Pak Adyatama dengan langkah gontai ke ruang meja makan, apa masih ada makanan atau lauk pauk atau tidak? Ternyata benar, di atas meja kosong. Tidak ada makanan apapun. Pak Adyatama mengusap perut gendutnya. Memang tidak terlalu lapar, tapi ... tadi dia makan hanya sedikit. Setelahnya, Pak Adyatama kembali ke kamar. Di dalam sana, terlihat ibu Regina sedang melihat ponselnya. Mendengar suara pintu dibuka, ibu Regina melirik. "Anakmu itu sangat memalukan!" cibir ibu Regina pada lelaki yang baru masuk ke dalam kamar. Sewaktu melihat konferensi pers keluarga Wirawan, ibu Regina sempat terkejut dengan kedatangan Angelica. Sebelumnya wanita itu berpikir jika Angelica belum memiliki suami. Ternyata dia istri dari Darren Wirawan yang berselingkuh dengan Andre. "Memalukan? Memalukan kenapa?" Pak Adyatama berjalan cepat, duduk di sisi istrinya. Lalu, mengambil handphone dari tangan ibu Regina. Kedua mata pak Adyatama membeliak sempurna melihat tingkah Angelica di acara itu. Ia menarik napas
"Aku kangen kamu, Sayang. Kangen anak kita juga," ungkap Darren ketika sampai di rumah. Memeluk dan menc1um kening serta perut istrinya yang belum membuncit. "Saya juga kangen, Mas," timpal Sabrina memandang wajah tampan suaminya penuh cinta. Sekian menit, mereka saling memandang. Menikmati keindahan paras masing-masing. Darren tak tahan, ia pun menunaikan kewajibannya, memberi nafkah batin untuk Sabrina. Tiga puluh menit berlalu. Napas keduanya masih tersengal-sengal. "Maaf, Sayang. Aku mainnya agak kasar," ucap Darren merebahkan tubuh di samping istrinya. "Ya, Mas. Enggak apa-apa. Saya mandi duluan, ya? Mau bantu nyiapin makan malam nanti.""Nanti dulu, Sayang." Darren memegang lengan Sabrina. Menarik tubuh tanpa penutup aurat itu ke dada bidangnya. Sabrina tersenyum, membelai bulu-bulu halus di sekitar wajah sang suami. "Aku mau tanya dulu.""Tanya apa?"Darren tak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada kedua bagian tubuh Sabrina. "Kenapa si kembar itu makin membesar?"
Andre bertemu dengan pak Sudarso di salah satu cafe. "Bapak yakin mau berhenti dari proyek kita? Keuntungannya kan sangat besar. Gak nyesel, Pak?" tanya Andre memastikan setelah mendengar niat pengunduran pak Sudarso. Lelaki tua yang duduk di hadapannya tersenyum kecut. "Iya, Bos. Saya mau berhenti soalnya pengen pulang kampung. Katanya anak saya lagi hamil. Saya mau jagain dia. Ya maklum, suaminya itu sering kerja di luar kota. Takut nanti pas lahiran, enggak ada yang nolong." Tentu saja pak Sudarso berbohong. Selama ini dia tidak pernah memberitahu jati diri yang sebenarnya pada Andre. Tidak pula memberitahu Andre jika Sabrina yang tak lain istri kedua Darren adalah anak kandungnya. "Oh begitu. Ya sudah enggak apa-apa. Nanti saya akan kembali lagi ke Jakarta. Nomor rekening Bapak masih sama 'kan?" tanya Andre mengeluarkan handphone, hendak memberi bayaran untuk pak Sudarso. "Iya, Bos."Tidak berselang lama, suara notifikasi terdengar dari handphone ayah kandung Sabrina. "Sudah
Angelica benar-benar frustasi. Satu persatu perhiasannya habis dijual. Malam ini dia ingin menyambangi club malam, ingin menemui Mami Veni. Ingin menjadi ikan peliharaannya lagi. Jam sembilan malam, Angelica sudah mengenakan pakaian yang s3ksi. Wangi parfum sangat menyeruak. Penampilannya bagai wanita malam yang haus akan belaian kaum Adam berhidung belang. Sampai di club malam, banyak pasang mata yang mengarah padanya. Angelica sengaja melenggak-lenggokan tubuh. Tak peduli pandangan nakal atau tangan yang mendarat pada tubuh bagian belakangnya. Bukannya marah, Angelica justru bergelayut manja ketika melihat pria itu berpenampilan bak seorang pengusaha muda. "Apa, Sayang? Kamu mau ini juga?" Angelica membusungkan kedua gunung ke depan wajah lelaki yang menampar b0k0ngny4. Lelaki itu tanpa sopan memegang. "Angel?"Yang dipanggil langsung menoleh. "Heii ... Angel, kamu kemana saja ?"Lelaki muda yang berpenampilan inocent itu terlepas dari dua gunung milik Angelica. "Mami ... apa
"Aku pikir kamu udah kenal dia. Oh ya, malam ini kamu mau enggak nge-handle klien-nya Cindy?"Langkah kaki Angelica terhenti, menoleh, menatap mami Veni yang juga menghentikan langkah. "Siapa klien-nya? Pengusaha berkelas atau cuma ...?""Tentu saja berkelas, Angel. Aku tau banget seleramu. Kamu enggak mungkin mau menerima tamu yang levelnya standar. Dia pengusaha dari Bandung. Katanya sih baru tiba jam enam sore tadi dan lagi pengen diservis. Kamu kan jago memijat juga. Kayaknya cocok kalau kamu yang eksekusi," ucap mami Veni menjawil dagu lancip Angelica. "Oke. Yang penting bayarannya di atas dua puluh. Kalau di bawah itu aku enggak mau."Mami Veni berdecih, menggelengkan kepala. Menelisik penampilan Angelica dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Harusnya kamu sedikit tau diri, Angel. Kamu sekarang bukan seorang gadis lagi. Jessi saja mau dibandrol tiga puluh semalam. Dia lima belas, Mami lima belas. Padahal sekarang dia primadona. Ikan yang banyak peminatnya. Tapi, dia mau-mau s
Mendengar nama bapaknya, Sabrina menelan saliva, Ingin segera menemui tapi takut dilarang pak Sugeng dan istrinya. "Biar saya dulu yang menemuinya," kata Pak Sugeng menarik kursi, berjalan cepat ke ruang tamu di mana sudah ada pak Sudarso yang menunggu kedatangan anaknya. "Pak Sudarso?" sapa pak Sugeng ketika memasuki ruang tamu. Lelaki tua itu berdiri, membalas sapaan besannya. "Apa kabar, Tuan? Saya minta maaf sudah lancang datang ke sini." Pak Sudarso langsung sadar diri. Sebelumnya pak Sugeng melarangnya datang ke rumah, apapun yang terjadi sampai Sabrina melahirkan anak Darren. "Ada apa? Apa kamu butuh uang lagi?"Pak Sugeng bertanya demikian karena berpikir pak Sudarso tidak mungkin ingin mengetahui kabar Sabrina. Menurut pak Sugeng, Pak Sudarso tidak mungkin peduli pada keadaan Sabrina. "Enggak, Tuan. Bukan karena itu saya ke sini. Bukan, Tuan," ralat pak Sudarso yang sekarang ingin mengubah sikapnya menjadi lebih baik lagi. "Kalau bukan karena uang, lalu mau ngapain kamu
"Tapi, sekarang kita bersyukur punya menantu sebaik Sabrina. Sudahlah, jangan kita bahas yang sudah-sudah. Kalau Papa lihat, dia kayaknya udah mulai berubah. Semoga saja berubah menjadi lebih baik."Harapan pak Sugeng hanya ditanggapi helaan napas berat. Ibu Renata tetap tak yakin kalau besannya itu akan berubah menjadi lebih baik. "Bapak," pekik Sabrina menghampiri. Pak Sudarso berdiri, tersenyum tipis. Sabrina meraih telapak tangan pak Sudarso dan mencium punggung tangannya. "Kamu apa kabar, Sabrina?" tanya pak Sudarso menatap anak perempuannya yang kini telah menjadi bagian keluarga Wirawan. Darren duduk di sofa bersebrangan dengan Pak Sudarso. Membiarkan Sabrina duduk di samping bapaknya. "Alhamdulillah saya baik, Pak. Bapak sekarang tinggal di mana? Kenapa Bapak enggak nghubungi saya?" Sabrina mengajukan beberapa pertanyaan. Meski pak Sudarso pernah berbuat jahat padanya, tapi Sabrina tetap menyayangi. Bagi Sabrina, bapak tetaplah bapak. "Maaf, Sabrina. Bapak enggak pernah t
Pagi di tempat yang berbeda. Angelica baru bangun. Tubuhnya terasa remuk setelah semalam melayani tiga pria. Salah satu bagian s3nsit1fnya terasa sangat nyeri. Angelica menggeliat, tengok kanan dan tengok kiri. Dia masih di dalam salah satu kamar club milik Mami Veni. Wanita itu menyibak selimut, memperlihatkan tubuhnya yang tanpa sehelai pakaian. Langkah kaki Angelica tertatih, berjalan menuju toilet. Dia ingin membersihkan badan sebab aroma perc1nt44n semalam masih tercium menyengat. Di bawah guyuran shower, Angelica memejamkan kedua mata. Meresapi aliran air yang membasahi sekujur tubuh. Masih terbayang jelas perbuatannya semalam. Tak dapat dipungkiri, hati kecil Angelica merasa jijik tubuhnya telah dij4mah banyak lelaki. Pantas saja jika Darren tidak ingin memberikan nafkah batin semenjak mengetahui kelakuan Angelica. Usai membersihkan diri, Angelica bersiap pulang ke rumah sewa. Namun, sebelumnya ia menghubungi mami Veni. Wanita itu belum memberikan bagian uang untuknya. "Oh
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila
Malam hari di kediaman keluarga Wirawan, Sabrina dan Ibu Renata sedang berbincang di ruang keluarga. Sedangkan Darren dan Pak Sugeng di ruang kerja. Mereka membahas proyek yang berada di luar kota tepatnya di kota Bali. Ada salah satu pengusaha sana yang ingin proyeknya dipegang perusahaan Darren. "Sabrina, mungkin minggu depan suamimu akan keluar kota. Ada proyek yang perlu pengawasan dia," ujar ibu Renata mengawali pembicaraan. Sabrina yang duduk berdekatan dengan ibu mertua cukup terkejut. Tidak menyangka jika Darren ditugaskan keluar kota padahal ia sedang hamil.. "Meskipun Darren di luar kota, kami akan menjagamu dengan baik. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tinggal bilang sama Mama."Sabrina menganggukkan kepala, tersenyum manis. "Iya, Ma. Terima kasih." Hanya kalimat itu yang terucap dari mulut Sabrina. Ia masih takut salah jika berbincang dengan ibu Renata. "Darren melakukan itu demi masa depan anakmu juga. Kalau Darren enggak kerja keras, nanti kalian hidup miskin. Ya meman
Mendengar keinginan Andre, seketika otak Angelica berputar. Mencari ide agar bisa menolak keinginan anak kandung ibu Regina itu. Tidak mungkin Angelica melakukan hubungan suami istri dalam kondisi alat v1t4lnya seperti saat ini. "S-Sayang, aku ... aku baru saja datang bulan. Ja-jadi aku ... aku enggak bisa ma-main dulu." Suara Angelica bergetar. Tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Bibir Andre yang sebelumnya tersenyum langsung meredup. Ia sangat kesal karena keinginannya tidak dapat dipenuhi padahal Andre sudah datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta, sudah repot-repot membooking kamar hotel. "Cepatlah datang! Aku menunggumu!" Angelica memejamkan kedua mata. Andre memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapannya. Sudah dapat dipastikan, lelaki itu pasti marah. Tetapi, mau bagaimana lagi? Angelica pasti tidak bisa menikmati permainan Andre jika kondisi itunya masih sakit, perih dan panas. Setelahnya, Angelica membuka pintu rumah, menuju dapur, mengambil segelas air da
Lelaki yang duduk di samping Angelica berbisik. Angelica terkejut, menelan saliva, menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, pura-pura tak mendengar. Angelica memerhatikan penampilan sendiri. Ia tak mengenakan pakaian s3ksi, pakaiannya justru tertutup dan longgar. Tapi, kenapa lelaki yang duduk di sampingnya bertanya demikian?"Jangan pura-pura enggak dengar. Aku tau, kamu wanita peliharaan Mami Veni."Sontak, Angelica mendongak, menoleh dan memicingkan kedua mata menatap lelaki yang tengah menyeringai. "Ba-bagaimana kamu tau?" tanya Angelica heran. "Aku pernah melihatmu waktu nganterin si Bos. Kata si Bos, kamu sangat lezat. Kamu tenang saja, walaupun aku anak buah si Bos. Tapi, aku sehat. Aku banyak uang. Aku bisa membayarmu lebih besar dari si Bos. Permainanku juga sangat lembut. Enggak kayak si Bos," jelas lelaki sangat pelan tapi terdengar jelas di telinga. Angelica baru ingat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia adalah lelaki yang mengantar klien terakhirnya ke kama