Brakh!Angelica menggebrak meja. Kedua matanya melotot pada Wulan yang menurutnya sangat lancang sudah mengusirnya. "Lancang banget kamu ngusir aku? Memangnya kamu siapa? Ngaca dong kalau ngomong!" sentak Angelica. Sorot matanya begitu tajam, amarah terlihat menguasai dirinya. Ia tak terima, Wulan memperlakukannya seperti itu. "Ada apa ini?"Ibu Anita yang mendapat laporan dari salah satu staf tentang kedatangan anaknya, langsung keluar ruangan, menuju ruangan Wulan. Wanita berpenampilan elegan itu berjalan cepat menghampiri Angelica yang terkejut melihat kedatangan mamanya."Maaf, Bu. Mbak Angelica datang-datang minta ditransfer uang," jawab Wulan tanpa rasa takut karena dia pikir sekarang Angelica bukan lagi siapa-siapa. Bukan anak pemilik perusahaan ini, bukan pula menantu keluarga konglomerat terkenal bernama Renata Wirawan.Pandangan ibu Anita beralih menatap tajam Angelica. Anak itu benar-benar tidak berubah sikapnya. "Apa hakmu minta uang perusahaan? Kamu sekarang bukan siap
Kendaraan yang ditumpangi Sabrina sudah memasuki halaman rumah keluarga Wirawan. Wanita itu ingin segera bertemu ibu Renata untuk meminta maaf. Memasuki ruangan keluarga, ibu Renata tampak sedang serius berbicang dengan suaminya. Sabrina tak mau mengganggu, ia membalikkan badan, hendak ke kamar. Namun, langkah kakinya terhenti. Ibu Renata menyadari kedatangan Sabrina dan memanggilnya. "Iya, Nyonya?" Sabrina belum terbiasa memanggil mama. Masih saja memanggil ibu Renata dengan panggilan Nyonya. "Oh, maaf. Maksud saya ... ada apa, Ma?" Masih tidak berani membalas tatapan ibu Renata. Wanita itu merunduk takut. Ibu Renata menarik napas sembari menoleh pada suaminya. "Sabrina, duduk di sini!"Ibu Renata menepuk sofa yang ditempati, menyuruh Sabrina duduk di sampingnya. Sedangkan pak Sugeng, pergi meninggalkan mereka berdua. Dengan canggung, Sabrina duduk di samping ibu mertua. Memilin ujung jilbab agar tidak terlihat rasa gugupnya. "Ma, sa-saya minta maaf karena tadi enggak langsung
"Iya ngerujak. Tadi setelah konferensi pers, di jalan Mama lihat Mangga muda. Kok kelihatannya segar sekali kalau ngerujak jam segini. Nih, sambelnya Mama sendiri yang bikin. Kamu cobain deh," ujar ibu Renata sumringah. Mengambil irisan buah Mangga muda yang rasanya sudah dapat dipastikan, asam. "Ma, hm ... saya, saya bukannya enggak mau ngerujak, tapi ... saya enggak pengen, Ma.""Oh, kamu enggak pengen ngerujak?" Ibu Renata menatap Sabrina sembari mengunyah Mangga muda yang dagingnya masih putih. "Iya. Maaf ya, Ma? Maaf ...." Sabrina meringis, melihat ibu Renata menggigit Mangga muda itu tanpa terlihat keaseman. Justru seperti menikmati. "Enggak apa-apa. Padahal ini enak sekali Sabrina. Mama pikir kamu yang lagi hamil, suka ngerujak. Makanya Mama nyuruh kamu cepat-cepat puang," ucap ibu Renata menguyah buah tersebut. "Terima kasih. Mama sudah sangat baik dan perhatian sama saya." Sabrina tersenyum bahagia sekaligus terharu. Dalam sekejap, ibu Renata kini sikapnya berubah jauh le
Pak Adyatama pulang ke rumah sekitar jam lima sore. Tubuhnya terlihat lelah sekali. Beruntung tadi dia mendapat orderan. Lumayan, uangnya bisa buat beli makan siang. Sekarang uang yang tersisa seratus lima belas ribu. Pak Adyatama bingung jika ibu Regina meminta uang lagi. "Dre, Mama kamu di mana?" tanya pak Adyatama ketika berpapasan dengan Andre yang sudah berpakaian rapi, mau keluar rumah. Andre ada janji dengan pak Sudarso. Lelaki tua itu ingin bertemu dengannya. "Enggak tau." Jawaban Andre terdengar sangat ketus. Pak Adyatama menelan saliva, memandangi Andre yang sudah berlalu, keluar rumah. Langkah kaki Pak Adyatama menuju kamar. Membuka pintu, terlihat ibu Regina yang duduk di kursi meja rias, tampak sedang mematut diri. Pak Adyatama tersenyum bahagia karena berpikir, ibu Regina bersolek untuk menyambutnya. Tanpa diduga, pak Adyatama memeluk tubuh ibu Regina dari belakang. Sontak, wanita yang telah melahirkan Andre itu menepis kasar kedua tangan pak Adyatama. "Eh, tua bangk
Pak Adyatama dengan langkah gontai ke ruang meja makan, apa masih ada makanan atau lauk pauk atau tidak? Ternyata benar, di atas meja kosong. Tidak ada makanan apapun. Pak Adyatama mengusap perut gendutnya. Memang tidak terlalu lapar, tapi ... tadi dia makan hanya sedikit. Setelahnya, Pak Adyatama kembali ke kamar. Di dalam sana, terlihat ibu Regina sedang melihat ponselnya. Mendengar suara pintu dibuka, ibu Regina melirik. "Anakmu itu sangat memalukan!" cibir ibu Regina pada lelaki yang baru masuk ke dalam kamar. Sewaktu melihat konferensi pers keluarga Wirawan, ibu Regina sempat terkejut dengan kedatangan Angelica. Sebelumnya wanita itu berpikir jika Angelica belum memiliki suami. Ternyata dia istri dari Darren Wirawan yang berselingkuh dengan Andre. "Memalukan? Memalukan kenapa?" Pak Adyatama berjalan cepat, duduk di sisi istrinya. Lalu, mengambil handphone dari tangan ibu Regina. Kedua mata pak Adyatama membeliak sempurna melihat tingkah Angelica di acara itu. Ia menarik napas
"Aku kangen kamu, Sayang. Kangen anak kita juga," ungkap Darren ketika sampai di rumah. Memeluk dan menc1um kening serta perut istrinya yang belum membuncit. "Saya juga kangen, Mas," timpal Sabrina memandang wajah tampan suaminya penuh cinta. Sekian menit, mereka saling memandang. Menikmati keindahan paras masing-masing. Darren tak tahan, ia pun menunaikan kewajibannya, memberi nafkah batin untuk Sabrina. Tiga puluh menit berlalu. Napas keduanya masih tersengal-sengal. "Maaf, Sayang. Aku mainnya agak kasar," ucap Darren merebahkan tubuh di samping istrinya. "Ya, Mas. Enggak apa-apa. Saya mandi duluan, ya? Mau bantu nyiapin makan malam nanti.""Nanti dulu, Sayang." Darren memegang lengan Sabrina. Menarik tubuh tanpa penutup aurat itu ke dada bidangnya. Sabrina tersenyum, membelai bulu-bulu halus di sekitar wajah sang suami. "Aku mau tanya dulu.""Tanya apa?"Darren tak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada kedua bagian tubuh Sabrina. "Kenapa si kembar itu makin membesar?"
Andre bertemu dengan pak Sudarso di salah satu cafe. "Bapak yakin mau berhenti dari proyek kita? Keuntungannya kan sangat besar. Gak nyesel, Pak?" tanya Andre memastikan setelah mendengar niat pengunduran pak Sudarso. Lelaki tua yang duduk di hadapannya tersenyum kecut. "Iya, Bos. Saya mau berhenti soalnya pengen pulang kampung. Katanya anak saya lagi hamil. Saya mau jagain dia. Ya maklum, suaminya itu sering kerja di luar kota. Takut nanti pas lahiran, enggak ada yang nolong." Tentu saja pak Sudarso berbohong. Selama ini dia tidak pernah memberitahu jati diri yang sebenarnya pada Andre. Tidak pula memberitahu Andre jika Sabrina yang tak lain istri kedua Darren adalah anak kandungnya. "Oh begitu. Ya sudah enggak apa-apa. Nanti saya akan kembali lagi ke Jakarta. Nomor rekening Bapak masih sama 'kan?" tanya Andre mengeluarkan handphone, hendak memberi bayaran untuk pak Sudarso. "Iya, Bos."Tidak berselang lama, suara notifikasi terdengar dari handphone ayah kandung Sabrina. "Sudah
Angelica benar-benar frustasi. Satu persatu perhiasannya habis dijual. Malam ini dia ingin menyambangi club malam, ingin menemui Mami Veni. Ingin menjadi ikan peliharaannya lagi. Jam sembilan malam, Angelica sudah mengenakan pakaian yang s3ksi. Wangi parfum sangat menyeruak. Penampilannya bagai wanita malam yang haus akan belaian kaum Adam berhidung belang. Sampai di club malam, banyak pasang mata yang mengarah padanya. Angelica sengaja melenggak-lenggokan tubuh. Tak peduli pandangan nakal atau tangan yang mendarat pada tubuh bagian belakangnya. Bukannya marah, Angelica justru bergelayut manja ketika melihat pria itu berpenampilan bak seorang pengusaha muda. "Apa, Sayang? Kamu mau ini juga?" Angelica membusungkan kedua gunung ke depan wajah lelaki yang menampar b0k0ngny4. Lelaki itu tanpa sopan memegang. "Angel?"Yang dipanggil langsung menoleh. "Heii ... Angel, kamu kemana saja ?"Lelaki muda yang berpenampilan inocent itu terlepas dari dua gunung milik Angelica. "Mami ... apa
"Sayang, aku baru masuk mobil. Mau ke penginapan dulu. Satu jam lagi aku baru ketemu klien. Kamu lagi ngapain?" ucap Darren pada saat sambungan telepon dengan Sabrina terhubung. "Alhamdulillah, kalau Mas udah sampai. Saya lagi bantuin Mbok Darmi menyiapkan makan malam. Mas, jangan lupa makan malam, ya?"Bibir Darren tersenyum. Sangat menyukai perhatian yang terkesan perhatian kecil tapi sebetulnya sangat membuat Darren bahagia."Iya, Sayang. Paling nanti aku makan malam bersama klien. Kamu kenapa ngebantuin Mbok Darmi? Emang Mbak Tuti kemana?" "Mbak Tuti diajak ke swalayan sama Mama. Tapi, sampai sekarang belum sampe rumah. Tadi waktu saya telepon, kata Mama masih di jalan.""Oh ... aku heran, kenapa sekarang mama jadi rajin ke swalayan? Biasanya juga paling malas keluar rumah.""Enggak apa-apa, Mas. Mungkin mama bosan di rumah terus.""Ya bisa jadi. Sayang, aku udah masuk ke halaman penginapan. Kamu jangan keluar rumah. Kalau mau keluar rumah, jangan sendirian. Harus ditemani mama
Andre masih saja menelisik rekaman video dirinya dengan Jessi. Dia baru sadar kalau wajah Jessi mirip dengan istri kedua Darren. "Ya benar, wajahnya mirip Sabrina. Hanya saja, ada titik tanda lahir di atas b1bir Jessi. Apa mungkin Jessi itu adalah Sabrina? Atau mungkin sebenarnya mereka kembar?" gumam Andre mulai yakin kalau wajah Jessi memang sangat mirip dengan Sabrina. Hanya sikapnya saja yang berbeda. Andre mencari handphone, ingin memastikan kecurigaannya pada Angelica. "Hallo, Dre? Ada apa?" Suara Angelica terdengar seperti baru bangun tidur. Andre melirik jam dinding di kamar, baru jam sembilan malam tapi Angelica sudah tertidur. Tidak biasanya. "Tumben jam segini kamu udah tidur?""Tadi aku habis minum obat. Ngantuk banget. Ada apa?""Minum obat? Obat apa? Kamu sakit apa?"Mendengar rentetan pertanyaan Andre, Angelica baru sadar keceplosan. Seketika, rasa kantuknya hilang, kedua matanya membeliak, mengubah posisi jadi duduk. "Eu ... a-aku sakit kepala doang. Mungkin ... g
Sore hari, Darren sudah siap-siap akan berangkat ke luar kota. Pak Sugeng yang hari ini masuk kantor sudah menghubunginya, menyuruh Darren segera berangkat. "Nanti malam kliennya datang. Kalau kamu belum tiba di Bali, sedangkan Klien udah ada di sana, enggak enak Ren," jelas Pak Sugeng di ujung telepon. Kalau bukan proyek besar, Pak Sugeng tidak mungkin menyuruh anaknya keluar kota untuk menangani proyek tersebut. Klien yang berasal dari Singapore itu sudah mempercayai perusahaan Wirawan yang bergerak dalam bidang property untuk menangani. Darren yang duduk di sisi ranjang, di sampingnya ada Sabrina hanya merunduk lesu. Tidak ada semangat. Sabrina meraih telapak tangan suaminya, mencium punggung tangan Darren lembut lalu memberikan senyuman manis. "Iya, Pa. Sebentar lagi berangkat.""Hubungi Papa kalau udah tiba di sana.""Iya, Pa."Sambungan telepon terputus. Darren menoleh pada Sabrina. Mereka saling memandang sepersekian menit, lalu menghapus jarak cukup lama. "Mas, udah ya? B
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila