Thalita berdiri di halte bus, menunggu kendaraan yang akan membawanya pulang ke rumah.
Malam itu sunyi, hanya ada suara angin yang berembus pelan dan lampu jalan yang temaram. Tubuhnya terasa sangat lelah, hasil dari jam kerja panjang yang harus ia jalani setiap harinya.Ia memeluk tas kerjanya erat-erat, matanya sayu memandang ke jalan yang kosong. Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di depannya dengan suara rem yang mencengkeram.Thalita terkejut, langkahnya mundur tanpa sadar. Dari pintu mobil yang terbuka, Julia keluar. “Nyonya Julia...” bisik Thalita, lebih kepada dirinya sendiri. Rasa takut menyelinap di hatinya. Thalita tahu benar Julia menyimpan dendam. Sebuah dendam yang menurutnya tak beralasan.“Apa lagi yang akan dilakukan wanita ini padaku?” tanya Thalita di dalam hatinya. Julia mendekat, wajahnya penuh amarah yang sudah tak bisa disembunyikan. “Akhirnya kita bertemu lagi,” uPatricia melangkah memasuki kantor pagi itu dengan langkah yang sedikit berat. Ia tahu, pertanyaan demi pertanyaan akan menghampirinya, dan ia harus mempersiapkan jawaban yang masuk akal. Beberapa rekan kerjanya langsung menoleh saat ia masuk, tatapan mereka penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran. “Patricia, kemana saja kau semalam? Kau tiba-tiba menghilang, dan kami tidak bisa menghubungimu,” tanya Sahara, salah satu teman dekatnya di kantor. Patricia tersenyum kikuk, merasa gugup namun berusaha terlihat tenang. “Ah, maaf ya. Semalam aku tiba-tiba merasa pusing dan sakit kepala. Jadi aku pikir lebih baik langsung pulang tanpa mengganggu kalian yang masih ingin merayakan,” jawabnya sambil melambaikan tangan seolah ingin menepis rasa bersalah. “Oh, jadi begitu. Tapi kau seharusnya memberi tahu kami, Patricia. Kami semua khawatir,” tambah Sahara sambil menatap Patricia dengan sorot mata penuh perhatian. Patricia hanya men
Setelah melalui diskusi panjang dengan kedua orang tuanya, Patricia akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran Helios menjadi asistennya. Keputusan itu bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi dorongan dan keyakinan orang tuanya membuat Patricia yakin bahwa ia mampu melakukannya.Patricia pun menghubungi Helios untuk menyampaikan kabar itu. “Tuan Helios, aku akan menerima tawaran yang kau berikan padaku.” Helios menyambut kabar itu dengan rasa lega. Tanpa membuang waktu, ia langsung memberikan Patricia tugas pertama, menjadi pendampingnya di sebuah pesta perayaan bisnis yang diadakan oleh salah satu tokoh penting di dunia korporasi.“Aku akan sangat senang, Patricia...” balas Helios. Pukul 3 sore, sebuah paket besar tiba di depan pintu rumah Patricia. Saat ia membuka kotaknya, ia terkejut melihat isinya, sebuah gaun elegan berwarna merah marun dengan desain sederhana namun anggun, sepasang heels berwarna senada, mini
Patricia sedang berdiri di sisi Helios ketika seorang wanita cantik bernama Sena berjalan mendekat. Patricia bisa merasakan sesuatu yang aneh dari tatapan dan senyum miring wanita itu. Namun, ia mencoba mengabaikannya. “Mungkin cuma perasaanku saja...” batinnya. Shena melangkah mendekat dengan segelas wine di tangannya. Gerakannya terkesan anggun, tetapi ada sesuatu yang licik di balik cara ia membawa dirinya. Tiba-tiba, Shena berpura-pura tersandung, dan dengan gerakan yang terlihat tidak sengaja, wine di tangannya tumpah mengenai gaun Patricia. “Ya ampun... ah, tidak!” pekiknya. “Aku sangat menyesal untuk apa yang terjadi!“ Seru Shena dengan nada berpura-pura panik. “Aku tersandung gaunku sendiri!” Patricia terkejut, tubuhnya kaku saat merasakan cairan wine yang dingin menodai gaunnya. Helios segera menoleh, tatapannya tajam seperti pisau yang diarahkan ke Shena. “Patricia, kau tidak apa
Pusat perbelanjaan sore itu dipenuhi pengunjung, namun suasana tetap terasa hangat menjelang Natal. Emily dan Han berjalan berdampingan di lorong yang dipenuhi dekorasi lampu berkelap-kelip. Tangan kanan Emily yang patah terbungkus rapi dalam penyangga khusus, sementara Han dengan sabar mendorong troli belanja mereka. “Jangan lupa beli susu almond,” ujar Emily sambil menunjuk ke arah rak sebelah kiri. Han mengangguk dan mengambil susu yang dimaksud, lalu meletakkannya ke dalam troli. “Masih ada yang kau butuhkan?” tanyanya lembut. Emily mengangguk kecil. “Beberapa kebutuhan lain. Sabun cuci muka, masker, dan... mungkin cemilan.” Dari kejauhan, seseorang memperhatikan mereka. Kakaknya Emily, Daniel, berhenti di tempatnya berdiri, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Adik perempuannya itu terlihat begitu akrab dengan Han yang dulu pernah menjadi suaminya. Pernikahan mereka
Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela kamar utama, menciptakan suasana hangat di ruangan. Helena sedang merapikan dasi Alexander ketika pria itu tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan. “Sayang, aku benar-benar enggan pergi,” gumam Alexander dengan suara rendah, memandang wajah istrinya yang bersinar lembut di bawah cahaya pagi. Helena tersenyum kecil. “Tapi kau harus pergi, kan? Bukankah ada meeting penting siang nanti?” Alexander mengangguk pelan, lalu menunduk untuk mencium bibir istrinya dengan lembut. Pelukan itu semakin erat, seolah ia ingin menyerap sebanyak mungkin kehangatan Helena sebelum meninggalkan rumah. “Tapi jangan tunggu aku malam ini, ya,” katanya sambil menyapu rambut Helena ke belakang telinganya. “Aku mungkin pulang agak larut. Kau harus istirahat, itu penting.” Helena menatap Alexander dengan senyuman tipis, menyembunyikan rasa bosan yang sering ia rasakan saat suaminya bekerja. “Baiklah, aku akan tidur
Helena tersentak mendengar suara tangis Angel yang memecah keheningan sore itu. Ia sedang sibuk di dapur, menyelesaikan sup jamur kesukaan Rendy. Dengan langkah tergesa, ia menuju ruang tengah, tempat suara tangis itu berasal. Di sana, Angel duduk menangis terisak di sofa, sementara Rendy berdiri di dekatnya dengan wajah penuh rasa bersalah. Tatapan mata Rendy yang berkaca-kaca membuat Helena sejenak tertegun. Ia segera menghampiri Angel dan memeluknya dengan lembut, mencoba menenangkan gadis kecil itu. “Angel, ada apa, sayang? Katakan kepada Ibu,” tanya Helena lembut setelah tangis Angel mulai mereda. Rendy, yang sejak tadi diam, akhirnya memberanikan diri bicara. Dengan suara pelan, ia berkata, “Aku... aku tidak sengaja, Bu. Kotak pensilku jatuh, dan mengenai kepala Angel.” Suaranya bergetar, hampir menangis. “Aku benar-benar tidak sengaja, Bu. Maaf ya, Angel.” Helena memandang Rendy, hatinya teriris melihat anak sulu
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece