kamarnya. Kedua tangannya memeluk kakinya yang gemetar hebat.
Sepulang dari rumah Anggita, Raja langsung pulang ke rumah. Tidak seperti biasanya yang pergi nongkrong bareng Hito dan Reza.
Suara tangisan sang adik terdengar jelas saat dia melewati kamarnya. Rasa cemas kian menjadi sebagai seorang kakak.
"Putri nangis?" ucapnya lirih.
Cepat, lelaki itu membuka pintu kamar Putri yang kebetulan tidak terkunci.
Benar saja, gadis berkulit putih itu tengah menangis tersedu. Kepalanya menunduk, menenggelamkan paras cantiknya dengan kedua lengannya.
"Lo kenapa, dek?" tanya Raja menghampiri sang adik.
Putri melirik wajah sang kakak dengan nanar. "Mau berapa gadis lagi yang bakalan lo sakitin?"
Pertanyaan itu mendadak membuat lidah Raja kelu.
"Maksud lo apa?" tanya Raja bingung.
"Kenapa lo sakitin semua cewek, kalau lo gak mau gue disakitin?" tanya Putri lagi. Kedua matanya tampak sembab, terlihat sekali jika dirinya menangis beberapa jam lalu.
"Siapa yang udah sakitin lo, Put?" tanya Raja.
"Jawaban lo. Lo yang udah bikin gue kayak gini. Gue disakitin Rafa karena lo! Karena lo gue benci punya abang yang nyatanya fuckboy! Gue kira lo cowok yang setia kayak papa. Nyatanya apa? Gue benci!"
"Lo sebenarnya kenapa sih, Put? Gue beneran gak ngerti!" Raja menggoyangkan tubuh sang adik dengan kedua tangannya.
"Repi. Cewek yang jadi korban dari seorang Raja Aleandra itu adiknya Rafa gue! Asal lo tau itu, gue suka sama Rafa."
"Terus?"
"Dia benci sama gue."
"Udahlah. Masih banyak cowok lain yang lebih cinta sama lo, Put!"
"Kayaknya ini semua karma dari lo. Inget! Lo punya adek cewek. Jangan lagi lo coba sakitin gadis mana pun. Kalau lo gak mau adek lo juga disakitin sama orang."
Raja diam. Hening.
****
"Cinta itu datangnya dari hati, bukan dari simpati."🐣🐣🐣"Kenapa, Fa? Lo lakuin semua ini sama gue?" tanya Putri, dia marah besar pada lelaki yang kini tengah terduduk bersama seorang wanita di salah satu kafe kekinian hits anak muda."Gausah tanya kayak gitu. Harusnya gue yang tanya sama lo. Kenapa abang lo sakitin adek gue, hah?" Rafa membalikkan pertanyaan yang membuat gadis berkulit putih itu diam."Maksud lo apa?" tanya Putri. Dia bingung dengan pertanyaan Rafa. Setahunya, sosok Raja itu adalah sandaran teruntuknya bukan tipe yang selalu menyakiti hati perempuan. Dia menyayangi dirinya juga ibunya dan keduanya itu adalah perempuan. Jadi, mustahil baginya jika Raja seperti apa yang kekasihnya ucapkan."Raja udah nyakitin adek gue, Repi. Dan ... gue berhak nyakitin lo. Mungkin ini karma dari abang lo. Karma itu berlaku. Suruh tobat sana!" ucapnya seraya merangkul gadis di sam
"Jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Karena semua ini adalah keputusan bersama. Jadi segala kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kita."🍁🍁🍁Putri menemui Ratu ke atas balkon rumahnya. Gadis berambut panjang itu menyambutnya dengan seulas senyuman."Lo kenapa?" tanya Ratu pelan.Nangis Putri kembali pecah, kedua tangannya terbuka langsung berlari mendekap tubuh sahabatnya.Dalam pelukan Ratu gadis itu tergugu menangis.Ratu berusaha menenangkan gadis itu, mempersilakannya duduk di atas kursi panjang."Gue kabur dari rumah." Putri menjelaskan sembari menahan tangisnya."Berarti Kakak lo gak tau?""Ya masa dia tau. Namanya juga kabur, Ra."Ratu mengangguk pelan seraya terkekeh menyadari pertanyaannya yang sangat polos."Pasti dia khawatir nyariin lo,
"Jika seseorang yang kau cinta belum mampu mencintaimu. Maka, ajarkanlah semampumu."~Raja Aleandra***Raja semalaman tidak pulang, dia terjaga di atas balkon sembari menatap langit yang penuh bintang. Dia rela menunggu sang adik agar semua masalah keduanya cepat terselesaikan.Putri baru saja terbangun, beberapa kali dia mengucek kedua matanya sampai memerah. Saat melihat sosok Raja dia merasa bersalah. Karena semalaman gadis itu tak tidur, mendapati pesan dari Rafa yang mengakui jika kakaknya tidak pernah menyakiti adiknya, Repi.Semua permasalahan ini hanya salah paham. Repi mengatakan semua itu pada kakaknya, dia menangis bukan karena disakiti, tapi sadar diri. Dia memang tidak pantas tuk bersanding di samping lelaki populer seantero kampus itu.Bahkan Rafa pun sudah meminta maaf pada Repi. Dia tidak mau untuk menyakitinya lagi, tapi kini dia juga tidak berani untuk menj
