Kendaraan yang ditumpangi Sabrina sudah memasuki halaman rumah keluarga Wirawan. Wanita itu ingin segera bertemu ibu Renata untuk meminta maaf. Memasuki ruangan keluarga, ibu Renata tampak sedang serius berbicang dengan suaminya. Sabrina tak mau mengganggu, ia membalikkan badan, hendak ke kamar. Namun, langkah kakinya terhenti. Ibu Renata menyadari kedatangan Sabrina dan memanggilnya. "Iya, Nyonya?" Sabrina belum terbiasa memanggil mama. Masih saja memanggil ibu Renata dengan panggilan Nyonya. "Oh, maaf. Maksud saya ... ada apa, Ma?" Masih tidak berani membalas tatapan ibu Renata. Wanita itu merunduk takut. Ibu Renata menarik napas sembari menoleh pada suaminya. "Sabrina, duduk di sini!"Ibu Renata menepuk sofa yang ditempati, menyuruh Sabrina duduk di sampingnya. Sedangkan pak Sugeng, pergi meninggalkan mereka berdua. Dengan canggung, Sabrina duduk di samping ibu mertua. Memilin ujung jilbab agar tidak terlihat rasa gugupnya. "Ma, sa-saya minta maaf karena tadi enggak langsung
"Iya ngerujak. Tadi setelah konferensi pers, di jalan Mama lihat Mangga muda. Kok kelihatannya segar sekali kalau ngerujak jam segini. Nih, sambelnya Mama sendiri yang bikin. Kamu cobain deh," ujar ibu Renata sumringah. Mengambil irisan buah Mangga muda yang rasanya sudah dapat dipastikan, asam. "Ma, hm ... saya, saya bukannya enggak mau ngerujak, tapi ... saya enggak pengen, Ma.""Oh, kamu enggak pengen ngerujak?" Ibu Renata menatap Sabrina sembari mengunyah Mangga muda yang dagingnya masih putih. "Iya. Maaf ya, Ma? Maaf ...." Sabrina meringis, melihat ibu Renata menggigit Mangga muda itu tanpa terlihat keaseman. Justru seperti menikmati. "Enggak apa-apa. Padahal ini enak sekali Sabrina. Mama pikir kamu yang lagi hamil, suka ngerujak. Makanya Mama nyuruh kamu cepat-cepat puang," ucap ibu Renata menguyah buah tersebut. "Terima kasih. Mama sudah sangat baik dan perhatian sama saya." Sabrina tersenyum bahagia sekaligus terharu. Dalam sekejap, ibu Renata kini sikapnya berubah jauh le
Pak Adyatama pulang ke rumah sekitar jam lima sore. Tubuhnya terlihat lelah sekali. Beruntung tadi dia mendapat orderan. Lumayan, uangnya bisa buat beli makan siang. Sekarang uang yang tersisa seratus lima belas ribu. Pak Adyatama bingung jika ibu Regina meminta uang lagi. "Dre, Mama kamu di mana?" tanya pak Adyatama ketika berpapasan dengan Andre yang sudah berpakaian rapi, mau keluar rumah. Andre ada janji dengan pak Sudarso. Lelaki tua itu ingin bertemu dengannya. "Enggak tau." Jawaban Andre terdengar sangat ketus. Pak Adyatama menelan saliva, memandangi Andre yang sudah berlalu, keluar rumah. Langkah kaki Pak Adyatama menuju kamar. Membuka pintu, terlihat ibu Regina yang duduk di kursi meja rias, tampak sedang mematut diri. Pak Adyatama tersenyum bahagia karena berpikir, ibu Regina bersolek untuk menyambutnya. Tanpa diduga, pak Adyatama memeluk tubuh ibu Regina dari belakang. Sontak, wanita yang telah melahirkan Andre itu menepis kasar kedua tangan pak Adyatama. "Eh, tua bangk
Pak Adyatama dengan langkah gontai ke ruang meja makan, apa masih ada makanan atau lauk pauk atau tidak? Ternyata benar, di atas meja kosong. Tidak ada makanan apapun. Pak Adyatama mengusap perut gendutnya. Memang tidak terlalu lapar, tapi ... tadi dia makan hanya sedikit. Setelahnya, Pak Adyatama kembali ke kamar. Di dalam sana, terlihat ibu Regina sedang melihat ponselnya. Mendengar suara pintu dibuka, ibu Regina melirik. "Anakmu itu sangat memalukan!" cibir ibu Regina pada lelaki yang baru masuk ke dalam kamar. Sewaktu melihat konferensi pers keluarga Wirawan, ibu Regina sempat terkejut dengan kedatangan Angelica. Sebelumnya wanita itu berpikir jika Angelica belum memiliki suami. Ternyata dia istri dari Darren Wirawan yang berselingkuh dengan Andre. "Memalukan? Memalukan kenapa?" Pak Adyatama berjalan cepat, duduk di sisi istrinya. Lalu, mengambil handphone dari tangan ibu Regina. Kedua mata pak Adyatama membeliak sempurna melihat tingkah Angelica di acara itu. Ia menarik napas
"Aku kangen kamu, Sayang. Kangen anak kita juga," ungkap Darren ketika sampai di rumah. Memeluk dan menc1um kening serta perut istrinya yang belum membuncit. "Saya juga kangen, Mas," timpal Sabrina memandang wajah tampan suaminya penuh cinta. Sekian menit, mereka saling memandang. Menikmati keindahan paras masing-masing. Darren tak tahan, ia pun menunaikan kewajibannya, memberi nafkah batin untuk Sabrina. Tiga puluh menit berlalu. Napas keduanya masih tersengal-sengal. "Maaf, Sayang. Aku mainnya agak kasar," ucap Darren merebahkan tubuh di samping istrinya. "Ya, Mas. Enggak apa-apa. Saya mandi duluan, ya? Mau bantu nyiapin makan malam nanti.""Nanti dulu, Sayang." Darren memegang lengan Sabrina. Menarik tubuh tanpa penutup aurat itu ke dada bidangnya. Sabrina tersenyum, membelai bulu-bulu halus di sekitar wajah sang suami. "Aku mau tanya dulu.""Tanya apa?"Darren tak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada kedua bagian tubuh Sabrina. "Kenapa si kembar itu makin membesar?"
Andre bertemu dengan pak Sudarso di salah satu cafe. "Bapak yakin mau berhenti dari proyek kita? Keuntungannya kan sangat besar. Gak nyesel, Pak?" tanya Andre memastikan setelah mendengar niat pengunduran pak Sudarso. Lelaki tua yang duduk di hadapannya tersenyum kecut. "Iya, Bos. Saya mau berhenti soalnya pengen pulang kampung. Katanya anak saya lagi hamil. Saya mau jagain dia. Ya maklum, suaminya itu sering kerja di luar kota. Takut nanti pas lahiran, enggak ada yang nolong." Tentu saja pak Sudarso berbohong. Selama ini dia tidak pernah memberitahu jati diri yang sebenarnya pada Andre. Tidak pula memberitahu Andre jika Sabrina yang tak lain istri kedua Darren adalah anak kandungnya. "Oh begitu. Ya sudah enggak apa-apa. Nanti saya akan kembali lagi ke Jakarta. Nomor rekening Bapak masih sama 'kan?" tanya Andre mengeluarkan handphone, hendak memberi bayaran untuk pak Sudarso. "Iya, Bos."Tidak berselang lama, suara notifikasi terdengar dari handphone ayah kandung Sabrina. "Sudah
Angelica benar-benar frustasi. Satu persatu perhiasannya habis dijual. Malam ini dia ingin menyambangi club malam, ingin menemui Mami Veni. Ingin menjadi ikan peliharaannya lagi. Jam sembilan malam, Angelica sudah mengenakan pakaian yang s3ksi. Wangi parfum sangat menyeruak. Penampilannya bagai wanita malam yang haus akan belaian kaum Adam berhidung belang. Sampai di club malam, banyak pasang mata yang mengarah padanya. Angelica sengaja melenggak-lenggokan tubuh. Tak peduli pandangan nakal atau tangan yang mendarat pada tubuh bagian belakangnya. Bukannya marah, Angelica justru bergelayut manja ketika melihat pria itu berpenampilan bak seorang pengusaha muda. "Apa, Sayang? Kamu mau ini juga?" Angelica membusungkan kedua gunung ke depan wajah lelaki yang menampar b0k0ngny4. Lelaki itu tanpa sopan memegang. "Angel?"Yang dipanggil langsung menoleh. "Heii ... Angel, kamu kemana saja ?"Lelaki muda yang berpenampilan inocent itu terlepas dari dua gunung milik Angelica. "Mami ... apa
"Aku pikir kamu udah kenal dia. Oh ya, malam ini kamu mau enggak nge-handle klien-nya Cindy?"Langkah kaki Angelica terhenti, menoleh, menatap mami Veni yang juga menghentikan langkah. "Siapa klien-nya? Pengusaha berkelas atau cuma ...?""Tentu saja berkelas, Angel. Aku tau banget seleramu. Kamu enggak mungkin mau menerima tamu yang levelnya standar. Dia pengusaha dari Bandung. Katanya sih baru tiba jam enam sore tadi dan lagi pengen diservis. Kamu kan jago memijat juga. Kayaknya cocok kalau kamu yang eksekusi," ucap mami Veni menjawil dagu lancip Angelica. "Oke. Yang penting bayarannya di atas dua puluh. Kalau di bawah itu aku enggak mau."Mami Veni berdecih, menggelengkan kepala. Menelisik penampilan Angelica dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Harusnya kamu sedikit tau diri, Angel. Kamu sekarang bukan seorang gadis lagi. Jessi saja mau dibandrol tiga puluh semalam. Dia lima belas, Mami lima belas. Padahal sekarang dia primadona. Ikan yang banyak peminatnya. Tapi, dia mau-mau s
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen