Setelah luka Ilman dirawat di klinik kecil, Sagara kembali mengantarnya pulang. Kali ini, Ilman merasa ada sesuatu yang aneh pada Sagara. Aura dingin pria itu terasa lebih rumit, seperti ada lapisan emosi yang coba ia sembunyikan.
Setelah memastikan Ilman masuk ke apartemennya, Sagara tetap berdiri di ambang pintu, wajahnya serius namun tidak lagi sedingin biasanya. Ilman merasa ini saatnya untuk berbicara, meskipun ia tidak tahu harus memulai dari mana.“Tuan, kenapa Anda bertanya tentang Kalingga? Apa yang sebenarnya terjadi?”Sagara menatap Ilman dalam-dalam, seperti mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya, ia berkata dengan nada rendah namun penuh penekanan, “Lindungi Kalingga dan anaknya. Jangan sampai Selena atau Gala tahu dia hamil.”Pernyataan itu membuat Ilman terperanjat. 'Bagaimana bisa Tuan Sagara tahu?'Ilman menelan ludah, mencoba mencerna situasi. “Bagaimana Anda tahu, Tuan?” tanyanya pelan memberanikan diri, namun ada nada curiDi sisi lain, gemerlap lampu catwalk memenuhi ruangan mewah. Selena melangkah dengan percaya diri, mengenakan gaun ibu hamil eksklusif yang dirancang khusus untuknya. Senyumnya merekah, sorot matanya menantang setiap kamera yang menyorotnya."Lihat aku! Bahkan dalam keadaan hamil, aku tetap bintang panggung. Tak ada yang bisa menyaingi pesona Selena," pikirnya, bangga.Namun, langkah kakinya tiba-tiba terganggu. Tumit sepatunya tersangkut di lipatan karpet merah. Ia mencoba menyeimbangkan tubuhnya, tetapi gravitasi tak berpihak padanya.“Ahhh!” teriaknya, tubuhnya jatuh ke depan, tengkurap menghantam lantai keras. Sakit menusuk perutnya. Rasa panik mulai merayapi pikirannya, tetapi ia tidak bisa bergerak."Selena! SELENA!" jerit seorang panitia, diikuti suara langkah kaki panik yang mendekat.Darah mulai merembes dari bawah gaunnya, membuat semua orang yang melihat tertegun. Selena mencoba membuka mulutnya, tetapi hanya desahan lemah yang
Media sedang heboh dengan musibah Selena. Foto dan video Selena terjatuh di catwalk menyebar luas, menjadi topik hangat di berbagai portal berita. Sebagian besar simpati, sementara sisanya mulai mempertanyakan tentang kehamilannya, terutama karena Selena dikenal sebagai model yang menghindari kehamilan.Di ruang keluarga rumah Sagara, Gala menatap layar ponselnya dengan wajah penuh tekanan. Ia baru saja menyelesaikan rapat penting ketika Sagara memanggilnya untuk sebuah diskusi serius."Kamu lihat semua ini, kan?" tanya Sagara sambil meletakkan macbook-nya di meja. "Keadaan Selena sudah cukup buruk. Kita tidak bisa membiarkan ini semakin rumit."Gala meneguk teh di hadapannya tanpa banyak bicara. "Apa rencana Papa kali ini?" tanyanya datar.Sagara tersenyum tipis. "Kita harus membuatnya tetap merasa hamil. Itu satu-satunya cara agar dia tidak kehilangan akal. Dokter sudah bekerja sama dengan kita, memasang alat untuk membuat perutnya terlihat teta
Di kamarnya yang sederhana, Kalingga duduk di dekat jendela besar, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Tangan mungilnya perlahan mengelus perut yang mulai membuncit. Embusan napasnya terdengar berat. Ingatan tentang Gala kembali menghantuinya, menyisakan luka yang belum sembuh."Dengar, aku hanya melakukan kewajibanku sebagai suami. Memberi nafkah lahir dan juga batin. Kamu masih meminum vitamin penguat rahim dari dokter 'kan?"Suara Gala yang dingin seperti paku tajam menghujam pikirannya. Kalingga memejamkan mata erat-erat, berusaha mengusir memori itu. Namun, kilasan wajah suaminya—yang tak pernah benar-benar menganggapnya—terus mengusik.Saat itu, ia hanya mampu mengangguk dalam diam. Gala datang sebulan sebelum ia mengetahui kehamilannya, hanya untuk melampiaskan hasrat tanpa ada rasa cinta di baliknya. Sejak saat itu, Gala tak pernah lagi menghubungi, apalagi mengunjunginya.Dia akhirnya menyimpan ponsel khusus yang diberikan Gala, t
Keesokan harinya, Ilman menerima panggilan mendadak dari Sagara. Lokasinya jelas, ruang kerja megah di lantai teratas kantor pusat keluarga Sagara. Tanpa menunda waktu, Ilman melangkah mantap ke sana. Ia sudah menduga isi pembicaraan ini, namun hatinya tetap merasa gelisah. Pintu kayu besar itu terbuka, dan ia melihat pria berusia tujuh puluhan itu duduk tenang di kursinya, dengan senyuman dingin seperti seekor elang yang baru saja menangkap mangsanya."Ilman," panggil Sagara, suaranya berat dan tegas. Ia menatap pria muda itu dari balik meja besar. "Duduk."Ilman menuruti, mencoba menyembunyikan tangan yang mengepal di balik meja. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"Sagara mencondongkan tubuhnya ke depan. "Sejauh apa kamu tahu tentang Kalingga? Atau mungkin lebih baik aku tanya langsung ... sejauh apa kamu terlibat dengannya?"Ilman tahu kata-kata ini adalah ujian. "Saya hanya tahu dia tinggal di rumah Pak Cakra. Saya sering membantu karena—"
Saat kembali ke kamar, Kalingga duduk di ranjang, menatap perutnya sambil mengelus lembut. Ingatan tentang sentuhan Gala kembali menghantuinya. Gala mungkin bukan pria yang romantis, tetapi setiap sentuhan yang ia berikan selalu meninggalkan jejak.Saat tangan Gala mengusap punggungnya dengan perlahan ketika menenangkannya. Saat pria itu merapikan selimutnya di tengah malam, meski tak mengatakan apa-apa. Dan bagaimana Gala selalu memastikan ia mendapatkan istirahat yang cukup, meski terkadang terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah."Kenapa aku terus memikirkanmu?" bisiknya, menatap kosong ke arah jendela. "Bukankah aku seharusnya melupakanmu?"Namun, meski hatinya berusaha menyangkal, ia tahu Gala telah meninggalkan sesuatu di dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja.****Gala mengamati dari balik kemudi, matanya tajam menembus kegelapan. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan emosi yang ia tekan.
02:15 Dini HariMobil hitam berisi Gala dan Kalingga melaju tanpa henti, menembus jalanan sunyi menuju sebuah tempat yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Bangunan itu berdiri kokoh di tengah lahan luas, tersembunyi dari keramaian kota. Rumah persembunyian yang hanya diketahui segelintir orang kepercayaannya.Begitu mobil berhenti, Gala keluar lebih dulu, lalu membungkuk untuk mengangkat Kalingga ke dalam. Wanita itu masih memberontak, tetapi tak cukup kuat untuk melawan genggaman eratnya."Pak Gala, lepaskan saya! Saya bisa berjalan sendiri." Kalingga meronta, tangannya mendorong dada bidang pria itu.Gala tidak menghiraukan. Dengan langkah tegap, ia melewati lorong rumah itu, lalu membuka pintu kamar yang telah ia persiapkan. Sebuah ruangan luas dengan nuansa hangat, ranjang besar di tengah, dan jendela besar yang menghadap ke kebun belakang.Ia menurunkan Kalingga perlahan di atas ranjang, tapi sebelum wanita itu bisa bangkit, Gala mena
Sementara itu, di kamarnya, Selena memegang perutnya yang terlihat membesar. Wajahnya pucat, dan matanya dipenuhi kebencian. Namun, saat itu juga, ia merasa ada sesuatu yang aneh."Kenapa aku tidak merasakan gerakan bayi ini?" gumamnya. Matanya menyipit, penuh kecurigaan."Suster!" panggilnya lantang, membuat seorang wanita berseragam putih berlari masuk dengan tergesa-gesa."Ada apa, Bu Selena?" tanya suster itu panik."Alat apa ini? Kenapa aku merasa sangat aneh?" bentak Selena, menunjuk perutnya.Suster itu terlihat gugup. "Saya hanya menjalankan tugas untuk menjaga Anda, Bu," jawabnya, berusaha tenang."Tapi alat ini ... apa gunanya?" desak Selena.Belum sempat suster itu menjawab, suara Sagara tiba-tiba terdengar. "Kamu telah gagal, Selena," katanya dingin, melangkah masuk ke kamar rawat khusus di rumahnya untuk Selena. "Bayimu sudah tidak ada. Gala membohongimu selama ini!"Kata-kata Sagara menghantam Sele
Di sebuah vila tersembunyi di pinggiran kota, Gala baru saja selesai mengganti pakaian ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia meraihnya dengan cepat. Nomor anak buah yang mengikuti papanya. “Tuan Sagara telah membuat kesepakatan dengan Nyonya Selena. Dia ingin memastikan bahwa Nonq Kalingga tidak pernah melahirkan anak itu di bawah nama Anda.” Mata Gala menyipit. “Apa maksudmu?” "Dia akan menggantikan bayi Kalingga dengan bayi lain—dengan cara apa pun!" Darah Gala mendidih. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Ia tahu ayahnya adalah pria yang kejam dan penuh perhitungan, tetapi ini ... ini sudah di luar batas. Gala tidak menunggu lebih lama. Ia mengambil kunci mobil dan bergegas keluar dari vila, langkahnya penuh amarah. Bayu yang berjaga di luar sempat menatapnya heran. “Tuan, ada apa?” “Jaga Kalingga. Aku akan mengurus sesuatu.
Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada
“By… aku berangkat dulu. Ada meeting penting hari ini. Mungkin pulang agak mal—”“Makanya sini dulu!”Tangan perempuan yang sudah rapi dalam setelan formal kantoran itu ditarik paksa hingga jatuh menimpa tubuh polos suaminya di ranjang.“Aku sudah mandi, By! Lima belas men—”Kalimatnya terpotong. Mulutnya dibungkam tanpa ampun oleh Galen yang langsung membalikkan posisi, menindih dengan gairah yang meletup.Satu minggu telah berlalu sejak insiden mengerikan itu. Tak satu pun jejak kasus tersisa.Pergerakan Secret Umbrella begitu senyap dan bersih. Big Boss mereka, seorang hacker jenius, mampu melumpuhkan sistem pemerintahan, menanamkan tersangka palsu, dan membebaskan seluruh anggota terlibat. Termasuk G4 dan Maiza—keduanya benar-benar lenyap dari radar publik.Hidup Galen dan Maiza kembali seperti biasa. Sepasang pengantin baru beda usia dan profesi itu melanjutkan rutinitas: Galen menyusun skripsi, Maiza sibuk mengelol
"Jangan takut lagi, aku akan menjaga dan melindungimu. I love you .…" Kecupan yang lama dan dalam dia jatuhkan di kening Maiza yang mengangguk perlahan.Pelukan itu terasa seperti rumah, dan Maiza memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam hangatnya perlindungan Galen—lelaki yang hampir saja dia lupakan, tapi hatinya tetap mengenalinya, selalu."Maafkan aku. Aku pikir tak akan pernah bertemu denganmu, dan aku tak pernah termaafkan atas keegoisanku sendiri.""Tidak ada yang bersalah dan tak ada yang perlu dimaafkan, Sayang." Galen merenggangkan pelukan, menatap manik mata sembab milik cinta pertamanya. Mata yang penuh arti, menunjukkan cinta yang begitu dalam. Memancarkan harapan dan semangat dalam sorot tajamnya."Hub–by...."Mantan anak didiknya itu menarik napasnya, lalu menekan tengkuk Maiza, membuat kepalanya mendongak. Gerakan lembut dan penuh candu itu berkembang cepat—menjadi balasan tak tertahankan antara dua insan yang telah
“Aaarrrgh!?” Suara letusan memecah malam, bersamaan dengan jeritan Galen yang menyayat. Namun, tubuhnya tetap meluncur masuk ke dalam pipa pembuangan yang sudah dirusaknya lebih dulu—pelarian terakhir yang ia punya.Pintu kamar mandi didobrak paksa. Tiga pria berpakaian serba hitam menyerbu masuk dan langsung menghujani ruangan dengan tembakan brutal. Cipratan darah membekas di dinding dan lantai, menyisakan jejak yang mengerikan.“Dia nggak akan bertahan lama dengan peluru beracun kita! Cari barangnya di setiap sudut!” bentak pemimpin mereka dengan suara dingin dan menakutkan.Sementara itu, di dalam mobil yang melaju tak tentu arah, Maiza menatap pria yang duduk di balik kemudi dengan pandangan terpaku. Ketakutan makin menyesakkan dadanya.“Ka–kamu bukan Galen?” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat oleh rasa ngeri.Dia mencuri pandang, berharap sang penolong hanyalah Galen yang menyamar—tapi tidak. Sosok itu menoleh sekilas, wajahnya