"Mas, kamu baru pulang?" tanya ibu Renata ketika mendengar suara pintu kamar terbuka. Ibu Renata baru beberapa menit lalu memejamkan kedua mata. Wanita tua itu duduk bersandar, memerhatikan suaminya yang tengah membuka sepatu. "Kerjaan lagi banyak. Darren hari ini enggak masuk. Dia sibuk mencari Sabrina," timpal Pak Sugeng tak ingin istrinya mengetahui keberadaan Sabrina. Kepala ibu Renata merunduk. Kesedihan jelas sekali tergambar di raut wajah. "Kamu udah makan, Mas?" "Udah. Tadi di kantor. Kamu tidur lagi saja! Aku mau mandi dulu."Ibu Renata menganggukkan kepala. Membiarkan suaminya masuk ke dalam toilet membersihkan badan. Wanita itu menarik napas panjang, mengembuskan perlahan, seolah ingin melepaskan beban dan penyesalan yang merasuki hati. Selama ini hanya pak Sugeng yang bisa diajak teman bicara. Meski ibu Anita kerap kali bercerita padanya, tapi ibu Renata tidak mau bercerita pada sahabatnya itu tentang apapun yang terjadi. Baginya, cukup pak Sugeng yang menjadi tempatn
"Ma-maksudmu enggak aman karena ada aku di rumah ini, Mas?" tanya ibu Renata, memastikan maksud ucapan suaminya. Pak Sugeng menghela napas berat. Pandangannya lurus ke depan, seolah enggan membalas tatapan mengiba sang istri. "Renata, bukan kamu saja yang merasa bersalah. Aku juga sama. Aku sangat merasa bersalah enggak bisa menahan dirimu yang kayak kesetanan. Coba kamu ingat-ingat perbuatanmu tadi pagi? Sabrina lagi hamil, dia belum sarapan, dia enggak tau apa-apa. Lalu? Lalu kamu siksa dia! Kamu tampar dia berulang kali. Kamu marahin dia! Kamu lepasin jilbabnya! Coba kamu ingat lagi, saat dia merangkak mau mengambil jilbabnya? Apa kamu enggak merasa iba, Renata??"Penuh luapan emosi, pak Sugeng mengingatkan kembali kejadian tadi pagi. Ibu Renata memejamkan kedua mata. Air matanya semakin deras membasahi wajah. Dia menangis tersedu-sedu. Ibu Renata belum pikun. Memori kejahatan yang dilakukannya terhadap Sabrina masih diingat jelas. Namun, sisi hatinya yang lain, menghalau rasa ber
"Cepetan, Angelica!" sentak Andre, menunggu Angelica yang tak jua selesai mematut diri di depan cermin meja rias. Saat ini, Andre akan mengantar Angelica ke salah satu kamar hotel yang dihuni pak Bambang. Lelaki itu tak sabar ingin mempertemukan Angelica dengan lelaki yang berani bayar mahal tubuh anak kandung ibu Anita. "Aku udah siap!" Andre menelisik penampilan Angelica dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. "Harusnya kamu bersyukur, Lica. Masih ada yang bayar mahal tubuhmu.""Aku enggak akan pergi kalau kamu belum mentransfer sejumlah uang yang udah kita kesepakati," kata Angelica memberanikan diri. Sorot matanya tajam, sekarang ia mulai muak dengan sosok lelaki yang sebelumnya amat dicintai. Andre tersenyum miring, "Kerja dulu, baru dibayar! Kamu kerja saja belum, udah minta bayaran.""Katamu dia udah bayar dimuka, Dre! Uangnya juga udah masuk ke rekeningmu. Aku minta, transfer ke rekeningku dulu atau aku akan mengecewakan tua bangka itu
Angelica mengemudikan kendaraan Andre, pergi meninggalkan area parkir hotel. Dia tak mau berlama-lama parkir di sana, khawatir ada orang yang curiga. Ekor mata Angelica melirik Andre yang masih bernapas. Mulutnya masih menyunggingkan senyum. Sebelum melajukan kendaraan, Angelica terlebih dahulu mengambil handphone Andre di saku celana, mentransfer semua uang Andre ke rekeningnya. Beruntung, lelaki itu belum mengubah pin nomor rekeningnya, jadi mudah bagi Angelica melakukan pengiriman uang. Saat ini, sambil menunggu waktu malam, Angelica akan membawa Andre ke rumah sewanya dulu. Nanti bilamana sudah gelap, bilamana Andre sudah benar-benar tidak bernapas, dia akan menguburkannya di belakang rumah sewa. Di belakang rumah itu memang terdapat tanah kosong. Tiba di halaman rumah, Angelica masuk ke dalam rumah terlebih dulu. Tak lupa, mengunci mobil. Ia akan membersihkan diri. Membiarkan lelaki yang perutnya terluka di dalam mobil. Dengan begitu, harapan Angelica ingin Andre meninggal duni
"Mas, Jessi mana?" tanya Sabrina saat membuka kedua mata mendapati hanya ada Darren di sampingnya. "Jessi tadi subuh pulang dulu. Kayaknya dia enggak enak badan," jawab Darren sembari menggenggam telapak tangan istrinya. "Saya jadi gak enak, merepotkan kalian.""Enggak ada yang direpotkan. Aku dan Jessi sangat menyayangimu, Sayang," ungkap Darren sembari mencium punggung tangan Sabrina. "Mas?""Iya, Sayang?""Mama gimana kabarnya? Apa mama masih marah sama saya?" Pertanyaan Sabrina membuat Darren bingung menjawab. Sebetulnya ia tak ingin membicarakan ibu Renata. Tapi, kenapa Sabrina justru menanyakan kondisi wanita yang telah melahirkannya?"Sayang, kamu ingat kan kata dokter Sarah. Kamu jangan terlalu banyak pikiran. Kamu harus fokus dengan kondisi kesehatanmu dan juga kesehatan calon baby kita, Sayang. Aku sangat bersyukur karena calon baby kita, baby yang kuat," kata Darren mengalihkan pembicaraan. Ia berbicara sembari tersenyum supaya istrinya itu tidak terlihat bersedih atau m
Raut wajah ibu Renata sangat sendu, kesedihan jelas tergambar. Ia berjalan menghampiri Sabrina, lalu memeluk tubuh menantunya itu. Ibu Renata menangis sambil memeluk Sabrina. Ia benar-benar sangat menyesal karena telah melakukan kejahatan pada wanita yang tak tahu masalah apa-apa. "Ma-Mama minta maaf, Sabrina. Mama menyesal ... maafin Mamaaaa ...." ucap ibu Renata terisak-isak. Darren yang sudah kembali ke kamar rawat inap Sabrina terkejut melihat kedatangan mamanya. Dengan langkah cepat, Darren meletakkan segelas susu di atas nakas, lalu menarik tubuh mamanya agar menjauh dari Sabrina. "JANGAN DEKATI SABRINA LAGI!" Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut mendengar teriakan Darren. Kedua matanya begitu tajam menatap ibu Renata. Wanita tua itu menangis, meminta maaf pada Darren dan Sabrina berulang kali. "Mas ... jangan begitu. Mama udah minta maaf. Lagi pula mama hanya salah paham," ucap Sabrina merasa kasihan, melihat ibu Renata yang menangis tersedu-sedu. Pandangan Darren
Di luar ruangan Sabrina, tangisan ibu Renata tak juga berhenti. Baru kali ini ia melihat Darren sangat marah padanya sampai menghardiknya di depan Sabrina dan pak Sugeng. Dia pikir Darren akan memaafkan, ternyata tidak. "Aku anterin kamu pulang, ya?" kata pak Sugeng setelah beberapa menit membiarkan ibu Renata menumpahkan kesedihannya dalam rengkuhan. Ibu Renata menarik napas panjang, berusaha menghentikan tangisan. "Aku enggak mau pulang, Mas. Aku pengen nemenin Sabrina. Enggak masalah a-aku enggak boleh tinggal di dalam sana. Aku di sini saja, Mas," timpal ibu Renata, suaranya terbata-bata. Rasa bersalah memenuhi relung hati wanita yang sudah renta itu. Sungguh, ibu Renata teramat sangat menyesal telah menuduh dan melakukan kesalahan terhadap menantunya."Jangan begitu, Renata. Kalau di sini kamu enggak bisa istirahat cukup. Kamu harus tetap jaga kesehatan." Meski sering kali ibu Renata melakukan kesalahan, tetapi pak Sugeng tetap mencintai. Tetap mencemaskan kesehatannya. Ibu R
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan mamanya. Dia pikir, ibu Anita tidak melihat keberadaan Andre di dalam mobil. "Kenapa? Kamu kaget? Mama udah curiga sama kamu, Lica! Kamu sekarang udah semakin jauh. Mau sampai kapan kamu kayak gini?" Ibu Anita amat sangat kecewa. Walaupun ia sudah tak dianggap ibu lagi, tapi hati seorang ibu tetaplah merasa cemas dan menyayangi anaknya. Ibu Anita tak peduli lagi dengan sikap buruk Angelica. Sekarang yang dipikirkan ibu Anita, menuntun Angelica ke jalan yang benar. "Aku punya alasan yang kuat melakukannya. Aku tau, aku salah tapi aku bahagia. Seenggaknya sampai saat ini aku hidup. Aku enggak mati menjijikan di tangan lelaki abnormal itu!" timpal Angelica melotot. Ia terus saja membela diri. Ya walaupun tujuannya melindungi diri, tapi tetap tidak dibenarkan melakukan pembunuhan terhadap Andre. "Ya Tuhan, Lica. Apa kamu enggak bisa kembali lagi sama Mama? Apa kamu enggak mau hidup normal lagi, Lica?" tanya ibu Anita penuh emosi. Hatinya begitu
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen