"Ma, aku masih muda, enggak mungkin banget aku m4ti duluan. Kalau Mama sih m4ti duluan wajar soalnya kan ... Udah tua." "Astaghfirullahalazim," lirih, Sabrina mengucap istighfar mendengar ucapan Angelica. Bukannya minta maaf, Angelica justru semakin menjadi-jadi. Mendengar kekurangajaran Angelica, Sabrina pun ikut bicara. "Enggak begitu, Non Lica. Kematian itu enggak melihat yang masih muda atau yang sudah tua. Banyak kok yang masih muda m4ti duluan." Suara Sabrina terdengar lembut tapi cukup menohok Angelica. Darren dan Ibu Renata mengulum senyum, mendengar pembelaan yang dilakukan Sabrina. "Eh, eh ... tutup mulutmu! Lancang sekali kamu. Kamu berani sama aku, heuh? Enggak tau diri! P3lakor!""Kamu yang enggak tau diri, Lica! Bicaramu kayak sampah!" cibir Darren. "Bela aja terus, belaaa ... Darren Kamu mesti ingat, di sini yang istri sah kamu itu aku, bukan dia!!" Kedua mata Angelica membeliak menatap madunya. Sabrina hanya menghela napas berat, tidak menanggapi ucapan Angelica.
"Sabrina, duduk di situ!" Ibu Renata menyuruh Sabrina duduk di sampingnya. Sabrina agak canggung jika duduk bersebelahan dengan ibu mertua. "Ada apa, Nyonya?" tanya Sabrina pelan. Kepalanya masih merunduk. Pandangan ibu Renata lurus ke depan. Seolah banyak beban yang dipikirkan. "Aku tau, masalah anak itu urusan Tuhan. Tapi, bukannya kita harus berusaha?" Ibu Renata memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan. "Benar, Nyonya," jawab Sabrina singkat. Ibu Renata menoleh, menatap intens wajah wanita yang mengenakan hijab itu. "Kalau sampai dua bulan ke depan kamu belum juga hamil darah daging Darren, aku akan menyuruh Darren menikah lagi."Kepala Sabrina sontak terangkat. Kedua matanya membulat sempurna. Tidak, ia tidak mau dipoligami lagi. Sabrina tidak mau kalau Darren sampai menikah untuk ketiga kalinya. "Nyo-Nyonya ...." lirih, Sabrina memanggil. Ia ingin meminta waktu tapi takut. Takut jika Ibu Renata marah besar. "Enggak ada yang bisa mengubah atau menolak keputusanku. Kam
Di dalam kamar, Angelica menghempaskan tubuh ke atas r4njang ukuran king size. Sebelah tangan memegang pipi karena tamp4ran Darren. Angelica memejamkan kedua mata, mengingat perlakuan ibu Renata dan Darren. Dia berpikir, perlakuan buruk keluarga Wirawan disebabkan Sabrina. "Aku harus segera melenyapkan wanita kampungan itu. Jangan sampai dia berhasil mengambil hati penghuni rumah ini," gumam Angelica pada diri sendiri. Ia lantas bangkit, duduk di sisi ranjang, lalu mengambil handphone. Saat ini yang dimintai bantuan hanyalah Andre. Lelaki yang belum genap satu tahun dikenalinya. Angelica menekan nomor Andre, lalu menunggu panggilannya diangkat. "Ada apa, Sayang?" sapa Andre di ujung telepon. "Aku kamu masih di rumah?" tanya Angelica dingin. "Ada apa, Angelica? Aku sekarang di rumah Mama. Kalau kamu kangen sama aku, ke rumah mama saja."Angelica langsung mematikan sambungan telepon, enggan menanggapi rayuan Andre. Ia dan mamanya Andre sudah saling mengenal. Bahkan suatu waktu Andr
Ibu Regina meringis kesal mendengar ucapan Angelica. Wanita itu memang cantik tapi sayang mata duitan. Kalau sampai Angelica menikah dengan Andre, bisa-bisa ibu Regina tidak akan kebagian uang. Belum lagi usahanya mendapatkan warisan dari mendiang papanya, Wirawan Saka Abadi. "Kalau begitu, aku harus secepatnya mendatangi rumah Renata. Aku akan minta padanya, pembagian harta warisan papa. Aku yakin, kalau kami sudah punya uang yang banyak, Andre pasti mau segera menikahi Angelica." Senyuman ibu Regina terlihat. Wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan bersiap mendatangi rumah Wirawan, papa biologisnya. Sudah lama sekali ibu Regina tidak ke rumah itu. Dia pikir, papanya tak punya anak lain, ternyata sebelum menikah dengan mamanya, pak Wirawan sudah memiliki istri dan anak perempuan. Usai bersolek, ibu Regina langsung meluncur ke rumah yang sekarang ditempati ibu Renata. Di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi, ibu Regina membuka kaca mata hitamnya. Menatap
Darren sungguh heran melihat perubahan sikap istri keduanya. Tidak seperti biasa, kali ini Sabrina sangat agr3s1f. Darren pun baru merasakan sampai kl1m4ks lebih dari tiga kali. Permainan yang baru ia alami sepanjang hidupnya. Bermain hampir tiga jam bahkan sampai ia kewalahan. "Sayang, sebentar lagi Magrib. Nanti lagi mainnya." Nyerah. Darren menyerah saat Sabrina mulai mer4angsangnya kembali. Memang sangat n1kmat. Tapi, Darren tidak terbiasa. "Habis Magrib main lagi, ya?" Permintaan Sabrina disambut kekehan kecil Darren sembari menarik tubuh mungilnya. "Kamu habis minum obat kvat?" tanya Darren menatap lekat Sabrina. "Enggak, Tuan. Saya enggak minum obat apa-apa. Memangnya kenapa?" Sabrina balik bertanya. Darren menatap lekat Sabrina. Membelai lembut pipi wanita yang dicintai. "Enggak kenapa-napa. Ya sudah, kita mandi besar dulu. Sebentar lagi adzan Magrib.""Tapi, habis Magrib main lagi. Saya ingin cepat hamil, Tuan. Saya mohon," rengek Sabrina menatap sendu wajah suaminya.
"Aku bilang enggak mau! Enggak sudi aku lihat muka dia!" Ibu Renata langsung menimpali. Napasnya turun naik, menatap lekat pak Sugeng. "Dengar dulu, Re ... kamu mesti ketemu sama dia. Buat perjanjian atau kesepakatan di atas materai. Kalau enggak ada itu, nanti kamu diperas sama mereka. Aku enggak mau itu terjadi. Hanya satu kali saja bertemu dengannya. Kamu suruh dia pergi keluar kota atau keluar negeri. Jangan tinggal di sini apalagi sampai mengusik keluarga kita. Kalau dia enggak mau menyanggupi, jangan kamu kasih uang. Tapi, kalau dia menyanggupi, berikan sejumlah uang yang kita tentukan. Dan ingat, kamu enggak boleh ngebiarin dia meminta sendiri uangnya. Kamu yang harus menentukan berapa rupiah yang dia dapat." Panjang lebar Pak Sugeng menjelaskan maksud sarannya. Meski kekayaan yang dia miliki sekarang berasal dari keluarga ibu Renata, tetapi Pak Sugeng juga tidak mau ada orang yang memanfaatkan keluarganya. Dia adalah kepala keluarga. Sudah menjadi kewajibannya menjaga istri
Sabrina tergagap mendengar pertanyaan ibu Renata. Ia menelan saliva, bingung mau menjawab apa? Ekor mata Sabrina melirik suaminya, minta dibantu menjawab. "Ehm, tadi ... tadi Sabrina terlalu lama ... hmm ... terlalu lama apa ya, Sayang?"Kedua mata Sabrina membeliak mendengar Darren justru menggodanya. "Sudah, sudah. Enggak usah kamu jawab! Sekarang duduklah! makan yang banyak, Sabrina. Supaya kamu enggak sakit lagi, maag kamu enggak kumat lagi. Supaya kami semua enggak kamu repotin."Ibu Renata mengerti penyebab cara jalan Sabrina yang meng4ngk4ng. Itu pasti karena obrolan mereka tadi. Ibu Renata yang hanya memberi waktu sampai dua bulan. Ibu Renata menggelengkan kepala, melirik Sabrina yang menyantap makan malam sambil merunduk. Mungkin karena merasa malu. "Darren, besok kamu mesti masuk ke kantor. Mama dan papa mau ada urusan. Mungkin sampai sore di luar. Jadi kerjaan di kantor harus kamu yang nge-handle," ucap ibu Renata selesai menyantap makan malamnya. "Iya, Ma. Besok aku ke
*** "Aku mau pulang dulu," ucap seorang wanita yang beberapa menit lalu usai melampiaskan h4sr4t biologisnya pada seorang pria selain suaminya. Mereka baru saja melakukan perzinahan. Pertahanan Angelica goyah oleh rayuan Andre. Sebelumnya Angelica tak mau melakukan itu lagi pada Andre. Lelaki itu sering kali melakukan hubungan terlarang dengan banyak wanita. Ada ketakutan dalam hati Angelica jika Andre mengidap penyakit mematikan. Tetapi, lagi dan lagi ia mudah terpedaya oleh bujuk rayu Andre. "Jangan dong, Sayang ... aku masih kangen sama kamu." Andre menarik pinggang Angelica hingga tubuh wanita itu jatuh ke atas pangkvannya."Andre aku mohon. Aku harus pulang. Aku enggak mau Darren curiga lagi," kata Angelica berusaha melepaskan rengkuhan kedua tangan Andre pada pinggang rampingnya. Jika Angelica sudah menyebut nama Darren, Andre tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sangat benci dan muak pada lelaki itu. Sudah tidak mempedulikan Angelica, tapi tak juga menceraikannya. Berdalih ingin me
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila
Malam hari di kediaman keluarga Wirawan, Sabrina dan Ibu Renata sedang berbincang di ruang keluarga. Sedangkan Darren dan Pak Sugeng di ruang kerja. Mereka membahas proyek yang berada di luar kota tepatnya di kota Bali. Ada salah satu pengusaha sana yang ingin proyeknya dipegang perusahaan Darren. "Sabrina, mungkin minggu depan suamimu akan keluar kota. Ada proyek yang perlu pengawasan dia," ujar ibu Renata mengawali pembicaraan. Sabrina yang duduk berdekatan dengan ibu mertua cukup terkejut. Tidak menyangka jika Darren ditugaskan keluar kota padahal ia sedang hamil.. "Meskipun Darren di luar kota, kami akan menjagamu dengan baik. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tinggal bilang sama Mama."Sabrina menganggukkan kepala, tersenyum manis. "Iya, Ma. Terima kasih." Hanya kalimat itu yang terucap dari mulut Sabrina. Ia masih takut salah jika berbincang dengan ibu Renata. "Darren melakukan itu demi masa depan anakmu juga. Kalau Darren enggak kerja keras, nanti kalian hidup miskin. Ya meman
Mendengar keinginan Andre, seketika otak Angelica berputar. Mencari ide agar bisa menolak keinginan anak kandung ibu Regina itu. Tidak mungkin Angelica melakukan hubungan suami istri dalam kondisi alat v1t4lnya seperti saat ini. "S-Sayang, aku ... aku baru saja datang bulan. Ja-jadi aku ... aku enggak bisa ma-main dulu." Suara Angelica bergetar. Tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Bibir Andre yang sebelumnya tersenyum langsung meredup. Ia sangat kesal karena keinginannya tidak dapat dipenuhi padahal Andre sudah datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta, sudah repot-repot membooking kamar hotel. "Cepatlah datang! Aku menunggumu!" Angelica memejamkan kedua mata. Andre memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapannya. Sudah dapat dipastikan, lelaki itu pasti marah. Tetapi, mau bagaimana lagi? Angelica pasti tidak bisa menikmati permainan Andre jika kondisi itunya masih sakit, perih dan panas. Setelahnya, Angelica membuka pintu rumah, menuju dapur, mengambil segelas air da
Lelaki yang duduk di samping Angelica berbisik. Angelica terkejut, menelan saliva, menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, pura-pura tak mendengar. Angelica memerhatikan penampilan sendiri. Ia tak mengenakan pakaian s3ksi, pakaiannya justru tertutup dan longgar. Tapi, kenapa lelaki yang duduk di sampingnya bertanya demikian?"Jangan pura-pura enggak dengar. Aku tau, kamu wanita peliharaan Mami Veni."Sontak, Angelica mendongak, menoleh dan memicingkan kedua mata menatap lelaki yang tengah menyeringai. "Ba-bagaimana kamu tau?" tanya Angelica heran. "Aku pernah melihatmu waktu nganterin si Bos. Kata si Bos, kamu sangat lezat. Kamu tenang saja, walaupun aku anak buah si Bos. Tapi, aku sehat. Aku banyak uang. Aku bisa membayarmu lebih besar dari si Bos. Permainanku juga sangat lembut. Enggak kayak si Bos," jelas lelaki sangat pelan tapi terdengar jelas di telinga. Angelica baru ingat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia adalah lelaki yang mengantar klien terakhirnya ke kama
Bibir Angelica tersenyum lebar. Lelaki yang pernah dirindukannya itu kini telah menghubunginya kembali. Tanpa berpikir panjang, Angelica menghubungi nomor tersebut. "Andre? Benar kamu Andre?" tanya Angelica saat sambungan telepon berlangsung. "Hai, Sayang. Benar, ini aku Andre. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" Senyum lebar yang sebelumnya menghiasi wajah Angelica, seketika mengerucut. Ia menarik napas panjang, duduk di sisi ranjang sembari menahan rasa sakit.Angelica tak langsung menjawab, ia tak mau menceritakan tentang yang dialaminya saat ini. Andre pasti curiga kalau ia bercerita. "Hm ... tentu saja kabarku enggak baik. Aku enggak baik karena kehilanganmu, Dre. Kamu kemana aja sih, Sayang? Kenapa ninggalin aku? Kamu tau, aku sekarang udah bercerai dengan Darren. Kita bisa bersama, Sayang."Andre dan Regina yang saat ini sedang di salah satu rumah sewa daerah Jakarta tersenyum mengejek. Lelaki itu sengaja meloudspeaker obrolannya agar ibu Regina mendengar. "Iya, S
"Darren!" Panggilan keras ibu Renata membuat Darren dan Sabrina terkejut setengah mati. Mereka langsung duduk berjauhan, menoleh ke belakang. Ibu Renata berdiri melipat kedua tangan di depan d4da, menatap nyalang mereka berdua. Sabrina berdiri, tubuhnya gemetar. Sementara Darren, bersikap santai meski sebelumnya terkejut. "Ma, kalau manggil jangan teriak-teriak. Lihat tuh Sabrina, dia sampe kaget. Sayang, calon anak kita enggak kaget 'kan?" tanya Darren mengelus perut istriya yang belum terlihat membuncit. "Hah? Eng-enggak, Mas." Terbata-bata menjawab pertanyaan sang suami. "Kalian ini, malah mesra-mesaraan di depan anak-anak. Enggak baik!" tandas ibu Renata mengingat tadi Darren mendekatkan bibirnya ke pipi sebelah kiri Sabrina. Dipikir, Darren akan menc1um Sabrina padahal hanya berbisik. "Mama suuzhon. Aku tadi bukan mesra-mesaraan. Aku cuma bisikin Sabrina saja.""Halah, alasan. Sekarang kita pulang! Mana Papamu?" Darren mengitari sekeliling, mencari keberadaan pak Sugeng. L
"Apa sih kamu, Re? Udah deh, aku belum kepikiran cari suami lagi. Nanti ajalah. Aku sekarang lagi mikirin keberadaan Angelica. Entah di mana dia?" Ibu Anita masih memikirkan anak yang sudah tidak menganggapnya sebagai seorang ibu. Ibu Renata menarik napas panjang, menatap lekat ibu Anita yang duduk berhadapan dengannya. "Kamu mau ajak dia tinggal di rumahmu lagi?" telisik ibu Renata. "Enggak. Aku cuma pengen tau aja keadaannya. Sebenarnya semalam aku sempet tidur tapi cuma sebentar. Anehnya, waktu aku tidur sebentar itu, sempet-sempetnya aku mimpi." Ibu Renata yang sebelumnya agak mencondongkan tubuh ke depan, kini duduk bersandar. "Mimpi apa?""Mimpi Angelica dikerubungi buaya. Tubuhnya dilahap buaya-buaya. Dalam mimpiku, Angelica nangis sambil ketawa. Pas bangun, aku enggak bisa tidur lagi. Ya sampai sekarang, aku masih mikirin dia."Sebetulnya ibu Renata sudah dapat menerka arti mimpi ibu Anita. Mungkin arti dari mimpi itu, Angelica kembali menju4l diri lagi. Ibu Renata menye
"Enggak," jawab ibu Anita tegas. Kepalanya menoleh, menatap pak Adyatama yang tampak terkejut mendengar jawaban ibu kandung Angelica. "Aku enggak mau jadi istrimu lagi. Aku enggak mau berumah tangga denganmu lagi. Ya, aku akui masih ada cinta dihatiku untukmu tapi maaf, untuk menjadikanmu suamiku lagi, aku enggak bisa. Aku bukan wanita bodoh seperti sebelumnya. Yang terlalu diperbudak perasaan. Aku ingin masa tuaku dipenuhi kebahagiaan dan kehidupan yang tenang," sambung ibu Anita masih menatap lelaki yang tenggorokannya seketika tersentak. Pak Adyatama pikir, ibu Anita mau diajak berumah tangga lagi dengan ucapan-ucapan manisnya. Ternyata tidak. Namun, pak Adyatama tidak menyalahkan keputusan ibu Anita. Sewajarnya jika ia tak mau berumah tangga dengannya lagi. Prilaku pak Adyatama sebelumnya sangat menyebalkan dan sering membuat ibu Anita kecewa. Perselingkuhan berulang kali, penggelapan uang perusahaan, utang di mana-mana sampai akhirnya perusahaan dan rumah miliknya diambil alih k