"Kemarin rela berjuang mati-matian untuk dapatin hatinya, Lalu setelah dapat? Apa kamu juga rela berjuang mempertahankannya?~Clovy****Wisnu menyeret dua kopernya yang sudah disiapkannya beberapa hari lalu. Entah sudah ke berapa kalinya istri mudanya menelpon minta untuk segera datang menemuinya di ruangan persalinan.Buah hatinya akan segera lahir, dia sangat senang saat mendengar kabar itu. Bahkan kesenangannya berujung pada janji jika dia akan segera meninggalkan keluarga terdahulunya setelah bayi mungil itu lahir.Mendengar Wisnu akan pergi, Nindy tidak terima. Mencegah suaminya angkat kaki dari rumahnya, dia berusaha untuk menahannya dengan alasan putri mereka yang masih butuh kasih sayang, cinta juga perhatian lebih.Wisnu tak dapat dihentikan dengan alasan apa pun. Dia sudah bertekad bulat untuk menjadi suami dari istri kedua
"Cinta itu tak hanya harus tentang memiliki. Tapi, cinta juga tentang memperjuangkan, bertahan dan pengorbanan."***Sudah beberapa hari ini setiap sore Asya selalu datang ke toko buku langganannya. Menunggu kedatangan sosok Hito yang menjanjikan bahwa dirinya akan datang. Padahal, lelaki berkacamata itu tidak memintanya untuk menunggu hanya saja itu keinginannya.Entah mengapa gadis itu merasa ingin selalu bertemu dengan lelaki yang dingin, cupu, juga kutu buku. Hatinya selalu berdebar setiap kali bertemu dengannya, padahal baru beberapa kali saja.Kedua matanya tak fokus membaca buku yang kini berada di depannya. Kata perkata seolah berlarian entah kemana, karena pandangannya tertuju pada ambang pintu yang dibiarkan terbuka.Akhirnya dia menyerah, Hito tidak datang. Benar apa katanya, seharusnya dia tidak menunggu karena hanya akan membuat hatinya kecewa. Asya hendak beranjak dar
"Cinta itu datangnya dari hati, bukan dari simpati."***Angin sepoi menerpa rambut panjangnya yang selalu dibiarkan tergerai, dedaunan seolah ikut merasakan berpindah letak ke mana pun arah angin meniupnya pergi. Gadis berambut panjang yang selalu saja dibiarkan tergerai, tak pernah sekali pun dia mengikatnya tengah terduduk di ayunan belakang rumahnya. Dia memikirkan perihal sahabatnya, jika mengetahui segala tentang dirinya pasti mereka akan pergi satu persatu. Ratu bergumam dalam batinnya, Ibuku sakit kejiwaan karena ayahku, dan ayahku meninggal karena dosanya sendiri. Mereka ingin melenyapkanku, bahkan dia tak mencintaiku. Dia berbohong. Pikirannya terus saja seperti itu, sampai dirinya tak bisa mengendalikan segala ketakutannya. Gadis itu bersimpuh di atas rerumputan liar yang sembarang tumbuh di halaman rumahnya. Kedua tangannya menutup wajahnya yang tergugu menangis mengingat klise masa lalu yang begitu menyedihkan. "Bisakah aku terbebas dari kalian?!" sergah Ratu. Bisi
"Cinta bukan hanya dinyatakan oleh ucapan, tapi juga ditunjukkan dengan tindakan."~Clovy***Sedetik pun Raja tidak pernah meninggalkan Ratu di ruangannya seorang diri. Dia terus menemani, bahkan kedua matanya rela tetap berjaga semalaman. Respon sang gadis masih tetap sama, menggerakkan jemarinya, meneteskan air mata, tapi tak sekali pun membuka kedua matanya. Padahal sudah seharusnya Ratu terbangun dari mimpi panjangnya. Entah mimpi apa yang telah membuatnya tertidur seharian. "Ra ... gue harap hari ini lo bangun," ucap Raja seraya mengelus rambut sang gadis. Sinar matahari sudah berani menyelinap masuk lewat gorden jendela. Tapi, Raja tidak menyingkapkan gorden yang masih menutup bagian kaca. Dia membiarkannya agar ketenangan sang gadis tidak terganggu karena silau. Dia menatap wajah Ratu yang sangat bersih tanpa noda sekali pun. Mungkin itu semua hasil dari kontennya dalam channel youtube. Menjadi seorang beauty vlogger memang harus rela mengeluarkan beberapa rupiah uang unt
"Setelah melewati tahap jatuh cinta. Ada satu tahap lagi yaitu; takut. Takut kehilangan."***Sekarang, Ratu merasa lebih membaik dari sebelumnya. Raja pula tidak lagi terlalu cemas saat meninggalkannya pergi ke kampus. Sebelum berangkat pun lelaki itu memberi pesan pada sang gadis untuk menunggunya beberapa jam. Lagipula jadwal di kampus setahunya tidak akan begitu padat. Ada salah satu dosen yang hanya memberikan tugas. Ratu menurut saja, lagipula saat tubuhnya lemas setelah sakit seperti ini akan mustahil baginya keluar dari kawasan rumah sakit. Gadis berambut panjang itu terduduk di kursi roda, menepikan kedua roda yang didorongnya sendiri tepat di ujung jendela. Menampakkan pemandangan pepohonan yang sengaja ditanam oleh pengurus rumah sakit. Banyak orang yang berlalu lalang dengan mengenakan seragam beratribut rumah sakit sepertinya. Sudah tak aneh lagi bagi Ratu berada di lingkungan seperti saat ini. Dia sudah terbiasa keluar masuk rumah sakit hanya karena masalah yang sama.